Oleh.
Agus Yuwantoro
Pelukis
dan Parfum. Episode ke-65
Awal
bulan Mei seharusnya cuaca terang. Tetapi malah datang hujan gerimis di
kampungku. Perubahan cuaca alam tidak bisa ditebak. Seharusnya musim terang
malah hujan. Sebaliknya musim hujan malah terang. Cuaca alam berubah cepat
faktor perilaku hidup manusia. Sudah tidak bisa bersahabat dengan alam
lingkungan sekitarnya. Bisanya hanya merusak seisi alam. Bukan menjaga apa lagi
merawat ekosistem alam. Justru kebanyakan malah merusak demi kepentingan
pribadi tanpa memikirkan dampak generasi akan datang.
Ratusan
hektar hutan dibabat gundul. Pinggiran pantai dijadikan tanah daratan. Program
reklamasi di mana-mana. Dibangun puluhan hotel, motel, diskotik, kafe, rumah
pijat dan mandi uap bahkan biro jasa sex. Ditambah lagi bangunan rumah kaca
tumbuh subur seperti rumput ilalang. Semua isi kandungan gunung diambil untuk
bahan baku semen. Persawahan sumber penghasil padi. Dahulu terkenal terbesar se
Asia Tengara. Menjadi tanah kering di jual perkapling. Dibangun kawasan
perumahan. Tebing juga anakan gunung sebagai tadah hujan dibabat habis demi
program jalan tol. Manusia nyaris sudah tidak bisa bersahabat lagi dengan alam.
Wajar. Bencana selalu datang bertubi-tubi. Sebab ulah perilaku manusia itu
sendiri.
Dari
subuh hujan gerimis sampai menjelang terbitnya cahaya matahari pagi. Biasanya
dinding langit berwarna membiru cerah berhias cahaya kemerahan. Bersama puluhan
burung-burung berterbangan bebas lepas dibawah cahaya matahari pagi. Hujan
malah semakin deras membasahi plataran rumahku. Aku duduk depan teras sambil
minum teh tawar panas. Bersama satu piring jagung rebus hangat menemani pagi
bersama derai air hujan.
Biasanya
anak-anak TK berangkat sekolah lewat depan rumahku. Sekarang sepi hari minggu
libur sekolah. Hanya beberapa orang yang lewat sambil membawa sabit cangkul
memakai mantol plastik berangkat kesawah. Hampir lima jam hujan belum reda.
Malah semakin deras. Semoga hujan membawa berkah. Doa-doa terijabahi Tuhan. Aku
harus menunggu terang. Rencana hari ini aku mau melukis beraneka ragam nama
buah-buahan di dinding TK. Tapi hujan malah semakin deras menunggu terang.
Tidak
terasa sudah empat tahun TK itu berdiri. Memberikan nilai manfaat bagi
anak-anak kampungku. Melahirkan kepedulian pentingnya pendidikan. Berdampak
tumbuh subur minat belajar dikampungku. Baik masyarakat juga wali murid TK.
Anak-anak kampungku mulai tumbuh cinta kebersihan. Wajahnya bercahaya cerah.
Penuh dengan cita-cita setinggi menembus langit. Ada yang ingin menjadi Guru,
Dokter, Dosen, Tentara dan Polisi. Ditambah lagi berdirinya Masjid mampu
memberikan peningkatan beribadah kepada Tuhan. Sudah empat kali digunakan
ibadah sholat berjamaah Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap bulan jamaah
bertambah. Masjid bukan hanya untuk tempat ibadah sholat tapi sebagai media
tarbiyah : pendidikan demi mencerdaskan jamaah dalam ukuwah islamiah juga
kerukunan beragaman. Bukan sebaliknya digunakan untuk berpolitik praktis di
Masjid.
Dibawah
air hujan deras batinku berucap terima kasih, “Pertama pada bapak Suherman
ayahku juga kekasihku Supraptiwi begitu banyak membantu terwujudnya
bangunan Masjid dan TK. Juga urun
rembung tujuan Pendidikan Nasional. Mudah- mudahan menjadi amal jariyah, aamin.”
Jam
dua siang hujan reda. Terang benderang. Dinding langit cerah bersama cahaya
matahari bersinar terang. Aku keluar rumah membawa alat melukis menuju TK.
Melukis tokoh dongen fabel : binatang. Kancil. Beberapa tempat ibadah Islam,
Kristen, Buda, Hindu dan Konghucu di
dinding TK. Bertujuan memberikan edukasi
: pendidkan sedini mungkin tentang tempat ibadah. Kedepan agar pola berfikirnya
selalu mencintai semua tempat ibadah dimanapun. Kapanpun. Biar hidup dami
tentram adem ayem tentrem. Tidak konflik antar agama justru merusak peradaban
manusia.
Saking
asyiknya melukis aku tidak mendengar namaku dipangil-panggil kang Dalijo
tetanggaku. Akhirnya Dalijo memegang pundakku sambil berucap.
“Mas,
Mas dipanggil dari tadi kok ya diam saja si?“
“O
ya ya,“ jawabku sambil menaruh kwas.
“Ada
tamu, Mas.“
“Siapa
Kang?”
“Kelihatannya
dari gunung.“
“Akhh
yang bener aja Kang.“
“Iya
ko, kelihatan penampilannya.“
“Laki-laki
atau perempuan.“
“Laki-laki
dan gadis kecil berambut gimbal, Mas.“
“Laa
siapa ya Joo?”
“Ya
gak tau lah Mas.“
“Gak ditanya dari mana.“
“Iya
ya katanya dari lereng gunung Merapi wilayah Muntilan.“
“Muntilan.“
“Iya
salah satu wilayah Kabupaten Magelang, Mas.“
“Siapa
ya Joo?”
“Ya
gak tau lah Mas. Cepet pulang Mas.“
“Ya
ya,“ jawabku sambil memasukan semua alat melukis dalam tas kresek hitam.
Kang
Dalijo langsung pamit mau ke sawah mencari pakan bebeknya. Biasanya mencari
keong dipinggiran persawahan kampung untuk pakan bebeknya. Aku berjalan pulang
kerumah. Benar kata tetanggaku Dalijo. Dua orang duduk depan rumahku. Baju dan
rambutnya kumal penuh debu. Berwarna putih memenuhi semua anggota tubuhnya.
Kedua telanjang kaki tanpa sendal. Duduk dipinggiran bibir jalan rumahku. Gadis
kecil berambut gimbal membawa bungkusan dibungkus kain taplak.
Aku
mendekatinya sambil menyapa.
“Nyuwun
sewu Mbah mohon maaf nunggu aku ya.“
Tamuku
masih diam sambil memegang tangan gadis
kecil berambut gimbal. Aku dekati lagi kemudian menawarkan masuk kerumahku.
“Monggo-monggo
pinarak Mbah.“
Tamuku
masih diam. Memandangku tajam. Dari ujung kaki sampai rambutku. Kemudian
berucap.
“Bener
ini rumahnya Dimas Prihatin temen ponaaku Supraptiwi.“
“Iya
ya betul-betul Mbah. Mari masuk sini. Masuk sini,“ jawabku.
Aku
baru pertama kali bertemu dengan oang ini tapi. Ada perasaan aneh ketika
menyebutkan Supraptiwi. Temenku. Aku menjadi penasaran. Aku persilahkan duduk
di ruang tamu. Gadis kecil beramabut gimbal dengan giginya berwarna kuning.
Raut wajahnya hitam penuh debu. Tidak berani memandangku. Menundukkan kepala
kebawah sambil memeluk rapat bungkusan dari taplak.
Aku
langsung ke dapur membuat teh dan kopi panas. Untung aku masih menyimpang roti
pisang dilemari makan. Aku menuju ruang tamu membawa teh, kopi panas juga satu
piring roti pisang.
“Monggo
monggo diminum Mbah.“
“Iya
ya matur suwun Mas.“
“Monggo
Mbah. Ayoo dik diminum.“
“Jadi
bener ini Dimas Prihatin.“
“Betul
Mbah.“
“Temennya
ponaanku si Supraptiwi ya?“
“Betul. Mbah namanya siapa?”
“Darmo
Rejo Mas. Suaminya budenya Supraptiwi.”
“Bude
Suli ya Mbah.“
“Betul.
Mas budenya bernama Suliyem bisanya dipanggil yu Suli.“
“Iya
Supraptiwi pernah cerita punya bude Suli.“
“La
ini aku suaminya Mas.“
“La
bude Suli di mana Mbah?“
Mbah Darmo Rejo diam. Tidak menjawab.
Kepalanya menunduk kebawah. Bahkan kedua bola matanya memerah basah. Diam.
Kemudian memandangku tajam. Sambil berucap.
“Sudah
meninggal dunia Mas.“
“Meninggal
dunia.“
“Iya
Mas, bersama muntahnya lahar panas gunung Merapi. Tidak sempat menyelamatan
diri. Bahkan juri kunci gunung Merapi Simbah Marijan ikut tewas. Ada tiga desa habis terbakar hangus lahar
panas, Mas.”
“Innalilalhi, Mas doakan khusnul khotimah ya Mbah.“
“Terima
kasih Mas.“
“Gini
Mas.“
“Iya
Mbah.“
“Sekarang
di kampung Mbah. Gunung Merapi sedang batuk lagi. Setiap hari mengeluarkan
lahar panas. Merusak tanaman sayur dan cabe. Belum lagi musibah ponaanku
Supraptiwi meninggal dunia. Jadi sudah tidak ada kiriman uang selama empat
tahun. Menyusul satu tahun kemudian istriku meninggal dunia. Mbah butuh biyaya
untuk membesarkan anak putri ini Mas. Di kampung Mbah sedang musim paceklik.
Mas.“
“Siap
Mbah dengan senang hati.“
“Terima
kasih ya Mas.“
“Baiknya
tinggal disini saja ya Mbah.“
“Nanti
malah ngrepoti Mbah.“
“Tidak
Mbah. Ada dua kamar kosong ko Mbah.“
“Bener
gak ngrepoti Mas.“
“Tidak
lah Mbah.“
“Bener.“
“Bener
Mbah. Mas pol ihklasnya Mbah tinggal di sini.“
“Tapi
cuma sementara ko Mas. Sambil nunggu aman dari gunung Merapi.“
“Selamanya
juga tidak apa-apa Mbah.“
“Laa
nanti yang merawat kebun, ternak dan rumah siapa Mas?“
“O
iya ya. Tinggal dirumah sini saja sambil menunggu aman dari gunung Merapi ya
Mbah.“
“Iya
ya Mas.“
“Laa
adik ini namanya siapa ya Mbah?“
“Imbuh.“
“Imbuh
ya Mbah.“
“Iya
Imbuh,“ jawab Mbah Darmo Rejo sambil menundukkan kepalanya. Maniknya berjalan
naik turun. Menelan ludah. Wajahnya pucat. Mengambil napas panjang. Sambil
membelai rambut gadis kecil berambut gimbal. Melepaskan napas panjang. Kemudian
mengambil napas panjang lagi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Seakan
menyimpan beban batin yang berat. Kemudian berucap lirih didepanku dengan kedua
bola mata yang merah basah.
“Cerita
sangat panjang Mas.“
“Maksudnya
Mbah?“
“Ya
si Imbuh ini Mas,“ jawab Mbah Darmo Rejo tidak berani menatapku. Kepala
menunduk melihat kebawah. Diam membisu di ruang tamuku. Gadis kecil berambut
gimbal memeluk erat bungkusan kain taplak itu. Aku merasa penasaran sekali
dengan gadis kecil berambut gimbal. Wajahnya hitam. Giginya berwarna kuning.
“Apa
isinya dalam bungkusan kain taplak itu. Kok seperti lukisan lengkap dengan
figura berukuran panjang tujuh puluh lima lebar lima puluh senti meter. Bukan
hanya itu. Tapi siapa sebenarnya Imbuh ini. Dari dahalu budenya Supraptiwi bernama
Bude Suli. Mandul. Tidak bisa punya anak.“ Batinku sambil mencuri pandang gadis
kecil berambut gimbal bernama Imbuh.