Senin, 27 Maret 2023

Jam Tiga Malam

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum  Episode ke-56

Oleh Agus Yuwantoro

 

      Jam satu malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Cahaya rembulan berwarna kemuning keemasan berhias cahaya bintang- gumintang menyebar luas di plataran langit malam. Cahaya rembulan menembus lubang jendela pintu kamar khusus Biung dan Ayahku tercinta. Semua plataran nampak terang benderang. Bahkan cahaya rembulan malam mampu mengalahkan cahaya lampu listrik di setiap pinggiran bibir jalan aspal. Tampak beberapa burung emprit tidur nyenyak di atas dahan di balik daun pohon cemara.

     Aku mendekati Biung sambil membawa kursi duduk di sampingnya. Dari jam satu malam Biung merasakan sumuk badannya. Udaranya terasa panas malam ini. Sehingga tidurnya tidak nyenyak. Sebentar-bentar bangun dari tidurnya. Pelan-pelan aku sentuh jidatnya dengan telapak tanganku. Terasa hangat. Aku balik telapak tanganku. Aku tempelkan di sekitar jidat Biungku. Mulai panas. Biung bangun. Berucap di depanku.

      “Badan Biung terasa pegal-pegal semuanya Mas…“

     “Bisa dibantu Yung?“

“Bisa, tolong pijitkan daerah leher belakang ya Mas?“

“Ya Yung.”

“Kasih minyak kampak biar hangat ya Mas.“

“Iya ya Yung.“

“Agak banyak ya Mas?“

“Ya.”

Aku olesi minyak kampak sekitar belakang leher Biung. Kemudian aku pijit-pijit bagian belakang leher Biung.

“Sakit gak Yung?“

“Gak Mas, Ayahmu tidurnya pules banget tuu.“

“Iya Yung.“

“Biarin tidak usah diganggu ya Mas.“

“Iya.“

“Jam berapa ya Mas?“

“Jam satu malam lebih sepuluh menit Yung.“

“Badan Biung ko rasanya panas ya Mas?”

“Aku kipasin lagi ya Yung?“

“Gak usah.“

“Tak panggilkan perawat jaga ya Yung?“

“Gak usah.“

Aku pegang daerah kening Biung. Panasnya tambah naik. Daerah keningnya mulai basah penuh air keringat. Rambutnya basah. Bibirnya kering sambil menahan  panasnya. Aku ambil handuk kecil. Aku basahi dengan air untuk ngompres Biung. Biar panasnya menurun. Tapi tetap tambah panas.

Jam setengah dua malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Badan Biung semakin panas bahkan badannya mulai menggigil. Aku kompres lagi. Biar turun panasnya. Berkali-kali aku kompres keningnya. Badannya malah menggigil. Biung merapatkan giginya menahan rasa panas sampai menggigil.

Aku tekan tombol tanda minta bantuan pada perawat jaga. Sebab Biung badannya panas dan menggigil. Tidak lama kemudian seorang perawat masuk. Langsung memeriksa suhu badan, tekanan darah Biung. Sebentar kemudian dokter jaga datang. Atas perintah dokter jaga. Biung harus dibawa ke ruang ICU. Biar mendapatkan penanganan secara cepat. Aku ikut ke ruang ICU. Aku menengok kearah bapak Suherman ayah kandungku. Tampak tidur pulas sekali.

Jam dua malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Biung tambah menggigil. Bahkan napasnya terasa sesak. Dokter jaga langsung memerintahkan perawat secepatnya memasang tabung oksigen. Membantu jalan pernapasannya agar lancar. Wajah Biung mulai pucat. Guratan garis nampak di keningnya. Menahan rasa sakitnya. Biung tampak lemas. Napasnya mulai pelan-pelan normal searah tanda arah jarum di amper tabung oksigen.

Jam setengah tiga malam di Rumah Sakit Umum Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. Aku menjalankan sholat sunnah tahajud di samping kanan pintu masuk ruang ICU. Berdoa pada Tuhan agar diberikan terbaik buat Biung tercinta. Mohon disembuhkan dari bentuk segala penyakitnya. Hanya Tuhanlah tempat mengadu, munajat, berdoa bahkan curhat dari segala beban kehidupan ini. Hanya orang cerdas cinta tulus kepada Tuhan tetap mohon berdoa kepada Tuhan. Tidak akan menggadaikan keyakinanannya. Tetap kukuh kuat penuh keyakinan memohon selalu berdoa kepada Tuhan.

Jam tiga malam

Aku berdoa sebisaku agar Biung sembuh. Setelah berdoa aku masuk lagi ke ruang ICU. Tapi Dokter jaga memanggilku di ruang kerjanya. Aku masuk ruang kerja Dokter jaga. Kemudian berucap di depanku.

“Begini Mas, pihak kami sudah membantu Biungmu dengan maksimal.“

“Sudah tidak menggigil juga sesak napas ya Dok?“

“Iya ya. Tapi…“

“Tapi apa Dok?”

“Tuhan berkehendak lain.“

“Maksudnya Dokter?“

“Biung dipanggil Tuhan.“

“Innalilahi yang bener aja Dok?”

“Bener Mas.“

“Jam berapa Dok?“

“Tepat jam tiga malam Biung dipanggil Tuhan.”

  Seluruh badanku terasa lemas. Seakan semua tulang-tulangku lepas. Dadaku panas. Napasku terasa sesak. Tidak terasa kedua pipiku basah penuh air mata. Menangis tanpa suara. Dua puluh tiga tahun Biung dengan setia penuh cahaya cinta kasih mendampingi hidupku tanpa bantuan dari seorang laki-laki. Yang namanya suami. Mampu memberikan kasih sayang secara utuh seperti Biung-Biung lainnya. Bahkan lebih.

Sekarang Biung tercinta pulang. Pulang ke pemiliknya yang menciptakan: adalah Tuhan Yang Maha Esa. Aku melihat wajah biung bercahaya cerah bahkan tersenyum manis. Tampak garis bibirnya melebar kanan kiri. Senyuman terakhir Biungku paling indah yang pernah kulihat dalam hidupku. Aku usap wajah Biung. Kedua tangannya aku letakkan persis di atas pusarnya. Persis gerakan mau sholat. Pelan-pelan aku tutup semua organ tubuh Biung dengan kain jarit.

Biung dibawa ke ruang kamar mayat. Aku memohon pada petugas khusus perawatan jenazah. Biar aku yang memandikan Biung. Aku sendiri. Sampai menjadi imam sholat jenazah. Rasanya ingin membalas rasa kasih sayang Biung. Dari jabang bayi merah sampai tiga tahun. Selalu dimandikan Biung. Di tengah bak plastik penuh air hangat bersama harumnya air sabun. Biung memandikan aku. Bukan hanya memandikan. Juga menghirup ingus di hidungku. Habis berak dibersihkan anusku. Sehabis mandi ditaburi bedak seluruh tubuhku. Setelah itu digendong ditimang-timang sambil nyuapi nasi putih bercampur pisang ambon. Biung tetap tersenyum penuh cinta kasih menemani hidupku sampai sekarang ini.

Sekarang pulang ke sang pemiliknya. Hanya doa-doa terbaikku semoga bisa menjadi cahaya terang dalam alam kubur. Mendapatkan ampunan. Segala amal ibadah diterima. Diampuni dosa-dosanya. Doa-doaku bisa bercahaya terang mampu menunjukkan jalan ke surga-Mu.

Jam setengah empat menjelang terbitnya cahaya fajar. Bapak Suherman masuk ruang ICU. Menurut perawat jaga semua anggota badannya dingin. Aku langsung berlari menuju ruang ICU. Aku melihat Dokter jaga dan beberapa perawat memberikan pelayan terbaik buat ayahku. Aku hanya mampu membantu lewat doa-doa terbaikku agar ayahku cepat sembuh.

Jam empat menjelang subuh.

Dinding langit berwarna jingga bersama semburat cahaya matahari bapak Suherman Ayahku. Menyusul pulang seperti Biungku. Selisih satu jam kepergiannya dengan Biung. Seakan berjanji seia sekata pulang bersama ke pemiliknya. Aku hanya pasrah pada kehendak-Nya. Semua proses hidup di dunia ini yang jelas sudah ada yang mengaturnya: Tuhan. Jenazah bapak Suherman menyusul di kamar mayat bersama Biung. Tetap bersatu seperti di ruang kamar khusus nyaris tidak mau terpisahkan.

Jam setengah enam pagi

Bapak Dikin beserta pengurus yayasan Rumah Sakit Jantung Jakarta datang takziah di kamar mayat. Mendekatiku menatapku tajam -tajam kemudian memelukku erat sekali sambil berucap.

“Kami mewakili keluarga besar Rumah Sakit Jantung Jakarta ikut berduka cita atas wafatnya Ayah Ibumu tercinta semoga diampuni segala dosa-dosanya ditempatkan terbaik oleh Tuhan. Ayahmu orang baik sekali. Semua ilmu arsistek dicurahkan untuk membangun rumah sakit kami.  Beliau tidak mau menerima gaji selama menjadi tim ahli bangunan. Bahkan membangun lagi dua ruang untuk laboratorium dengan biayanya sendiri. Bukan itu saja masih ada satu. Sebuah lahan: tanah di pinggiran Jakarta untuk membantu para pasien rumah sakit yang kurang mampu, miskin ketika wafat. Dimakamkan di daerah situ. Tanah wakaf bapak Suherman khusus warga miskin tidak mampu mengurus biaya upacara pemakamannya. Sebab di ibu kota biaya upacara pemakaman cukup mahal. Belum perawatannya dan lain-lainnya, Mas?” 

“Iya ya, terima kasih bapak Dikin,“ jawabku sambil memeluk erat bapak Dikin. Bapak Dikin mengusap-usap rambutkan dari arah depan ke belakang sambil berucap.

“Sabar, sabar ya Mas.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar