Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode ke-53
Setelah aku menyelesaikan administrasi
bapak Suherman di Rumah Sakit Jantung Jakarta. Ternyata menurut laporan petugas
administrasi semua biaya perawatan Biung sudah dibayar Dp bapak Suherman bahkan
ada sisanya. Aku berjalan menuju jalan Protokol arah menuju RSU Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo. Berdiri pinggiran bibir jalan aspal. Menunggu taksi expres
biar cepat sampai tujuan. Akan tetapi hampir dua puluh menit belum juga dapat
taksi expres. Akhirnya aku membuka aplikasi layanan jasa greb. Naik greb biar
lebih cepat jalan tidak macet bisa melewati jalur tikus.
Sebentar kemudian datang jasa greb naik
sepeda motor Honda metik vario 150 cc seri terbaru berwarna hijau leres hitam.
Serasi dengan pengemudi greb dengan jaket, helm berwarna hijau bergaris putih
di tengahnya. Jaketnya parasit ada tulisan Greb berwarna putih menyala. Aku
memakai helm berwarna hijau ada tulisan greb motif garis tengah persis helm
pengemudinya.
“Bang, butuh berapa menit sampai RSU
Nasional,“ cetusku.
“Kalau jalan tidak macet dua puluh menit
Mas.”
“Bisa lebih cepat Bang?“
“Bisa bisa nanti lewat jalur komplek
perumahan aja.“
“Baik Bang.“
“Tolong tali helmnya dikancing.“
“Iya ya Bang,“ jawabku sambil mengancing
tali helm.
Sepeda motor Honda metik vario 150 cc
seri terbaru begitu cepat lincah masuk keluar gang perumahan. Sampai aku tidak
bisa menghitung berapa jumlah gang jalan. Akhirnya sampai juga depan halaman
Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Hanya butuh waktu delapan
menit. Bahkan lebih cepat dari perkiraan awal. Setelah bayar greb aku langsung
berlari kecil menuju bagian informasi. Setelah sampai aku langsung bertanya
salah satu petugas jaga.
“Maaf Pak mau tanya
bagaimana kondisi salah satu korban ledakan kebakaran di jalan rinjani nomer :
3 Blok. L?“
“Laa anda siapa?”
“Aku anaknya dari salah
satu korban ledakan.”
“Betul, bisa membuktikan
dengan salah satu kartu pengenal.“
“Bisa,“ jawabku sambil
menunjukan KTP Biung.
“Baik,“ jawab penjaga lalu
masuk ruang adminstrasi.
Perasaanku serba bingung, was-was. Deg-degan.
Sebab ditinggal begitu saja oleh petugas tadi di ruang informasi. Tapi sebentar
kemudian bapak Petugas bersama salah satu karyawan adminstrasi memanggilku ke
ruang administrasi.
“Betul saudara anak kandung
dari satu kurban ledakan?“
“Betul, betul Bu.
Bagaimana keadaan Biungku?“
“Pihak kami sudah berusaha
memberikan pelayanan terbaik.“
“Terima kasih Bu.“
“Dua korban ledakan tadi
pagi yang membawa ke IGD dari tim Sar Nasional.“
“Betul betul Bu.“
“Dari pihak kami tidak
bisa mendata nama alamat korban bisanya membantu yang terbaik.”
“Baik Bu, yang satu
namanya bapak Suherman.“
“Baik, bisa dibuktikan
dengan KTP nya?“
“Tadi KTP Biungku sudah
aku serahkan Bu.“
“Maksudnya KTP bapak
Suherman.“
“ Ada ada “ Jawabku mantap
sambil membuka tas kulit miliknya bapak Suherman didalam tas tertata rapi
beberapa kartu nama. Aku memilih KTPnya bapak Suherman lalu aku serahkan pada
petugas.
“Ini Bu KTP bapak Suherman.“
“Ya ya terima kasih
langsung kami proses.”
“Keadannya gimana Bu?“
“Sekarang di ICU.“
“Dua duanya Bu?“
“Iya.“
“Kapan aku bisa nengok Bu?“
“Sekarang.“
“Sekarang ya Bu?“
“Iya ya sekarang.“
“Terima kasih Bu.“
“Nanti diantar bapak
Satpam ke ruang ICU.”
“Baik.”
Sebelum masuk ruang ICU
aku harus menandatangani blangko dan surat-surat yang diberikan salah satu
petugas adminstrasi. Setelah itu aku dikasih kartu tunggu pasien. Seorang
petugas Satpam rumah sakit datang mendekatiku. Langsung mengantarkan aku ke
ruang ICU. Sambil berjalan menuju ruang ICU detak jantungku mulai tidak
beraturan. Keringat dingin mulai keluar. Bibirku kaku bergetar. Genangan air
mataku mulai keluar mengembang pecah mengalir pelan di bawah garis mata
membasahi kedua pipi. Mbrebes mili.
Berjalan lurus mengikuti
petugas Satpam. Belok kanan naik turun belok kiri lurus ada tanda tulisan arah
menuju ICU. Dadaku semakin gemuruh. Deg-degan. Keringat dingin keluar. Ketika
aku sampai bibir pintu kaca. Detak jantungku mulai tidak beraturan. Petugas
Satpam rumah sakit menyapaku.
“Ini Mas ruang ICU.”
“Terima kasih ya Pak.”
“Sama sama,“ jawab petugas
Satpam melangkah pergi meningalkan aku.
Pelan-pelan aku masuk
ruang ICU. Ruangnya bersih cahaya lampu terang benderang. Samping kanan ada
beberapa petugas sedang mengerjakan tugas laporan lewat layar laptop. Petugas
lainnya sibuk memeriksa beberapa pasien. Begitu aku masuk ruang ICU. Bingung.
Di mana Biung dan bapak Suherman. Aku mulai kebingungan melihat warna selimut
dan klambu pembatas kamar warnanya sama.
Aku berjalan di sela-sela
kanan kiri ranjang besi juga sket klambu. Aku tengok satu persatu belum juga
berhasil menemukan Biung dan Bapak Suherman. Ketika aku kebingungan di ruang
ICU. Datang seorang perawat dengan seragam serba putih mendekatiku.
“Bisa kami bantu Mas?“
“Bisa.“
“Gimana?”
“Korban ledakan atas nama
bapak Suherman dan seorang perempuan di mana?”
“Oo yang korban ledakan di
jalan rinjani itu ya Mas?“
“Iya ya betul Bu.“
“Di ruangan khusus sebab
korban kebakaran.“
“Di mana Bu?“
“Mari kami antar Mas.“
“Terima kasih.“
“Apakah korban ledakan itu
sepasang suami istri ya Mas?“
Aku diam mengangguk pelan.
“Atas permintaan bapak
Suherman minta jadi satu kamar.”
“Oo gitu too Bu.“
“Pasangan itu tidak mau
dipisahkan tetap ingin menjadi satu kamar.”
“Terima kasih ya Bu.“
“Pihak kami sudah berusaha
memberikan layanan terbaik.“
“Iya ya Bu.“
Setelah sampai depan pintu ruangan khusus.
Pelan-pelan aku membuka daun pintu dari kaca es. Masuk ke dalam. Aku melihat
bapak Suherman tiduranan di atas ranjang besi berwarna biru. Bersebelahan
dengan Biung. Nyaris tidak ada sekat sedikitpun. Seolah satu ranjang. Cuma
terpisah dengan batas batang besi ranjang. Nyaris semua organ tubuhnya melepuh
terbakar. Cuma wajahnya masih utuh segar baik Biung maupun bapak Suherman.
Aku dekati Biung
pelan-pelan. Kelihatan kedua bola mata Biung ada genangan air mata bening
memenuhi kedua bola matanya. Bibirnya kaku bergetar. Aku dekati. Aku cium kedua
pipinya. Biung menangis lirih di sela-sela pipiku sambil berucap.
“Maafkan Biung, ngapuranne
ya Mas.“
“Ya ya Yung.“
“Biung pergi tidak seizin Mas, ngapuranne ya.“
“Iya ya Biung sudah Mas
maafkan.“
“Makasih ya Mas.“
“Sama sama Yung,“ jawabku
sambil melepaskan ciuman pipi Biung.
Ketika aku mau berdiri tiba-tiba semua isi
tas kulit milik bapak Suherman tumpah ke lantai keramik. Jatuh berserakan di lantai
keramik. Aku lupa tidak menutup kembali, sewaktu memberikan KTP bapak Suherman.
Semua isi tas jatuh ke lantai. Ada dua kartu Atm, Sim, BPJS, kartu lainnya.
Langsung aku ambil satu persatu. Tapi ada buku nikah berwarna hijau lumut
bergambar Burung Garuda berwarna kuning keemasan. Jatuh dengan posisi halaman
pertama terbuka. Ketika aku mengambil buku nikah itu hatiku begetar. Nyasss.
Deg-deggan. Ternyata di lembar pertaman ada foto sepasang suami istri dengan
cap basah di tengah kolom fotonya. Aku teliti foto istrinya. Berkali-kali aku
melihat dekat sekali. Sampai kedua bola mataku aku ucek-ucek dengan kedua
tanganku biar tampak jelas foto itu.
“Loo ini kan foto yang
dulu aku lukis atas permintaan bapak Suherman,“ bisikku sambil melihat foto
itu.
Aku melirik bapak
Suherman. Langsung saja bapak Suherman tersenyum cerah wajahnya bercahaya
semringah bombong beger. Sambil manggut-manggut. Biung juga tersenyum cerah
wajahnya bercahaya seperti rembulan malam. Aku dekati bapak Suherman di sebelah
Biung. Anggota badannya melepuh memerah hitam terbakar. Cuma wajahnya masih
utuh. Aku cium kedua pipinya. Bapak Suherman langsung menahan tangisnya. Kedua
hidungnya kempas-kempis. Sambil berucap.
“Itu istri tercinta bapak
Mas.“
“Iya Pak.“
“Itu juga buku nikah bapak
bukti suami istri sah Mas.“
“Iya ya Pak.“
“Sini Nak, dekat dengan
Bapak.“
“Ya.“
“Maafkan bapakmu selama
ini menyusahkan hidupmu dengan Biungmu hampir dua puluh empat tahun.”
“Tidak menyusahkan Pak,“ jawabku
sambil melirik Biung.
“Hari ini bapak menerima
hukumannya, Mas.“
“Bukan hukuman tapi ujian
dari Tuhan Pak.“
“Iya ya, Mas.”
“Sabar sabar ya Pak insya Alloh
cepat sembuh.“
“Terima kasih Mas,“ jawab
bapak Suherman sambil menatap tajam istri di sebelahnya. Biung tampak semringah
bombong beger bungah. Belum pernah aku melihat wajah Biung seindah itu.
Wajahnya bercahaya penuh kegembiraan menatapku tajam penuh kasih sayang.
Sesudah itu menatap wajah bapak Suherman. Keduanya tersenyum cerah penuh
kebahagian di bawah kamar langit ruang khusus.
“Mas dekat Bapak sini.”
“Ya ya Pak.“
“Biungmu sudah cerita
banyak tentangmu, Mas.“
“Iya Pak.“
“Kamu anak super hebat
luar biasa Mas.”
“Akhh biasa-biasa saja ko
Pak.“
Aku mengambil napas dalam-dalam. Keduanya aku
dekap kedua pipinya dengan kedua tanganku penuh rasa kasih sayang. Keduanya
terbaring di atas ranjang besi terluka korban ledakan gudang sembako jalan
rinjani nomer: 3 Blok L. Posisinya sangat berdekatan bahkan saling tukar
senyum. Bertatapan. Saling memandang. Kemudian tersenyum kembali. Bahkan bapak
Suherman tidak pernah melepaskan pandangannya ke arah Biungku.
Hampir puluhan tahun
mencari dan mencari istri dan anak tercintanya. Dari kota satu ke kota lainnya.
Bahkan beberapa kali menengok kembali bendungan raksaksa yang ia bangun di
wilayah desa Wadas. Sampai akhirnya mengalami alat kelaminnya peluh: impontensi
disebabkan kegoncangan kejiwaan. Kehilangan istri juga anak tercinta. Menurut
kabar slentingan orang-orang proyek tewas tenggelam bersama jebolnya bendungan
yang ia bangun.
Aku merasa lega plong atas izin kehendak
Tuhan Yang Maha Esa. Aku bertemu Ayah juga Biung di ruang khusus RSU Nasional
Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Rasa terima kasihku pada Tuhan. Langsung sujud
syukur di bawah lantai keramik. Sebagai
ujud rasa syukurku pada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Kemudian
berdoa pada Tuhan.
“Ya Alloh, Ya Robb
hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan. Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan
kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain,
kabulkanlah doa ku ini Ya Robb, aamin.“ Aku usap wajahku.
Aku mendekati Biung. Dekat
sekali. Biung membisikku pelan-pelan sebelah kanan daun telingaku.
“Itu ayahmu Mas. Ayah
kandungmu.”
“Iya ya Yung,“ jawabku
sambil mencium kedua pipi Biung.
“Maafkan Biungmu ya Mas.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar