Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode ke-66
Hampir dua bulan suami budhenya Supraptiwi Darmo Rejo dan
Imbuh dari wilayah lereng gunung Merapi tinggal bersama di rumahku. Merasa
betah. Krasan. Akupun juga merasa senang. Rumahku menjadi hangat. Tidak sunyi
sepi sendiri di rumah. Bahkan Mbah Darmo Rejo rajin merawat kebun di belakang
rumahku. Rumputnya di cabut semuanya. Menanam pisang raja nangka, ambon wulan.
Juga cabe rawit di setiap batas pinggiran kebun. Kebunnya bersih banyak
ditanami terong, kacang panjang, kangkung darat. Ketika mau masak sayur tinggal
memetik di kebun belakang.
Imbuh gadis kecil berambut gimbal berusia sekitar lima tahun
lebih dua bulan. Wajahnya mulai bercahaya cerah. Giginya mulai putih bersih.
Setiap hari aku mandikan dengan air hangat. Aku selalu membasuh kaki tangan
juga wajahnya. Aku latih cara menggosok gigi dengan pasta gigi Pepsoden. Setiap
hari aku kramasi rambutnya yang gimbal. Agar lemas lembut mudah disisir.
Lama-kelamaan rambutnya lemas lembut mudah diatur juga disisir. Tinggal
sedikit. Ada sisa rambut gimbal sebelah kanan. Berwarna merah rambutnya kaku
sulit disisir. Menurut mbah Darmo Rejo harus melalui ritual khusus cukur rambut
gimbal. Mengundang kesepuhan dan tokoh agama memberikan doa-doa terbaik proses
cukur rambut gimbal agar selamat jauh dari balak : bencana.
Biasanya sebelum ritual cukur rambut gimbal. Harus menuruti
semua permintaan bocah berambut gimbal. Apapun permintannya harus dituruti oleh
keluarganya. Menurut leluhur sebagai syarat biar proses cukur rambut gimbal.
Selamat. Sebuah tradisi klasik natural yang masih berjalan baik di kawasan
lereng gunung Merapi dan sekitar Dieng. Bahkan sekarang menjadi kebuyaan
kearifan lokal tradisi cukur rambut gimbal. Mengangkat pariwisata dalam rangka
menambah kekayaan khasanah budaya Nusantara.
Sehabis mandi pagi seluruh tubuhnya aku suruh dilumuri bedak
Purol. Rambutnya aku kasih minyak rambut orang aring. Biar kelihatan hitam
mengkilat. Memakai kaos lengan panjang merah bergambar balon dengan jelana
panjang. Aku dan Imbuh duduk depan teras rumah sambil melihat anak-anak kampung
berangkat sekolah lewat depan rumahku. Sedangkan mbah Darmo Rejo sedang
membersihkan kebun belakang.
Aku melihat anak-anak mulai muncul keluar dari gang jalan
kampung. Berjalan bergandengan berangkat sekolah dikawal orang tuanya.
Tiba-tiba gadis kecil berambut gimbal si Imbuh mendekatiku. Memanggilku dengan
sebutan Ayah.
“Ayah…“
Aku kaget. Imbuh
memanggilku Ayah. Kemudian memanggilku lagi dengan sebutan sama.
“Ayah…“
“Ya ya ada apa Nak?“
“Anak-anak itu bajunya bagus. Mau ke mana ya Yah?“
“Sekolah.“
“Sekolah ya Yah?”
“Sekolah dimana?”
“Di Taman kanak-kanak.“
“Banyak temen-temennya ya Yah.“
“Banyak lah Nak.“
“Imbuh pingin sekolah Yah?“
“Ya ya Nak.“
“Kapan Yah?“
“Besok pagi daftar sekolah ya Nak.“
“Iya Yah. Kakung di mana Yah?“
“Di kebun Nak.“
“Kata Kakung Imbuh harus sekolah Yah.”
“Ya ya harus sekolah.“
“Bener ya Yah.“
“Bener lah Nak.“
“Kata kakung Imbuh harus panggil kakak. Ayah.“
“Gak apa apa Nak.“
“Boleh si Yah?”
“Boleh. Selamanya panggil Ayah gak apa apa Nak.“
“Bener Yah?“
“Bener Nak.“ Jawabku sambil aku dekap erat tubuhnya imbuh
yang kecil. Ia tersenyum sambil membalas pelukanku. Tapi ketika aku melihat
dari dekat kedua bola matanya Imbuh bercahaya persis kedua bola mata kekasihku
Supraptiwi yang tewas bersama pesawat terbang Sliwedari Air.
“Yah?“
“Apa Nak?”
“Imbuh pingin melihat sekolahan TK Yah.“
“Ayo.“
“Bener Yah?“
“Bener. Ayo ayo berangkat Nak.“
“Izin dulu dengan Kakung Ya Yah.“
“Ya ya.“
Imbuh langsung berlari kebelakang ke kebun minta izin kakung
melihat sekolahan TK dikampungku. Sebentar kemudian balik kerahku. Tanganku
langsung dipegang erat-erat. Sambil berucap.
“Imbuh sudah minta izin kakung Yah.“
“Ayo berangkat.“
“Ayoo Yah.“ Jawab Imbuh sambil memegang erat tanganku. Sambil
berjalan aku teringat pertama kali Imbuh datang kerumahku. Hanya memandangku
tajam. Diam membisu. Tidak pernah berucap sedikitpun. Bahkan merasa takut
ketika melihatku. Hampir dua minggu diam membisu. Bisanya cuma mengangguk dan
menggelengkan kepalanya saja. Mendekati minggu ketiga aku dekati dengan
perasaanku. Aku mandikan setiap pagi dengan air hangat. Gosok gigi.
Membersihkan kaki tangan dan wajah dengan sabun mandi. Lama kelamaan Imbuh
sudah terbiasa mandi pagi dan gosok gigi.
Aku menjadi teringat ketika mau mandi pagi. Ia selalu
berontak tidak mau mandi bahkan menangis menjerit-jerit. Apa lagi gosok gigi.
Tidak mau. Mungkin setelah meninggalnya budhenya Supraptiwi. Ia tidak ada yang
merawat. Suami almarhum yu Suliyem Darmo Rejo sibuk merawat ladang, sawah juga
ternak. Tidak sempat merawat dari mandi pagi. Gosok gigi apa lagi nyisir
rambutnya Imbuh. Ditambah lagi tempat tinggalnya di lereng kaki gunung Merapi.
Tanahnya keras berdebu. Berbatu jadas. Sumber mata air sangat sulit didapatkan.
Biasanya bocah-bocah lereng gunung kaki Merapi tidak pernah
mandi pagi. Sumber mata air bersih sangat sulit didapatkan. Sulit mendapatkan
titik sumber mata air. Untuk menghemat air cukup basuh muka. Berkumur. Kemudian
bermain dengan teman-temannya. Menangkap belalang. Mengusir burung-burung di
sawah. Sedudah itu menyusul membatu di kebun.
Sekarang Imbuh sudah berubah maun mandi sendiri. Gosok Gigi.
Bahkan sudah terbiasa membasuh muka juga kedua tangan dan kaki dengan sabun
mandi. Kulitnya tampak bersih kuning langsat. Bahkan tidak takut denganku.
Justru dari hari-kehari sangat dekat denganku. Imbuh yang dahulu pertama datang
hanya diam membisu tanpa bicara. Kepalanya hanya menggut-manggut dan
geleng-geleng.
Imbuh pro aktif. Interaktif : mau tanya ini tanya itu. Bahkan
memanggilku ayah atas pesan kakeknya Darmo Rejo. Jujur. Akupun tidak merasa
keberatan ketika Imbuh. Memanggilku
sebutan ayah. Walaupun sebetulnya aku belum pernah nikah resmi. Apa lagi
punya anak. Lamunanku buyar pecah berantakan ketika ujung kaki jempolku
tersandung batu di jalan.
“Yah sudah sampai sekolahan ni Yah.“
“Iya ya Nak.“
“Imbuh ingin bermain ayunan Yah.“
“Nanti aja nunggu pas masuk sekolah ya Nak.“
“Iya ya Yah, Imbuh pingin naik kuda-kudaan itu Yah?”
“Ya ya nanti Nak.“
“Imbuh pingin beli mainan boneka Yah.“
“Ya ya ayo milih kesana.“
“Ya Yah.“ Jawab Imbuh sambil menyeret tanganku kearah penjual
mainan yang digelar depan jalan sekolahan TK. Kelihatan Ibu-ibu muda yang
mengantar anaknya berangkat sekolah. Tersenyum kecut. Mrengut. Menjeb. Bahkan
mencibirku. Bukan hanya ibu-ibu muda. Akan tetapi salah satu ibu guru TK yang
masih muda belia. Mencibirku. Menjeb. Bahkan aku mendengar sendiri di balik
penjual mainan anak-anak. Menggunjingku.
“Kapan tu kawinnya si Dimas Prihatin tiba-tiba sudah punya
anak besar ya?”
“Iya tu katanya si bujangan, laa kok sudah punya anak.“
“Istrinya seperti apa. Cantikkah?“
“Mungkin dulu menghamili gadis. Tidak bertanggung jawab
sekarang anaknya diserahkan begitu saja.“
“Iya ya betul.“
“Lelaki buaaya. Brengsek. Mau enaknya tidak mau bertanggung
jawab.“
“Betul. Rasaiin sekarang punya anak banyak tanggungannya ya?“
“Ta kira Dimas Pripahitin laki-laki baik. Ternyata buaya ya?“
“Tuu lihaat tu. Tidak punya rasa malu main ke sini.“
“Iya tu anaknya malah panggil Ayah. Ayah. Koo?“
“Iya ya aku juga dengan sendiri panggil ayah. Ayah.“
“Aku juga dengar sendiri anak kecil itu panggil. Ayah.“
“Perempuannya mingkat kali.“
“Kecewa kali perempuan ya?“
“Hamil lalu ditinggal begitu saja.“
“Bener bener.“
“Tapi walupun Ia buaya. Lelaki brengsek. Masih punya hati
buktinya bangun sekolah TK dan Masjid.“
“Itu kan uangnya ayahnya.“
“Tapi tidak menutup kemungkinan uangnya dia juga Loo.”
“Iya ya. Laki-laki brengsek tapi masih punya peduli
pendidikan ya?
“Iya ya Bu?
“Kheemm.“
“Laa setelah tumbuh besar perempuan yang dihamili memberikan
anak itu ya?”
“Betul betul.“ Jawab serempak ibu-ibu muda yang duduk depan
teras sekolahan TK. Obrolan itu langsung berhenti. Ketika Ibu Guru Budiyati
datang dengan sepeda motor kesayangannya Honda bebek supra X berwarna silver
berhenti persis depan sekolahan TK. Obrolan pun langsung berhenti.
Tepat jam tujuh pagi anak-anak masuk sekolah. Aku mendengar
dari balik dinding ruang kelompok A.
Anak-anak bernyanyi dengan judul “Balonku“. Sedangkan di ruang kelompok B
anak-anak sedang menghapalkan doa mau tidur. Aku dan Imbuh masuh area bermain.
Ada ayunan. Plorotan. Mainan kuda-kudaan dari kayu. Panjat tali. Imbuh memilih
mainan ayunan. Aku mendorong dari belakang. Imbuh tersenyum penuh cahaya
keceriaan. Giginya mringis tampak putih bersih. Berteriak keras di depanku.
“Yah. Ayoo dorong terus Yah?”
“Ya ya.“ Jawabku sambil mendorong ayunan ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar