Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode
ke-69
Malam ini rembulan bercahaya terang
kemuning emas di tengah dinding langit luas. Cahaya rembulan malam mampu
menyinari alam semesta. Padang rembulan. Anak-anak kampungku ramai-ramai keluar
rumah bermain di plataran tanah. Petak umpet. Gobak sodor. Sudah manda. Ganepo
: adu lempar pecahan genting. Berlarian penuh ceria di bawah cahaya rembulan
malam. Aku melihat Supraptiwi berjalan ke arahku membawa jagung rebus hangat
dibungkus daun pisang kepok. Mengajakku duduk di bawah pohon kopi lokal sedang
berbunga. Ketika angin malam berhembus pelan aroma bunga kopi begitu harumnya.
“Mas?” Cetusnya
“Apa Dik?”
“Besok pagi nikah resmi, ya Mas?“
“Iya Dik. Makasih ya mau menerima
lamaranku.“
“Iya itu yang kutunggu Mas.“
“Makasih ya Dik.“
“Gak usah resepsi. Resepsian ya Mas?”
“Iya ya Dik. Sederhana saja.“
“Yang penting resmi ya Mas.“
“Betul Dik “
“Bagiku tidak penting resepsi. Dana tu
respsi digunakan yang lebih penting ya Mas.“
“Iya, mbangun TK ya Dik.“
“Betul Mas. Biar anak-anak kampung cerdas
bisa membaca menulis.“
“Iya Dik.“
“Rencana mau punya anak berapa ya Mas?“
“Tujuh ya, biar rumah kita ramai.“
“Dua saja lah Mas.“
“Lima aja gak apa-apa lah Dik.“
“Nanti kita repot membesarkan anak-anak
kita Mas.“
“Banyak anak banyak rezeqinya Dik.“
“Itu ma teori. Faktanya banyak anak banyak biyaya Mas.“
“Apa iya Dik?“
“Iya lah, zaman sudah berubah Mas. Manusia hidup butuh biyaya.“
“Baik. Jadi kita punya anak berapa Dik?“
“Dua aja cukup.“
“Tiga aja ya Dik.“
“Oke, gak apa-apa yang penting kita siap membesarkan yang
terbaik.“
“Iya, siapp Dik.“
“Anak adalah amanat Tuhan.“
“Betul Dik.“
“Mau jadi apa tergantung kedua orang tuanya yang mendidik.“
“Betul betul Dik.“
“Tidak cukup doa-doa saja tapi memberikan contoh terbaik.“
“Ya Dik.“
“Intinya tiga anak aja ya Mas.“
“Bener nih?”
“Bener Mas.”
“Janji?“
“Iya ya Mas,“ Jawab Supartiwi sambil merebahkan tubuhnya
dipangkuanku.
Aku belai rambutnya
yang hitam mengkilat. Kupicit-picit kepalanya. Kuusap kembalai rambutnya dari
depan kebelakang. Bau badannya harum sekali mengalahkan bau aroma bunga kopi.
Supraptiwi tersenyum dibawah cahaya rembulan malam. Kemudian bangun. Menatapku
tajam. Hembusan deru napasnya terasa hangat. Bibirnya basah memerah merekah.
Dekat dengan bibirku. Aku peluk erat-erat. Supraptiwi membalas pelukannku. Aku
cium keningnya. Pipinya dengan penuh perasaan cinta. Ketika aku mau melumat
bibirnya hangat memerah basah. Aku jatuh ketanah dibawah cahaya terang bulang.
Aku tersentak. Kaget. Ternyata hanya mimpi. Aku ketiduran duduk dikursi malas
teras depan rumahku.
Aku melihat Imbuh
berlari kecil mendekatiku. Jidatnya penuh butiran air keringat. Deru napasnya
ngos-ngossan. Habis bermain gobak sodor dengan teman-temannya dibawah cahaya
rembulan malam. Musim pandang bulan. Banyak yang pada nongkrong depan rumah
sambil menikmati indahnya cahaya rembulan malam. Betapa indah ciptan Tuhan
untuk kepentingan semua makhkluknya di dunia ini.
“Yah…“ Cetus Imbuh.
“Apa Nak?“
“Beli minuman ronde, Yah.“
“Oke, ini uangnya beli dua bungkus ya Nak.“
“Iya Yah.“
“Ayah yang banyak jaenya ya?“
“Ya Yah.“ Jawab Imbuh berlari kecil dibawah cahaya rembulan
malam. Membeli minuman ronde tempatnya yu Ginah.
Sebetulnya aku sangat kecewa dengan Supraptiwi. Kecewa. Tidak
jujur kepadaku. Kalau ia sudah punya anak. Tapi buat apa kecewa. Semua sudah
terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak bisa memutar kehidupan ini. Faktanya Imbuh anaknya. Situasinya sudah
berbeda. Kekasihku Supratiwi sudah tewas kemudian menyusul kedua orang tuanya.
Masa aku harus menggugat. Siapa ? yang menghamili Supraptiwi. Siapa? ayahnya
Imbuh. Imbuh bukan anak kandungku. Bukan anak biologisku. Begitu juga bukan
anak dari buah cintaku. Aku belum pernah menyentuh tubuhnya Supraptiwi. Belum
pernah.
Tapi aku sudah terlanjur sayang dengan Imbuh. Sambil menunggu
Imbuh membawa minuman ronde hangat. Aku buka hpku. Aku cari fail waktu kirim w
a dengan Supraptiwi sebelum naik pesawat terbang dari Singapura.
Aku menemukan kalimat yang menyentuh batinku di layar Hpku.
“Aku titip ya Mas.“
Aku menjawab “Ya, siap!”
“Bener ya Mas “
“Siap, Dik.“
“Aku titip ya Mas.“
Aku baca berulang-ulang
kalimat itu “Aku titip ya Mas?“ dari Supraptiwi. Apakah ?. Gadis kecil berambut
gimbal si Imbuh yang dimaksud. Titipannya, itu?
Cahaya rembulan
malam semakin bercahaya cerah tampak bayangan rumah, pohon dihalaman rumah.
Imbuh anak tidak berdosa. Suci. Bersih. Anak tidak berdosa. Bukan anak jadah.
Imbuh lahir tanpa Ayah. Aku merasa kasihan. Jelas yang lebih tahu dan paham
betul adalah sipelakunya sendiri. Buat apa aku memfonis diri sendiri. Penasaran.
Kecewa. Siapa? yang menghamili Supraptiwi. Siapa? Ayahnya Imbuh. Bahkan lebih
extrimnya menfonis anak haram. Justru membuang energi positif. Imbuh sudah
menjadi keluargaku. Imbuh amanat dari Tuhan. Juga sebagian kecil ciptaan Tuhan.
Aku tersentak dari lamunanku. Pecah buyar berantakan. Ketika Imbuh berlari
sambil memanggilku.
“Yah, Yah, ini rondenya.“
“Ya makasih ya Nak.“
“Ini punya Ayah banyak jahenya.“
“Makasih ya Nak.“
“Masama, Yah.“ Jawab Imbuh sambil mencium pipi kananku.
Kemudian memelukku rapat. Aku menatap tajam kedua bola mata Imbuh. Persis kedua
bola mata kekasihku Supraptiwi. Aku cium kedua bola mata itu. Imbuh tersenyum
dipangkuanku.
“Yah, Imbuh punya sesuatu.“
“Apa ya Nak.“
“Sebentar ya, Imbuh
ambilkan dulu.“
“Ya cepet ya Nak.“
“Ya, bentar Yah.“ Jawab imbuh turun dari pangkuanku berlari
masuk kamar tidur. Sebentar kemudian keluar membawa bungkusan dari taplak.
Duduk lagi dipangkuanku.
“Ini loo Yah.“
“Apa si isinya Nak.“
“Ada deh, Yah.“ Jawab Imbuh sambil membuka bungkusan dari
taplak. Pelan-pelan sekali cara membukanya. Ketika dibuka. Aku kaget. Detak
jantungku berdetak keras. Keringat dinginku keluar semuanya. Jidatku basah.
Bibirku bergetar. Ternyata isinya lukisan kedua bola mata kekasihku Supraptiwi.
Aku yang melukis sewaktu tinggal di daerah Bali. Ia membeli lukisan itu cukup
mahal sekali. Bukan hanya lukisan tapi ada lima botol parfum yang biasa
dipakainya seluruh baju dan tubuhnya. Aku sangat paham bau parfum itu.
“Ini Yah isinya, bagus ya Yah.“
“Iya Nak.“
“Katanya kakung ini lukisan kedua bola mata Biungku. Laa yang
melukis kekasih calon suami Biungku, Yah?“
“Ya.“ Jawabku pelan
“Cantik banget. Juga indah kedua bola mata Biungku ya, Yah.“
“Iya Nak.“
Sekita itu aku diam. Sunyi sepi di depan teras rumahku. Imbuh
mendekati berbisik lembut ditelinga sebelak kananku. Pelan sekali.
“Loo kok malah menangis ya Yah.“
“Gak lahh Nak.“ Aku peluk lagi si Imbuh. Sambil mengusap air
mataku. Imbuh tidak tau kalau lukisan itu aku yang melukis. Imbuh membalas pelukanku.
Rapat sekali. Badannku terasa hangat semua. Aku pandangani kedua bola matanya
Imbuh. Aku pandangi lagi kedua bola mata itu. Mampu memberikan energi positif
dalam hidupku bersama gadis kecil berambut gimbal si Imbuh. Imbuh tersenyum
cerah dibawah cahaya rembulan malam. Sambil berucap.
“Yah, siapa sii yang melukis Biungku, Yah?“
Aku tidak mampu menjawab. Imbuh langsung aku peluk erat erat
sampai seluruh tubuhku merasa hangat. Diatas langit terang ada cahaya rembulan
malam berwarna kemuning keemasan tampak seleres bayangan senyuman kekasihku
seolah berucap “Terima kasih ya Mas?”
************
T A
M A T **********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar