Pelukis dan Parfum Episode ke : 48
Oleh Agus Yuwantoro
Aku berjalan menuju kamar Biung No 233
ruang Melati. Pikiranku tetap tertuju pada bapak Suherman. Juga perempuan
berambut panjang wajahnya mirip perempuan Jepang. Setelah sampai depan kamar
nomor 233. Pelan-pelan aku masuk biar tidak mengganggu istirahat Biung. Aku
memilih tiduran di kursi sudut. Duduk slonjor. Kemudian berbaring. Tapi anganku
melayang-layang penasaran dengan perempuan berambut panjang.
Aku melihat Biung dari ujung kaki sampai
kepala. Biung tidur sangat pulas nyenyak seluruh tubuhnya ditutupi selimut. Aku
berdiri mendekati remot kontrol ac kamar. Aku kecilkan biar tidak dingin.
Kembali duduk slonjor diatas kursi sudut. Jam sepuluh lebih lima belas menit.
Kedua bola mataku sangat sulit dipejamkan. Pikiranku tetap melayang-layang perempuan
berambut panjang.Tidak terasa sudah jam sebelas malam lebih sepuluh menit. Aku
matikan televisi, Hpku.
Ketika aku mau tiduran dikursi sudut. Jua
ingin membetulkan letak selimut Biung biar tubuhnya hangat. Aku membetulkan
selimut menutupi tubuh Biung. Aku kaget. Ternyata yang ditutupi selimut bukan
tubuh Biungku. Tetapi bantal guling disusun rapi kemudian ditutupi selimut.
Persis orang tidur.
“Lhoo Biung kemana?”
Batinku sambil meraba-raba bantal guling dan selimut. Di bawah lampu kamar ada
kertas putih. Aku ambil ternyata tulisan Biung dengan huruf latin berwarna
biru. Aku baca kertas itu dibawah cahaya lampu kamar.
“Mas, maaf ya Biung nyusul
ke UGD kasihan bapak itu. Biung sudah sehat kok tadi ada salah satu perawat
memeriksa Biung. Biung sempat bertanya. Dimana ruang UGD. Ternyata dekat. Biung
tidak sempat pamitan dengan mas. Maafkan Biung ya Mas.“
Aku langsung membuka
almari pakain meneliti semua baju Biung. Ada dua kerudung dua baju kebaja motif
kembang mawar tertata rapi. Tapi pakain longdres berwarna ungu tidak ada. Biung
setiap hari biasanya selalu memakai baju kebaja dengan kerudung. Tidak pernah
memakai baju longdres berwarna ungu. Aku periksa kembali semua pakain masih
utuh. Cuma baju longdres berwara unggu dengan motif gambar pantai di Bali. Aku yang membelikan atas pesanan Biung
sewaktu masih aktif menjadi pelukis jalanan di daerah Bali.
Rasa penasaranku meledak
memuncak diatas kepalaku. Aku harus naik lantai satu. Menuju kamar pavilum
kelas eksekutif. Tanpa berfikir panjang aku langsung keluar kamar nomer 233
menuju kamar pavilum tempat bapak Suherman istirahat. Aku melihat jam dinding
kamar jam dua belas malam lebih dua puluh menit. Angin malam mulai semakin
berhembus semilir basah dingin menembus lobang pori-poriku. Aku berjalan keluar
mencari kamar pavilium. Berjalan lurus belok kanan kiri turun dibawah cahaya
lampu listrik sudut jalan kamar. Dingin. Sepi. Hanya beberapa petugas Satpam
berjaga di setiap sudut pintu masuk bangsal kamar.
Ketika aku naik tangga
lantai satu aku menemukan kartu tunggu pasain ruang pavilum kelas eksekutif.
Kartu tunggu berwarna biru dengan bahan mika. Aku ambil langsung masukkan saku
bajukku. Aku terus berjalan naik tangga menuju lantai satu. Ketika mau masuk
bibir pintu pavilum dua petugas Satpam menghadangku. Memeriksa juga bertanya
denganku.
“Maaf mau kemana?”
“Ruang pavilum.“
“Mana kartu tunggu
pasainnya?”
“Ini Pak,“ jawabku mantap
sambil menunjukkan kartu tunggu
“Siapa nama pasainya?”
“Bapak Suherman.“
“Oo Bapak Insinyur
Suherman ya?”
“Betul Pak.“
“Silahkan.“
“Terima kasih.“
“Sama-sama,“ Jawab petugas
Satpam.
Aku langsung berjalan
menuju kamar pavilium. Ketika mau belok kanan aku berhenti sebentar membaca
daftar nama-nama pasen, Bapak Suherman tinggal di kamar nomer 2.B. Aku terus
berjalan sambil terseyum sendiri.
“Akhh masa bodoh dengan
ketua bangsal pavilium. Mungkin sudah tidur pulas diatas kasur busa, ia tidak
sempat koordinasi dengan petugas Satpam.” Batinku sambil berjalan menuju kamar
2.B.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar