Oleh.
Agus Yuwantoro
Pelukis
dan Parfum Episode ke-62
Jam dua malam tepat aku sudah sampai depan rumah. Naik ojek bonceng
sepeda motor Honda Versa CB 150 seri terbaru berwarna hitam dop leres merah.
Masuk rumah langsung menaruh tas punggung di kamarku. Membersihkan tangan kaki
juga cuci muka. Masuk ruang tengah. Ketika melewati kamar Biung. Perasaanku
nyas-nyassan merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Hampir dua puluh
tahun lebih. Biung dengan setia penuh kasih sayang menemaniku suka dan duka
juga membesarkanku di rumah ini.
Dua baju daster berwarna
biru dan merah bergambar bunga masih nyantel di paku usuk saka rumahku. Baunya
khas Biungku. Langsung aku ciumi berkali-kali. Pelan-pelan aku ambil. Kulipat
kemudian aku masukkan kembali ke dalam almari pakaian Biung. Semua milik Biung
aku ambil dari handuk besar kecil, selendang, jarit, kerudung, mukena. Aku
kumpulkan menjadi satu. Biar tidak menghantui perasaanku terus.
Aku sudah ikhlas lahir
batin dunia akherat. Biung di panggil pulang Tuhan Yang Maha Esa. Kasihan
perjalanan pulang Biung. Kalau hanya merenung, meratap, menggerutu, menyesal
bahkan nelangsa sampai menangis. Kasihan Biung di alam sana. Paling tepat harus
banyak kirim doa-doa terbaik untuk kedua orang tuaku tercinta. Biar tenang di
alam sana.
Jam tiga malam aku masuk
kamar. Mematikan lampu kamar rasanya pingin tidur. Istirahat. Tapi kedua bola
mataku terlalu sulit dipejamkan. Selalu teringat senyum, wajahnya Supraptiwi.
Walaupun sebenarnya awal perjalanan rasa cintaku sangat sederhana. Natural.
Berawal hanya sekedar plirak-plirik, tukar senyum, saling menatap di
persimpangan jalan Kalidatar sewaktu berangkat sekolah. Tumbuh subur bersemi
perasaan kasmaranku.
Pada intinya belum pernah
duduk lama di bawah cahaya rembulan. Apalagi jalan-jalan bersama di taman
bunga. Belum pernah. Tapi rasa ini aneh. Ketika bertemu Supraptiwi di
persimpangan jalan Kalidatar. Hati berbunga bahagia sekali. Ada daya tarik yang
kuat dalam hasratku. Setiap kali bertemu Supraptiwi hatiku langsung merekah
berkembang penuh kebahagian. Hanya sebatas itu mampu melahirkan rasa cintaku
pada Supraptiwi.
Tidak seperti teman-temanku. Bisa kencan.
Bolos sekolah pacaran. Jalan bersama. Duduk berduaan memadu cinta. Merayu dan
dirayu sampai senja datang. Bahkan menembus tengah malam di bawah cahaya terang
bulan. Rasa bukti cintaku pada Supraptiwi. Aku lampiaskan menulis puisi di selembar
kertas bergaris biru bergambar dua sejoli burung merpati putih. Untuk
Supraptiwi sebagai tanda rasa cintaku paling dalam. Anganku. Perasaanku tamasya jauh mengingat masa laluku. Lamunanku
pecah buyar ambyar ketika mendengar
suara kentongan dari pos ronda.
Sekarang aku harus bisa
menerima kenyataan. Kekasihku calon istriku tercinta Supraptiwi tewas bersama
tenggelam dan meledaknya pesawat terbang Sliwedari Air ke dalam air laut
Samudera Hindia. Sedalam enam ribu meter dari permukaan air laut. Semua
penumpang beserta pesawatnya belum ditemukan. Kemudian menyusul Ayah Ibu tercinta tertimpa musibah bencana
alam tanah longsor. Rumahnya hilang bersama kedua orang tuanya belum ditemukan.
Dari dulu Supraptiwi
tinggal di desa Mungangsari. Ada empat wilayah dukuh Desa Mungangsari: Lesmana,
Karangbawang, Sipete, kampungku Kusuma Baru. Kebanyakan warga bekerja setiap
hari sebagai petani tradisional. Warga Desa Mungangsari kebanyakan bekerja
sebagai kuli panggul pasar. Sorenya menjadi penyadap getah karet di hutan
rakyat.
Tepat jam enam pagi warga
kampungku sudah siap berkumpul depan pos ronda. Menjadi tenaga sukarelawan.
Membantu tim BPBD: Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Ada yang membawa
cangkul, sekop, angkong, keranjang untuk mencari korban bencana tanah longsor
yang tertimbun tanah. Setelah aku menerima tamu tetangga Biung ke rumah.
Mengucapkan ikut berduka cita atas wafatnya Biungku. Aku mengambil sekop dan
cangkul bergabung dengan tenaga sukarelawan menuju lokasi bencana alam.
Butuh tiga puluh menit
sampai tempat bencana alam tanah longsor. Harus berjalan kaki menerobos hutan
pinus. Menyeberangi anakan sungai Serayu baru saja sampai lokasi. Setelah
sampai lokasi aku langsung membantu menggali tanah bercampur lumpur dan air.
Nyaris desa Mungangsari tertutup gundukan tanah. Hanya tinggal beberapa rumah
yang tinggal sudah tidak utuh. Bahkan ada beberapa rumah cuma kelihatan
gentengnya saja tertimbun tanah.
Jumlah korban jiwa
bencana tanah longsor menurut bapak petugas Koramil dan Polsek setempat.
Kondisi hidup: lima orang. Korban tewas: lima belas orang. Belum ditemukan
hilang: enam orang termasuk bapak kepala Desa dan istrinya. Sepuluh rumah rusak
parah. Lima belas rumah hilang tertimbun tanah. Jumlah ternak tewas kambing:
dua puluh lima. Sapi: lima ekor. Jumlah harta benda yang hilang ditaksir
sekitar lima ratus juta rupiah.
Aku terus menggali tanah
dengan cangkul. Bahkan ada yang menggali tanah dengan mesin bego. Traktor.
Beberapa anggota TNI AD dan Polri menggali dan menggali terus menerus tanah
bercampur lumpur dan air. Dua hari kemudian dapat bantuan dari tim gabungan
Basarnas : Badan Sar Nasional dipimpin langsung oleh Letkol Infantri Uut
Tripratowo. Menggali dan menggali mencari korban yang hilang dalam tanah
longsor.
Hampir dua minggu tim
Basarnas. BPBD. Anggota TNI AD dan Polri puluhan tenaga sukarelawan dibantu
beberapa warga dari Kusuma Baru, Karangbawang, Sipete berhasil menemukan satu
korban bencana tanah longsor. Mayat berkelamin laki-laki usia sekitar sepuluh
tahun. Ditemukan jasadnya di kedalaman tanah enam meter. Sementara yang lainnya
belum ditemukan.
Semua tim bekerja keras
tidak mengenal lelah. Secara gotong royong bahkan sudah berusaha secara
maksimal memberikan pertolongan terbaik. Mencurahkan segala pikiran, tenaga
juga alat berat untuk menggali. Akan tetapi belum berhasil menemukan korban
tertimbun tanah longsor. Diperkirakan korban tanah longsor berada di kedalaman
lima belas meter bahkan lebih.
Akhirnya tokoh agama dan
masyarakat juga Basrnas dan BPBD bersama jajaran pimpinan wilayah setempat.
Sepakat. Tempat bencana tanah longsor menjadi makam massal bagi korban bencana
yang belum ditemukan. Beberapa pemuda membangun tugu dan nama-nama korban yang
tewas tertimpa musibah bencana tanah longsor di desa Mungangsari.
Nyaris hilang tanpa bekas
tanah pekarangan beserta rumahnya ayahnya Supraptiwi. Impian Supraptiwi setelah
pulang kampung ingin membuat sekolah Taman Kanak Kanak di samping rumahnya.
Biar anak-anak kampungnya ke depan pandai, cerdas mampu sekolah tinggi tidak
menjadi TKW alias babu di luar negri. Cita-cita Supraptiwi kandas.
Tanah pekarangan rumah
orang tuanya hilang lenyap tertimpa bencana tanah longsor. Aku harus mewujudkan
cita-citanya. Donasi untuk membangun sekolah Taman Kanak Kanak sudah masuk
kartu ATMnya. Aku disuruh memegang ATMnya ketika menjenguk Supraptiwi di
Singapura.
Setelah dibangun tugu
untuk memperingati bencana tanah longsor. Ulama dan Tokoh Masyarat juga Karang
Taruna sepakat tempat itu menjadi tempat makam umum. Pertimbangannya warga
tidak terlalu jauh ketika ada acara pemakaman keluarganya yang wafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar