Selasa, 16 Mei 2023

Tamu

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum.  Episode ke-65

 

Awal bulan Mei seharusnya cuaca terang. Tetapi malah datang hujan gerimis di kampungku. Perubahan cuaca alam tidak bisa ditebak. Seharusnya musim terang malah hujan. Sebaliknya musim hujan malah terang. Cuaca alam berubah cepat faktor perilaku hidup manusia. Sudah tidak bisa bersahabat dengan alam lingkungan sekitarnya. Bisanya hanya merusak seisi alam. Bukan menjaga apa lagi merawat ekosistem alam. Justru kebanyakan malah merusak demi kepentingan pribadi tanpa memikirkan dampak generasi akan datang.

Ratusan hektar hutan dibabat gundul. Pinggiran pantai dijadikan tanah daratan. Program reklamasi di mana-mana. Dibangun puluhan hotel, motel, diskotik, kafe, rumah pijat dan mandi uap bahkan biro jasa sex. Ditambah lagi bangunan rumah kaca tumbuh subur seperti rumput ilalang. Semua isi kandungan gunung diambil untuk bahan baku semen. Persawahan sumber penghasil padi. Dahulu terkenal terbesar se Asia Tengara. Menjadi tanah kering di jual perkapling. Dibangun kawasan perumahan. Tebing juga anakan gunung sebagai tadah hujan dibabat habis demi program jalan tol. Manusia nyaris sudah tidak bisa bersahabat lagi dengan alam. Wajar. Bencana selalu datang bertubi-tubi. Sebab ulah perilaku manusia itu sendiri.

Dari subuh hujan gerimis sampai menjelang terbitnya cahaya matahari pagi. Biasanya dinding langit berwarna membiru cerah berhias cahaya kemerahan. Bersama puluhan burung-burung berterbangan bebas lepas dibawah cahaya matahari pagi. Hujan malah semakin deras membasahi plataran rumahku. Aku duduk depan teras sambil minum teh tawar panas. Bersama satu piring jagung rebus hangat menemani pagi bersama derai air hujan.

Biasanya anak-anak TK berangkat sekolah lewat depan rumahku. Sekarang sepi hari minggu libur sekolah. Hanya beberapa orang yang lewat sambil membawa sabit cangkul memakai mantol plastik berangkat kesawah. Hampir lima jam hujan belum reda. Malah semakin deras. Semoga hujan membawa berkah. Doa-doa terijabahi Tuhan. Aku harus menunggu terang. Rencana hari ini aku mau melukis beraneka ragam nama buah-buahan di dinding TK. Tapi hujan malah semakin deras menunggu terang.

Tidak terasa sudah empat tahun TK itu berdiri. Memberikan nilai manfaat bagi anak-anak kampungku. Melahirkan kepedulian pentingnya pendidikan. Berdampak tumbuh subur minat belajar dikampungku. Baik masyarakat juga wali murid TK. Anak-anak kampungku mulai tumbuh cinta kebersihan. Wajahnya bercahaya cerah. Penuh dengan cita-cita setinggi menembus langit. Ada yang ingin menjadi Guru, Dokter, Dosen, Tentara dan Polisi. Ditambah lagi berdirinya Masjid mampu memberikan peningkatan beribadah kepada Tuhan. Sudah empat kali digunakan ibadah sholat berjamaah Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap bulan jamaah bertambah. Masjid bukan hanya untuk tempat ibadah sholat tapi sebagai media tarbiyah : pendidikan demi mencerdaskan jamaah dalam ukuwah islamiah juga kerukunan beragaman. Bukan sebaliknya digunakan untuk berpolitik praktis di Masjid.

Dibawah air hujan deras batinku berucap terima kasih, “Pertama pada bapak Suherman ayahku juga kekasihku Supraptiwi begitu banyak membantu terwujudnya bangunan  Masjid dan TK. Juga urun rembung tujuan Pendidikan Nasional. Mudah- mudahan menjadi  amal jariyah, aamin.”

Jam dua siang hujan reda. Terang benderang. Dinding langit cerah bersama cahaya matahari bersinar terang. Aku keluar rumah membawa alat melukis menuju TK. Melukis tokoh dongen fabel : binatang. Kancil. Beberapa tempat ibadah Islam, Kristen, Buda, Hindu dan Konghucu  di dinding TK.  Bertujuan memberikan edukasi : pendidkan sedini mungkin tentang tempat ibadah. Kedepan agar pola berfikirnya selalu mencintai semua tempat ibadah dimanapun. Kapanpun. Biar hidup dami tentram adem ayem tentrem. Tidak konflik antar agama justru merusak peradaban manusia.

Saking asyiknya melukis aku tidak mendengar namaku dipangil-panggil kang Dalijo tetanggaku. Akhirnya Dalijo memegang pundakku sambil berucap.

“Mas, Mas dipanggil dari tadi kok ya diam saja si?“

“O ya ya,“ jawabku sambil menaruh kwas.

“Ada tamu, Mas.“

“Siapa Kang?”

“Kelihatannya dari  gunung.“

“Akhh yang bener aja Kang.“

“Iya ko, kelihatan penampilannya.“

“Laki-laki atau perempuan.“

“Laki-laki dan gadis kecil berambut gimbal, Mas.“

“Laa siapa ya Joo?”

“Ya gak tau lah Mas.“

“Gak  ditanya dari mana.“

“Iya ya katanya dari lereng gunung Merapi wilayah Muntilan.“

“Muntilan.“

“Iya salah satu wilayah Kabupaten Magelang, Mas.“

“Siapa ya Joo?”

“Ya gak tau lah  Mas. Cepet pulang  Mas.“

“Ya ya,“ jawabku sambil memasukan semua alat melukis dalam tas kresek hitam. 

Kang Dalijo langsung pamit mau ke sawah mencari pakan bebeknya. Biasanya mencari keong dipinggiran persawahan kampung untuk pakan bebeknya. Aku berjalan pulang kerumah. Benar kata tetanggaku Dalijo. Dua orang duduk depan rumahku. Baju dan rambutnya kumal penuh debu. Berwarna putih memenuhi semua anggota tubuhnya. Kedua telanjang kaki tanpa sendal. Duduk dipinggiran bibir jalan rumahku. Gadis kecil berambut gimbal membawa bungkusan dibungkus kain taplak.

Aku mendekatinya sambil menyapa.

“Nyuwun sewu Mbah mohon maaf nunggu aku ya.“

Tamuku masih diam sambil memegang  tangan gadis kecil berambut gimbal. Aku dekati lagi kemudian menawarkan masuk kerumahku.

“Monggo-monggo pinarak Mbah.“

Tamuku masih diam. Memandangku tajam. Dari ujung kaki sampai rambutku. Kemudian berucap.

“Bener ini rumahnya Dimas Prihatin temen ponaaku Supraptiwi.“

“Iya ya betul-betul Mbah. Mari masuk sini. Masuk sini,“ jawabku.

Aku baru pertama kali bertemu dengan oang ini tapi. Ada perasaan aneh ketika menyebutkan Supraptiwi. Temenku. Aku menjadi penasaran. Aku persilahkan duduk di ruang tamu. Gadis kecil beramabut gimbal dengan giginya berwarna kuning. Raut wajahnya hitam penuh debu. Tidak berani memandangku. Menundukkan kepala kebawah sambil memeluk rapat bungkusan dari taplak.

Aku langsung ke dapur membuat teh dan kopi panas. Untung aku masih menyimpang roti pisang dilemari makan. Aku menuju ruang tamu membawa teh, kopi panas juga satu piring roti pisang.

“Monggo monggo diminum Mbah.“

“Iya ya matur suwun Mas.“

“Monggo Mbah. Ayoo dik diminum.“

“Jadi bener ini Dimas Prihatin.“

“Betul Mbah.“

“Temennya ponaanku si Supraptiwi ya?“

“Betul.  Mbah namanya siapa?”

“Darmo Rejo Mas. Suaminya budenya Supraptiwi.”

“Bude Suli ya Mbah.“

“Betul. Mas budenya bernama Suliyem bisanya dipanggil yu Suli.“

“Iya Supraptiwi pernah cerita punya bude Suli.“

“La ini aku suaminya Mas.“

“La bude Suli di mana Mbah?“

  Mbah Darmo Rejo diam. Tidak menjawab. Kepalanya menunduk kebawah. Bahkan kedua bola matanya memerah basah. Diam. Kemudian memandangku tajam. Sambil berucap.

“Sudah meninggal dunia Mas.“

“Meninggal dunia.“

“Iya Mas, bersama muntahnya lahar panas gunung Merapi. Tidak sempat menyelamatan diri. Bahkan juri kunci gunung Merapi Simbah Marijan ikut tewas.  Ada tiga desa habis terbakar hangus lahar panas, Mas.”

“Innalilalhi,  Mas doakan khusnul khotimah ya Mbah.“

“Terima kasih Mas.“

“Gini Mas.“

“Iya Mbah.“

“Sekarang di kampung Mbah. Gunung Merapi sedang batuk lagi. Setiap hari mengeluarkan lahar panas. Merusak tanaman sayur dan cabe. Belum lagi musibah ponaanku Supraptiwi meninggal dunia. Jadi sudah tidak ada kiriman uang selama empat tahun. Menyusul satu tahun kemudian istriku meninggal dunia. Mbah butuh biyaya untuk membesarkan anak putri ini Mas. Di kampung Mbah sedang musim paceklik. Mas.“

“Siap Mbah dengan senang hati.“

“Terima kasih ya Mas.“

“Baiknya tinggal disini  saja ya Mbah.“

“Nanti malah ngrepoti Mbah.“

“Tidak Mbah. Ada dua kamar kosong ko Mbah.“

“Bener gak ngrepoti Mas.“

“Tidak lah Mbah.“

“Bener.“

“Bener Mbah.  Mas pol ihklasnya Mbah tinggal di sini.“

“Tapi cuma sementara ko Mas. Sambil nunggu aman dari gunung Merapi.“

“Selamanya juga tidak apa-apa Mbah.“

“Laa nanti yang merawat kebun, ternak dan rumah siapa Mas?“

“O iya ya. Tinggal dirumah sini saja sambil menunggu aman dari gunung Merapi ya Mbah.“

“Iya ya Mas.“

“Laa adik ini namanya siapa ya Mbah?“

“Imbuh.“

“Imbuh ya Mbah.“

“Iya Imbuh,“ jawab Mbah Darmo Rejo sambil menundukkan kepalanya. Maniknya berjalan naik turun. Menelan ludah. Wajahnya pucat. Mengambil napas panjang. Sambil membelai rambut gadis kecil berambut gimbal. Melepaskan napas panjang. Kemudian mengambil napas panjang lagi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Seakan menyimpan beban batin yang berat. Kemudian berucap lirih didepanku dengan kedua bola mata yang merah basah.

“Cerita sangat panjang Mas.“

“Maksudnya Mbah?“

“Ya si Imbuh ini Mas,“ jawab Mbah Darmo Rejo tidak berani menatapku. Kepala menunduk melihat kebawah. Diam membisu di ruang tamuku. Gadis kecil berambut gimbal memeluk erat bungkusan kain taplak itu. Aku merasa penasaran sekali dengan gadis kecil berambut gimbal. Wajahnya hitam. Giginya berwarna kuning.

“Apa isinya dalam bungkusan kain taplak itu. Kok seperti lukisan lengkap dengan figura berukuran panjang tujuh puluh lima lebar lima puluh senti meter. Bukan hanya itu. Tapi siapa sebenarnya Imbuh ini. Dari dahalu budenya Supraptiwi bernama Bude Suli. Mandul. Tidak bisa punya anak.“ Batinku sambil mencuri pandang gadis kecil berambut gimbal bernama Imbuh.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar