Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode ke-63
Dua bulan setelah kejadian bencana alam
tanah longsor di desa Mungangsari. Desa tersebut hilang tertutup tanah longsor
menjadi tempat makam umum. Untuk warga kampungku juga warga dari Lesmana,
Karangbawang, Sipete. Memudahkan warga memakamkan salah satu keluarga yang
meninggal dunia. Menurut beberapa tokoh kesepuhan kampung malah lebih dekat.
Cukup sepuluh menit. Sudah nyampai tidak harus nyabrang sungai
Kaliumbul naik tebing wilayah Karangbawang. Apa lagi sampai di tanah makam
dahulu hampir setengah jam waktunya.
Hari ini udara kampungku sangat sejuk
segar. Plataran dinding membiru cerah berhias gumpalan mega memutih berarak.
Persis sisik ikan kali. Katanya kesepuhan kampung kalau dinding langit berwarna
biru bersama gumpalan mega berwarna putih. Bertanda ikan-ikan di sungai
bermunculan dibalik batu, semak-semak. Mudah ditangkap. Makanya banyak
anak-anak kampung mencari ikan kali dengan alat seadanya.
Tidak harus diracun dengan
potas. Apa lagi memakai pahan peledak. Berakibat merusak ekosistem kehidupan
alam sekitarnya. Bisa merugikan manusia itu sendiri. Aku melihat anak-anak kampung berjalan di
pinggiran jalan bibir sungai. Mengingatkan kawan kecilku Jitong. Ahli mencari
ikan dengan kedua tangannya. Mampu menangkap ikan dari balik batu bahkan di
balik semak-semak. Jitong kawan kecilku tewas pada musim pandemi covid 19. Di
saat ia mencari batu akik di wilayah Jawa Barat.
Aku melihat gundukan tanah
hitam. Menimbun rumah Ayahnya Supraptiwi dan tetangga lainnya. Tewas. Bersama
warga lainnya tidak berhasil ditemukan jasadnya tertimbun tanah. Nyaris tidak
kelihatan bekasnya. Hanya bekas sisa-sisa tanah longsor padat kaku keras. Aku
berjalan di pinggiran jalan desa Mungangsari. Tidak ada lagi pohon durian,
blimbing, manggis, mangga dan jambu air. Juga deretan tanaman bunga kembang
kertas, dahlia, kuping gajah tumbuh subur setiap bibir jalan setapak menuju
desa Mungangsari.
Ketika aku mau menjemur
jagung di depan halaman rumah. Aku melihat bapak Darto mantan Kadus. Berjalan
menunduk sambil membawa rumput diatas kepalanya. Mengingatkan pesan Biung
tentang penawaran tanah miliknya. Kabar slentingan dari wargaku sampai sekarang
tanah pekarangnya tidak ada yang berani menawar. Terhitung cukup mahal untuk
warga kampungku.
“Pinarak, pinarak Mbah.“ Sapaku.
“Wee ladalah Dimas Prihatin too?”
“Iya Mbah.“
“Panen jagung ya Mas?“
“Iya Mbah.“
“Syukurlah. Mbah ikut berduka cita atas
meninggalnya Biungmu ta dongakna khusnul khotimah. Ahli jannah ya Mas.“
“Suwun suwun Mbah, monggo pinarak.“
“Ya ya,“ jawab bapak Darto mantan Kadus.
Sambil meletakkan rumput dan sabitnya. Sabitnya ditancapkan di tengah rumput.
Mencuci tangan kaki kemudian masuk di ruang tamu. Aku masuk dapur masak air
panas untuk menjamu mbak Darto. Kemudian menyusul ke ruang tamu.
“Mau minum kopi atau teh manis ya Mbah?“
“Kopi hitam panas tapi tidak usah pakai
gula.“
“Iya ya Mbah.“
“Terima kasih ya Mas?“
“Sama sama Mbah.“
Sebentar kemudian suara air mendidih
terdengar sampai ruang tamu. Bertanda air sudah matang. Aku ke dapur buat kopi
hitam pahit tanpa gula. Kemudian ke ruang tamu lagi. Membawa kopi panas pahit
juga satu piring pisang goreng raja nangka.
“Ini mbah kopi juga pisang goreng hangat.“
“Terima kasih ya Mas.“
“Monggo Mbah diminum.“
“Iya ya,“ jawab mbah Darto sambil meracik
lintingan klembak menyan.
“Mohon maaf Mbah mau matur.“
“Iya ya ada apa Mas?“
“Apa benar Mbah mau menjual tanah?“
“Betul betul Mas.“
“Tanah pekarang tepi jalan itu ya Mbah?“
“Iya, tapi tidak ada yang berani menawar.“
“Mintanya berapa si Mbah?“
“Seratus lima puluh juta Mas.“
“Untuk beli sawah ya Mbah?“
“Gak Mas.“
“Ibadah haji atau umroh
ya, Mbah?“
“Gak Mas,“ jawabnya sambil
menunduk.
Aku melihat guratan garis wajah mbah Darto
menyimpan beban berat. Tampak garis jidatnya berlipat-lipat. Mengambil napas
panjang. Kemudian menunduk lagi. Bahkan kepalanya mengeleng-gelengkan kekanan
kekiri. Mengambil napas panjang lagi.
Mengeluarkan napas. Menunduk lagi.
“Monggo mongo diminum kopinya Mbah.“
“Iya ya Mas.“
“Pisang gorengnya masih
hangat Mbah.“
“Terima kasih Mas.
Sebetulnya pekarangan itu tidak Mbah jual. Tapi..?”
“Tapi apa Mbah?“
“Anakku paling bontot si
Kimin. Kejeblukan.“
. “Maksud Mbah?“
“Kejeblukan nyalon anggota
Dewan. Tidak jadi. Kapusan. Dibohongi gogol-gogolnya : Tiem suksesnya. Sehingga
anak lanangku beban hutangnya banyak. Nyaur utang dibeberapa konveksi dan
percetakan : pesen kaos belum bayar, pesen kalender, benner, stiker, spanduk.
Belum yang lain-lainnya. Mumet. Mas.“
“Oo gitu ya Mbah.“
“Sawah, pekarang, tegalan
juga puluhan tanaman kayu Mahoni, Albasia habis dijual utuk biyaya kampanye
nyalon Dewan.”
“Sabar sabar ya Mbah.“
“Iya Mas. Istrinya malah
gugat cerai sebab hartanya habis untuk calon Dewan.“
“La mas Kimin sekarang
dimana Mbah.”
“Perawatan di Rumah Sakit
Jiwa Magelang Mas.“
“Kasiham mas Kimin.“
Batinku.
“Monggo diminum kopinya
Mbah,“ sapaku lagi.
“Iya ya Mas.“
Aku melihat wajah mbah
Darto agak cerah ketika minum kopi panas. Menghisap lintingan klembak menyan.
Asapnya dimainkan berbentuk lingkaran. Bau asap lintingan klembak menyan khas
warga kampungku.
“Begini Mbah kalau
pekarang itu Dimas bayar, gimana?”
“Akhh yang bener aja Mas.“
“Aku bayar Mbah.“
“Kalau Mas yang bayar.
Mbak kurangi dua puluh lima juta rupiah gak popo.“
“Bener Mbah?“
“Bener Mas.“
“Seratus dua puluh lima
juta rupiah ya Mbah.“
“Iya ya. Tapi bayare kes
Mas.“
“Siapp Mbah.“
“Bener Mas.“
“Alhamdulillah duh Gusti
Alloh.“
“Mas bayar kes tanah
pekarangan itu Mbah.“
“Suwun, suwun ya Mas.“
“Gimana kalau sehabis
minum kopi, sowan bapak RT, RW bapak
Kadus.“
“Untuk apa Mas?“
“Membuat surat kesaksian
jaul beli tanah pekarang Mbah.“
“Akhh yang bener aja Mas?“
“Bener Mas.“
“Serius nih Mas?“
“Serius Mbah.“
“Suwun banget ya Mas,“ jawab
mbah Darto langsung memelukku erat-erat sekali di tengah kepulan asap klembak
menyan di ruang tamuku.
Setelah minum kopi Aku dan
mbah Darmo menuju rumah bapak RT, RW dan bapak Kadus. Dalam perjalan mbah Darmo
kelihatan begger. Bombong. Semringah wajahnya. Seakan terlepas bebas beban
hidupnya. Aku melirik mbah Darto berjalan sambil tersenyum. Mengandeng tanganku
berjalan lurus masuk hutan pinus menuju rumah bapak RT, RW dan Kadus. Transaksi
jual beli tanah pekarangan miliknya mbah Darto.
Hatiku mekar berbunga
anganku melambung tinggi keangkasa seakan menembus dinding langit luas. Amanat
bapak Suherman ayah kandungku mencair sudah. Impian hidupnya ingin membangun Masjid
dikampungku. Terlaksana. Tanah pekarangan miliknya mbah Darto lunas terbayar.
Lokasi tanah pekerangannya luas. Rencanaku setelah selesai membangun Masjid.
Samping kanan tanah pekarang Masjid akan aku bangun Taman Kanak Kanak.
Mewujudkan impian juga amanat Supraptiwi.
Uang dari Supraptiwi sudah
dititipkan aku. Dalam bentuk ATM. Belum lagi tambahan uang jasa raharja juga
santunan uang duka dari maskapi Sliwedari Air. Aku kira lebih cukup. Ditambah
uang tabunganku. Cukup. Membangun Masjid juga taman kanak kanak. Biasanya anak
anak kampungku langsung masuk klas satu SD. Makanya bisa membaca menulis
setelah naik klas dua bahkan klas tiga. Sebab tidak punya bekal ilmu dari awal
masuk ke SD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar