Selasa, 14 Februari 2023

Menuju Kamar Biung

 

pixabay.com


Pelukis dan Parfum  Episode ke : 48

Oleh  Agus Yuwantoro

 

       Aku berjalan menuju kamar Biung No 233 ruang Melati. Pikiranku tetap tertuju pada bapak Suherman. Juga perempuan berambut panjang wajahnya mirip perempuan Jepang. Setelah sampai depan kamar nomor 233. Pelan-pelan aku masuk biar tidak mengganggu istirahat Biung. Aku memilih tiduran di kursi sudut. Duduk slonjor. Kemudian berbaring. Tapi anganku melayang-layang penasaran dengan perempuan berambut panjang.

      Aku melihat Biung dari ujung kaki sampai kepala. Biung tidur sangat pulas nyenyak seluruh tubuhnya ditutupi selimut. Aku berdiri mendekati remot kontrol ac kamar. Aku kecilkan biar tidak dingin. Kembali duduk slonjor diatas kursi sudut. Jam sepuluh lebih lima belas menit. Kedua bola mataku sangat sulit dipejamkan. Pikiranku tetap melayang-layang perempuan berambut panjang.Tidak terasa sudah jam sebelas malam lebih sepuluh menit. Aku matikan televisi, Hpku.

     Ketika aku mau tiduran dikursi sudut. Jua ingin membetulkan letak selimut Biung biar tubuhnya hangat. Aku membetulkan selimut menutupi tubuh Biung. Aku kaget. Ternyata yang ditutupi selimut bukan tubuh Biungku. Tetapi bantal guling disusun rapi kemudian ditutupi selimut. Persis orang tidur.

“Lhoo Biung kemana?” Batinku sambil meraba-raba bantal guling dan selimut. Di bawah lampu kamar ada kertas putih. Aku ambil ternyata tulisan Biung dengan huruf latin berwarna biru. Aku baca kertas itu dibawah cahaya lampu kamar.

“Mas, maaf ya Biung nyusul ke UGD kasihan bapak itu. Biung sudah sehat kok tadi ada salah satu perawat memeriksa Biung. Biung sempat bertanya. Dimana ruang UGD. Ternyata dekat. Biung tidak sempat pamitan dengan mas. Maafkan Biung ya Mas.“

Aku langsung membuka almari pakain meneliti semua baju Biung. Ada dua kerudung dua baju kebaja motif kembang mawar tertata rapi. Tapi pakain longdres berwarna ungu tidak ada. Biung setiap hari biasanya selalu memakai baju kebaja dengan kerudung. Tidak pernah memakai baju longdres berwarna ungu. Aku periksa kembali semua pakain masih utuh. Cuma baju longdres berwara unggu dengan motif gambar pantai di Bali.  Aku yang membelikan atas pesanan Biung sewaktu masih aktif menjadi pelukis jalanan di daerah Bali.

Rasa penasaranku meledak memuncak diatas kepalaku. Aku harus naik lantai satu. Menuju kamar pavilum kelas eksekutif. Tanpa berfikir panjang aku langsung keluar kamar nomer 233 menuju kamar pavilum tempat bapak Suherman istirahat. Aku melihat jam dinding kamar jam dua belas malam lebih dua puluh menit. Angin malam mulai semakin berhembus semilir basah dingin menembus lobang pori-poriku. Aku berjalan keluar mencari kamar pavilium. Berjalan lurus belok kanan kiri turun dibawah cahaya lampu listrik sudut jalan kamar. Dingin. Sepi. Hanya beberapa petugas Satpam berjaga di setiap sudut pintu masuk bangsal kamar.

Ketika aku naik tangga lantai satu aku menemukan kartu tunggu pasain ruang pavilum kelas eksekutif. Kartu tunggu berwarna biru dengan bahan mika. Aku ambil langsung masukkan saku bajukku. Aku terus berjalan naik tangga menuju lantai satu. Ketika mau masuk bibir pintu pavilum dua petugas Satpam menghadangku. Memeriksa juga bertanya denganku.

“Maaf mau kemana?”

“Ruang pavilum.“

“Mana kartu tunggu pasainnya?”

“Ini Pak,“ jawabku mantap sambil menunjukkan kartu tunggu

“Siapa nama pasainya?”

“Bapak Suherman.“

“Oo Bapak Insinyur Suherman ya?”

“Betul Pak.“

“Silahkan.“

“Terima kasih.“

“Sama-sama,“ Jawab petugas Satpam.

Aku langsung berjalan menuju kamar pavilium. Ketika mau belok kanan aku berhenti sebentar membaca daftar nama-nama pasen, Bapak Suherman tinggal di kamar nomer 2.B. Aku terus berjalan sambil terseyum sendiri.

“Akhh masa bodoh dengan ketua bangsal pavilium. Mungkin sudah tidur pulas diatas kasur busa, ia tidak sempat koordinasi dengan petugas Satpam.” Batinku sambil berjalan menuju kamar 2.B.     

  

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar