Rabu, 10 Mei 2023

Amanat

 

pixabay.com

Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-63

 

      Dua bulan setelah kejadian bencana alam tanah longsor di desa Mungangsari. Desa tersebut hilang tertutup tanah longsor menjadi tempat makam umum. Untuk warga kampungku juga warga dari Lesmana, Karangbawang, Sipete. Memudahkan warga memakamkan salah satu keluarga yang meninggal dunia. Menurut beberapa tokoh kesepuhan kampung malah lebih dekat. Cukup sepuluh menit. Sudah nyampai tidak harus nyabrang sungai Kaliumbul naik tebing wilayah Karangbawang. Apa lagi sampai di tanah makam dahulu hampir setengah jam waktunya.

     Hari ini udara kampungku sangat sejuk segar. Plataran dinding membiru cerah berhias gumpalan mega memutih berarak. Persis sisik ikan kali. Katanya kesepuhan kampung kalau dinding langit berwarna biru bersama gumpalan mega berwarna putih. Bertanda ikan-ikan di sungai bermunculan dibalik batu, semak-semak. Mudah ditangkap. Makanya banyak anak-anak kampung mencari ikan kali dengan alat seadanya.

Tidak harus diracun dengan potas. Apa lagi memakai pahan peledak. Berakibat merusak ekosistem kehidupan alam sekitarnya. Bisa merugikan manusia itu sendiri.  Aku melihat anak-anak kampung berjalan di pinggiran jalan bibir sungai. Mengingatkan kawan kecilku Jitong. Ahli mencari ikan dengan kedua tangannya. Mampu menangkap ikan dari balik batu bahkan di balik semak-semak. Jitong kawan kecilku tewas pada musim pandemi covid 19. Di saat ia mencari batu akik di wilayah Jawa Barat.

Aku melihat gundukan tanah hitam. Menimbun rumah Ayahnya Supraptiwi dan tetangga lainnya. Tewas. Bersama warga lainnya tidak berhasil ditemukan jasadnya tertimbun tanah. Nyaris tidak kelihatan bekasnya. Hanya bekas sisa-sisa tanah longsor padat kaku keras. Aku berjalan di pinggiran jalan desa Mungangsari. Tidak ada lagi pohon durian, blimbing, manggis, mangga dan jambu air. Juga deretan tanaman bunga kembang kertas, dahlia, kuping gajah tumbuh subur setiap bibir jalan setapak menuju desa Mungangsari.

Ketika aku mau menjemur jagung di depan halaman rumah. Aku melihat bapak Darto mantan Kadus. Berjalan menunduk sambil membawa rumput diatas kepalanya. Mengingatkan pesan Biung tentang penawaran tanah miliknya. Kabar slentingan dari wargaku sampai sekarang tanah pekarangnya tidak ada yang berani menawar. Terhitung cukup mahal untuk warga kampungku.

      “Pinarak, pinarak Mbah.“ Sapaku.

     “Wee ladalah Dimas Prihatin too?”

     “Iya Mbah.“

     “Panen jagung ya Mas?“

     “Iya Mbah.“

     “Syukurlah. Mbah ikut berduka cita atas meninggalnya Biungmu ta dongakna khusnul khotimah. Ahli jannah ya Mas.“

    “Suwun suwun Mbah, monggo pinarak.“

    “Ya ya,“ jawab bapak Darto mantan Kadus. Sambil meletakkan rumput dan sabitnya. Sabitnya ditancapkan di tengah rumput. Mencuci tangan kaki kemudian masuk di ruang tamu. Aku masuk dapur masak air panas untuk menjamu mbak Darto. Kemudian menyusul ke ruang tamu.

    “Mau minum kopi atau teh manis ya Mbah?“

    “Kopi hitam panas tapi tidak usah pakai gula.“

    “Iya ya Mbah.“

    “Terima kasih ya Mas?“

    “Sama sama Mbah.“

    Sebentar kemudian suara air mendidih terdengar sampai ruang tamu. Bertanda air sudah matang. Aku ke dapur buat kopi hitam pahit tanpa gula. Kemudian ke ruang tamu lagi. Membawa kopi panas pahit juga satu piring pisang goreng raja nangka.

    “Ini mbah kopi juga pisang goreng hangat.“

    “Terima kasih ya Mas.“

    “Monggo Mbah diminum.“

   “Iya ya,“ jawab mbah Darto sambil meracik lintingan klembak menyan.

   “Mohon maaf Mbah mau matur.“

   “Iya ya ada apa Mas?“

   “Apa benar Mbah mau menjual tanah?“

   “Betul betul Mas.“

    “Tanah pekarang tepi jalan itu ya Mbah?“

   “Iya, tapi tidak ada yang berani menawar.“

   “Mintanya berapa si Mbah?“

  “Seratus lima puluh juta Mas.“

“Untuk beli sawah ya Mbah?“

“Gak Mas.“

“Ibadah haji atau umroh ya, Mbah?“

“Gak Mas,“ jawabnya sambil menunduk.

    Aku melihat guratan garis wajah mbah Darto menyimpan beban berat. Tampak garis jidatnya berlipat-lipat. Mengambil napas panjang. Kemudian menunduk lagi. Bahkan kepalanya mengeleng-gelengkan kekanan kekiri. Mengambil napas panjang lagi.  Mengeluarkan napas. Menunduk lagi.

  “Monggo mongo diminum kopinya Mbah.“

“Iya ya Mas.“

“Pisang gorengnya masih hangat Mbah.“

“Terima kasih Mas. Sebetulnya pekarangan itu tidak Mbah jual. Tapi..?”

“Tapi apa Mbah?“

“Anakku paling bontot si Kimin. Kejeblukan.“

. “Maksud Mbah?“

“Kejeblukan nyalon anggota Dewan. Tidak jadi. Kapusan. Dibohongi gogol-gogolnya : Tiem suksesnya. Sehingga anak lanangku beban hutangnya banyak. Nyaur utang dibeberapa konveksi dan percetakan : pesen kaos belum bayar, pesen kalender, benner, stiker, spanduk. Belum yang lain-lainnya. Mumet. Mas.“

“Oo gitu ya Mbah.“

“Sawah, pekarang, tegalan juga puluhan tanaman kayu Mahoni, Albasia habis dijual utuk biyaya kampanye nyalon Dewan.”

“Sabar sabar ya Mbah.“

“Iya Mas. Istrinya malah gugat cerai sebab hartanya habis untuk calon Dewan.“

“La mas Kimin sekarang dimana Mbah.”

“Perawatan di Rumah Sakit Jiwa Magelang Mas.“

“Kasiham mas Kimin.“ Batinku.

“Monggo diminum kopinya Mbah,“ sapaku lagi.

“Iya ya Mas.“

Aku melihat wajah mbah Darto agak cerah ketika minum kopi panas. Menghisap lintingan klembak menyan. Asapnya dimainkan berbentuk lingkaran. Bau asap lintingan klembak menyan khas warga kampungku.

“Begini Mbah kalau pekarang itu Dimas bayar,  gimana?”

“Akhh yang bener aja Mas.“

“Aku bayar Mbah.“

“Kalau Mas yang bayar. Mbak kurangi dua puluh lima juta rupiah gak popo.“

“Bener Mbah?“

“Bener Mas.“

“Seratus dua puluh lima juta rupiah ya Mbah.“

“Iya ya. Tapi bayare kes Mas.“

“Siapp Mbah.“

“Bener Mas.“

“Alhamdulillah duh Gusti Alloh.“

“Mas bayar kes tanah pekarangan itu Mbah.“

“Suwun, suwun ya Mas.“

“Gimana kalau sehabis minum kopi,  sowan bapak RT, RW bapak Kadus.“

“Untuk apa Mas?“

“Membuat surat kesaksian jaul beli tanah pekarang Mbah.“

“Akhh yang bener aja Mas?“

“Bener Mas.“

“Serius nih Mas?“

“Serius Mbah.“

“Suwun banget ya Mas,“ jawab mbah Darto langsung memelukku erat-erat sekali di tengah kepulan asap klembak menyan di ruang tamuku.

Setelah minum kopi Aku dan mbah Darmo menuju rumah bapak RT, RW dan bapak Kadus. Dalam perjalan mbah Darmo kelihatan begger. Bombong. Semringah wajahnya. Seakan terlepas bebas beban hidupnya. Aku melirik mbah Darto berjalan sambil tersenyum. Mengandeng tanganku berjalan lurus masuk hutan pinus menuju rumah bapak RT, RW dan Kadus. Transaksi jual beli tanah pekarangan miliknya mbah Darto.

Hatiku mekar berbunga anganku melambung tinggi keangkasa seakan menembus dinding langit luas. Amanat bapak Suherman ayah kandungku mencair sudah. Impian hidupnya ingin membangun Masjid dikampungku. Terlaksana. Tanah pekarangan miliknya mbah Darto lunas terbayar. Lokasi tanah pekerangannya luas. Rencanaku setelah selesai membangun Masjid. Samping kanan tanah pekarang Masjid akan aku bangun Taman Kanak Kanak. Mewujudkan impian juga amanat Supraptiwi.

Uang dari Supraptiwi sudah dititipkan aku. Dalam bentuk ATM. Belum lagi tambahan uang jasa raharja juga santunan uang duka dari maskapi Sliwedari Air. Aku kira lebih cukup. Ditambah uang tabunganku. Cukup. Membangun Masjid juga taman kanak kanak. Biasanya anak anak kampungku langsung masuk klas satu SD. Makanya bisa membaca menulis setelah naik klas dua bahkan klas tiga. Sebab tidak punya bekal ilmu dari awal masuk ke SD. 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar