Sabtu, 14 Januari 2023

Menuju Kantin Rumah Sakit

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  ke-44

 

      Aku keluar dari kamar Melati no 233 klas VIP A. Meninggalkan ruangan kamar ukuran empat kali tiga. Tata cahaya lampu serba terang. Ada kulkas. Satu set kursi busa berwarna cokelat. Di atas meja sudah tersedia buah apel, jeruk, anggur dan kelengkeng dalam keranjang terbuat dari kulit kayu rotan. Tiga botol plastik minuman mineral aqua sudah tersedia. Pojok kanan di atas almari pakaian terpasang rapi layar tv berbentuk slim ukuran 21 inci.

       Biung tertidur pulas nyenyak diatas string bet. Dikamar klas VIP A. Biasanya di rumah Biung tidur diatas ranjang kayu albasia. Berlapis kasur dari kapas cap kupu terbang. Dua bantal guling sebelah kanan dan kiri. AC-nya cukup dari lobang daun pintu jendela kamar membawa masuk angin alam. Tidak ada kulkas, tv,  apa lagi kursi busa. Lantai kamar Biung cukup peluran semen. Dengan gelaran karpet plastik bergambar bola kecil berwarna-warni. Lampu kamar Biung cukup dengan cahaya balon dop lima wat. Berhias radio transistor dua ban Nasional. Diikat dengan tali plastik mengantung nempel di paku usuk saka dinding kamar tidurnya.

        Sudah dua hari Biung tidur istirahat dikamar rumah sakit jantung klas VIP A. Sebelum keluar meniggalkan kamar Biung. Aku periksa volume ac biar tidak kedinginan. Volume tv Aku kecilkan. Kain korden ruang kamar Biung aku tutup separo. Ketika aku keluar kamar bapak Suherman tidak ada. Mungkin tidak hanya mencuci tangan saja. Aku tengok kanan kiri depan bahkan samping kamar Melati nomer 233. Sepi. Tidak ada bapak Suherman.

       Aku berjalan turun kebawah melalui tangga manual. Mencari denah arah kantin rumah sakit ini. Aku melihat tanda panah berwarna kuning menunjukkan arah kantin rumah sakit. Aku berjalan lurus mengikuti petunjuk arah panah menuju kantin. Ternyata benar arahnya. Kantinnya bersih luas banyak yang membeli makanan baik nasi bungkus. Roti. Air panas. Semua aneka jajanan pasar. Aku tertuju pada kesukaan Biung kue klepon dan tahu susur. Aku cari di stan jajanan dari bermacam-macam gorengan. Belum juga menemukan jajanan kesukaan Biung.

     Ternyata ibu Kantin selalu memperhatikanku. Kemudian mendekatiku lalu menyapa.

      “Cari makanan apa ya Mas?”

      “Kue klepon dan tahu susur, Bu?“

     “Ada, ada tapi cuma tinggal dua kue klopon dan tahu susurnya.“

     “Tidak apa-apa Bu “

     “Baru saja di borong bapak Insinyur Suherman.“

     “Bapak Suherman maksud Ibu?“

“Iyaa betul Insinyur Suherman. Dulu pimpinan pembangunan proyek rumah sakit ini.“

“Maksud Ibu?“

“Ya ya bapak Insinyur Suherman bukan hanya Pimpro tapi juga tukang gambar rumah sakit ini. Bahkan selama kerja disini tidak mau menerima gaji. Semua tenaga pikirannya disumbangkan untuk pembangunan rumah sakit ini. Bahkan honor dari gambar Rumah Sakit juga semua gajinya disumbangkan membangunan laboratirum. Itu loo di pojok sana Mas?”

“Loo apa Ibu sudah kenal dengan bapak Suherman.“

“Sudah. Dari dulu sudah seperti saudara ko Mas.“

“Maksud Ibu?“

“Ibu kenal betul dengan Insinyur Suherman. Saat beliu dipercaya membangun gedung kehormatan rakyat. Gedung MPR.RI. Setelah itu dipercaya lagi membangun Rumah Sakit ini selama tiga tahun. Jadi Ibu dengan Insinyur Suherman sangat dekat sekali. Terkadang setiap hari makan di warung Ibu. Bukan hanya makan bahkan tiduran di ruang tengah bersama karyawan proyek rumah sakit ini, Mas.”

“Ooo gitu too Bu “

“Iya ya Mas. loo kamu putranya Insinyur Suherman ya ?. Kok kedua bola matanya persis beliou ya?”

“Enggak cuma sahabat hampir seperti saudara.“

“Tapi kok hampir mirip dengan Insinyur Suheman ya Mas.“

“Akhh biasa-bisa aja lah Bu, Bu.“

“Mirip ko Mas?“

“Terima kasih Bu. Mana kue klepon dan tahu susurnya.“

“ini, ini Mas?”

“Berapa ya Bu?“

“Gratis Mas.“

“Maksud Ibu?“

“Tidak usah bayar Mas.“

“Berapa Bu?“

“Gratis lah Mas tinggal bawa aja “

“Tidak enak la Bu.“

“Gak apa-apa Ibu ikhlas ko.“

“Terima kasih ya Bu.“

“Ya ya Mas. Bener nih bukan putranya Insinyur Suherman.“

“Bukan lah Bu. Bu?”

Ibu yang mempunyai kantin mendekatiku. Dekat sekali. Melihatkku dari ujung kaki sampai ujung rambutku. Sambil menggeleng-geleng kepalanya. Maniknya bergerak naik turun. Ketika Aku berbalik melangkah meningalkan kantin. Ibu itu menatapku lagi. Sambil berucap.

“Mohon maaf Mas. Bener bukan putranya Insinyur Suherman.“

“Bukan lah Bu?“

“Ko mirip ya?“ jawab Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya meningalkanku masuk kantin lagi.

Aku meninggalkan Ibu yang punya kantin. Masuk pintu samping rumah sakit berjalan naik tangga biasa. Belok kanan lurus menuju kamar Biungku. Ketika Aku mau masuk kamar melati nomer 233. Aku mendengar sauara bapak Suherman di balik pintu kamar.  Bapak Suherman duduk jongkok tepat ditepi bibir ranjang Biung. Kepalanya menunduk. Tangannya memegang pergelangan tangan Biung.

Wajah Biung seperti biasa membuang muka. Bahkan badannya miring. Wajahnya tidak mengarah bapak Suherman. Bapak Suherman tetap memegang pergelangan tangan Biung dengan erat-erat. Posisi masih duduk jongkok disampingnya,

“Maafkan aku Dik. Aku telah banyak berbuat dosa selama ini. Dik? Dik?“ cetus bapak Suherman sambil mengoyang-goyangkan pergelangan tangan Biung. Biung tetap diam tidak menjawab sedikit pun. Kali ini bapak Suherman mengambil sisir. Berdiri disamping Biung. Pelan-pelan menyisir rambut Biung dari arah belakang. Biung tetep diam membisu tanpa suara. Bahkan wajahnya ditutupi dengan bantal guling. Dengan pelan penuh kasih sayang bapak Suherman berkali-kali menyisir rambut Biung dari arah depan belakang. Biung tetap membisu. Diam. Sambil menyisir rambut Biung. Bapak Suherman mencoba menyapa kembali.

“Dik ini aku bawakan kue klepon dan tahu susur, ayoo dimakan Dik?”

Biung tetap diam. Sepatah kata pun tidak keluar dari mulutnya. Bapak Suherman menghentikan gerakan menyisir rambut Biung. Mengambil kursi duduk kembali di samping bibir ranjang Biung. Tangannya tetap memegang erat pergelangan Biung. Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Sehingga sunyi sepi diruang kamar melati nomer 233. Aku tidak berani masuk menunggu waktu yang tepat.

Ada perasaan aneh dalam batinku.

“Kenapa? Mengapa?” Bapak Suherman memanggil Biung dengan sebutan Dik. Dik. Apakah bapak Suherman kakak kandungnya atau apanya….” Suara batinku bergejolak dalam dadaku sehingga darahku merasa mendidih.

 Aku mengintip di balik kain korden kamar melati. Bapak Suherman tertidur pulas dengan posisi duduk samping Biung. Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Hampir tiga hari tidak tidur. Dari mengantar Biung ke rumah sakit jantung Jakarta. Sampai mengawal proses operasi jantung selesai.

Tidak lama kemudian Aku mendengar suara sengguran bapak Suherman dan Biung saling bersautan dalam kamar Melati klas VIP A. Keduanya tertidur pulas dengan posisi Biung miring kesamping. Sementara bapak Suherman kepalanya dibenamkan belakang tubuh Biung. Tangan kanan bapak Suherman masih memegang erat pergelangan tangan Biung.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar