Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum ke-44
Aku keluar dari kamar Melati no 233 klas
VIP A. Meninggalkan ruangan kamar ukuran empat kali tiga. Tata cahaya lampu
serba terang. Ada kulkas. Satu set kursi busa berwarna cokelat. Di atas meja
sudah tersedia buah apel, jeruk, anggur dan kelengkeng dalam keranjang terbuat
dari kulit kayu rotan. Tiga botol plastik minuman mineral aqua sudah tersedia.
Pojok kanan di atas almari pakaian terpasang rapi layar tv berbentuk slim
ukuran 21 inci.
Biung tertidur pulas nyenyak diatas
string bet. Dikamar klas VIP A. Biasanya di rumah Biung tidur diatas ranjang
kayu albasia. Berlapis kasur dari kapas cap kupu terbang. Dua bantal guling
sebelah kanan dan kiri. AC-nya cukup dari lobang daun pintu jendela kamar
membawa masuk angin alam. Tidak ada kulkas, tv,
apa lagi kursi busa. Lantai kamar Biung cukup peluran semen. Dengan
gelaran karpet plastik bergambar bola kecil berwarna-warni. Lampu kamar Biung
cukup dengan cahaya balon dop lima wat. Berhias radio transistor dua ban
Nasional. Diikat dengan tali plastik mengantung nempel di paku usuk saka
dinding kamar tidurnya.
Sudah dua hari Biung tidur istirahat
dikamar rumah sakit jantung klas VIP A. Sebelum keluar meniggalkan kamar Biung.
Aku periksa volume ac biar tidak kedinginan. Volume tv Aku kecilkan. Kain
korden ruang kamar Biung aku tutup separo. Ketika aku keluar kamar bapak
Suherman tidak ada. Mungkin tidak hanya mencuci tangan saja. Aku tengok kanan
kiri depan bahkan samping kamar Melati nomer 233. Sepi. Tidak ada bapak
Suherman.
Aku berjalan turun kebawah melalui
tangga manual. Mencari denah arah kantin rumah sakit ini. Aku melihat tanda
panah berwarna kuning menunjukkan arah kantin rumah sakit. Aku berjalan lurus
mengikuti petunjuk arah panah menuju kantin. Ternyata benar arahnya. Kantinnya
bersih luas banyak yang membeli makanan baik nasi bungkus. Roti. Air panas.
Semua aneka jajanan pasar. Aku tertuju pada kesukaan Biung kue klepon dan tahu
susur. Aku cari di stan jajanan dari bermacam-macam gorengan. Belum juga
menemukan jajanan kesukaan Biung.
Ternyata ibu Kantin selalu memperhatikanku.
Kemudian mendekatiku lalu menyapa.
“Cari makanan apa ya Mas?”
“Kue klepon dan tahu susur, Bu?“
“Ada, ada tapi cuma tinggal dua kue klopon
dan tahu susurnya.“
“Tidak apa-apa Bu “
“Baru
saja di borong bapak Insinyur Suherman.“
“Bapak Suherman maksud Ibu?“
“Iyaa betul Insinyur Suherman. Dulu pimpinan pembangunan
proyek rumah sakit ini.“
“Maksud Ibu?“
“Ya ya bapak Insinyur Suherman bukan hanya Pimpro tapi juga
tukang gambar rumah sakit ini. Bahkan selama kerja disini tidak mau menerima
gaji. Semua tenaga pikirannya disumbangkan untuk pembangunan rumah sakit ini.
Bahkan honor dari gambar Rumah Sakit juga semua gajinya disumbangkan
membangunan laboratirum. Itu loo di pojok sana Mas?”
“Loo apa Ibu sudah kenal dengan bapak Suherman.“
“Sudah. Dari dulu sudah seperti saudara ko Mas.“
“Maksud Ibu?“
“Ibu kenal betul dengan Insinyur Suherman. Saat beliu
dipercaya membangun gedung kehormatan rakyat. Gedung MPR.RI. Setelah itu dipercaya
lagi membangun Rumah Sakit ini selama tiga tahun. Jadi Ibu dengan Insinyur
Suherman sangat dekat sekali. Terkadang setiap hari makan di warung Ibu. Bukan
hanya makan bahkan tiduran di ruang tengah bersama karyawan proyek rumah sakit
ini, Mas.”
“Ooo gitu too Bu “
“Iya ya Mas. loo kamu putranya Insinyur Suherman ya ?. Kok
kedua bola matanya persis beliou ya?”
“Enggak cuma sahabat hampir seperti saudara.“
“Tapi kok hampir mirip dengan Insinyur Suheman ya Mas.“
“Akhh biasa-bisa aja lah Bu, Bu.“
“Mirip ko Mas?“
“Terima kasih Bu. Mana kue klepon dan tahu susurnya.“
“ini, ini Mas?”
“Berapa ya Bu?“
“Gratis Mas.“
“Maksud Ibu?“
“Tidak usah bayar Mas.“
“Berapa Bu?“
“Gratis lah Mas tinggal bawa aja “
“Tidak enak la Bu.“
“Gak apa-apa Ibu ikhlas ko.“
“Terima kasih ya Bu.“
“Ya ya Mas. Bener nih bukan putranya Insinyur Suherman.“
“Bukan lah Bu. Bu?”
Ibu yang mempunyai kantin mendekatiku. Dekat sekali.
Melihatkku dari ujung kaki sampai ujung rambutku. Sambil menggeleng-geleng
kepalanya. Maniknya bergerak naik turun. Ketika Aku berbalik melangkah
meningalkan kantin. Ibu itu menatapku lagi. Sambil berucap.
“Mohon maaf Mas. Bener bukan putranya Insinyur Suherman.“
“Bukan lah Bu?“
“Ko mirip ya?“ jawab Ibu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya meningalkanku masuk kantin lagi.
Aku meninggalkan Ibu yang punya kantin. Masuk pintu samping
rumah sakit berjalan naik tangga biasa. Belok kanan lurus menuju kamar Biungku.
Ketika Aku mau masuk kamar melati nomer 233. Aku mendengar sauara bapak
Suherman di balik pintu kamar. Bapak
Suherman duduk jongkok tepat ditepi bibir ranjang Biung. Kepalanya menunduk.
Tangannya memegang pergelangan tangan Biung.
Wajah Biung seperti biasa membuang muka. Bahkan badannya
miring. Wajahnya tidak mengarah bapak Suherman. Bapak Suherman tetap memegang
pergelangan tangan Biung dengan erat-erat. Posisi masih duduk jongkok
disampingnya,
“Maafkan aku Dik. Aku telah banyak berbuat dosa selama ini.
Dik? Dik?“ cetus bapak Suherman sambil mengoyang-goyangkan pergelangan tangan
Biung. Biung tetap diam tidak menjawab sedikit pun. Kali ini bapak Suherman
mengambil sisir. Berdiri disamping Biung. Pelan-pelan menyisir rambut Biung
dari arah belakang. Biung tetep diam membisu tanpa suara. Bahkan wajahnya
ditutupi dengan bantal guling. Dengan pelan penuh kasih sayang bapak Suherman
berkali-kali menyisir rambut Biung dari arah depan belakang. Biung tetap
membisu. Diam. Sambil menyisir rambut Biung. Bapak Suherman mencoba menyapa
kembali.
“Dik ini aku bawakan kue klepon dan tahu susur, ayoo dimakan
Dik?”
Biung tetap diam. Sepatah
kata pun tidak keluar dari mulutnya. Bapak Suherman menghentikan gerakan
menyisir rambut Biung. Mengambil kursi duduk kembali di samping bibir ranjang
Biung. Tangannya tetap memegang erat pergelangan Biung. Kepalanya dibenamkan
samping tubuh Biung. Sehingga sunyi sepi diruang kamar melati nomer 233. Aku
tidak berani masuk menunggu waktu yang tepat.
Ada perasaan aneh dalam
batinku.
“Kenapa? Mengapa?” Bapak
Suherman memanggil Biung dengan sebutan Dik. Dik. Apakah bapak Suherman kakak
kandungnya atau apanya….” Suara batinku bergejolak dalam dadaku sehingga
darahku merasa mendidih.
Aku mengintip di balik kain korden kamar
melati. Bapak Suherman tertidur pulas dengan posisi duduk samping Biung.
Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Hampir tiga hari tidak tidur. Dari
mengantar Biung ke rumah sakit jantung Jakarta. Sampai mengawal proses operasi
jantung selesai.
Tidak lama kemudian Aku
mendengar suara sengguran bapak Suherman dan Biung saling bersautan dalam kamar
Melati klas VIP A. Keduanya tertidur pulas dengan posisi Biung miring
kesamping. Sementara bapak Suherman kepalanya dibenamkan belakang tubuh Biung.
Tangan kanan bapak Suherman masih memegang erat pergelangan tangan Biung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar