Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum. Episode ke-43
Setelah bapak Suherman telpon dengan
bapak Daslam pimpinan Rumah Sakit Jantung Jakarta. Semua biaya sudah ditransfer
Simon teman setia bapak Suherman. Sesama komunitas kolektor lukisan dari
Belanda. Bahkan jumlahnya lebih dari cukup. Dokter spesial jantung Sutejo
menerima telpon dari kamar operasi. Biung sudah sadar dari operasi jantung.
Langsung dipindahkan kamar VIP kelas A ruang kamar Melati nomor 233. Bapak
Suherman langsung pamitan. Sebelum pergi keluar meninggalkan ruang kerja Dokter
Sutejo, keduanya saling berjabat tangan berpelukan erat sekali.
“Terima kasih Dok informasinya,“ cetus
bapak Suherman sambil melepaskan pelukannya.
“Sama sama Bapak.“
“Dikamar apa ya Dok.“
“Kamar Melati no 233.“
“Oke-oke terima kasih Dok.“
“Iya sama-sama tinggal kontrol saja.“
“Kapan Dok ?
“Baiknya dua minggu lagi.“
“Baik Dok.“
Bapak Suherman pamitan
dengan Dokter Sutejo keluar dari kamar kerjanya. Aku mengikuti dari belakang.
Berjalan lurus belok kanan naik liv menuju ruang kamar Melati nomer 233. Hanya
butuh lima menit aku dan bapak Suherman sudah sampai depan pintu masuk kamar
Melati nomer 233. Aku disuruh masuk dulu. Bapak Suherman mau cuci tangan dulu.
Ketika Aku masuk kamar Melati Biung masih tiduran dengan
selimut bergambar bunga mawar merah berwarna ungu. Biung tersenyum ketika aku
masuk ruangan. Aku peluk biung erat-erat sekali. Aku tatap wajah Biung ada
gengan air mata di pojok kedua bola matanya. Aku peluk lagi tubuh Biung.
“Di mana ini ya Mas?”
“Jakarta, Yung?”
“Jakarta!”
“Iya ya Jakarta Rumah Sakit Khusus Jantung.“
“Rumah Sakit Jantung ya Mas?“
“Iya ya Yung.“
“Waduh laa biaya gimana Mas?“
“Gak usah mikirin biyaya lah Yung yang penting sehat.“
“Maksudnya?”
“Tuhan sang pemberi Rezeki yang mengaturnya Yung.“
“Ya sudahlah Mas.“
“Percaya aja pada Tuhan Sang pemberi Rezeki Yung.“
“Iya ya Mas.“
“Istirahat dulu ya Yung.”
“Iya ya Biung mau tidur Mas.“
“iya ya Yung.“
“Tolong selimutnya di tarik ke atas.“
“Ya Yung.“
“Dingin banget Mas.“
“Ini pengaruh ac nya Yung.“
“Dikecilkan saja Mas.“
“Ya ya Yung.“
Sambil membetulkan letak
selimut Aku pijit pijit telapak kaki Biung dengan pelan. Kaki ini saksi sejarah
hidupku. Mengawal dari bayi merah penuh darah dan cairan iar ketuban. Bersama
daging ari-ari merah penuh darah segar. Kuasa Tuhan lahir bayi merah. Setelah
putus tali pusarnya. Ritual cukur rambut dan pemberian nama. Bayi merah penuh
darah lahir dari gua garba Biung. Tumbuh subur hidup dengan kekuatan kedua kaki
Biung.
Kedua kaki ini setiap hari melangkah ke luar rumah mencari
rezeqi untuk makan. Dengan langkah kedua kaki ini mampu membesarkanku sampai
sekarang. Kedua kaki ini menjadi titik awal sejarah kehidupanku. Begitu keras
Biung melawan kehidupannya. Bahkan harus berpindah pindah ketika temen-temen
kecilku pamer tokoh seorang Ayah. Ngantar sekolah diantar ayah. Pulang dijemput
Ayah. Liburan dengan Ayah. Beli mainan dari Ayah. Aku pendam perasaan ini dari
masa kecilku. Ketika teman-temanku bercerita tentang tokoh Ayah. Aku sampaikan
pada Biung. Biung diam membisu. Menatapku tajam. Mencium kedua bola mataku.
Memelukku rapat sekali. Kemudian menangis lirih dipelukanku. Setelah kejadian
itu aku tidak menanyakan lagi tokoh seorang Ayah. Aku dan Biung
berpindah-pindah dari kampung satu kekampung lainnya.
Biung dan Aku rumahnya
berpindah-pindah. Sebab ada saja sebagian warga usil dengan urusan kehidupanku.
Bahkan menfonis. Aku anak lahir di luar nikah. Tanpa status jelas. Anak Jaddah.
Anak Haram. Tidak membawa berkah bahkan membawa petaka dimana-mana. Maka wajar
Biungku berpindah pindah. Pada akhirnya ketemu dengan salah satu warga kampung
asli Biungku. Ia selamat dari bencana jebolnya bendungan raksasa menenggelamkan
juga menewaskan beberapa warga. Kehilangan harta benda. Pindah di kampung itu
sampi sekarang.
Kaki ini yang membesarku.
Berjalan setiap detik jam hari. Menembus waktu dan senja. Bahkan berteman panas
hujan kedinginan. Kaki ini memberiku makan. Kasih sayang. Perhatiannya. Tanpa
bantuan seorang Ayah. Biung mampu menerjang badai kehidupannya. Biung melawan kekerasan
dalam langkah kehidupannya. Melawan hukum adat istiadat. Tidak percaya Anak
Jadah sumber mala petaka. Biung mampu mengibarkan bendera kasih sayang dalam
dadaku. Tanpa harus dendam dengan tokoh Ayah.
Ketika Aku masih di Bali mendirikan sangar seni lukis dan
berusaha menjual lukisanku. Aku angkat salah satu anak tanpa ayah. Sekarang
sudah dianggat jadi guru melukis lewat jalur P3K. Menjadi guru seni lukis. Aku
melihat Biung tertidur pulas. Aku lepaskan pelan-pelan gerakan pijitanku
didaerah telapak kaki Biung. Aku sering mendengar ceramah para Ustadz. Surga
terletak di bawah kaki Biung. Bahkan Aku masih mencatat dalam buku harian
batinku. Siapakah yang wajib ditatati. Dihormati. Ibumu. Ibumu. Ibumu. Ibumu
baru ayahmu.
Benar juga kata para petuah agama. Doa-doa Biung dimana saja
terijabahi Tuhan. Sebaliknya ketukan Biung bisa terijabahi Tuhan. Malin Kundang
contoh kecil seorang anak durhakan kepada Ibunda tercinta. Setelah sukses.
Kaya. Berpangkat istriny cantik. Lupa. Melupakan ibunda tercinta. Bahkan tidak
mengakui keberadaan Ibunya. Dengan susah payah memberikan semua kasih sayang.
Memberi makan sampai tumbuh dewasa. Lupa pada ibunda tercinta. Malin Kundang
anak durhaka pada ibunda tercinta. Doa-doa Biung didengarkan Tuhan. Malin
Kundang jadi patung di pinggiran bibir pantai.
Aku memijit-mijit kaki Biung. Sehingga Biung tertidur pulas.
Kedua kaki ini yang membesarkanku sampai sekarang. Pelan-pelan aku melangkah keluar kamar
Melati. Meninggalkan Biung mencari makanan kecil kesukaan Biung. Klepon dan tahu
susur di kantin rumah sakit jantung Jakarta.
Nanti setelah Biung bangun tidur sudah tersedia makanan kesukannya yang aku
bungkus dengan daun pisang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar