Rabu, 11 Januari 2023

Biung Siuman Setelah Operasi Jantung

 

pixabay.com

Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum.  Episode ke-43

 

      Setelah bapak Suherman telpon dengan bapak Daslam pimpinan Rumah Sakit Jantung Jakarta. Semua biaya sudah ditransfer Simon teman setia bapak Suherman. Sesama komunitas kolektor lukisan dari Belanda. Bahkan jumlahnya lebih dari cukup. Dokter spesial jantung Sutejo menerima telpon dari kamar operasi. Biung sudah sadar dari operasi jantung. Langsung dipindahkan kamar VIP kelas A ruang kamar Melati nomor 233. Bapak Suherman langsung pamitan. Sebelum pergi keluar meninggalkan ruang kerja Dokter Sutejo, keduanya saling berjabat tangan berpelukan erat sekali.

     “Terima kasih Dok informasinya,“ cetus bapak Suherman sambil melepaskan pelukannya.

     “Sama sama Bapak.“

“Dikamar apa ya Dok.“

“Kamar Melati no 233.“

“Oke-oke terima kasih Dok.“

“Iya sama-sama tinggal kontrol saja.“

“Kapan Dok ?

“Baiknya dua minggu lagi.“

“Baik Dok.“

Bapak Suherman pamitan dengan Dokter Sutejo keluar dari kamar kerjanya. Aku mengikuti dari belakang. Berjalan lurus belok kanan naik liv menuju ruang kamar Melati nomer 233. Hanya butuh lima menit aku dan bapak Suherman sudah sampai depan pintu masuk kamar Melati nomer 233. Aku disuruh masuk dulu. Bapak Suherman mau cuci tangan dulu.

Ketika Aku masuk kamar Melati Biung masih tiduran dengan selimut bergambar bunga mawar merah berwarna ungu. Biung tersenyum ketika aku masuk ruangan. Aku peluk biung erat-erat sekali. Aku tatap wajah Biung ada gengan air mata di pojok kedua bola matanya. Aku peluk lagi tubuh Biung.

“Di mana ini ya Mas?”

“Jakarta, Yung?”

“Jakarta!”

“Iya ya Jakarta Rumah Sakit Khusus Jantung.“

“Rumah Sakit Jantung ya Mas?“

“Iya ya Yung.“

“Waduh laa biaya gimana Mas?“

“Gak usah mikirin biyaya lah Yung yang penting sehat.“

“Maksudnya?”

“Tuhan sang pemberi Rezeki yang mengaturnya Yung.“

“Ya sudahlah Mas.“

“Percaya aja pada Tuhan Sang pemberi Rezeki Yung.“

“Iya ya Mas.“

“Istirahat dulu ya Yung.”

“Iya ya Biung mau tidur Mas.“

“iya ya Yung.“

“Tolong selimutnya di tarik ke atas.“

“Ya Yung.“

“Dingin banget Mas.“

“Ini pengaruh ac nya Yung.“

“Dikecilkan saja Mas.“

“Ya ya Yung.“

Sambil membetulkan letak selimut Aku pijit pijit telapak kaki Biung dengan pelan. Kaki ini saksi sejarah hidupku. Mengawal dari bayi merah penuh darah dan cairan iar ketuban. Bersama daging ari-ari merah penuh darah segar. Kuasa Tuhan lahir bayi merah. Setelah putus tali pusarnya. Ritual cukur rambut dan pemberian nama. Bayi merah penuh darah lahir dari gua garba Biung. Tumbuh subur hidup dengan kekuatan kedua kaki Biung.

Kedua kaki ini setiap hari melangkah ke luar rumah mencari rezeqi untuk makan. Dengan langkah kedua kaki ini mampu membesarkanku sampai sekarang. Kedua kaki ini menjadi titik awal sejarah kehidupanku. Begitu keras Biung melawan kehidupannya. Bahkan harus berpindah pindah ketika temen-temen kecilku pamer tokoh seorang Ayah. Ngantar sekolah diantar ayah. Pulang dijemput Ayah. Liburan dengan Ayah. Beli mainan dari Ayah. Aku pendam perasaan ini dari masa kecilku. Ketika teman-temanku bercerita tentang tokoh Ayah. Aku sampaikan pada Biung. Biung diam membisu. Menatapku tajam. Mencium kedua bola mataku. Memelukku rapat sekali. Kemudian menangis lirih dipelukanku. Setelah kejadian itu aku tidak menanyakan lagi tokoh seorang Ayah. Aku dan Biung berpindah-pindah dari kampung satu kekampung lainnya.

Biung dan Aku rumahnya berpindah-pindah. Sebab ada saja sebagian warga usil dengan urusan kehidupanku. Bahkan menfonis. Aku anak lahir di luar nikah. Tanpa status jelas. Anak Jaddah. Anak Haram. Tidak membawa berkah bahkan membawa petaka dimana-mana. Maka wajar Biungku berpindah pindah. Pada akhirnya ketemu dengan salah satu warga kampung asli Biungku. Ia selamat dari bencana jebolnya bendungan raksasa menenggelamkan juga menewaskan beberapa warga. Kehilangan harta benda. Pindah di kampung itu sampi sekarang.

Kaki ini yang membesarku. Berjalan setiap detik jam hari. Menembus waktu dan senja. Bahkan berteman panas hujan kedinginan. Kaki ini memberiku makan. Kasih sayang. Perhatiannya. Tanpa bantuan seorang Ayah. Biung mampu menerjang badai kehidupannya. Biung melawan kekerasan dalam langkah kehidupannya. Melawan hukum adat istiadat. Tidak percaya Anak Jadah sumber mala petaka. Biung mampu mengibarkan bendera kasih sayang dalam dadaku. Tanpa harus dendam dengan tokoh Ayah.

Ketika Aku masih di Bali mendirikan sangar seni lukis dan berusaha menjual lukisanku. Aku angkat salah satu anak tanpa ayah. Sekarang sudah dianggat jadi guru melukis lewat jalur P3K. Menjadi guru seni lukis. Aku melihat Biung tertidur pulas. Aku lepaskan pelan-pelan gerakan pijitanku didaerah telapak kaki Biung. Aku sering mendengar ceramah para Ustadz. Surga terletak di bawah kaki Biung. Bahkan Aku masih mencatat dalam buku harian batinku. Siapakah yang wajib ditatati. Dihormati. Ibumu. Ibumu. Ibumu. Ibumu baru ayahmu.

Benar juga kata para petuah agama. Doa-doa Biung dimana saja terijabahi Tuhan. Sebaliknya ketukan Biung bisa terijabahi Tuhan. Malin Kundang contoh kecil seorang anak durhakan kepada Ibunda tercinta. Setelah sukses. Kaya. Berpangkat istriny cantik. Lupa. Melupakan ibunda tercinta. Bahkan tidak mengakui keberadaan Ibunya. Dengan susah payah memberikan semua kasih sayang. Memberi makan sampai tumbuh dewasa. Lupa pada ibunda tercinta. Malin Kundang anak durhaka pada ibunda tercinta. Doa-doa Biung didengarkan Tuhan. Malin Kundang jadi patung di pinggiran bibir pantai.   

Aku memijit-mijit kaki Biung. Sehingga Biung tertidur pulas. Kedua kaki ini yang membesarkanku sampai sekarang.  Pelan-pelan aku melangkah keluar kamar Melati. Meninggalkan Biung mencari makanan kecil kesukaan Biung. Klepon dan tahu susur di kantin rumah sakit jantung Jakarta.  Nanti setelah Biung bangun tidur sudah tersedia makanan kesukannya yang aku bungkus dengan daun pisang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar