Kamis, 16 Maret 2023

Menuju RSU Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Episode ke-53

 

       Setelah aku menyelesaikan administrasi bapak Suherman di Rumah Sakit Jantung Jakarta. Ternyata menurut laporan petugas administrasi semua biaya perawatan Biung sudah dibayar Dp bapak Suherman bahkan ada sisanya. Aku berjalan menuju jalan Protokol arah menuju RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Berdiri pinggiran bibir jalan aspal. Menunggu taksi expres biar cepat sampai tujuan. Akan tetapi hampir dua puluh menit belum juga dapat taksi expres. Akhirnya aku membuka aplikasi layanan jasa greb. Naik greb biar lebih cepat jalan tidak macet bisa melewati jalur tikus.

      Sebentar kemudian datang jasa greb naik sepeda motor Honda metik vario 150 cc seri terbaru berwarna hijau leres hitam. Serasi dengan pengemudi greb dengan jaket, helm berwarna hijau bergaris putih di tengahnya. Jaketnya parasit ada tulisan Greb berwarna putih menyala. Aku memakai helm berwarna hijau ada tulisan greb motif garis tengah persis helm pengemudinya.

     “Bang, butuh berapa menit sampai RSU Nasional,“ cetusku.

     “Kalau jalan tidak macet dua puluh menit Mas.”

     “Bisa lebih cepat Bang?“

     “Bisa bisa nanti lewat jalur komplek perumahan aja.“

     “Baik Bang.“

     “Tolong tali helmnya dikancing.“

     “Iya ya Bang,“ jawabku sambil mengancing tali helm.

      Sepeda motor Honda metik vario 150 cc seri terbaru begitu cepat lincah masuk keluar gang perumahan. Sampai aku tidak bisa menghitung berapa jumlah gang jalan. Akhirnya sampai juga depan halaman Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Hanya butuh waktu delapan menit. Bahkan lebih cepat dari perkiraan awal. Setelah bayar greb aku langsung berlari kecil menuju bagian informasi. Setelah sampai aku langsung bertanya salah satu petugas jaga.

“Maaf Pak mau tanya bagaimana kondisi salah satu korban ledakan kebakaran di jalan rinjani nomer : 3 Blok. L?“

“Laa anda siapa?”

“Aku anaknya dari salah satu korban ledakan.”

“Betul, bisa membuktikan dengan salah satu kartu pengenal.“

“Bisa,“ jawabku sambil menunjukan KTP Biung.

“Baik,“ jawab penjaga lalu masuk ruang adminstrasi.

  Perasaanku serba bingung, was-was. Deg-degan. Sebab ditinggal begitu saja oleh petugas tadi di ruang informasi. Tapi sebentar kemudian bapak Petugas bersama salah satu karyawan adminstrasi memanggilku ke ruang administrasi.

“Betul saudara anak kandung dari satu kurban ledakan?“

“Betul, betul Bu. Bagaimana keadaan Biungku?“

“Pihak kami sudah berusaha memberikan pelayanan terbaik.“

“Terima kasih Bu.“

“Dua korban ledakan tadi pagi yang membawa ke IGD dari tim Sar Nasional.“

“Betul betul Bu.“

“Dari pihak kami tidak bisa mendata nama alamat korban bisanya membantu yang terbaik.”

“Baik Bu, yang satu namanya bapak Suherman.“

“Baik, bisa dibuktikan dengan KTP nya?“

“Tadi KTP Biungku sudah aku serahkan Bu.“

“Maksudnya KTP bapak Suherman.“

“ Ada ada “ Jawabku mantap sambil membuka tas kulit miliknya bapak Suherman didalam tas tertata rapi beberapa kartu nama. Aku memilih KTPnya bapak Suherman lalu aku serahkan pada petugas.

“Ini Bu KTP bapak Suherman.“

“Ya ya terima kasih langsung kami proses.”

“Keadannya gimana Bu?“

“Sekarang di ICU.“

“Dua duanya Bu?“

“Iya.“

“Kapan aku bisa nengok Bu?“

“Sekarang.“

“Sekarang ya Bu?“

“Iya ya sekarang.“

“Terima kasih Bu.“

“Nanti diantar bapak Satpam ke ruang ICU.”

“Baik.”

Sebelum masuk ruang ICU aku harus menandatangani blangko dan surat-surat yang diberikan salah satu petugas adminstrasi. Setelah itu aku dikasih kartu tunggu pasien. Seorang petugas Satpam rumah sakit datang mendekatiku. Langsung mengantarkan aku ke ruang ICU. Sambil berjalan menuju ruang ICU detak jantungku mulai tidak beraturan. Keringat dingin mulai keluar. Bibirku kaku bergetar. Genangan air mataku mulai keluar mengembang pecah mengalir pelan di bawah garis mata membasahi kedua pipi. Mbrebes mili.

Berjalan lurus mengikuti petugas Satpam. Belok kanan naik turun belok kiri lurus ada tanda tulisan arah menuju ICU. Dadaku semakin gemuruh. Deg-degan. Keringat dingin keluar. Ketika aku sampai bibir pintu kaca. Detak jantungku mulai tidak beraturan. Petugas Satpam rumah sakit menyapaku.

“Ini Mas ruang ICU.”

“Terima kasih ya Pak.”

“Sama sama,“ jawab petugas Satpam melangkah pergi meningalkan aku.

Pelan-pelan aku masuk ruang ICU. Ruangnya bersih cahaya lampu terang benderang. Samping kanan ada beberapa petugas sedang mengerjakan tugas laporan lewat layar laptop. Petugas lainnya sibuk memeriksa beberapa pasien. Begitu aku masuk ruang ICU. Bingung. Di mana Biung dan bapak Suherman. Aku mulai kebingungan melihat warna selimut dan klambu pembatas kamar warnanya sama.

Aku berjalan di sela-sela kanan kiri ranjang besi juga sket klambu. Aku tengok satu persatu belum juga berhasil menemukan Biung dan Bapak Suherman. Ketika aku kebingungan di ruang ICU. Datang seorang perawat dengan seragam serba putih mendekatiku.

“Bisa kami bantu Mas?“

“Bisa.“

“Gimana?”

“Korban ledakan atas nama bapak Suherman dan seorang perempuan di mana?”

“Oo yang korban ledakan di jalan rinjani itu ya Mas?“

“Iya ya betul Bu.“

“Di ruangan khusus sebab korban kebakaran.“

“Di mana Bu?“

“Mari kami antar Mas.“

“Terima kasih.“

“Apakah korban ledakan itu sepasang suami istri ya Mas?“

  Aku diam mengangguk pelan.

“Atas permintaan bapak Suherman minta jadi satu kamar.”

“Oo gitu too Bu.“

“Pasangan itu tidak mau dipisahkan tetap ingin menjadi satu kamar.”

“Terima kasih ya Bu.“

“Pihak kami sudah berusaha memberikan layanan terbaik.“

“Iya ya Bu.“

  Setelah sampai depan pintu ruangan khusus. Pelan-pelan aku membuka daun pintu dari kaca es. Masuk ke dalam. Aku melihat bapak Suherman tiduranan di atas ranjang besi berwarna biru. Bersebelahan dengan Biung. Nyaris tidak ada sekat sedikitpun. Seolah satu ranjang. Cuma terpisah dengan batas batang besi ranjang. Nyaris semua organ tubuhnya melepuh terbakar. Cuma wajahnya masih utuh segar baik Biung maupun bapak Suherman.

Aku dekati Biung pelan-pelan. Kelihatan kedua bola mata Biung ada genangan air mata bening memenuhi kedua bola matanya. Bibirnya kaku bergetar. Aku dekati. Aku cium kedua pipinya. Biung menangis lirih di sela-sela pipiku sambil berucap.

“Maafkan Biung, ngapuranne ya Mas.“

“Ya ya Yung.“

 “Biung pergi tidak seizin Mas, ngapuranne ya.“

“Iya ya Biung sudah Mas maafkan.“

“Makasih ya Mas.“

“Sama sama Yung,“ jawabku sambil melepaskan ciuman pipi Biung.

  Ketika aku mau berdiri tiba-tiba semua isi tas kulit milik bapak Suherman tumpah ke lantai keramik. Jatuh berserakan di lantai keramik. Aku lupa tidak menutup kembali, sewaktu memberikan KTP bapak Suherman. Semua isi tas jatuh ke lantai. Ada dua kartu Atm, Sim, BPJS, kartu lainnya. Langsung aku ambil satu persatu. Tapi ada buku nikah berwarna hijau lumut bergambar Burung Garuda berwarna kuning keemasan. Jatuh dengan posisi halaman pertama terbuka. Ketika aku mengambil buku nikah itu hatiku begetar. Nyasss. Deg-deggan. Ternyata di lembar pertaman ada foto sepasang suami istri dengan cap basah di tengah kolom fotonya. Aku teliti foto istrinya. Berkali-kali aku melihat dekat sekali. Sampai kedua bola mataku aku ucek-ucek dengan kedua tanganku biar tampak jelas foto itu.

“Loo ini kan foto yang dulu aku lukis atas permintaan bapak Suherman,“ bisikku sambil melihat foto itu.

Aku melirik bapak Suherman. Langsung saja bapak Suherman tersenyum cerah wajahnya bercahaya semringah bombong beger. Sambil manggut-manggut. Biung juga tersenyum cerah wajahnya bercahaya seperti rembulan malam. Aku dekati bapak Suherman di sebelah Biung. Anggota badannya melepuh memerah hitam terbakar. Cuma wajahnya masih utuh. Aku cium kedua pipinya. Bapak Suherman langsung menahan tangisnya. Kedua hidungnya kempas-kempis. Sambil berucap.

“Itu istri tercinta bapak Mas.“

“Iya Pak.“

“Itu juga buku nikah bapak bukti suami istri sah Mas.“

“Iya ya Pak.“

“Sini Nak, dekat dengan Bapak.“

“Ya.“

“Maafkan bapakmu selama ini menyusahkan hidupmu dengan Biungmu hampir dua puluh empat tahun.”

“Tidak menyusahkan Pak,“ jawabku sambil melirik Biung.

“Hari ini bapak menerima hukumannya, Mas.“

“Bukan hukuman tapi ujian dari Tuhan Pak.“

“Iya ya, Mas.”

“Sabar sabar ya Pak insya Alloh cepat sembuh.“

“Terima kasih Mas,“ jawab bapak Suherman sambil menatap tajam istri di sebelahnya. Biung tampak semringah bombong beger bungah. Belum pernah aku melihat wajah Biung seindah itu. Wajahnya bercahaya penuh kegembiraan menatapku tajam penuh kasih sayang. Sesudah itu menatap wajah bapak Suherman. Keduanya tersenyum cerah penuh kebahagian di bawah kamar langit ruang khusus.

“Mas dekat Bapak sini.”

“Ya ya Pak.“

“Biungmu sudah cerita banyak tentangmu, Mas.“

“Iya Pak.“

“Kamu anak super hebat luar biasa Mas.”

“Akhh biasa-biasa saja ko Pak.“

 Aku mengambil napas dalam-dalam. Keduanya aku dekap kedua pipinya dengan kedua tanganku penuh rasa kasih sayang. Keduanya terbaring di atas ranjang besi terluka korban ledakan gudang sembako jalan rinjani nomer: 3 Blok L. Posisinya sangat berdekatan bahkan saling tukar senyum. Bertatapan. Saling memandang. Kemudian tersenyum kembali. Bahkan bapak Suherman tidak pernah melepaskan pandangannya ke arah Biungku.

Hampir puluhan tahun mencari dan mencari istri dan anak tercintanya. Dari kota satu ke kota lainnya. Bahkan beberapa kali menengok kembali bendungan raksaksa yang ia bangun di wilayah desa Wadas. Sampai akhirnya mengalami alat kelaminnya peluh: impontensi disebabkan kegoncangan kejiwaan. Kehilangan istri juga anak tercinta. Menurut kabar slentingan orang-orang proyek tewas tenggelam bersama jebolnya bendungan yang ia bangun.

   Aku merasa lega plong atas izin kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Aku bertemu Ayah juga Biung di ruang khusus RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Rasa terima kasihku pada Tuhan. Langsung sujud syukur di bawah lantai keramik.  Sebagai ujud rasa syukurku pada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Kemudian berdoa pada Tuhan.

“Ya Alloh, Ya Robb hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan. Engkau Zat Yang  Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain, kabulkanlah doa ku ini Ya Robb, aamin.“ Aku usap wajahku.

Aku mendekati Biung. Dekat sekali. Biung membisikku pelan-pelan sebelah kanan daun telingaku.

“Itu ayahmu Mas. Ayah kandungmu.”

“Iya ya Yung,“ jawabku sambil mencium kedua pipi Biung.

“Maafkan Biungmu ya Mas.“

 

   

 

 

   

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar