Rabu, 12 April 2023

Pulang ke Kampung Kusuma Baru

 

pixabay.com


Oleh Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum Episode-61

 

     Pengajian dan kirim doa-doa terbaik untuk kedua orang tuaku tercinta pada malam ketiga puluh hari berjalan lancar. Banyak yang hadir malam itu. Bapak Dikin mengundang sebagain karyawan Rumah Sakit Jantung Jakarta. Dokter Sutejo teman setia ayahku juga hadir. Nama bapak Dikin mengingatkan guru melukis waktu kecilku di kampung. Mengajariku melukis bunga, hewan, pemandangan dan bentuk wajah tokoh Pahlawan Nasional. Guru melukisku wafat terpapar wabah pandemi covid 19. Seminggu kemudian menyusul istri tercinta wafat juga sama terpapar covid 19.

     Hari ini aku persiapan pulang ke Kampung Kusuma Baru. Hampir satu bulan lebih meninggalkan kampung halamanku. Aku memilih jalur darat naik Bus Sinar Jaya. Jurusan daerah Jawa Tengah. Membutuhkan waktu kurang lebih enam jam sampai kota kecamatanku. Sebetulnya bapak Dikin menyarankan naik pesawat saja paling butuh waktu satu jam. Tidak capek. Cepat sampai rumah.

Tapi setelah aku hitung-hitung paling terpaut tiga jam. Rumahku jauh dari bandara Pesawat Terbang. Ada dua bandara pesawat terbang. Bandara Internasional Yogyakarta berada di Kulonprogo. Kedua bandara pesawat terbang Semarang. Intinya masih butuh waktu lagi sampai ke kota kecamatanku. Cukup naik Bus Sinar Jaya sebab ada agen di kota kecamatanku. Bus berhenti di pangkalan agen kota kecamatanku.

Agendaku pulang kampung bersih-bersih rumah. Kedua minta tanda tangan orang tuanya Supraptiwi bapak Wagino. Sebagai salah satu persyaratan mengajukan jasa raharja dan uang duka dari perusahan maskapai penerbangan Sliwedari Air. Rencana jam setengah lima sore aku harus sudah siap di agen bus. Tepat jam lima sore bus akan berjalan keluar dari agen.

Aku melihat beberapa bus sudah siap di pangkalan agen penjual karcis. Aku naik bus jurusan kota kecamatanku. Sampai kota kecamatanku sekitar jam sebelas malam lebih atau mungkin jam dua belas malam. Biasanya di pangkalan agen kota kecamatanku banyak tukang ojek. Selalu setia menunggu bus yang baru datang dari Jakarta.

Bus yang aku tumpangi jam pertama masuk pangkalan agen kota kecamatanku. Biasanya dua jam lagi disusul bus lainnya. Jam terakhir masuk pangkalan agen bus jam lima pagi. Ada empat bus mangkal di agen. Setiap hari mengantar penumpang pulang dari Jakarta.

Tepat jam lima bus sore bus Sinar Jaya berjalan keluar dari agen. Berjalan masuk jalur tengah kota Ibu Kota Jakarta. Kanan kiri jalan dihiasi gedung-gedung bertingkat tinggi. Nyaris tidak ada lahan kosong. Dari kaca bus aku melihat anak-anak kota bermain sepak bola, gobak sodor, bulu tangkis di pinggiran jalan. Nyaris tidak ada tempat bermain. Cahaya lampu hotel persis cahaya bintang-gumintang di tengah plataran langit malam. Bercahaya indah kelap-kelip setiap jendela kaca kristal hotel. Berdiri kokoh tinggi setiap bibir jalan aspal. Warna cat tembok hotel berwarna-warni seperti cahaya pelangi.

Bus berjalan pelan di tengah kota bertepatan jam pulang kerja. Padat. Merayap. Bus berjalan pelan-pelan masuk tengah jalan ibu kota Jakarta. Hampir satu jam bus berjalan merayap pelan. Akhirnya nyampai juga masuk pintu jalan tol. Bus masuk pintu jalan tol. Aku melihat di balik kaca bus ada embun basah menempel. Bertanda hujan akan datang. Bus masuk jalan tol bersama hujan gerimis.

Bus berjalan dengan cepat di jalan tol. Tidak terasa bus sudah masuk wilayah Cirebon. Hujanpun deras sekali. Terlihat tetesan air hujan sangat lebat di balik kaca bus bersama suara gemuruh halilintar. Cahaya halilintar seperti sinar laser. Bus terus berjalan bersama hujan deras dan angin malam basah.

Jam sepuluh malam bus masuk pangkalan untuk istirahat. Aku tidak turun bus sudah membawa bekal sendiri. Satu persatu penumpang turun. Ada yang langsung masuk Wc. Ada yang ke warung makan. Sekedar pesan kopi panas dan mie rebus. Tidak lama kemudian bus berjalan lagi. Sampai wilayah Brebes aku tertidur pulas sambil memeluk tas punggung. Ketika aku bangun bus sudah masuk jalan kota kabupatenku.

Bus berjalan pelan-pelan bukan jalannya macet. Tapi memberikan kesempatan beberapa mobil ambulan berjalan lebih dulu. Ternyata bukan mobil ambulan saja. Akan tetapi mobil tiem Basarnas tingkat kabupaten menuju ke kota kecamatanku. Jalan macet. Bus berjalan pelan kemudian berhenti lagi. Padahal kurang tiga puluh menit lagi sampai di pangkalan agen kecamatanku.

Ternyata macet tolal. Bus berhenti. Dari balik kaca aku mendengar celoteh orang-orang membicarakan bencana tanah longsor.

“Jalan menuju pangkalan agen bus tertimbun tanah sebab bencana tanah longsor,“ cetus orang di luar bus.

Sopirnya turun disusul kondektur dan keneknya. Aku ikut turun bus. Kebetulan bus berhenti  persis depan warung angkringan. Aku pesan teh panas. Di atas meja kayu tersedia beraneka ragam macam gorengan. Nasi kucing. Kerupuk. Pisang ambon. Sambil pesen teh panas aku mengambil pisang goreng. Di sebelahku seorang pemuda tanggung sedang asyik menikmati nasi kucing dengan lauk sate telur burung puyuh. Di pojok angkringan di bawah cahaya lampu listrik balon lima wat. Perempuan setengah baya. Duduk di kursi kayu. Wajahnya menor. Penuh taburan bedak tebal di wajahnya. Bibirnya merah. Kedua bola matanya nakal. Merokok sambil melihat kanan kiri.

Kenek bus mendekati perempuan itu. Langsung menyapa. Tangannya langsung bergerilya seputar pinggang. Perempuan itu malah tersenyum. Badannya langsung merapat kenek itu. Tangan kenek pelan-pelan mulai bergerilya ke seluruh tubuh. Perempuan itu malah tersenyum sambil berucap.

“Mumpung macet mas mayo main sebentar?”

“Berapa?”

“Biasa cepek, Mas.“

“Seket lah ya?“

“Tambah selawe lah ya, Mas.“

“Seket baen lah.“

“Ya kenna tapi bayar dulu ya?“

“Ya.“

Kenek dengan cekatan mengambil dompet dari sakunya. Mengambil uang lima puluh ribu rupiah berwarna biru. Uang langsung diberikan. Tangannya terus bergerilya di seputar dada bahkan mulai turun ke bawah perut. Perempuan itu malah tersenyum. Aku diam. Perempuan itu mengedipkan mata kearahku sambil menghisap rokok. Kemudian lidahnya keluar melelet kerahku. Kenek menempel merapat tubuh perempuan itu. Perempuan itu diam saja lalu berucap.

“Sabar too Mas, Mas tak minum jahe susu dulu.“

“Ya ya, ada apa si ko macet.“

“Ada bencana alam.“

“Bencana alam.“

“Laa iya lah. Tanah longsor di desa Mungangsari, tujuh rumah terbenam tanah longsor. Banyak yang tewas.“

“Tanah longsor.“

“Iya, makanya jalannya macet total.“

“Mayoo lah mumpung macet ko.“

“Bentar lah Mas, Mas?“

Kenek tidak sabar langsung nyeret tangan perempuan malam itu keluar dari warung angkringan. Ke belakang menuju semak-semak yang ada gubugnya. Transaksi jasa sex kelas pinggiran berlangsung. Di pinggiran kota Kabupatenku. Tidak seperti di kota besar. Para PSK : Perempuan Sex Komersial berdandan halus rapi elegan seperti wanita karir. Bahkan sudah menembus kampus. Dengan sebutan ayam kampus. Ditambah lagi anak-anak putri SMU. Pengaruh pergaulan bebas menjadi PSK. Dunia bisnis sex sudah lahir ratusan tahun lalu. Sulit untuk diberantas. Bahkan di salah satu negara Eropa menjadi sumber daya pemasukan tertinggi lewat bisnis sex.

Di kota-kota besar Jawa Tengah semakin tumbuh subur biro jasa sex. Baturaden Gang Sadar. Lokalisasi Peleman di Tegal. Semarang dengan Sunan Kuning. Yogyakarta dengan Sarkem: Pasar Kembang. Daerah Bandungan. Belum kota lainnya berkedok jasa pijat ples-ples. Berakibat penyakit kelamin semakin tumbuh subur. Bahkan angka penyakit aids semakin meningkat. Seperti gunung es. Perlu sinergitas: kerja sama Pemerintah dan para tokoh agamawan memberikan penyuluhan di kawasan bisnis jasa sex. Tidak cukup ceramah di mimbar-mimbar tempat Ibadah. Tapi harus berani terjun langsung ke lapangan. Bertujuan menekan tumbuhnya penyakit masyarakat juga penyakit kelamin. Tidak cukup hanya rapat-rapat koordinasi saja akan menghabiskan uang rakyat.

 Aku kaget begitu mendengar tanah longsor di Desa Mungangsari. Aku bertanya pada penjual angkringan.

“Mas apa benar ada tanah longsor?“

“Betul betul, Mas.“

“Di mana?”

“Di desa Mungangsari kasihan rumahnya pada hilang. Bahkan banyak yang belum ditemukan terbenam bersama tanah longsor.“

“Mungangsari?“

“Betul Mas. Bahkan bapak kepala desa bersama istrinya belum ditemukan.“

“Masya Alloh jam berapa kejadiannya?“

“Jam empat sore. Hujan sangat deras sekali selama dua hari dua malam mengakibatkan tanah longsor.“

“Dua hari?”

“Betul. Jalan menuju sana tertutup lumpur. Harus lewat desa yang lain mutar selatan.“

“Waduh.“

“Laa Mas pulang ke mana?”

“Desa Kusuma Baru.“

“Itu si aman. Jauh dari lokasi dari bencana tanah longsor.“

 Begitu aku mendengar desa Mungangsari kena bencana tanah longsor. Bahkan bapak kepala desa bapak Wagino ayahnya Supraptiwi bersama istrinya belum ditemukan. Aku tidak jadi minum teh panas. Cuma habis separo makan gorengan pisang goreng. Aku langsung berdiri bayar teh panas sambil bertanya.

“Mas ada ojek ke sana?“

“Banyak Mas.“

“Tolong carikan ojek Mas.“

“Mau ke mana?“

“Melihat lokasi bencana tanah longsor di desa Mungangsari.“

“Tidak bisa Mas. Jalannya tertutup tanah longsor sepanjang lima kilo meter.“

“Jadi tidak bisa Mas.”

“Nah kalau ke Kusuma Baru?“

“Itu bisa. Sebentar saya telpon tukang ojeknya ya Mas.“

“Ya ya terima kasih.“

Sebentar kemudian tukang ojek datang. Mengantarku pulang ke rumah lewat jalan lain yang tidak biasanya aku lewati. Aku naik ojek tapi keringat dinginku keluar semua membasahi leher, jidat dan wajah. Perasaanku tidak karuan. Nyas-nyassan. Bingung. Gelisah. Ingin rasanya melihat langsung lokasi bencana tanah longsor itu. Seperti apa nasibnya warga di sana. Ada dua puluh lima rumah termasuk rumahnya bapak Kepala Desa.

Warganya kebanyakan pekerja kuli panggul pasar. Juga nyambi penyadap getah karet. Terkenal jujur, ulet, tanggung jawab walaupun taraf ekonominya pas-passan. Tapi setelah bapak Wagino terpilih menjadi kepala Desa. Punya terobosan baru bidang perekonomian untuk warganya. Padahal awalnya bapak Wagino diusung menjadi pasangan bayangan pilkades oleh mantan kepala Desa bapak Sarkum. Dari pada melawan kotak kosong. Diluar hitungan para pendukug fanatik bapak Sarkum. Ternyata bapak Sarkum kalah tidak terpilih. Justru terpilih menjadi kepala Desa bapak Wagino.

Satu tahun setelah dilantik kepala Desa bapak Wagino mengundang tiem PKK Tingkat Kec. Diminta melatih warganya membuat makanan dari bahan ketela : budin. Warganya banyak menanam telo: budin. Setelah panen dijual ke pabrik tepung. Bapak kepala desa menyarankan supaya diolah sendiri menjadi makanan cemilian harian. Seperti ceriping telo, compro kering, gethuk lindri bahkan krispi dari telo: budin. 

Akhirnya taraf kehidupan ekonomi pelan-pelan terangkat. Meninggalkan pekerjaan lama sebagai kuli panggul pasar. Bekerja di rumah membuat aneka cemilan dari bahan ketela : budin. Bahkan terkenal enak di pasaran sebab dengan bahan dasar natural tidak banyak campuran.

Menurut kabar slentingan yang aku terima. Sekarang desa itu tertimpa musibah bencana tanah longsor. Rumahnya hilang semua tertimbun tanah longsor. Bahkan bapak kepala Desa dan istrinya belum ditemukan bersama rumahnya. Tertimbun tanah sedalam lima belas meter dari permukaan tanah.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar