Sabtu, 03 Juni 2023

Mbah Darmo Rejo Pamit Pulang Kampung

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-67

 

     Enam bulan kemudian Mbah Darmo Rejo izin pamit pulang kampungnya. Tinggal di wilayah kaki lereng gunung Merapi. Ingin merawat kembali ladang dan sawah sudah lama ditinggalkan. Wedus gembel: lahar panas dari gunung Merapi. Sudah tidak muncul kembali. Dari kampungku aku melihat gunung Merapi sudah tidak mengeluarkan wedus gembel lagi. Satu persatu warga dari kaki lereng gunung Merapi kembali ke tanah leluhurnya. Mengolah ladang, sawah juga ternak. Dinding langit tampak cerah berwarna membiru. Bersama gumpalan mega putih bersih menghiasi dinding langit wilayah gunung Merapi.

      Jam delapan malam lebih tiga puluh menit mbah Darmo Rejo mendekatiku. Berbisik pelan-pelan agar tidak menganggu tidurnya Imbuh. Ia tertidur pulas diatas karpet depan televisi yang sedang menyala.

“Mbah mau bicara penting ja Mas.“

“Iya ya Mbah.“

“Di depan teras rumah aja ya Mas.“

“Ya Mbah.“

“Gini loo Mas.“

“Baik Mbah.“

“Selama ini Mbah ngrepoti. la besok pagi rencana pulang kampung. Kelihatannya sudah aman. Gunung Merapi sudak tidak batuk lagi. Mas.“

“Tinggal disini selamanya juga tidak apa-apa Mbah.“

“Gak lah Mas. Mbah harus ngarap ladang dan sawah.“

“Baiknya bulan depan saja Mbah.“

“Gak lah Mas. Mbah sudah kangen dengan tanah leluhur.“

“Baik Mbah. Besok pagi ya Mbah.“

“Iya Mas.“

“Nanti Mas siapkan bekal untuk hidup disana ya Mbah.”

“Tidak usah malah ngrepoti Mas.“

“Sudah aku siapkan sekedar beras, gula pasir, teh, kopi juga satu dus sarimi ko Mbah.“

“Waduh-waduh malah ngrepoti si Mas.“

“Gak lah Mbah.“

“Mbah titip si Imbuh ya Mas.”

“Siap Mbah. Imbuh sudah krasan tingal di sini.“

“Iya, betul Mas.“

“Sekarang malah rajin berangkat sekolah Mbah.“

“Betul, Mbah melihat sendiri Imbuh sangat dekat dengan Mas.“

“Titip si Imbuh ya Mas “

“Iya ya Mbah.“

“Kasihan si Imbuh itu Mas.“

“Maksud Mbah?“

Mbah Darmo Rejo diam tidak menjawab. Diam membisu. Di depan teras sunyi sepi. Hanya semilir angin malam berhembus pelan mengoyangkan daun bunga kenikir di pinggiran bibir jalan kampungku. Kepalanya mbah Darmo Rejo menunduk kebawah. Maniknya berjalan turun naik. Berkali-kali menelan ludah sambil mengeluarkan napas panjang. Menatapku tajam di selah kedua bola matanya memerah penuh genangan air mata. Kemudian bibirnya bergetar sambil berucap.

“Gini loo Mas.“

“Gimana Mbah?“

“Sebenarnya si Imbuh itu anaknya ponaanku Supraptiwi.“

“Khahh. Anaknya Supraptiwi.“ Jawabku kaget.

“Betul Mas.“

“NIkah dengan siapa?”

“Belum nikah Mas.“

“Hamil dengan siapa?”

“Mbah tidak tahu Mas. Lima tahun yang lalu ponaanku Supraptiwi datang kerumahku sudah hamil empat bulan.“

“ Laa hamil dengan siapa Mbah?”

“ Mbah tidak tahu Mas. Dahulu ketika ditanya istriku bisanya hanya menangis. Dan menangis itu aja Mas.“

“Masyaa Alloh kok bisa hamil ya Mbah.“

“Ya sehabis pulang kerja di Arab. Tidak berani pulang ke kampungnya. Takut nama kedua orang tuanya tercemar nama baiknya. Makanya ponaanku kesini sampai melahirkan anak putrinya. Bahkan kedua orang tuanya tidak tahu. Kemudian istriku memberi nama Imbuh. Imbuh artinya : tambahan. Biar tambah anak tambah rezeqi. Istriku sangat sayang sekali dengan Imbuh. Sayang umur istriku tidak panjang. Ketika si Imbuh sudah bisa berjalan. Istriku tewas bersama muntahnya wedus gembel dari gunung Merapi. Setelah Imbuh berumur dua tahun ponaanku Supraptiwi daftar kerja lagi di Singapura. Sayang sekali. Rencana mau pulang kampung naik pesawat terbang. Kecelakaan. Ia tewas bersama pesawat terbang yang ditumpangi. Lima bulan kemudian Ayah dan Ibunya menysul tewas bencana tanah longsor. Gitu Mas asal usulnya si Imbuh. Jangan marah ya Mas. Ponananku Supraptiwi orangnya baik. Tiap bulan rajin ngirimi uang untuk kebutuhan hidup Mbah juga Imbuh.“

“Iya ya Mbah. Jadi tidak tau siapa yang mengahamilinya?”

“Mbah tidak tahu. Kalau ditanya hanya menangis dan menangis Mas.“

“Ya Alloh. Supraptiwi, Supraptiwi.“

“Semenjak itu Mbah tidak berani lagi menanyakan siapa yang menghamili ponaanku. Takutnya Ia stres. Edan. Gemblung. Malah jadi repot semuanya Mas.“

“Iya ya Mbah.“ Jawabku penuh dengan kekecewaan.

Sekitika itu diteras depan rumahku. Hening. Sunyi. Sepi. Ada perasaan aneh dalam jiwaku. Aku dan mbah Darmo Rejo salin membisu. Diam. Kemudian mbah Darmo Rejo menyapaku kembali.

“Loo ko malah diam ya Mas?“

“Gak Mbah.“

“Mbah kesini juga atas amanat dari ponannku. Supraptiwi. Nanti kalu ada apa-apa suruh datang menemui Mas. Ia bilang Mas orangnya baik. Pasti mau menerima. Makanya Mbah dengan Imbuh kesini minta bantuan Mas. Maaf ya ngrepoti Mas.“

“Gak lah Mbah aku ikhlas. Ihklas. Mbah.”

“Terima kasih ya Mas semoga menjadi amal jariyahnya Mas.“

“Aminn.“ Jawabku sambil mengambil napas panjang.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar