Pelukis dan Parfum Episode ke-55
Oleh. Agus Yuwantoro
Jam delapan malam di RSU Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta. Ayahku berpesan di samping Biung.
“Sini Nak bapak mau bilang.“
“Iya Pak, gimana?”
“Bapak melihat samping rumahmu ada
Mushola ya?”
“Betul Pak.“
“Itu lokasinya terlalu sempit juga
dihimpit beberapa rumah penduduk.”
“Baiknya gimana Pak?”
“Laa tanahnya milik siapa?”
“Milik Biung.“
“Ukuran tanahnya?“
“Ngepres ko Pak, cuma lebarnya empat
panjang lima meter.“
“Tidak ada halamannya?“
“Tidak ada.“
“Tempat wudlu.“
“Tidak ada, biasanya para jamaah wudlu di
rumahnya sendiri.“
“Khemm baik-baik.“
“Mas, Mas. Biung pernah dengar tanah
miliknya bapak Darto mantan kadus mau dijual,” sambung Biung di sebelahku.
“Luas tanahnya berapa ya Dik?“ jawab
Ayahku.
“Luas banget ko Mas.“
“Berapa?”
“Kurang lebih hampir enam ratus meter
persegi.“
“Minta harga berapa ya Dik?“
“Mahal Mas, warga kampung tidak mampu membeli.“
“Berapa?”
“Mintae si seratus lima puluh juta, Mas.“
“Bayar aja Nak, sekalian buat Masjid
untuk warga kampung.”
“Tapi warga muslimnya cuma dua puluh Pak?“
“Tidak apa-apa.“
“Itu saja kebanyakan warga pendatang dari
desa Wadas Dungkal juga warga lainnya. Penduduk asli rata-rata beragama Hindu
sudah punya tempat ibadahnya. Malah yang sebelah gang jalan beragama Kristen
juga sudah ada tempat ibadahnya.“
“Tidak apa-apa yang penting rukun saling
menghargai.“
“Iya ya Pak, sewaktu mendirikan Mushola
malah warga pemeluk agama Hindu, Kristen membantu mendirikan Mushola. Bahkan
ada yang membelikan semen.”
“Bagus bagus itu Nak.“
“Warga Muslim juga sering bantu-bantu warga
beragama Hindu dan Kristen ketika memperbaiki tempat ibadahnya.”
“Luar biasa rukunnya ya Nak.“
“Sudah dari dulu dari masa kecilku warga hidup berdampingan
rukun walaupun beda agamanya.”
“Bagus bagus, kembali fokus tanah itu Nak.“
“Lokasi tanah di pinggir jalan Pak makanya mintanya mahal.“
“Tidak apa-apa Nak.“
“Bapak setuju tanah itu, laa Biung setuju po gak?”
“Biung setuju.”
“Coba ditanyakan lagi pihak pemilik tanah itu ya Nak?”
“Iya Pak.“
“Ditawar sampai jadi, sesudah tanah itu diwakafkan pengurus
Takmirnya. Bapak kira cukup dananya sekalian bangun Masjidnya ya Nak.“
“Iya ya Pak.“
“Besok kalau bapak sudah sehat. Bapak buatkan gambar dan
rencana anggaran belanjanya bangun Masjid dengan ukuran sepuluh kali lima belas
meter cukup untuk menampung para jamaah warga kampung Kusuma Baru ya Nak.“
“Sudah termasuk lebar tuu Pak?“
“Oke-oke, nanti bisa dibuka beberapa contoh kontruksi gambar
bangunan Masjid di Hp Bapak ya Nak.”
“Iya ya Pak.“
“Terima kasih atas kepedulian rencana bangun Masjidnya ya Mas,“
cetus Biungku sambil tersenyum menatap tajam ayahku.
“Sama-sama,“ jawab Ayahku sambil membalas senyum Biungku.
Kemudian saling memandang penuh cinta dibalik rasa kerinduan yang dalam.
Seolah-olah ingin berpelukan panjang. Tapi kedua tubuhnya tidak bisa bergerak.
Sebab luka bakar sekujur tubuhnya. Hanya kedua bola mata bercahaya indah.
Saling menatap tajam berhias senyuman hangat. Memecahkan perasaan kerinduan
yang hampir beku dalam penantian.
Biung dan Ayahku saling memandang. Kedua bola matanya menyala
penuh gelora asmara cinta berbalut kerinduan panjang. Biung tetap setia pada
cintanya. Ada api cinta selalu menyala merah dalam sukmanya. Terbukti dari aku
masih bayi jabang merah menunggu dan menunggu api pelita cinta sejatinya.
Begitu juga dengan bapak Suherman rasa gelora cinta sangat
sulit dipadamkan. Bahkan setiap hari menyala hangat dalam kehidupannya. Dari
hari ke hari selalu mencari dan mencari cinta sejatinya. Wagiyem gadis dari
desa Wadas Dungkal penjual nasi pecel. Mangkal jualan di pinggiran jalan
kawasan bangunan proyek bendungan raksasa yang ia bangun. Mampu menakluklan
hatinya bapak Suherman. Sampai bertekuk lutut atas nama cintanya.
Wagiyem hanya punya modal kejujuran juga kesetiaan. Menunggu
cinta sejatinya bersama buah cintanya datang. Atas kekuasan Tuhan ditemukan
walaupun sekarang terbaring bersebelahan di ruang khusus RSU Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo salah satu korban ledakan gudang sembako di Jalan Rinjani Nomor: 3
Blok L.
Aku tidak berani menganggu rasa luapan kerinduannya. Bercinta
lewat kedua bola mata juga senyumannya. Biung dan Ayahku bercinta hebat lewat
tatapan dan tukar senyumannya. Aku melihat wajah biung dan ayahku bercahaya
penuh kebahagiaan lahir dan batin. Seakan merasa lunas tuntas mencair pecah
rasa bercintanya.
Jam sembilan malam di RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta.
Datang temen akrabnya bapak Suherman Dokter Sutejo dan bapak
Dikin selaku kepala Rumah sakit Jantung jakarta. Besuk Biung dan Ayahku di
ruangan khusus. Diantar seorang Satpam.
“Selamat malam bapak Insinyur Suherman,“ sapa Dokter Sutejo.
“Malam-malam pak Dokter.“
“Semoga cepat sehat kembali.“
“Aamin terima kasih ya Dok.“
“Sama-sama.“
“Waduh pak Dikin, terima kasih.“
“Sama-sama bapak Insinyur Suherman semoga cepat sembuh ya?’
“Ya terima kasih, kenalkan di sebalahku ini istri tercinta
itu juga anak putraku.“
“Laa ini yang dulu bapak antar di UGD.“
“Betul Dok.“
“Sabar-sabar ya Mas,“ cetus bapak Dikin mendekatiku.
“Iya ya Pak,“ jawabku.
Kemudian Dokter Sutejo juga mendekatiku.
“Begini Mas, kalau Biungmu tiba-tiba suhu badannya panas,
napasnya sesak langsung telpon kami atau Dokter jaga di ICU ya,“ cetus Dokter
Sutejo
“Iya ya Dok.“
Setelah cukup lama besuk Dokter Sutejo dan bapak Dikin pamit.
Langsung menuju Rumah Sakit Jantung sebab jadwal masuk malam.
Jam sebelas malam di RSU Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Bapak Suherman tertidur pulas sementara Biung belum bisa
tertidur. Kepala Biung miring ke arah kanan menghadap wajah suami tercinta.
Biung menikmati garis-garis wajah suami tercinta.
“Tetap masih gagah seperti waktu pertama menyatakan cintanya
di kawasan proyek bendungan raksaksa,“ batin Biung. Sambil melihat ada bekas
garis luka di tangan ketika mau berbuat tidak senonoh. Pisau tinggalan ayahnya
sempat merobek tangan bapak Suherman.
“Mas dekat Biung sini.“
“Tolong ambil kipas Mas.“
“Ya ya Yung.“
“Perasaan Biung ko sumuk ya Mas.“
“Aku besarkan volume AC-nya ya Yung.“
“Tidak usah nanti malah menggangu Ayahmu.”
“Ya ya Yung.“
“Kipasin terus ya Mas.“
“Iya ya Yung.“
“Sumuk, udaranya terasa panas ya Mas.“
“Ya Yung,“ jawabku sambil mengipas- ngipas tepat wajah Biung.
“Ayahmu itu tidak punya saudara. Sebatang kara, Mas.”
“Maksudnya Biung?“
“Waktu nikah dengan Biung tidak ada satupun saudaranya yang
hadir. Orang orang proyek menemani acara pernikahan Biung. Katanya ibu
kandungnya sudah meninggal dunia sewaktu bapak Suherman berumur tujuh tahun. Ia
dari kecil hidup mengembara dari kota satu ke kota lainnya. Dari tukang semir
sepatu jalanan, menjual koran, majalah, sehingga menjadi loper: agen beberapa
koran ibu kota. Dari itu ia bisa sekolah sampai selesai kuliah dan bekerja
sebagai tim ahli perancang berbagai bangunan. Sampai sekarang Biung tidak tahu
asal usul bapak Suherman Ayahmu itu.”
“Tapi bapak Suherman
sangat mencintai Biung.“
“Iya ya Biung merasakan itu dari dulu, laa Mas kenalnya di mana?”
“Dulu waktu aku di Bali beliau sering berkunjung galeri
lukisanku. Bahkan sering pesen lukisan. Terakhir aku disuruh melukis istri
tercinta. Ternyata Biung. He hee sewaktu mudanya Biung sangat cantik ya Yung.“
“Gak lah biasa-biasa saja Mas.“
“Di buku nikah Biung namanya Wagiyem bukan Sakura ya Yung.“
“Biung sengaja merubah nama Sakura, Mas.“
“Kenapa Yung?”
“Nama Wagiyem terlalu berat resikonya. Makanya Biung ganti
nama panggilan Sakura. Biar seperti bunga sakura mekar indah cantik kuat
bercahaya penuh keindahan dan kasih sayang, Mas.”
“Gitu ya Yung?“
“Iya Mas, sekalian menimbun masa lalu Biung. Dulu waktu masih
bayi tetangga Biung memfonis. Punya anak tanpa Ayah. Anak haram. Anak Jadda.
Malu. Jadi beban jiwa. Ini paling berat dialami setiap wanita. Makanya sewaktu
kecilmu dulu Biung selalu perpindah-pindah. Sampai pernah ikut program
transmigrasi demi membesarkanmu. Pada akhirnya kita hidup di kampung Kusuma
Baru yang jelas tidak tahu masa lalu Biungmu.”
“Biung hebat, Kartini masa kini ya Yung,“ jawabku sambil
mencium Biung.
Biung tersenyum cerah
menatap kedua bola mataku dengan tajam.
“Mas?”
“Apa Yung.“
“Kedua bola matamu persis
seperti milik Ayahmu.“
“Apa iya Yung?“
“Iya Mas.“
Aku langsung membelai rambut Biung
pelan-pelan.
“Makanya dari dulu Biung
merasa ceria bahagia sekali ketika melihat kedua bola mataku.“ Batinku. Sambil
mengipas-ngipas lagi ke arah wajah Biung. Biung tersenyum sambil berucap.
“Terima kasih ya Mas.“
“Iya Yung.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar