Oleh Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode-61
Pengajian dan kirim doa-doa terbaik untuk
kedua orang tuaku tercinta pada malam ketiga puluh hari berjalan lancar. Banyak
yang hadir malam itu. Bapak Dikin mengundang sebagain karyawan Rumah Sakit
Jantung Jakarta. Dokter Sutejo teman setia ayahku juga hadir. Nama bapak Dikin
mengingatkan guru melukis waktu kecilku di kampung. Mengajariku melukis bunga,
hewan, pemandangan dan bentuk wajah tokoh Pahlawan Nasional. Guru melukisku
wafat terpapar wabah pandemi covid 19. Seminggu kemudian menyusul istri tercinta
wafat juga sama terpapar covid 19.
Hari ini aku persiapan pulang ke Kampung
Kusuma Baru. Hampir satu bulan lebih meninggalkan kampung halamanku. Aku
memilih jalur darat naik Bus Sinar Jaya. Jurusan daerah Jawa Tengah.
Membutuhkan waktu kurang lebih enam jam sampai kota kecamatanku. Sebetulnya
bapak Dikin menyarankan naik pesawat saja paling butuh waktu satu jam. Tidak
capek. Cepat sampai rumah.
Tapi setelah aku
hitung-hitung paling terpaut tiga jam. Rumahku jauh dari bandara Pesawat
Terbang. Ada dua bandara pesawat terbang. Bandara Internasional Yogyakarta
berada di Kulonprogo. Kedua bandara pesawat terbang Semarang. Intinya masih
butuh waktu lagi sampai ke kota kecamatanku. Cukup naik Bus Sinar Jaya sebab
ada agen di kota kecamatanku. Bus berhenti di pangkalan agen kota kecamatanku.
Agendaku pulang kampung
bersih-bersih rumah. Kedua minta tanda tangan orang tuanya Supraptiwi bapak
Wagino. Sebagai salah satu persyaratan mengajukan jasa raharja dan uang duka
dari perusahan maskapai penerbangan Sliwedari Air. Rencana jam setengah lima
sore aku harus sudah siap di agen bus. Tepat jam lima sore bus akan berjalan
keluar dari agen.
Aku melihat beberapa bus
sudah siap di pangkalan agen penjual karcis. Aku naik bus jurusan kota
kecamatanku. Sampai kota kecamatanku sekitar jam sebelas malam lebih atau
mungkin jam dua belas malam. Biasanya di pangkalan agen kota kecamatanku banyak
tukang ojek. Selalu setia menunggu bus yang baru datang dari Jakarta.
Bus yang aku tumpangi jam
pertama masuk pangkalan agen kota kecamatanku. Biasanya dua jam lagi disusul
bus lainnya. Jam terakhir masuk pangkalan agen bus jam lima pagi. Ada empat bus
mangkal di agen. Setiap hari mengantar penumpang pulang dari Jakarta.
Tepat jam lima bus sore
bus Sinar Jaya berjalan keluar dari agen. Berjalan masuk jalur tengah kota Ibu
Kota Jakarta. Kanan kiri jalan dihiasi gedung-gedung bertingkat tinggi. Nyaris
tidak ada lahan kosong. Dari kaca bus aku melihat anak-anak kota bermain sepak
bola, gobak sodor, bulu tangkis di pinggiran jalan. Nyaris tidak ada tempat
bermain. Cahaya lampu hotel persis cahaya bintang-gumintang di tengah plataran
langit malam. Bercahaya indah kelap-kelip setiap jendela kaca kristal hotel.
Berdiri kokoh tinggi setiap bibir jalan aspal. Warna cat tembok hotel
berwarna-warni seperti cahaya pelangi.
Bus berjalan pelan di
tengah kota bertepatan jam pulang kerja. Padat. Merayap. Bus berjalan
pelan-pelan masuk tengah jalan ibu kota Jakarta. Hampir satu jam bus berjalan
merayap pelan. Akhirnya nyampai juga masuk pintu jalan tol. Bus masuk pintu
jalan tol. Aku melihat di balik kaca bus ada embun basah menempel. Bertanda
hujan akan datang. Bus masuk jalan tol bersama hujan gerimis.
Bus berjalan dengan cepat
di jalan tol. Tidak terasa bus sudah masuk wilayah Cirebon. Hujanpun deras
sekali. Terlihat tetesan air hujan sangat lebat di balik kaca bus bersama suara
gemuruh halilintar. Cahaya halilintar seperti sinar laser. Bus terus berjalan
bersama hujan deras dan angin malam basah.
Jam sepuluh malam bus
masuk pangkalan untuk istirahat. Aku tidak turun bus sudah membawa bekal
sendiri. Satu persatu penumpang turun. Ada yang langsung masuk Wc. Ada yang ke
warung makan. Sekedar pesan kopi panas dan mie rebus. Tidak lama kemudian bus
berjalan lagi. Sampai wilayah Brebes aku tertidur pulas sambil memeluk tas
punggung. Ketika aku bangun bus sudah masuk jalan kota kabupatenku.
Bus berjalan pelan-pelan
bukan jalannya macet. Tapi memberikan kesempatan beberapa mobil ambulan
berjalan lebih dulu. Ternyata bukan mobil ambulan saja. Akan tetapi mobil tiem
Basarnas tingkat kabupaten menuju ke kota kecamatanku. Jalan macet. Bus
berjalan pelan kemudian berhenti lagi. Padahal kurang tiga puluh menit lagi sampai
di pangkalan agen kecamatanku.
Ternyata macet tolal. Bus
berhenti. Dari balik kaca aku mendengar celoteh orang-orang membicarakan
bencana tanah longsor.
“Jalan menuju pangkalan
agen bus tertimbun tanah sebab bencana tanah longsor,“ cetus orang di luar bus.
Sopirnya turun disusul
kondektur dan keneknya. Aku ikut turun bus. Kebetulan bus berhenti persis depan warung angkringan. Aku pesan teh
panas. Di atas meja kayu tersedia beraneka ragam macam gorengan. Nasi kucing.
Kerupuk. Pisang ambon. Sambil pesen teh panas aku mengambil pisang goreng. Di sebelahku
seorang pemuda tanggung sedang asyik menikmati nasi kucing dengan lauk sate
telur burung puyuh. Di pojok angkringan di bawah cahaya lampu listrik balon
lima wat. Perempuan setengah baya. Duduk di kursi kayu. Wajahnya menor. Penuh
taburan bedak tebal di wajahnya. Bibirnya merah. Kedua bola matanya nakal.
Merokok sambil melihat kanan kiri.
Kenek bus mendekati
perempuan itu. Langsung menyapa. Tangannya langsung bergerilya seputar
pinggang. Perempuan itu malah tersenyum. Badannya langsung merapat kenek itu.
Tangan kenek pelan-pelan mulai bergerilya ke seluruh tubuh. Perempuan itu malah
tersenyum sambil berucap.
“Mumpung macet mas mayo
main sebentar?”
“Berapa?”
“Biasa cepek, Mas.“
“Seket lah ya?“
“Tambah selawe lah ya, Mas.“
“Seket baen lah.“
“Ya kenna tapi bayar dulu
ya?“
“Ya.“
Kenek dengan cekatan
mengambil dompet dari sakunya. Mengambil uang lima puluh ribu rupiah berwarna
biru. Uang langsung diberikan. Tangannya terus bergerilya di seputar dada
bahkan mulai turun ke bawah perut. Perempuan itu malah tersenyum. Aku diam.
Perempuan itu mengedipkan mata kearahku sambil menghisap rokok. Kemudian
lidahnya keluar melelet kerahku. Kenek menempel merapat tubuh perempuan itu.
Perempuan itu diam saja lalu berucap.
“Sabar too Mas, Mas tak
minum jahe susu dulu.“
“Ya ya, ada apa si ko
macet.“
“Ada bencana alam.“
“Bencana alam.“
“Laa iya lah. Tanah
longsor di desa Mungangsari, tujuh rumah terbenam tanah longsor. Banyak yang
tewas.“
“Tanah longsor.“
“Iya, makanya jalannya
macet total.“
“Mayoo lah mumpung macet
ko.“
“Bentar lah Mas, Mas?“
Kenek tidak sabar langsung
nyeret tangan perempuan malam itu keluar dari warung angkringan. Ke belakang
menuju semak-semak yang ada gubugnya. Transaksi jasa sex kelas pinggiran
berlangsung. Di pinggiran kota Kabupatenku. Tidak seperti di kota besar. Para
PSK : Perempuan Sex Komersial berdandan halus rapi elegan seperti wanita karir.
Bahkan sudah menembus kampus. Dengan sebutan ayam kampus. Ditambah lagi
anak-anak putri SMU. Pengaruh pergaulan bebas menjadi PSK. Dunia bisnis sex
sudah lahir ratusan tahun lalu. Sulit untuk diberantas. Bahkan di salah satu
negara Eropa menjadi sumber daya pemasukan tertinggi lewat bisnis sex.
Di kota-kota besar Jawa
Tengah semakin tumbuh subur biro jasa sex. Baturaden Gang Sadar. Lokalisasi
Peleman di Tegal. Semarang dengan Sunan Kuning. Yogyakarta dengan Sarkem: Pasar
Kembang. Daerah Bandungan. Belum kota lainnya berkedok jasa pijat ples-ples.
Berakibat penyakit kelamin semakin tumbuh subur. Bahkan angka penyakit aids
semakin meningkat. Seperti gunung es. Perlu sinergitas: kerja sama Pemerintah
dan para tokoh agamawan memberikan penyuluhan di kawasan bisnis jasa sex. Tidak
cukup ceramah di mimbar-mimbar tempat Ibadah. Tapi harus berani terjun langsung
ke lapangan. Bertujuan menekan tumbuhnya penyakit masyarakat juga penyakit
kelamin. Tidak cukup hanya rapat-rapat koordinasi saja akan menghabiskan uang
rakyat.
Aku kaget begitu mendengar tanah longsor di
Desa Mungangsari. Aku bertanya pada penjual angkringan.
“Mas apa benar ada tanah
longsor?“
“Betul betul, Mas.“
“Di mana?”
“Di desa Mungangsari
kasihan rumahnya pada hilang. Bahkan banyak yang belum ditemukan terbenam
bersama tanah longsor.“
“Mungangsari?“
“Betul Mas. Bahkan bapak
kepala desa bersama istrinya belum ditemukan.“
“Masya Alloh jam berapa
kejadiannya?“
“Jam empat sore. Hujan
sangat deras sekali selama dua hari dua malam mengakibatkan tanah longsor.“
“Dua hari?”
“Betul. Jalan menuju sana
tertutup lumpur. Harus lewat desa yang lain mutar selatan.“
“Waduh.“
“Laa Mas pulang ke mana?”
“Desa Kusuma Baru.“
“Itu si aman. Jauh dari
lokasi dari bencana tanah longsor.“
Begitu aku mendengar desa Mungangsari kena
bencana tanah longsor. Bahkan bapak kepala desa bapak Wagino ayahnya Supraptiwi
bersama istrinya belum ditemukan. Aku tidak jadi minum teh panas. Cuma habis
separo makan gorengan pisang goreng. Aku langsung berdiri bayar teh panas
sambil bertanya.
“Mas ada ojek ke sana?“
“Banyak Mas.“
“Tolong carikan ojek Mas.“
“Mau ke mana?“
“Melihat lokasi bencana
tanah longsor di desa Mungangsari.“
“Tidak bisa Mas. Jalannya
tertutup tanah longsor sepanjang lima kilo meter.“
“Jadi tidak bisa Mas.”
“Nah kalau ke Kusuma Baru?“
“Itu bisa. Sebentar saya
telpon tukang ojeknya ya Mas.“
“Ya ya terima kasih.“
Sebentar kemudian tukang
ojek datang. Mengantarku pulang ke rumah lewat jalan lain yang tidak biasanya
aku lewati. Aku naik ojek tapi keringat dinginku keluar semua membasahi leher,
jidat dan wajah. Perasaanku tidak karuan. Nyas-nyassan. Bingung. Gelisah. Ingin
rasanya melihat langsung lokasi bencana tanah longsor itu. Seperti apa nasibnya
warga di sana. Ada dua puluh lima rumah termasuk rumahnya bapak Kepala Desa.
Warganya kebanyakan
pekerja kuli panggul pasar. Juga nyambi penyadap getah karet. Terkenal jujur,
ulet, tanggung jawab walaupun taraf ekonominya pas-passan. Tapi setelah bapak
Wagino terpilih menjadi kepala Desa. Punya terobosan baru bidang perekonomian
untuk warganya. Padahal awalnya bapak Wagino diusung menjadi pasangan bayangan
pilkades oleh mantan kepala Desa bapak Sarkum. Dari pada melawan kotak kosong.
Diluar hitungan para pendukug fanatik bapak Sarkum. Ternyata bapak Sarkum kalah
tidak terpilih. Justru terpilih menjadi kepala Desa bapak Wagino.
Satu tahun setelah
dilantik kepala Desa bapak Wagino mengundang tiem PKK Tingkat Kec. Diminta
melatih warganya membuat makanan dari bahan ketela : budin. Warganya banyak menanam
telo: budin. Setelah panen dijual ke pabrik tepung. Bapak kepala desa
menyarankan supaya diolah sendiri menjadi makanan cemilian harian. Seperti
ceriping telo, compro kering, gethuk lindri bahkan krispi dari telo:
budin.
Akhirnya taraf kehidupan
ekonomi pelan-pelan terangkat. Meninggalkan pekerjaan lama sebagai kuli panggul
pasar. Bekerja di rumah membuat aneka cemilan dari bahan ketela : budin. Bahkan
terkenal enak di pasaran sebab dengan bahan dasar natural tidak banyak
campuran.
Menurut kabar slentingan
yang aku terima. Sekarang desa itu tertimpa musibah bencana tanah longsor.
Rumahnya hilang semua tertimbun tanah longsor. Bahkan bapak kepala Desa dan
istrinya belum ditemukan bersama rumahnya. Tertimbun tanah sedalam lima belas
meter dari permukaan tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar