Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode ke-57
Di kamar jenazah, aku selalu ditemani
bapak Dikin. Bahkan memberikan saran kepadaku. Bapak Suherman Ayahku beserta
Biung dimakamkan di daerah sini saja. Dua tahun yang lalu pada musim wabah
pandemi Covid-19. Banyak Pasien wafat dimakamkan di sana. Tanah milik bapak
Suherman diwakafkan untuk memakamkan korban tewas Covid-19.
Bapak Suherman merasa prihatin ketika sebagian warga tewas
terpapar Covid-19. Ada yang melarang bahkan tidak boleh dimakamkan di tempat
makam umum. Banyak warga menolak. Bahkan setiap jalan masuk tempat pemakaman
umum ditulis banner besar dengan huruf balok berwarna merah: “Semua warga
menolak memakamkan korban Covid-19“. Bukan itu saja, malah ada juga jalan masuk
tempat pemakaman umum dijaga ketat. Menolak secara langsung ketika ada mobil
ambulan masuk akan memakamkan korban Covid-19.
Bahkan pernah ada mobil ambulan membawa jenazah Covid-19.
Dilempari batu sampai pecah kaca bagian samping. Tidak boleh dimakamkan di daerahnya.
Akhirnya mobil ambulan berputar-putar mencari tempat makam umum yang mau
menerima. Permasalahan seperti itu lah maka bapak Suherman merasa terpanggil
hatinya. Mempunyai tanah tegalan setengah hektar. Sudah ditanami ratusan pohon
buah jambu bangkok. Dicabut semuanya. Menjadi tempat pemakaman untuk yang tewas
terpapar Covid-19.
Menurut bapak Dikin sudah puluhan warga terbantu proses
pemakamannya. Bahkan tidak dipungut biaya sewa tempat. Atau dengan sistem
perpanjangan. Siapun warga yang tewas terpapar Covid-19 boleh dimakamkan di sana.
Apa lagi kalau warga fakir miskin menjadi prioritas.
Bapak Dikin mendekatiku kemudian berucap pelan-pelan di sampingku.
“Mas, baiknya Ayah dan
Ibumu dimakamkan tempat makam wakafnya beliau.“
“Iya ya Pak.“
“Biar tim kami bisa membantu lebih awal.“
“Terima kasih Pak.“
“Bapak sudah siapkan tempatnya Mas.“
“Iya Pak terima kasih bantuannya.”
“Tempat pemakaman Ayah dan Ibumu di atas menjadi satu
memudahkan Mas ziaroh.”
“Iya ya Pak.“
“Kalau Mas setuju juga tidak keberatan langsung bapak telpon
tim kami biar secepatnya dibuatkan tempat pemakamannya.”
“Sebentar pak Dikin, apa sebaiknya dimakamkan di kampungku?”
“Laa lokasi makamnya dari rumahnya Mas jauh po gak?“
“Cukup jauh Pak butuh waktu setengah jam sampai makam.“
“Baik Mas, belum ditambah perjalan dari sini sampai kampung
Mas butuh enam jam si… Itu saja kalau jalan tidak macet.“
“Baik, menurut bapak Dikin gimana ya?“
“Untuk penghormatan terakhir bapak Insinyur Suherman beserta
istri tercinta dimakamkan di sini saja Mas. Bapak rasa lebih baik.“
“Iya ya Pak.“
“Tinggal Mas setuju atau tidak, pihak kami siap membantu
sampai selesai.”
“Ya ya baiklah, untuk penghormatan terakhir Ayah dan Biungku
dimakamkan tanah makam wakafnya ya Pak.“
“Betul, sebagai penghormatan.“
“Iya ya Pak.“
“Sudah mantap dimakamkan di sini saja ya Mas?“
“Iya ya Pak.“
“Sekarang bapak langsung telpon tim kami agar secepatnya
membuat tempatnya juga memilih tempat yang terbaik.“
“Terima kasih ya Pak.“
“Seharusnya yang mengucapkan banyak terima kasih bapak Mas,
almarhum telah banyak membantu kami.“
“Sama-sama Pak.“
“O ya Mas, ini kunci rumah Ayahmu. Letaknya di samping Rumah
Sakit Kami. Mulai nanti malam bapak siap membantu bersama warga ngaji dan kirim
doa terbaik.”
“Punya rumah di sini?“
“Iya Mas, sebetulnya rumahnya ada dua. Tapi yang satu
rumahnya di belakang Rumah Sakit Kami. Sudah direnovasi: dibangun menjadi
Mushola untuk warga sekitarnya. Makanya paling tepat dimakamkan di sini.“
“Iya ya terima kasih Pak.“
“Biar warga bisa mengantarkan sampai ke makam, Mas.“
“Ya Pak, terima kasih “
“Mas tunggu di sini bapak tak telpon dulu.“
“Ya,“ jawabku singkat. Aku lalu duduk depan ruang kamar jenazah.
Sebentar lagi upacara pemakaman Ayah dan
Biung tercinta. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa buat kedua orang tuaku
tercinta. Di sini aku hanya sendiri tidak punya saudara. Untung ada teman-teman
setia ayahku yang baik hati. Dokter Sutejo. Bapak Dikin dan beberapa tetangga
ayahku yang tidak tahu namanya.
Tepat jam setengah tujuh pagi tempat untuk pemakaman ayah dan
biung sudah siap. Mobil ambulan merapat di kamar jenazah. Membawa ayah dan
biungku. Aku duduk di samping jenazah ayah dan Biung. Aku temani sampai ke
makam. Lima belas menit kemudian mobil sampai depan Mushola. Semua warga
membantu menurunkan jenazahnya. Dimasukkan Mushsola. Berjamaah mengerjakan
sholat jenazah di Mushola. Aku tidak menyangka begitu banyak yang takziah.
Setelah selesai disholati jenazah dimasukkan mobil ambulan.
Menuju tempat pemakaman. Ada sepuluh mobil mengawal ke makam dengan lampu depan
menyala. Di belakang puluhan sepeda motor berboncengan ikut mengarak dari
belakang. Sebagian karyawan-karyawati Rumah Sakit Jantung Jakarta ikut mengawal
ke makam. Persis barisan karnavalan agustusan.
Jam setengah delapan acara pemakaman selesai. Aku dan bapak
Dikin duduk di atas batu persis depan batu nisan ayah dan biung. Berdoa dan
berdoa untuk kedua orang tuaku tercinta. Semoga semua amal ibadahnya diterima.
Mendapatkan ampunan-Nya. Ditempatkan dalam surga milik Tuhan. Satu persatu para
pentakziah pulang meninggalkan tanah makam. Tinggal aku dan bapak Dikin.
“Mari bapak antar pulang, Mas.“
“Ya,“ jawabku.
Aku berjalan meninggalkan batu nisan. Aku tengok lagi batu
nisan kedua orang tuaku. Aku balik lagi. Aku taburkan bunga di atas makamnya.
Aku melangkah mengikuti bapak Dikin. Sekitar lima ratus meter kakiku melangkah,
ku tengok lagi batu nisan itu.
“Yung, Yung tak dongakna mlebu suarga ya Yung : Aku doakan
Ibunda masuk surga ya Ibu.“ Bisikku dalam hati.
Ketika aku melangkah agak jauh. Aku tengok lagi dua batu
nisan itu nampak muncul cahaya terang persis cahaya bintang- gumintang di
tengah langit malam.
“Ayah, Yung aku pasti datang ziarah ke sini lagi, kukirimi
doa-doa lagi biar bisa menjadi cahaya menuju jalan ke surga.“ Batinku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar