Rabu, 19 April 2023

Bencana Tanah Longsor di Mungangsari

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-62

 

     Jam dua malam tepat aku sudah sampai depan rumah. Naik ojek bonceng sepeda motor Honda Versa CB 150 seri terbaru berwarna hitam dop leres merah. Masuk rumah langsung menaruh tas punggung di kamarku. Membersihkan tangan kaki juga cuci muka. Masuk ruang tengah. Ketika melewati kamar Biung. Perasaanku nyas-nyassan merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Hampir dua puluh tahun lebih. Biung dengan setia penuh kasih sayang menemaniku suka dan duka juga membesarkanku di rumah ini.

Dua baju daster berwarna biru dan merah bergambar bunga masih nyantel di paku usuk saka rumahku. Baunya khas Biungku. Langsung aku ciumi berkali-kali. Pelan-pelan aku ambil. Kulipat kemudian aku masukkan kembali ke dalam almari pakaian Biung. Semua milik Biung aku ambil dari handuk besar kecil, selendang, jarit, kerudung, mukena. Aku kumpulkan menjadi satu. Biar tidak menghantui perasaanku terus.

Aku sudah ikhlas lahir batin dunia akherat. Biung di panggil pulang Tuhan Yang Maha Esa. Kasihan perjalanan pulang Biung. Kalau hanya merenung, meratap, menggerutu, menyesal bahkan nelangsa sampai menangis. Kasihan Biung di alam sana. Paling tepat harus banyak kirim doa-doa terbaik untuk kedua orang tuaku tercinta. Biar tenang di alam sana.

Jam tiga malam aku masuk kamar. Mematikan lampu kamar rasanya pingin tidur. Istirahat. Tapi kedua bola mataku terlalu sulit dipejamkan. Selalu teringat senyum, wajahnya Supraptiwi. Walaupun sebenarnya awal perjalanan rasa cintaku sangat sederhana. Natural. Berawal hanya sekedar plirak-plirik, tukar senyum, saling menatap di persimpangan jalan Kalidatar sewaktu berangkat sekolah. Tumbuh subur bersemi perasaan kasmaranku.

Pada intinya belum pernah duduk lama di bawah cahaya rembulan. Apalagi jalan-jalan bersama di taman bunga. Belum pernah. Tapi rasa ini aneh. Ketika bertemu Supraptiwi di persimpangan jalan Kalidatar. Hati berbunga bahagia sekali. Ada daya tarik yang kuat dalam hasratku. Setiap kali bertemu Supraptiwi hatiku langsung merekah berkembang penuh kebahagian. Hanya sebatas itu mampu melahirkan rasa cintaku pada Supraptiwi.

 Tidak seperti teman-temanku. Bisa kencan. Bolos sekolah pacaran. Jalan bersama. Duduk berduaan memadu cinta. Merayu dan dirayu sampai senja datang. Bahkan menembus tengah malam di bawah cahaya terang bulan. Rasa bukti cintaku pada Supraptiwi. Aku lampiaskan menulis puisi di selembar kertas bergaris biru bergambar dua sejoli burung merpati putih. Untuk Supraptiwi sebagai tanda rasa cintaku paling dalam. Anganku. Perasaanku  tamasya jauh mengingat masa laluku. Lamunanku pecah buyar ambyar  ketika mendengar suara kentongan dari pos ronda.

Sekarang aku harus bisa menerima kenyataan. Kekasihku calon istriku tercinta Supraptiwi tewas bersama tenggelam dan meledaknya pesawat terbang Sliwedari Air ke dalam air laut Samudera Hindia. Sedalam enam ribu meter dari permukaan air laut. Semua penumpang beserta pesawatnya belum ditemukan. Kemudian menyusul  Ayah Ibu tercinta tertimpa musibah bencana alam tanah longsor. Rumahnya hilang bersama kedua orang tuanya belum ditemukan.

Dari dulu Supraptiwi tinggal di desa Mungangsari. Ada empat wilayah dukuh Desa Mungangsari: Lesmana, Karangbawang, Sipete, kampungku Kusuma Baru. Kebanyakan warga bekerja setiap hari sebagai petani tradisional. Warga Desa Mungangsari kebanyakan bekerja sebagai kuli panggul pasar. Sorenya menjadi penyadap getah karet di hutan rakyat.

Tepat jam enam pagi warga kampungku sudah siap berkumpul depan pos ronda. Menjadi tenaga sukarelawan. Membantu tim BPBD: Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Ada yang membawa cangkul, sekop, angkong, keranjang untuk mencari korban bencana tanah longsor yang tertimbun tanah. Setelah aku menerima tamu tetangga Biung ke rumah. Mengucapkan ikut berduka cita atas wafatnya Biungku. Aku mengambil sekop dan cangkul bergabung dengan tenaga sukarelawan menuju lokasi bencana alam.

Butuh tiga puluh menit sampai tempat bencana alam tanah longsor. Harus berjalan kaki menerobos hutan pinus. Menyeberangi anakan sungai Serayu baru saja sampai lokasi. Setelah sampai lokasi aku langsung membantu menggali tanah bercampur lumpur dan air. Nyaris desa Mungangsari tertutup gundukan tanah. Hanya tinggal beberapa rumah yang tinggal sudah tidak utuh. Bahkan ada beberapa rumah cuma kelihatan gentengnya saja tertimbun tanah.

Jumlah korban jiwa bencana tanah longsor menurut bapak petugas Koramil dan Polsek setempat. Kondisi hidup: lima orang. Korban tewas: lima belas orang. Belum ditemukan hilang: enam orang termasuk bapak kepala Desa dan istrinya. Sepuluh rumah rusak parah. Lima belas rumah hilang tertimbun tanah. Jumlah ternak tewas kambing: dua puluh lima. Sapi: lima ekor. Jumlah harta benda yang hilang ditaksir sekitar lima ratus juta rupiah.

Aku terus menggali tanah dengan cangkul. Bahkan ada yang menggali tanah dengan mesin bego. Traktor. Beberapa anggota TNI AD dan Polri menggali dan menggali terus menerus tanah bercampur lumpur dan air. Dua hari kemudian dapat bantuan dari tim gabungan Basarnas : Badan Sar Nasional dipimpin langsung oleh Letkol Infantri Uut Tripratowo. Menggali dan menggali mencari korban yang hilang dalam tanah longsor.

Hampir dua minggu tim Basarnas. BPBD. Anggota TNI AD dan Polri puluhan tenaga sukarelawan dibantu beberapa warga dari Kusuma Baru, Karangbawang, Sipete berhasil menemukan satu korban bencana tanah longsor. Mayat berkelamin laki-laki usia sekitar sepuluh tahun. Ditemukan jasadnya di kedalaman tanah enam meter. Sementara yang lainnya belum ditemukan.

Semua tim bekerja keras tidak mengenal lelah. Secara gotong royong bahkan sudah berusaha secara maksimal memberikan pertolongan terbaik. Mencurahkan segala pikiran, tenaga juga alat berat untuk menggali. Akan tetapi belum berhasil menemukan korban tertimbun tanah longsor. Diperkirakan korban tanah longsor berada di kedalaman lima belas meter bahkan lebih.

Akhirnya tokoh agama dan masyarakat juga Basrnas dan BPBD bersama jajaran pimpinan wilayah setempat. Sepakat. Tempat bencana tanah longsor menjadi makam massal bagi korban bencana yang belum ditemukan. Beberapa pemuda membangun tugu dan nama-nama korban yang tewas tertimpa musibah bencana tanah longsor di desa Mungangsari.

Nyaris hilang tanpa bekas tanah pekarangan beserta rumahnya ayahnya Supraptiwi. Impian Supraptiwi setelah pulang kampung ingin membuat sekolah Taman Kanak Kanak di samping rumahnya. Biar anak-anak kampungnya ke depan pandai, cerdas mampu sekolah tinggi tidak menjadi TKW alias babu di luar negri. Cita-cita Supraptiwi kandas.

Tanah pekarangan rumah orang tuanya hilang lenyap tertimpa bencana tanah longsor. Aku harus mewujudkan cita-citanya. Donasi untuk membangun sekolah Taman Kanak Kanak sudah masuk kartu ATMnya. Aku disuruh memegang ATMnya ketika menjenguk Supraptiwi di Singapura.

Setelah dibangun tugu untuk memperingati bencana tanah longsor. Ulama dan Tokoh Masyarat juga Karang Taruna sepakat tempat itu menjadi tempat makam umum. Pertimbangannya warga tidak terlalu jauh ketika ada acara pemakaman keluarganya yang wafat.   

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar