Oleh Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode ke-54
Pada prinsip dan dasar kehidupan setiap
manusia di bumi ini pasti akan mengalami proses tahapan kehidupan. Tidak akan
lepas dari masalah Jodoh, rezeki, dan kematian. Tiga faktor ini adalah hak
mutlak Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta: semua makhluk hidup juga seisi bumi
ini. Manusia hanya bisa mampu merencanakan. Akan tetapi Tuhan yang
menentukannya. Manusia tinggal menerima atas ketentuan-Nya. Antara jodoh, rezeki,
dan kematian pasti dialami semua manusia hidup ini. Seperti halnya pertemuanku
dengan Biung juga Ayahku adalah atas kehendak-Nya.
Jam dua belas siang lebih lelima menit
di ruang khusus RSU Nasional Jakarta.
Aku menggelar sajadah di bawah lantai
bersebelahan Ayah dan Biung. Salat Zuhur juga memberikan doa-doa terbaik biar
cepat sembuh dari luka bakar. Dua perawat masuk. Memeriksa tekanan darah, detak
jantung Biung. Perawat satunya mengganti cairan infus bapak Suherman. Setelah
selesai memeriksa, dua perawat keluar melanjutkan memeriksa pasien lainnya.
Sehabis salat Zuhur, aku duduk di tengah-tengah
Biung dan Ayahku. Secara reflek kedua tanganku mengusap-usap rambutnya. Dengan
gerakan lembut dari arah depan samping kanan kiri penuh dengan rasa kasih
sayang seorang anak pada kedua orang tuanya sebagai wujud berbakti. Wajah Biung
bercahaya apa lagi ayahku. Tersenyum bangga.
“Sini dekat Bapak, Nak.“
“Ya Pak.“
“Tolong ambilkan Hp Bapak di tas.“
“Siap Pak,” jawabku sambil memberikan
hpnya.
Bapak Suherman ayah kandungku dengan
pelan-pelan menerima Hpnya. Aku mengamatinya. Tapi kedua tangannya tidak mampu
diangkat terasa kaku dan bergetar. Hampir saja Hpnya jatuh. Untung cepat aku
tangkap sehingga tidak jatuh.
“Bisa dibantu, Pak?“
“Bisa-bisa.“
“Gaimana Pak?”
“Tolong bukakan aplikasi Bank.“
“Bank mana Pak?“
“BRI aja.“
“Sudah Pak.“
“Tulis no rekening Mas.“
“Ya Pak.“
“Semua saldo Bapak, langsung trasfer no rekeningnnya Mas.“
“Waduh angkanya sangat banyak sekali Pak.“
“Ayoo langsung trasfer saja Mas.“
“Tapi…“
“Tidak usah tapi-tapi ayoo langsung trasfer.“
“Baik Pak,“ jawabku sambil melirik Biung. Biung tersenyum
sambil mengangguk- angguk pelan tanda setuju.
“Uang Bapak ya uangmu, ya uang Biungmu.”
“Sudah Pak.“
“Satu lagi kartu saham bapak pindahkan ke namamu.”
“Jangan Pak itu sangat berharga.”
“Bapak susah payah mencari itu. Ibarat kepala jadi kaki. Kaki
jadi kepala untuk anak juga istri tercinta, sudah lah nurut aja ya.”
“Ya Pak.”
“Itu ada kartu ATM Biungmu kecampur tas bapak sewaktu dulu
mau ke Jakarta, kamu masih jabang bayi. Bapak belum sempat memberikan namamu.”
“Tidak apa-apa Pak.“
“Nama putramu Dimas Prihatin, Mas,“ cetus Biungku.
“Bagus, sangat bagus itu, Dik,” jawab bapak Suherman sambil
melirik istri tercintanya. Keduanya lalu saling tukar senyum.
“Tolong Bapak dihubungkan telpon ke Pengacara.”
“Namanya?”
“Dr. Wahmi, SH. MH di nomer telpon itu.”
“Iya ya Pak,” jawabku sambil mencari nomer telpon itu.
“Sudah ketemu Mas?”
“Sudah Pak.”
“Langsung telpon saja Mas.”
“Iya ya Pak.”
“Tutt tuttt….” Bunyi Hp Ayahku.
Aku tekan lagi nomor
telpon. Hpnya langsung dijawab.
“Ini Pak sudah dijawab,“ jawabku sambil mendekatkan Hp ke
arah Ayah.
“Halo, halo, bapak Insisyur Suherman ya bisa kami bantu?“
“Bisa.”
“Gimana?“
“Tolong dibuatkan Berita Acara semua harta bendaku baik yang
bergerak atau tidak bergerak Bapak kuasakan penuh anak putra tercinta saya
bernama Dimas Prihatin Bin Suherman hari, tanggal, bulan, tahun sekarang.”
“Siap, posisi di mana Bapak?“
“RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo .
“Loo sakit apa Bapak?“
“Kecelakaan korban ledakan di jalan Rinjani.“
“Kapan kejadiannya Bapak?“
“Tadi pagi.”
“Baik, satu jam lagi tim kami menemui bapak untuk tanda
tangan.”
“Oke, Bapak tunggu terima kasih ya.“
“Sama-sama Bapak.”
Hp dimatikan kemudian diberikan kepadaku. Aku masukkan dalam
tas kulit kembali.
Jam dua siang tepat. Pengacara bersama tim datang masuk
ruangan khusus. Tanda tangan di atas materai sepuluh ribu rupiah. Disaksikan
dua saksi. Selesai sudah acara serah terima kuasa semua harta diberikan
kepadaku atas nama penerima harta Dimas Prihatin Bin Suherman.
Wajah bapak Suherman tampak bercahaya seperti cahaya rembulan
di tengah malam. Tersenyum bangga merasa puas menyerahkan semua harta benda
kepadaku. Biungpun tersenyum bangga. Tapi di pojok bola matanya ada genangan
air mata. Bening jernih seperti butiran embun salju. Pecah mencair meleleh di
pojok bulu alisnya. Sambil menatap suaminya penuh arti.
“Terima kasih ya Mas…“
“Sama- sama sudah menjadi kewajiban juga tanggung jawab
seorang Ayah.“
“Terima kasih, Mas.“
“Iya Dik,“ jawab bapak Suherman dengan senyum penuh
kebanggaan.
Sesudah itu bapak Pengacara beserta tim pamit izin keluar
meneruskan pekerjaan yang lainnya.
Aku langsung duduk slonjor tepat di bawah ranjang besi
Ayah juga Biungku. Ruangan khusus begitu harum baunya. Di setiap pojok dinding
ada AC berbetuk kotak berwarna silver, bawahnya ada parfum bergambar bunga
melati berwarna kuning. Ketika AC-nya berfungsi semilir angin langsung keluar
bersama bau parfum berhias tali pita biru bergerak lembut pertanda AC-nya
normal.
Sampai rambutku bergerak berterbangan sebab kekuatan AC di
ruang khusus ini. Semilir angin dari AC mampu meniup kedua bola mata Biung dan
Ayahku. Akhirnya tertidur pulas di atas ranjang besi. Tidur bersebelahan tanpa
sket klambu batas kamar. Sebentar kemudian aku mendengar suara khas sengguran
Biung dan Ayahku.
“Ngur… grok...! ngur… ngrok…!“ Suara sengguran Biung dan
Ayahku. Saling bersautan. Aku memilih tiduran di lantai keramik. Di atas tikar
plastik tas punggung aku jadikan bantal. Tiduran sambil menjaga mengawasi Biung
dan Ayah. Sambil melihat kembali buku nikah orang tuaku. Di kolom data nama
suami jelas nama Suherman tapi di kolom Bin kosong tidak tertulis nama Ayahnya.
Malah ditulis nama ibu Sumi Sedangkan kolom data nama istri Wagiyem. Bukan
Sakura jadi betul bapak Suherman Biungku dari dulu nama aslinya Wagiyem.
“Akhh masa bodoh tentang nama Biung Wagiyem atau Sakura, yang
jelas beliau Biungku.“ Batinku sambil melihat foto Biung persis gadis Mandarin
Jepang. Kedua bola matanya sipit. Cantik sekali. Rambut panjang hitam. Wajar
saja bapak Suherman sangat mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar