Senin, 03 April 2023

Rumah Ayahku

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-58

 

     Sehabis upacara pemakaman Ayah dan Biung. Aku diantar bapak Dikin pulang menuju rumah ayahku. Rumahnya terletak samping Rumah Sakit Jantung Jakarta. Minimalis. Berukuran lima kali enam berwarna hijau daun pupus pisang. Ada empat ruang: kamar tamu cukup lesehan digelar karpet bergambar kupu-kupu. Ruang tengah. Kamar tidur, ruang belakang dibagi dua dapur dan kamar mandi. Dinding rumah penuh dengan lukisanku yang ia pesan sewaktu aku masih menjadi pelukis jalanan di daerah Bali.

     Persis di kamar tidurnya ada lukisan Biungku dipasang dinding kamar. Di bawah lukisan itu ada tulisannya “Sampai kapanpun aku tetap mencarimu“. Tulisan dengan gaya huruf latin berwarna biru. Ditulis sendiri bapak Suherman. Begitu besar rasa cinta pada istri tercintanya. Sekarang pulang ke pemilik-Nya Tuhan. Pulang bersama-sama seolah membuat tali cinta sejati. Seia sekata sampai menutup mata bersama.

     Setelah sampai di rumah Ayahku. Bapak Dikin menggelar karpet di ruang tengah. Menyiapkan acara pengajian khusus kirim doa-doa untuk Ayah dan Biungku tercinta. Akupun ikut membantu beres-beres ruang tamu sampai dapur. Setelah selesai membantu menggelar karpet bapak Dikin menemaniku duduk di ruang tamu.

     Ada juga sebagian tetangga ayahku yang tidak sempat mengantar ke tanah makam. Satu persatu berdatangan takziah. Ikut berduka cita dan memberikan doa-doa terbaik pada Ayah dan Biungku. Ternyata bukan hanya para tetangga ayahku. Tapi juga kawan-kawan kontraktor ayahku berdatangan takziah mengucapkan ikut berduka cita atas wafatnya Ayah dan Biungku.

Tamu takziah berdatangan silih berganti sampai menjelang azan magrib. Masih saja ada yang datang untuk takziah. Aku tidak menduga begitu banyak yang datang ke rumah ayahku. Bahkan beberapa Dokter dan Perawat dari Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo datang takziah. Setelah tahu siapa sebenarnya bapak Suherman. Ternyata lima tahun yang lalu pernah membuat rancangan tambahan bangunan tingkat RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Juga membuat miniatur Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Ditaruh di atas meja besar tepat depan pintu masuk. Sebagai pameran untuk para pengunjung yang besuk.

 Jam setengah delapan malam

Satu persatu tetangga ayahku berdatangan dan para jamaah Mushola. Ikutan gabung pengajian juga kirim doa-doa terbaik buat Ayah dan Biungku. Malam pertama pengajian banyak yang hadir sampai memenuhi ruang tamu juga ruang tengah. Bahkan ada yang menggelar karpet di dapur.

Jam setengah sembilan malam

Acara pengajian selesai. Satu persatu pamit pulang. Cuma dua orang yang masih tetap setia menemaniku bapak Dikin dan bapak Supri. Ternyata bapak Supri sopir pribadi ayahku. Ketika Ayahku ada acara keluar kota sering memakai bapak Supri sebagai sopir pribadinya. Ketika Aku mau masuk dapur ingin rasanya masak air panas. Membuat kopi panas. Bapak Supri melihat polahku paham betul tujuanku. Bapak Supri langsung berdiri kemudian langsung berucap.

“Biar aku saja yang masak air Mas.“

“Gak usah malah ngrepoti.“

“Tidak apa-apa Mas.“

“Gak apa-apa Mas bapak Supri sudah biasa buat kopi,“ cetus bapak Dikin.

“Iya ya terima kasih,“ jawabku.

Sebentar kemudian tiga kopi panas sudah tersedia di dalam cangkir keramik berwarna ungu bergambar ukiran bunga melati.

“Mari diminum kopinya Pak?“ sapaku sambil membuka toples berisi roti kacang.

“Iya ya terima kasih.“

“Mari pak Dikin, pak Supri diminum kopinya.“

“Iya ya Mas.“

Jam setengah sepuluh malam

Bapak Dikin dan bapak Supri masih setia menemaniku duduk slonjor di ruang tengah. Kebetulan rumahnya sangat dekat dengan rumah ayahku. Aku mendekati televisi mengambil remot kontrol. Aku tekan tombol remot televisi langsung menyala. Aku mencari gelombang siaran Tv one biasanya acaranya bagus untuk menemaniku malam ini.

Jam sepuluh malam

Begitu menyala televisinya langsung ada berita terbaru dari Tv one. Pesawat Terbang Sliwedari Air hilang kontak selama lepas landas dari bandara Internasional Singapura. Aku tersentak. Kaget.

“Loo itu kan pesawat yang membawa kekasiku Supraptiwi.“ Batinku sambil melihat mendengarkan berita terkini di siaran Tv one. Seolah-olah aku tidak percaya berita di Tv One. Berita terbaru pesawat terbang Sliwedari Air hilang kontak. Sampai berita diturunkan belum bisa dihubungi. Bahkan radar navigasi udara tidak terdeteksi sinyalnya. Hatiku mulai galau. Gelisah. Keringat dinginku keluar semua. Di depan layar televisi ada kerinduan meledak pecah meleleh dalam garis hatiku.

 Sebelum naik pesawat Sliwedari Air, Supraptiwi whatsapp denganku bahkan telpon. Aku buka hpku. Aku baca kembali whatsapp dari Supraptiwi. Intinya setelah sampai rumah langsung minta nikah denganku. Aku jawab mau.

Setengah jam kemudian Tv one menayangkan berita lagi hilangnya pesawat Sliwedari Air. Belum ada tanda-tanda ditemukan lokasi pesawatnya. Basarnas: Badan Sar Nasional langsung turun lapangan. Mencari informasi akurat bersama Basarnas dari anggota TNI AD dan TNI AL. Semua memakai alat super canggih mencari sinyal navigasi pesawat Sliwedari Air. Tetap saja belum terdeteksi keberadannya.

Di depan layar televisi bayangan wajah kekasihku Supraptiwi tiba-tiba muncul. Tersenyum manis dihiasi bibirnya basah memerah. Menatapku tajam. Tajam sekali. Setajam silet. Lamunanku buyar pecah ambyar ketika tanganku disentuh bapak Dikin.

“Pesawat Sliwedari Air hilang ya Mas.“

“Iya Pak?”

“Mudah-mudahan cepat ditemukan ya Mas.“

“Iya Pak.”

“Kasihan penumpangnya ya Mas?“

“Iya Pak,“ jawabku sambil membayangkan wajah Supraptiwi putri bapak Kepala desa Munggangsari.

Entah kenapa malam ini perasaanku tumbuh subur selalu ingat Supraptiwi. Wajahnya selalu melekat dalam pikiranan sadarku. Rasa kerinduan terus menggumpal keras dalam hatiku. Seirama derap napas juga aliran darahku.

“Tuhanku, selamatkan pesawat Sliwedari Air. Di dalamnya ada kekasihku, cintaku. Harapan teman hidup tuaku. Kami telah berjanji mau Nikah resmi. Aku sudah siap menjadi suaminya. Menerima apa adanya. Supraptiwi kawan kecilku berhasil menanamkan bunga-bunga cinta. Sehingga tumbuh mekar kokoh kuat rasa cintaku.“ Batinku sambil mengusap kedua bola mataku di depan layar televisi.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar