Pelukis dan Parfum Episode ke-56
Oleh Agus Yuwantoro
Jam satu malam di Rumah Sakit Umum
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Cahaya rembulan berwarna kemuning
keemasan berhias cahaya bintang- gumintang menyebar luas di plataran langit
malam. Cahaya rembulan menembus lubang jendela pintu kamar khusus Biung dan Ayahku
tercinta. Semua plataran nampak terang benderang. Bahkan cahaya rembulan malam
mampu mengalahkan cahaya lampu listrik di setiap pinggiran bibir jalan aspal.
Tampak beberapa burung emprit tidur nyenyak di atas dahan di balik daun pohon
cemara.
Aku mendekati Biung sambil membawa kursi
duduk di sampingnya. Dari jam satu malam Biung merasakan sumuk badannya.
Udaranya terasa panas malam ini. Sehingga tidurnya tidak nyenyak.
Sebentar-bentar bangun dari tidurnya. Pelan-pelan aku sentuh jidatnya dengan
telapak tanganku. Terasa hangat. Aku balik telapak tanganku. Aku tempelkan di sekitar
jidat Biungku. Mulai panas. Biung bangun. Berucap di depanku.
“Badan Biung terasa pegal-pegal semuanya
Mas…“
“Bisa dibantu Yung?“
“Bisa, tolong pijitkan daerah leher belakang ya Mas?“
“Ya Yung.”
“Kasih minyak kampak biar hangat ya Mas.“
“Iya ya Yung.“
“Agak banyak ya Mas?“
“Ya.”
Aku olesi minyak kampak sekitar belakang leher Biung.
Kemudian aku pijit-pijit bagian belakang leher Biung.
“Sakit gak Yung?“
“Gak Mas, Ayahmu tidurnya pules banget tuu.“
“Iya Yung.“
“Biarin tidak usah diganggu ya Mas.“
“Iya.“
“Jam berapa ya Mas?“
“Jam satu malam lebih sepuluh menit Yung.“
“Badan Biung ko rasanya panas ya Mas?”
“Aku kipasin lagi ya Yung?“
“Gak usah.“
“Tak panggilkan perawat jaga ya Yung?“
“Gak usah.“
Aku pegang daerah kening Biung. Panasnya tambah naik. Daerah
keningnya mulai basah penuh air keringat. Rambutnya basah. Bibirnya kering
sambil menahan panasnya. Aku ambil
handuk kecil. Aku basahi dengan air untuk ngompres Biung. Biar panasnya
menurun. Tapi tetap tambah panas.
Jam setengah dua malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Badan Biung semakin panas bahkan badannya mulai
menggigil. Aku kompres lagi. Biar turun panasnya. Berkali-kali aku kompres
keningnya. Badannya malah menggigil. Biung merapatkan giginya menahan rasa
panas sampai menggigil.
Aku tekan tombol tanda minta bantuan pada perawat jaga. Sebab
Biung badannya panas dan menggigil. Tidak lama kemudian seorang perawat masuk.
Langsung memeriksa suhu badan, tekanan darah Biung. Sebentar kemudian dokter
jaga datang. Atas perintah dokter jaga. Biung harus dibawa ke ruang ICU. Biar
mendapatkan penanganan secara cepat. Aku ikut ke ruang ICU. Aku menengok kearah
bapak Suherman ayah kandungku. Tampak tidur pulas sekali.
Jam dua malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta
Biung tambah menggigil. Bahkan napasnya terasa sesak. Dokter
jaga langsung memerintahkan perawat secepatnya memasang tabung oksigen.
Membantu jalan pernapasannya agar lancar. Wajah Biung mulai pucat. Guratan
garis nampak di keningnya. Menahan rasa sakitnya. Biung tampak lemas. Napasnya
mulai pelan-pelan normal searah tanda arah jarum di amper tabung oksigen.
Jam setengah tiga malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Aku menjalankan sholat sunnah tahajud di samping kanan
pintu masuk ruang ICU. Berdoa pada Tuhan agar diberikan terbaik buat Biung
tercinta. Mohon disembuhkan dari bentuk segala penyakitnya. Hanya Tuhanlah
tempat mengadu, munajat, berdoa bahkan curhat dari segala beban kehidupan ini.
Hanya orang cerdas cinta tulus kepada Tuhan tetap mohon berdoa kepada Tuhan.
Tidak akan menggadaikan keyakinanannya. Tetap kukuh kuat penuh keyakinan
memohon selalu berdoa kepada Tuhan.
Jam tiga malam
Aku berdoa sebisaku agar Biung sembuh. Setelah berdoa aku
masuk lagi ke ruang ICU. Tapi Dokter jaga memanggilku di ruang kerjanya. Aku
masuk ruang kerja Dokter jaga. Kemudian berucap di depanku.
“Begini Mas, pihak kami sudah membantu Biungmu dengan
maksimal.“
“Sudah tidak menggigil juga sesak napas ya Dok?“
“Iya ya. Tapi…“
“Tapi apa Dok?”
“Tuhan berkehendak lain.“
“Maksudnya Dokter?“
“Biung dipanggil Tuhan.“
“Innalilahi yang bener aja Dok?”
“Bener Mas.“
“Jam berapa Dok?“
“Tepat jam tiga malam Biung dipanggil Tuhan.”
Seluruh badanku
terasa lemas. Seakan semua tulang-tulangku lepas. Dadaku panas. Napasku terasa
sesak. Tidak terasa kedua pipiku basah penuh air mata. Menangis tanpa suara.
Dua puluh tiga tahun Biung dengan setia penuh cahaya cinta kasih mendampingi
hidupku tanpa bantuan dari seorang laki-laki. Yang namanya suami. Mampu
memberikan kasih sayang secara utuh seperti Biung-Biung lainnya. Bahkan lebih.
Sekarang Biung tercinta pulang. Pulang ke pemiliknya yang
menciptakan: adalah Tuhan Yang Maha Esa. Aku melihat wajah biung bercahaya
cerah bahkan tersenyum manis. Tampak garis bibirnya melebar kanan kiri.
Senyuman terakhir Biungku paling indah yang pernah kulihat dalam hidupku. Aku
usap wajah Biung. Kedua tangannya aku letakkan persis di atas pusarnya. Persis
gerakan mau sholat. Pelan-pelan aku tutup semua organ tubuh Biung dengan kain
jarit.
Biung dibawa ke ruang kamar mayat. Aku memohon pada petugas
khusus perawatan jenazah. Biar aku yang memandikan Biung. Aku sendiri. Sampai
menjadi imam sholat jenazah. Rasanya ingin membalas rasa kasih sayang Biung.
Dari jabang bayi merah sampai tiga tahun. Selalu dimandikan Biung. Di tengah
bak plastik penuh air hangat bersama harumnya air sabun. Biung memandikan aku.
Bukan hanya memandikan. Juga menghirup ingus di hidungku. Habis berak
dibersihkan anusku. Sehabis mandi ditaburi bedak seluruh tubuhku. Setelah itu
digendong ditimang-timang sambil nyuapi nasi putih bercampur pisang ambon.
Biung tetap tersenyum penuh cinta kasih menemani hidupku sampai sekarang ini.
Sekarang pulang ke sang pemiliknya. Hanya doa-doa terbaikku
semoga bisa menjadi cahaya terang dalam alam kubur. Mendapatkan ampunan. Segala
amal ibadah diterima. Diampuni dosa-dosanya. Doa-doaku bisa bercahaya terang
mampu menunjukkan jalan ke surga-Mu.
Jam setengah empat menjelang terbitnya cahaya fajar. Bapak
Suherman masuk ruang ICU. Menurut perawat jaga semua anggota badannya dingin.
Aku langsung berlari menuju ruang ICU. Aku melihat Dokter jaga dan beberapa
perawat memberikan pelayan terbaik buat ayahku. Aku hanya mampu membantu lewat
doa-doa terbaikku agar ayahku cepat sembuh.
Jam empat menjelang subuh.
Dinding langit berwarna jingga bersama semburat cahaya
matahari bapak Suherman Ayahku. Menyusul pulang seperti Biungku. Selisih satu
jam kepergiannya dengan Biung. Seakan berjanji seia sekata pulang bersama ke
pemiliknya. Aku hanya pasrah pada kehendak-Nya. Semua proses hidup di dunia ini
yang jelas sudah ada yang mengaturnya: Tuhan. Jenazah bapak Suherman menyusul
di kamar mayat bersama Biung. Tetap bersatu seperti di ruang kamar khusus
nyaris tidak mau terpisahkan.
Jam setengah enam pagi
Bapak Dikin beserta pengurus yayasan Rumah Sakit Jantung
Jakarta datang takziah di kamar mayat. Mendekatiku menatapku tajam -tajam
kemudian memelukku erat sekali sambil berucap.
“Kami mewakili keluarga besar Rumah Sakit Jantung Jakarta
ikut berduka cita atas wafatnya Ayah Ibumu tercinta semoga diampuni segala
dosa-dosanya ditempatkan terbaik oleh Tuhan. Ayahmu orang baik sekali. Semua
ilmu arsistek dicurahkan untuk membangun rumah sakit kami. Beliau tidak mau menerima gaji selama menjadi
tim ahli bangunan. Bahkan membangun lagi dua ruang untuk laboratorium dengan biayanya
sendiri. Bukan itu saja masih ada satu. Sebuah lahan: tanah di pinggiran
Jakarta untuk membantu para pasien rumah sakit yang kurang mampu, miskin ketika
wafat. Dimakamkan di daerah situ. Tanah wakaf bapak Suherman khusus warga
miskin tidak mampu mengurus biaya upacara pemakamannya. Sebab di ibu kota biaya
upacara pemakaman cukup mahal. Belum perawatannya dan lain-lainnya, Mas?”
“Iya ya, terima kasih bapak Dikin,“ jawabku sambil memeluk
erat bapak Dikin. Bapak Dikin mengusap-usap rambutkan dari arah depan ke belakang
sambil berucap.
“Sabar, sabar ya Mas.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar