Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode ke-67
Enam bulan kemudian Mbah Darmo Rejo izin
pamit pulang kampungnya. Tinggal di wilayah kaki lereng gunung Merapi. Ingin
merawat kembali ladang dan sawah sudah lama ditinggalkan. Wedus gembel: lahar
panas dari gunung Merapi. Sudah tidak muncul kembali. Dari kampungku aku
melihat gunung Merapi sudah tidak mengeluarkan wedus gembel lagi. Satu persatu
warga dari kaki lereng gunung Merapi kembali ke tanah leluhurnya. Mengolah
ladang, sawah juga ternak. Dinding langit tampak cerah berwarna membiru. Bersama
gumpalan mega putih bersih menghiasi dinding langit wilayah gunung Merapi.
Jam delapan malam lebih tiga puluh menit
mbah Darmo Rejo mendekatiku. Berbisik pelan-pelan agar tidak menganggu tidurnya
Imbuh. Ia tertidur pulas diatas karpet depan televisi yang sedang menyala.
“Mbah mau bicara penting
ja Mas.“
“Iya ya Mbah.“
“Di depan teras rumah aja
ya Mas.“
“Ya Mbah.“
“Gini loo Mas.“
“Baik Mbah.“
“Selama ini Mbah ngrepoti.
la besok pagi rencana pulang kampung. Kelihatannya sudah aman. Gunung Merapi
sudak tidak batuk lagi. Mas.“
“Tinggal disini selamanya
juga tidak apa-apa Mbah.“
“Gak lah Mas. Mbah harus
ngarap ladang dan sawah.“
“Baiknya bulan depan saja
Mbah.“
“Gak lah Mas. Mbah sudah
kangen dengan tanah leluhur.“
“Baik Mbah. Besok pagi ya
Mbah.“
“Iya Mas.“
“Nanti Mas siapkan bekal
untuk hidup disana ya Mbah.”
“Tidak usah malah ngrepoti
Mas.“
“Sudah aku siapkan sekedar
beras, gula pasir, teh, kopi juga satu dus sarimi ko Mbah.“
“Waduh-waduh malah
ngrepoti si Mas.“
“Gak lah Mbah.“
“Mbah titip si Imbuh ya
Mas.”
“Siap Mbah. Imbuh sudah
krasan tingal di sini.“
“Iya, betul Mas.“
“Sekarang malah rajin
berangkat sekolah Mbah.“
“Betul, Mbah melihat
sendiri Imbuh sangat dekat dengan Mas.“
“Titip si Imbuh ya Mas “
“Iya ya Mbah.“
“Kasihan si Imbuh itu Mas.“
“Maksud Mbah?“
Mbah Darmo Rejo diam tidak
menjawab. Diam membisu. Di depan teras sunyi sepi. Hanya semilir angin malam
berhembus pelan mengoyangkan daun bunga kenikir di pinggiran bibir jalan
kampungku. Kepalanya mbah Darmo Rejo menunduk kebawah. Maniknya berjalan turun
naik. Berkali-kali menelan ludah sambil mengeluarkan napas panjang. Menatapku
tajam di selah kedua bola matanya memerah penuh genangan air mata. Kemudian
bibirnya bergetar sambil berucap.
“Gini loo Mas.“
“Gimana Mbah?“
“Sebenarnya si Imbuh itu
anaknya ponaanku Supraptiwi.“
“Khahh. Anaknya Supraptiwi.“
Jawabku kaget.
“Betul Mas.“
“NIkah dengan siapa?”
“Belum nikah Mas.“
“Hamil dengan siapa?”
“Mbah tidak tahu Mas. Lima
tahun yang lalu ponaanku Supraptiwi datang kerumahku sudah hamil empat bulan.“
“ Laa hamil dengan siapa
Mbah?”
“ Mbah tidak tahu Mas.
Dahulu ketika ditanya istriku bisanya hanya menangis. Dan menangis itu aja Mas.“
“Masyaa Alloh kok bisa
hamil ya Mbah.“
“Ya sehabis pulang kerja
di Arab. Tidak berani pulang ke kampungnya. Takut nama kedua orang tuanya
tercemar nama baiknya. Makanya ponaanku kesini sampai melahirkan anak putrinya.
Bahkan kedua orang tuanya tidak tahu. Kemudian istriku memberi nama Imbuh.
Imbuh artinya : tambahan. Biar tambah anak tambah rezeqi. Istriku sangat sayang
sekali dengan Imbuh. Sayang umur istriku tidak panjang. Ketika si Imbuh sudah
bisa berjalan. Istriku tewas bersama muntahnya wedus gembel dari gunung Merapi.
Setelah Imbuh berumur dua tahun ponaanku Supraptiwi daftar kerja lagi di
Singapura. Sayang sekali. Rencana mau pulang kampung naik pesawat terbang.
Kecelakaan. Ia tewas bersama pesawat terbang yang ditumpangi. Lima bulan
kemudian Ayah dan Ibunya menysul tewas bencana tanah longsor. Gitu Mas asal
usulnya si Imbuh. Jangan marah ya Mas. Ponananku Supraptiwi orangnya baik. Tiap
bulan rajin ngirimi uang untuk kebutuhan hidup Mbah juga Imbuh.“
“Iya ya Mbah. Jadi tidak
tau siapa yang mengahamilinya?”
“Mbah tidak tahu. Kalau
ditanya hanya menangis dan menangis Mas.“
“Ya Alloh. Supraptiwi,
Supraptiwi.“
“Semenjak itu Mbah tidak
berani lagi menanyakan siapa yang menghamili ponaanku. Takutnya Ia stres. Edan.
Gemblung. Malah jadi repot semuanya Mas.“
“Iya ya Mbah.“ Jawabku
penuh dengan kekecewaan.
Sekitika itu diteras depan
rumahku. Hening. Sunyi. Sepi. Ada perasaan aneh dalam jiwaku. Aku dan mbah
Darmo Rejo salin membisu. Diam. Kemudian mbah Darmo Rejo menyapaku kembali.
“Loo ko malah diam ya Mas?“
“Gak Mbah.“
“Mbah kesini juga atas
amanat dari ponannku. Supraptiwi. Nanti kalu ada apa-apa suruh datang menemui
Mas. Ia bilang Mas orangnya baik. Pasti mau menerima. Makanya Mbah dengan Imbuh
kesini minta bantuan Mas. Maaf ya ngrepoti Mas.“
“Gak lah Mbah aku ikhlas.
Ihklas. Mbah.”
“Terima kasih ya Mas
semoga menjadi amal jariyahnya Mas.“
“Aminn.“ Jawabku sambil
mengambil napas panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar