Selasa, 31 Januari 2023
Kelas Cerpen Angkatan 5 Siap Digelar 10-11 Februari 2023
Sabtu, 21 Januari 2023
Juara Favorit Lomba Cerpen KMAP 2022
Cintanya Sarmadi
Oleh. Agus Yuwantoro
Hari ini Sarmadi senyum ceria pulang dari
nguli membuat bata merah miliknya
juragan Parlan. Setiap sabtu sore bayaran. Upah kerja kuli bata merah. Setelah
bayaran mampir warung yu Ginah. Janda muda cantik mulus kulitnya, anak putrinya
juragannya. Nyaur utang. Rokok, kopi, teh manis juga nasi bungkus. Yu Ginah
sudah resmi cerai. Suaminya selingkuh dengan anak putri dukun bayi Mbok Sumi.
Sampai hamil tiga bulan. Yu Ginah menggugat cerai Heru suaminya anak tunggal
kepala desa.
Sarmadi berjalan menuju warung yu Ginah
sambil menghitung uang upah mencetak bata. Pakai topi caping celana hitam
komprang telanjang dada. Mendekati warungnya yu Ginah.
“Yu berapa jumlah bonnya ya?”
“Cuma sedikit kok Kang.“
“La berapa?”
“Dua puluh lima ribu Kang.“
“Oo ini Yu.“
“Habis bayaran ya Kang.“
“Iya Yu.“
“Minum kopi dulu ya, gratis Kang.“
“Terima kasih.“
“Laa mau kemana si Kang.“
“Nempur beras, beli mie, ikan asin, gula dan teh untuk simbok.“
“Oo hebat- hebat Kang“
“Ya sekedar meringankan Simbok yu, Yu?“
“Bener nih gak ngopi dulu gratis kok kang ayoo masuk sini.“
“Terima kasih lah yu.“
“Bener ngak ngopi.“
“Suwun lah Yu.“
Sarmadi berjalan
menuju selepan mesin penggiling padi miliknya Sarwan. Nempur beras. Sampai
dirumah memberikan beras, ikan asin, teh dan gula pada simboknya. Langsung
mandi. Hari ini wajahnya ceria sehabis isha mau temuan dengan gadis. Kenalan
lewat hp jadulnya.
Sehabis mandi
Sarmadi rias depan cermin kamarnya. Rambutnya dikasih minyak rambut cap orang
aring. Badannya dioles parfum. Pakai kaos lengan panjang berwarna biru. Stelan
jelana jins. Pakai sandal mely warna kuning. Mesam-mesem depan cermin. Bergaya
kesamping kanan belakang depan.
Ketika Sarmadi
memasukkan kaos dalam jelana jinsnya Hp nya berbunyi.
“Ting tingg tinggg…“
Bunyi Hpnya Sarmadi
Sarmadi asyik
menyisir rambutnya ke arah belakang. Biar rajin klimis hitam mengkilat. Hpnya
berbunyi lagi.
“Ting tingg tinggg…“
Bunyi Hpnya Sarmadi lagi.
Sarmadi mengambil
hpnya berwarna biru buka sms dari gadis pujaannya.
“Sedang apaan ya
Mas?”
“Rias depan cermin
Dik.“
“Mau kondangan po?”
“Nggak?”
“Laa acara apaan ya?“
“Malam mingguan lah
Dik. Dik?”
“O iya ya lupa ini malam
minggu too?”
“Ya iyalah kan udah
janjian mau ketemuan si?“
“Oo iya ya hampir
lupa.”
“Jam berapa nanti
ketemuannya ya Dik.“
“Jam sembilan ya Mas.“
“Oke, siap Dik.“
“Nati aku sms lagi
ya Mas.“
“Oke Dik. Datang
loo.“
“Iya ya Mas.“
Sarmadi
tersenyum depan cermin. Dilihatnya jam dinding batu bergambar tokoh kartun
Sincan. Hadiah lomba jalan sehat dalam rangka perayaan Agustusan di kampungnya.
Jam setengah enam. Kurang satu jam setengah lagi ketemuan gadis pujaannya.
Walaupun sebetulnya belum pernah ketemu. Tapi cinta Sarmadi merekah mengembang
membara panas dalam dadanya. Setiap satu jam sekali pasti mendapatkan sms.
Tanya ini itu. Sarmadi luluh hatinya setiap membaca sms.
Sarmadi yakin
gadis ini baik-baik. Smsnya sopan. Sejuk. Adem. Ayem. Hampir dua tahun hatinya
membeku. Gara-gara cinta sebelah dengan anak putri pak Kadus. Yatimah anak
putri satu-satunya pak Kadus. Pada awalnya Sarmadi setiap hari selalu ketemu.
Akhirnya suka. Apapun permintaannya dituruti. Tidak pernah menolak. Dari cuci
sepeda ontelnya. Nambal ban ketika bocor. Nuntun sepedanya dimasukkan kerumah.
Bahkan saking setianya pas hujan gerimis harus naik pohon kelapa memetik deghan
: Kelapa muda atas permintannya. Apapun perintahnya Sarmadi siap. Tidak pernah
menolak.
Gara-gara ada KKN
di kampung. Yatimah kasmaran dengan salah satu mahasiswa. Yatimah gadis lugu. Tamatan SD. Belum tahu
arti cinta dan mencintai. Hatinya luluh bujuk raju salah satu mahasiswa yang
KKN. Fredy mahasiswa dari Ajibarang Kulon berhasil meluluh lantakan hatinya
Yatimah. Kemanapun pergi selalu boncengan honda bebek Supra X Tahun 2015
berwarna merah. Ketika malam perpisahan KKN akan dimulai. Yatimah pingsan di
ruang tamu. Setelah siuman diperiksa bidan desa positif hamil tiga bulan lebih
dua minggu. Ferdy tidak mengakui apa lagi tanggung jawab. Yatimah tidak hanya
hubungan badan dengan Fredy saja. Tapi ada beberapa temen mahasiswa ikut
ramai-ramai mensetubuinya.
Kadus ayahnya
Yatimah bingung. Pusing kepala. Untuk menutup aib anak putrinya. Dititipkan
saudaranya yang tinggal desa sebelah. Bahkan dinikahkan resmi salah satu
keluarga Kadus. Malang nasib Yati. Tewas. Ketika mau melahirkan anaknya. Usia
masih tergolong mudia belia. Baru usia enam belas tahun rahimnya belum kuat
untuk proses melahirkan bayinya. Tewas bersama bayinya.
Setelah kejadian
itu pak Kadus menutup semua pintu rumah kalau ada KKN. Bahkan melarang keluarga
besarnya tidak usah macak Mahasiswa. Ketika ada perayaan karnafalan Agustusan.
Sarmadi sebetulnya sangat sayang Yatimah. Tapi kenyataanya. Cinta bertepuk
sebelah tangan. Semenjak Yatimah tewas hati Sarmadi membeku tidak punya rasa
kasmaran apa lagi jatuh cinta.
Tapi sekarang
Sarmadi luluh lantak hatinya. Mencair pecah ambyar merekah berkembang
kasmarannya. Pada awalnya ada sms nyasar masuk dihpnya. Kemudian dari hari ke
hari lanjut sms. Saling balas membalas. Membangkitkan gelora kasmaran. Sarmadi
bujang setengah tua hampir tiga puluh tahun belum berani nikah. Sekarang jatuh
cinta berat dengan gadis sering sms. Tidak peduli kuli pembuat bata. Jatuh
cinta: hak setiap manusia. Tidak peduli priyayi. Abangan. Gelandangan. Kaum
pinggiran. Pejabat. Anggota dawan. Bupati. Camat. Sama-sama mempunyai hak jatuh
cinta.
Sarmadi melilirik
Jam dinding setengah delapan malam.
Kaosnya dimasukkan jelana. Pakai sabuk. Kalungan sarung cap Atlas leres
bergaris kemerahan. Keluar rumah sambil senyum-senyum sendiri.
“Ting tingg tinggg…“
Suara hpnya Sarmadi
Sarmadi
membetulkan sarungnya. Dililitkan keleher dua kali. Biar hangat bisa menutupi
kedua telinganya.
“Ting tingg tinggg…“
Suara hpnya Sarmadi kedua kalinya
Sarmaji mengambil
hpnya dalam saku. Dibuka smsnya.
“Mayooo ketemuan
Mas?”
“Oke oke Dik “
“Di mana Mas?”
“Belakang SD Impres
aja ya Dik.“
“Gelap Mas. Takut.“
“Di samping pos
ronda aja ya Dik.“
“Gak mau banyak
orang Mas.“
“Di pasar malam aja
ya Dik.“
“Waduh banyak orang Mas.“
“Sekalin jalan-jalan
ya Dik?“
“Ya ya Mas?“
“Mas memakai kaos
lengan panjang berwarna biru dengan jelan jins gubetan sarung ya Dik.“
“Ya ya Mas.“
“Adik pakai baju
apaan ya?”
“Baju motif kembang
mawar merah berwarna ungu jelana panjang hitam kulot pakai pita rambut berwarna
jingga ya Mas.“
“Oke. I Love yau ya
Dik.“
“Iya ya pada-pada
lah Mas.“
Sarmadi berjalan
lurus menuju pasar malam berhias cahaya lampu berwarna-warni. Setiap bibir
jalan dipenuhi penjual jajanan dari pisang goreng, tempe, tahu susur, bakwan.
Bakso sapi. Soto sapi. Soto ayam. Sarmadi berjalan diselah-selah penjual mainan
anak-anak. Disamping hiburan tong setan
menoleh kakan kiri. Belum muncul gadis berbaju ungu motif kembang mawar merah.
Sarmadi terus berjalan melewati hiburan tong setan. Ombak banyu. Pesawat
keliling. Sampai mengawasi penumpang sepur-sepuran berjalan mengelilingi area
pasar malam. Tetep belum ketemu.
Sarmadi beli rokok kretek
76 dua batang. Satu batang dimasukkan dalam saku jelananya. Satu dinyalakan
kedua bola matanya mengawasi semua orang masuk keluar pasar malam. Tetep belum
ditemukan. Sarmadi pasrah lalu duduk sebelah penjual kacang rebus. Duduk di
atas selembar daun pisang. Ketika menoleh kekanan melihat gadis pita jingga.
Berjalan menunduk di samping penjual mainan anak-anak. Sarmadi berdiri
mengawasi gadis dengan pita jingga.
Dibawah cahaya lampu
remang-remang pasar malam Sarmadi mengikuti dari belakang gadis pita jingga.
Disamping cahaya lampu penjual arum manis Sarmadi tetep berjalan mengikuti dari
belakang. Sarmadi meraba-raba hpnya tidak ada sms masuk. Pas dibawah cahaya
lampu penjual mainan anak-anak gadis berpita jingga menoleh Sarmadi. Sarmadi
kaget ples dongkol. Kecewa. Ternyata yu Darsih tetangga sebelah. Sarmadi
tersenyum malu. Balik. Putar kebelakang berjalan terus mencari gadis berbaju
ungu motif bunga mawar merah. Hampir tengah malam tetep tidak menemukan. Satu
persatu penonton pasar malam pulang. Disusul beberapa penjual gorengan.
Sarmadi duduk
termenung sendiri di bawah cahaya lampu pasar malam. Tiba tiba hpnya berbunyi.
“Ting tingg tinggg…“
Bunyi hpnya
Sarmadi diam. Tidak
memperdulikan suara hpnya. Hpnya berbunyi lagi
“Ting tingg tinggg…“
Bunyi hpnya
Sarmadi membuka hp
membaca sms
“Posisi dimana si
Mas?”
“Di bawah lampu
pasar malam laa adik di mana?“
“Sama. Dibawah
cahaya lampu pasar malam.“
“Sebelah mana si Dik.“
“Pintu masuk depan
loket karcis tong setan.“
“Oke ta susul ya.“
“Ya, Mas?”
Sarmadi berlari
kecil hatinya bombong bungah semringgah. Menuju samping loket masuk hiburan
tong setan. Betul pesan smsnya memakai baju celana dengan pita jingga. Sarmadi
mendekati pelan-pelan sekali. Dekat disamping gadis itu kemudian menoleh ke
arah Sarmadi. Sarmadi kaget setengah mati.
“Loo kok yu Ginah.“
“Iya ya Mas, Kenapa
gak suka?’
“Suka, suka,“ jawab
Sarmadi sambil menundukkan kepalanya. Takut membalas tatapan yu Ginah anak
putri juragannya. Kedua bola matanya terlalu indah, saingan cahaya lampu pasar
malam. Apa lagi bibirnya basah memerah. Yu Ginah mendekati Sarmadi. Sangat
dekat. Dekat sekali. Sarmadi tetep gubetan sarung tidak berani menatap kedua bola
matanya apa lagi bibirnya basah merekah memerah.
“Kang, deket sini
taa?“
“Iya ya?“ jawab
Sarmadi sambil melepaskan gubetan sarung dilehernya.
“Jadi yang sms
panjenengan too?”
“Iya nyesel ya Kang?”
“Gakk lah Dik.“
“Deket sini, dingin
Kang?”
“Ya ya,“ jawab Sarmadi
gugub.
Elegi
senja hari, 30 Oktober 2022 Agus Yuwantoro.
Bapak Suherman Pingsan di Samping Biungku
Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode
ke : 45
Hampir dua jam aku duduk di ruang tunggu
kamar Mawar nomor 233. Menunggu bapak Suherman bangun tidur posisi sebelah
Biungku. Aku kaget langsung berdiri. Ketika Biung memanggilku dari dalam kamar
Melati.
“Mas, Mass!”
Aku langsung masuk kamar. Bapak Suherman
masih dalam posisi yang sama. Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Akan
tetapi tangannya lepas tidak menggengam erat tangan Biung. Tubuhnya hampir
jatuh kelantai kamar melati nomer 233.
“Mas, Mas tolong Mas.“
“Iya ya Yung.“
“Bapak ini badannya dingin sekali Mas.“
“Iya ya Yung.“
“Pelan-pelan ya Mas.“
“Iya ya “
“Tolong badannya dinaikkan sini aja Mas.“
“Iya Yung.“ Jawabku sambil mengangkat
badannya bapak Suherman.
“Sini Mas.“
“Ya.“
“Biung ta turun dari ranjang ya Mas.“
“Iya Yung.“
“Bapak ini pingsan Mas.“
“Tolong diambilkan minyak kampak itu di tas itu Mas.“
“Iya Yung.“
“Cepet Mas.“
“Iya ya.“ Jawabku sambil mengambil minyak kampak dalam tas
Biung.
Minyak kampak Aku oleskan ujung jemariku. Kemudian
pelan-pelan aku usapkan arah lobang hidung, keningnya bapak Suherman. Tetep
belum sadar. Wajah Biung mulai pucat. Keningnya penuh butiran air keringat.
Bibirnya bergetar. Maniknya turun naik sangat cepat. Biung mulai gelisah. Ada
genangan air mata mulai pecah di ujung kedua bola mata Biung. Aku pijit-pijit
kepalanya bapak Suherman. Aku oleskan minyak kampak dari leher sampai belakang
kepala. Aku usapkan lagi minyak kampak sekitar kaki bapak Suherman. Tetap tidak
sadar.
Aku mulai kebingungan mondar-mandir dalam kamar. Biung
mendekatiku bibirnya merah bergetar menatatapku tajam dengan kedua bola matanya
memerah basah.
“Panggil Dokter Mas. Cepat Mas.“
“Iya ya Yung.“
“Itu tanda ada bel darurat di atas bantal itu Mas.“
“Ya ya Yung,“ jawabku gugup sambil menekan tombol bel tanda
minta bantuan. Tiga menit kemudian dua perawat langsung datang. Memeriksa tubuh
bapak Suherman dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Kedua bola matanya di
buka kemudian diperiksa dengan alat khusus. Perawat yang satunya melepaskan
ikat pinggang. Bajunya dibuka. Tetep saja belum ada tanda-tanda sadar bapak
Suherman. Salah satu perawat mengambil tindakan tepat langsung telpon Dokter
jaga.
“Selamat siang Dok.“
“Ya ya ada apa bisa saya bantu.“
“Bisa Dok. Ada tamu pasien di kamar melati nomer 233 pingsan
cepat sini Dok.“
“Ya ya.“
“Cepat ya Dok.“
“Ya.“
“Terima kasih ya Dok.“
Empat menit kemudian Dokter jaga Rumah Sakit Jantung Jakarta
sudah sampai di kamar melati nomer 233. Langsung memeriksa. Kemudian membawa
bapak Suherman ke ruang UGD : Unit Gawat Darurat. Aku mengikuti dari belakang.
Ketika aku mau berjalan mengikuti Dokter dan dua perawat. Biung memegang erat
tanganku.
“Mas Biung ikut ke UGD.“
“Gak usah Yung.“
“Ikut lah Mas.“
“Tidak usah Yung.“
“Ikut lah ya Mas.“
“Tidak usah lah Yung.“
“Ikut ya Mas.“
“Biung kan baru saja dioperasi perlu banyak istirahat lah.“
“Jadi?“
“Biung tidak usah ikut ya.“
“Ya ya Mas.“
“Biung istirahat di sini dulu nanti aku balik sini Yung.“
“Ya ya Mas,“ jawab Biung wajahnya memerah. Penuh dengan rasa
kebingungan.
“Dah ya Yung aku ikut ngawal sampai ke UGD.“
“Ya Mas “
“Sana masuk istirahat dulu ya Yung.“
“Ya,“ jawab Biung singkat dengan menundukkan kepalanya.
Aku berjalan mengikuti arah tujuan dua perawat dan Dokter.
Masuk pintu khusus. Naik liv sebentar kemudian masuk ruangan UGD. Langsung
diperiksa diruangan khusus. Aku disuruh menunggu di ruang tunggu UGD. Aku
melihat dua Dokter datang lagi langsung masuk ruang UGD. Memeriksa bapak
Suherman.
Di ruang tunggu UGD batinku bergejolak. Badannya terasa
panas. Detak jantungnya tidak beraturan.
“Kenapa? Ya bapak Suherman. Ko tiba-tiba bisa pinsan. Mungkin
merasa kecapain. Kurang istirahat.“ Batinku duduk di ruang tungu UGD.
Sabtu, 14 Januari 2023
Menuju Kantin Rumah Sakit
Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum ke-44
Aku keluar dari kamar Melati no 233 klas
VIP A. Meninggalkan ruangan kamar ukuran empat kali tiga. Tata cahaya lampu
serba terang. Ada kulkas. Satu set kursi busa berwarna cokelat. Di atas meja
sudah tersedia buah apel, jeruk, anggur dan kelengkeng dalam keranjang terbuat
dari kulit kayu rotan. Tiga botol plastik minuman mineral aqua sudah tersedia.
Pojok kanan di atas almari pakaian terpasang rapi layar tv berbentuk slim
ukuran 21 inci.
Biung tertidur pulas nyenyak diatas
string bet. Dikamar klas VIP A. Biasanya di rumah Biung tidur diatas ranjang
kayu albasia. Berlapis kasur dari kapas cap kupu terbang. Dua bantal guling
sebelah kanan dan kiri. AC-nya cukup dari lobang daun pintu jendela kamar
membawa masuk angin alam. Tidak ada kulkas, tv,
apa lagi kursi busa. Lantai kamar Biung cukup peluran semen. Dengan
gelaran karpet plastik bergambar bola kecil berwarna-warni. Lampu kamar Biung
cukup dengan cahaya balon dop lima wat. Berhias radio transistor dua ban
Nasional. Diikat dengan tali plastik mengantung nempel di paku usuk saka
dinding kamar tidurnya.
Sudah dua hari Biung tidur istirahat
dikamar rumah sakit jantung klas VIP A. Sebelum keluar meniggalkan kamar Biung.
Aku periksa volume ac biar tidak kedinginan. Volume tv Aku kecilkan. Kain
korden ruang kamar Biung aku tutup separo. Ketika aku keluar kamar bapak
Suherman tidak ada. Mungkin tidak hanya mencuci tangan saja. Aku tengok kanan
kiri depan bahkan samping kamar Melati nomer 233. Sepi. Tidak ada bapak
Suherman.
Aku berjalan turun kebawah melalui
tangga manual. Mencari denah arah kantin rumah sakit ini. Aku melihat tanda
panah berwarna kuning menunjukkan arah kantin rumah sakit. Aku berjalan lurus
mengikuti petunjuk arah panah menuju kantin. Ternyata benar arahnya. Kantinnya
bersih luas banyak yang membeli makanan baik nasi bungkus. Roti. Air panas.
Semua aneka jajanan pasar. Aku tertuju pada kesukaan Biung kue klepon dan tahu
susur. Aku cari di stan jajanan dari bermacam-macam gorengan. Belum juga
menemukan jajanan kesukaan Biung.
Ternyata ibu Kantin selalu memperhatikanku.
Kemudian mendekatiku lalu menyapa.
“Cari makanan apa ya Mas?”
“Kue klepon dan tahu susur, Bu?“
“Ada, ada tapi cuma tinggal dua kue klopon
dan tahu susurnya.“
“Tidak apa-apa Bu “
“Baru
saja di borong bapak Insinyur Suherman.“
“Bapak Suherman maksud Ibu?“
“Iyaa betul Insinyur Suherman. Dulu pimpinan pembangunan
proyek rumah sakit ini.“
“Maksud Ibu?“
“Ya ya bapak Insinyur Suherman bukan hanya Pimpro tapi juga
tukang gambar rumah sakit ini. Bahkan selama kerja disini tidak mau menerima
gaji. Semua tenaga pikirannya disumbangkan untuk pembangunan rumah sakit ini.
Bahkan honor dari gambar Rumah Sakit juga semua gajinya disumbangkan
membangunan laboratirum. Itu loo di pojok sana Mas?”
“Loo apa Ibu sudah kenal dengan bapak Suherman.“
“Sudah. Dari dulu sudah seperti saudara ko Mas.“
“Maksud Ibu?“
“Ibu kenal betul dengan Insinyur Suherman. Saat beliu
dipercaya membangun gedung kehormatan rakyat. Gedung MPR.RI. Setelah itu dipercaya
lagi membangun Rumah Sakit ini selama tiga tahun. Jadi Ibu dengan Insinyur
Suherman sangat dekat sekali. Terkadang setiap hari makan di warung Ibu. Bukan
hanya makan bahkan tiduran di ruang tengah bersama karyawan proyek rumah sakit
ini, Mas.”
“Ooo gitu too Bu “
“Iya ya Mas. loo kamu putranya Insinyur Suherman ya ?. Kok
kedua bola matanya persis beliou ya?”
“Enggak cuma sahabat hampir seperti saudara.“
“Tapi kok hampir mirip dengan Insinyur Suheman ya Mas.“
“Akhh biasa-bisa aja lah Bu, Bu.“
“Mirip ko Mas?“
“Terima kasih Bu. Mana kue klepon dan tahu susurnya.“
“ini, ini Mas?”
“Berapa ya Bu?“
“Gratis Mas.“
“Maksud Ibu?“
“Tidak usah bayar Mas.“
“Berapa Bu?“
“Gratis lah Mas tinggal bawa aja “
“Tidak enak la Bu.“
“Gak apa-apa Ibu ikhlas ko.“
“Terima kasih ya Bu.“
“Ya ya Mas. Bener nih bukan putranya Insinyur Suherman.“
“Bukan lah Bu. Bu?”
Ibu yang mempunyai kantin mendekatiku. Dekat sekali.
Melihatkku dari ujung kaki sampai ujung rambutku. Sambil menggeleng-geleng
kepalanya. Maniknya bergerak naik turun. Ketika Aku berbalik melangkah
meningalkan kantin. Ibu itu menatapku lagi. Sambil berucap.
“Mohon maaf Mas. Bener bukan putranya Insinyur Suherman.“
“Bukan lah Bu?“
“Ko mirip ya?“ jawab Ibu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya meningalkanku masuk kantin lagi.
Aku meninggalkan Ibu yang punya kantin. Masuk pintu samping
rumah sakit berjalan naik tangga biasa. Belok kanan lurus menuju kamar Biungku.
Ketika Aku mau masuk kamar melati nomer 233. Aku mendengar sauara bapak
Suherman di balik pintu kamar. Bapak
Suherman duduk jongkok tepat ditepi bibir ranjang Biung. Kepalanya menunduk.
Tangannya memegang pergelangan tangan Biung.
Wajah Biung seperti biasa membuang muka. Bahkan badannya
miring. Wajahnya tidak mengarah bapak Suherman. Bapak Suherman tetap memegang
pergelangan tangan Biung dengan erat-erat. Posisi masih duduk jongkok
disampingnya,
“Maafkan aku Dik. Aku telah banyak berbuat dosa selama ini.
Dik? Dik?“ cetus bapak Suherman sambil mengoyang-goyangkan pergelangan tangan
Biung. Biung tetap diam tidak menjawab sedikit pun. Kali ini bapak Suherman
mengambil sisir. Berdiri disamping Biung. Pelan-pelan menyisir rambut Biung
dari arah belakang. Biung tetep diam membisu tanpa suara. Bahkan wajahnya
ditutupi dengan bantal guling. Dengan pelan penuh kasih sayang bapak Suherman
berkali-kali menyisir rambut Biung dari arah depan belakang. Biung tetap
membisu. Diam. Sambil menyisir rambut Biung. Bapak Suherman mencoba menyapa
kembali.
“Dik ini aku bawakan kue klepon dan tahu susur, ayoo dimakan
Dik?”
Biung tetap diam. Sepatah
kata pun tidak keluar dari mulutnya. Bapak Suherman menghentikan gerakan
menyisir rambut Biung. Mengambil kursi duduk kembali di samping bibir ranjang
Biung. Tangannya tetap memegang erat pergelangan Biung. Kepalanya dibenamkan
samping tubuh Biung. Sehingga sunyi sepi diruang kamar melati nomer 233. Aku
tidak berani masuk menunggu waktu yang tepat.
Ada perasaan aneh dalam
batinku.
“Kenapa? Mengapa?” Bapak
Suherman memanggil Biung dengan sebutan Dik. Dik. Apakah bapak Suherman kakak
kandungnya atau apanya….” Suara batinku bergejolak dalam dadaku sehingga
darahku merasa mendidih.
Aku mengintip di balik kain korden kamar
melati. Bapak Suherman tertidur pulas dengan posisi duduk samping Biung.
Kepalanya dibenamkan samping tubuh Biung. Hampir tiga hari tidak tidur. Dari
mengantar Biung ke rumah sakit jantung Jakarta. Sampai mengawal proses operasi
jantung selesai.
Tidak lama kemudian Aku
mendengar suara sengguran bapak Suherman dan Biung saling bersautan dalam kamar
Melati klas VIP A. Keduanya tertidur pulas dengan posisi Biung miring
kesamping. Sementara bapak Suherman kepalanya dibenamkan belakang tubuh Biung.
Tangan kanan bapak Suherman masih memegang erat pergelangan tangan Biung.
Rabu, 11 Januari 2023
Biung Siuman Setelah Operasi Jantung
Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum. Episode ke-43
Setelah bapak Suherman telpon dengan
bapak Daslam pimpinan Rumah Sakit Jantung Jakarta. Semua biaya sudah ditransfer
Simon teman setia bapak Suherman. Sesama komunitas kolektor lukisan dari
Belanda. Bahkan jumlahnya lebih dari cukup. Dokter spesial jantung Sutejo
menerima telpon dari kamar operasi. Biung sudah sadar dari operasi jantung.
Langsung dipindahkan kamar VIP kelas A ruang kamar Melati nomor 233. Bapak
Suherman langsung pamitan. Sebelum pergi keluar meninggalkan ruang kerja Dokter
Sutejo, keduanya saling berjabat tangan berpelukan erat sekali.
“Terima kasih Dok informasinya,“ cetus
bapak Suherman sambil melepaskan pelukannya.
“Sama sama Bapak.“
“Dikamar apa ya Dok.“
“Kamar Melati no 233.“
“Oke-oke terima kasih Dok.“
“Iya sama-sama tinggal kontrol saja.“
“Kapan Dok ?
“Baiknya dua minggu lagi.“
“Baik Dok.“
Bapak Suherman pamitan
dengan Dokter Sutejo keluar dari kamar kerjanya. Aku mengikuti dari belakang.
Berjalan lurus belok kanan naik liv menuju ruang kamar Melati nomer 233. Hanya
butuh lima menit aku dan bapak Suherman sudah sampai depan pintu masuk kamar
Melati nomer 233. Aku disuruh masuk dulu. Bapak Suherman mau cuci tangan dulu.
Ketika Aku masuk kamar Melati Biung masih tiduran dengan
selimut bergambar bunga mawar merah berwarna ungu. Biung tersenyum ketika aku
masuk ruangan. Aku peluk biung erat-erat sekali. Aku tatap wajah Biung ada
gengan air mata di pojok kedua bola matanya. Aku peluk lagi tubuh Biung.
“Di mana ini ya Mas?”
“Jakarta, Yung?”
“Jakarta!”
“Iya ya Jakarta Rumah Sakit Khusus Jantung.“
“Rumah Sakit Jantung ya Mas?“
“Iya ya Yung.“
“Waduh laa biaya gimana Mas?“
“Gak usah mikirin biyaya lah Yung yang penting sehat.“
“Maksudnya?”
“Tuhan sang pemberi Rezeki yang mengaturnya Yung.“
“Ya sudahlah Mas.“
“Percaya aja pada Tuhan Sang pemberi Rezeki Yung.“
“Iya ya Mas.“
“Istirahat dulu ya Yung.”
“Iya ya Biung mau tidur Mas.“
“iya ya Yung.“
“Tolong selimutnya di tarik ke atas.“
“Ya Yung.“
“Dingin banget Mas.“
“Ini pengaruh ac nya Yung.“
“Dikecilkan saja Mas.“
“Ya ya Yung.“
Sambil membetulkan letak
selimut Aku pijit pijit telapak kaki Biung dengan pelan. Kaki ini saksi sejarah
hidupku. Mengawal dari bayi merah penuh darah dan cairan iar ketuban. Bersama
daging ari-ari merah penuh darah segar. Kuasa Tuhan lahir bayi merah. Setelah
putus tali pusarnya. Ritual cukur rambut dan pemberian nama. Bayi merah penuh
darah lahir dari gua garba Biung. Tumbuh subur hidup dengan kekuatan kedua kaki
Biung.
Kedua kaki ini setiap hari melangkah ke luar rumah mencari
rezeqi untuk makan. Dengan langkah kedua kaki ini mampu membesarkanku sampai
sekarang. Kedua kaki ini menjadi titik awal sejarah kehidupanku. Begitu keras
Biung melawan kehidupannya. Bahkan harus berpindah pindah ketika temen-temen
kecilku pamer tokoh seorang Ayah. Ngantar sekolah diantar ayah. Pulang dijemput
Ayah. Liburan dengan Ayah. Beli mainan dari Ayah. Aku pendam perasaan ini dari
masa kecilku. Ketika teman-temanku bercerita tentang tokoh Ayah. Aku sampaikan
pada Biung. Biung diam membisu. Menatapku tajam. Mencium kedua bola mataku.
Memelukku rapat sekali. Kemudian menangis lirih dipelukanku. Setelah kejadian
itu aku tidak menanyakan lagi tokoh seorang Ayah. Aku dan Biung
berpindah-pindah dari kampung satu kekampung lainnya.
Biung dan Aku rumahnya
berpindah-pindah. Sebab ada saja sebagian warga usil dengan urusan kehidupanku.
Bahkan menfonis. Aku anak lahir di luar nikah. Tanpa status jelas. Anak Jaddah.
Anak Haram. Tidak membawa berkah bahkan membawa petaka dimana-mana. Maka wajar
Biungku berpindah pindah. Pada akhirnya ketemu dengan salah satu warga kampung
asli Biungku. Ia selamat dari bencana jebolnya bendungan raksasa menenggelamkan
juga menewaskan beberapa warga. Kehilangan harta benda. Pindah di kampung itu
sampi sekarang.
Kaki ini yang membesarku.
Berjalan setiap detik jam hari. Menembus waktu dan senja. Bahkan berteman panas
hujan kedinginan. Kaki ini memberiku makan. Kasih sayang. Perhatiannya. Tanpa
bantuan seorang Ayah. Biung mampu menerjang badai kehidupannya. Biung melawan kekerasan
dalam langkah kehidupannya. Melawan hukum adat istiadat. Tidak percaya Anak
Jadah sumber mala petaka. Biung mampu mengibarkan bendera kasih sayang dalam
dadaku. Tanpa harus dendam dengan tokoh Ayah.
Ketika Aku masih di Bali mendirikan sangar seni lukis dan
berusaha menjual lukisanku. Aku angkat salah satu anak tanpa ayah. Sekarang
sudah dianggat jadi guru melukis lewat jalur P3K. Menjadi guru seni lukis. Aku
melihat Biung tertidur pulas. Aku lepaskan pelan-pelan gerakan pijitanku
didaerah telapak kaki Biung. Aku sering mendengar ceramah para Ustadz. Surga
terletak di bawah kaki Biung. Bahkan Aku masih mencatat dalam buku harian
batinku. Siapakah yang wajib ditatati. Dihormati. Ibumu. Ibumu. Ibumu. Ibumu
baru ayahmu.
Benar juga kata para petuah agama. Doa-doa Biung dimana saja
terijabahi Tuhan. Sebaliknya ketukan Biung bisa terijabahi Tuhan. Malin Kundang
contoh kecil seorang anak durhakan kepada Ibunda tercinta. Setelah sukses.
Kaya. Berpangkat istriny cantik. Lupa. Melupakan ibunda tercinta. Bahkan tidak
mengakui keberadaan Ibunya. Dengan susah payah memberikan semua kasih sayang.
Memberi makan sampai tumbuh dewasa. Lupa pada ibunda tercinta. Malin Kundang
anak durhaka pada ibunda tercinta. Doa-doa Biung didengarkan Tuhan. Malin
Kundang jadi patung di pinggiran bibir pantai.
Aku memijit-mijit kaki Biung. Sehingga Biung tertidur pulas.
Kedua kaki ini yang membesarkanku sampai sekarang. Pelan-pelan aku melangkah keluar kamar
Melati. Meninggalkan Biung mencari makanan kecil kesukaan Biung. Klepon dan tahu
susur di kantin rumah sakit jantung Jakarta.
Nanti setelah Biung bangun tidur sudah tersedia makanan kesukannya yang aku
bungkus dengan daun pisang.