Minggu, 18 Desember 2022

Juara 3 Lomba Cerpen KMAP 2022

 

pixabay.com

Kupu-Kupu di Ambang Pintu

Oleh: Issyaroh

 

“Pasti hari ini Bapak datang, Tih,” ucap Emak sumringah menatap seekor kupu-kupu yang berputar-putar di ambang pintu, terbang naik turun dari bingkai pintu paling atas hingga ke tengah, horizontal dari bingkai bagian kiri hingga ke kanan, lalu hinggap di bingkai sebelah kiri, persisi di atas engsel logam yang sudah berkarat.

Aku tersenyum kecut. Emak, seperti umumnya karakter orang-orang zaman dahulu, masih sangat mempercayai tahayul. Kupu-kupu itu sudah tiga hari terbang berputar-putar di sekitar ambang pintu ruang tamu. Kau tahu, Emak sangat antusias menyambutnya. “Akan ada tamu datang, Tih,” begitu ucapnya dengan mata berbinar, tiga hari yang lalu. Dia sibuk menerka-nerka siapa kiranya tamunya nanti. Beberapa nama disebut, mulai dari Lik Karto, adik kandungnya yang sudah lama merantau ke ibukota, Narsih, sepupuku yang tinggal di kabupaten lain, hingga Wak Siti, kakaknya yang tinggal di desa sebelah. Namun semua tebakannya berakhir pada satu nama, Bapak!

Kenapa harus orang itu yang diharapkan? Orang yang berpredikat sebagai bapak tapi tak menjalankan perannya dengan baik, bahkan  memutuskan berkhianat pada ikatan suci yang telah dibina bersama Emak.

Aku yang waktu itu masih kecil, masih mengingat adegan demi adegan di memori otakku, yang entah berapa giga bite besarnya, semuanya masih tersimpan dengan baik, siap diputar kapanpun. Bahkan aku mengingat betul setiap kalimat yang diucapkan Bapak. Aku bisa memperagakannya jika dibutuhkan, akan kulakukan persis seperti yang dilakukan laki-laki yang harus kupanggil Bapak itu.

Ah, perih jika kuceritakan di sini bagaimana lelaki berbadan kekar dengan otot dada menonjol itu menganggap Emak sebagai lawannya di ring Mixed Martial Arts. Jelas tidak seimbang. Emak hanya kelas terbang mini, sedangkan Bapak kelas berat. Tentu mudah saja bagi laki-laki itu untuk membanting Emak, meremukkan tulang-tulangnya sekaligus.

 Kau tahu apa yang paling aku benci dari semua itu? Emak tak pernah mengeluh! Alih-alih takut dan menyalahkan Bapak dengan aksi kekerasannya, Emak justru masih mengembangkan senyum manis menyambut dan melayaninya. Gila, bukan?

Ya, Emak segila itu dalam mencintai Bapak. Sangat tidak bisa diterima akal. Cinta sejati, itu katanya. “Cinta sejati adalah cintanya seorang istri kepada suaminya, Tih. Karena dalam setiap nafas yang dikeluarkan adalah ibadah. Setitik keringat dari melayaninya bernilai ibadah. Kesetiaan juga ibadah. Tak sedetikpun luput dari ibadah,”

“Tapi Bapak tidak cinta kepada Emak,” protesku.

“Tak semua lelaki bisa mengucapkan kata cinta, Tih. Ada yang diungkapkan melalui tingkah lakunya, ada pula yang tidak ditampakkan. Tetapi sejatinya dia menaruh rasa kasih sayang yang besar kepada pasangannya,”

“Mana ada lelaki yang melakukan kekerasan pada wanita yang dicintainya, Mak?”

“Tak ada kekerasan, anakku. Tubuh Bapak besar dan kuat, membelaipun terasa berat di kepala Emak,”

“Tapi Bapak berhianat!”

“Tidak, Tih. Laki-laki itu boleh menikahi empat wanita,”

Kalau sudah begini, aku hanya mengalah. Tak dapat lagi aku mendebat wanita yang mengandung dan melahirkanku itu. Emak bisa mematahkan apapun argumenku, membuatku mengiyakan saja argumen Emak.

Jika ada orang mengatakan bahwa lebih baik ditinggal suami mati daripada ditinggal kawin lagi, itu tak berlaku bagi Emak. Sesuai dengan keyakinan Emak atas dibolehkannya lelaki menikahi empat wanita, dia tak menganggap ada satu kesalahpun terjadi.

Aku duduk di kelas 2 SD ketika Bapak mengucap ikrar di hadapan penghulu dengan seorang wanita yang kupanggil Lik Yah, yang merupakan sepupu Emak sendiri. Mbah Roso, ayah Lik Yah adalah adik kandung nenekku. Selain lebih muda dan cantik, Lik Yah juga amat keren pada zaman itu. Sebagai anak tunggal seorang juragan padi, dia bisa membeli pakaian seperti orang kota, berdandan seperti artis, dan bergaya seperti orang kaya. Tak heran jika Bapak tergila-gila padanya, lalu memilih meninggalkan Emak dan aku untuk tinggal di istana barunya.

Apakah Emak marah? Tidak! Emak masih sangat mengharap Bapak kembali!

“Mak, kupu-kupu itu sudah tiga hari ada di situ. Tak ada tamu yang akan datang, Mak. Sudahlah,”

Emak tersenyum manis, sangat manis …

“Sejak zaman dahulu, Tih, kupu-kupu itu selalu pertanda akan datangnya tamu. Sebelum tamunya datang, kupu-kupu itu tak akan pergi,”

Aku menghela nafas panjang, menghembusnya kasar. Menatap berbagai hidangan yang tersaji di atas meja makan. Ada sayur asem dengan banyak kulit melinjo, ikan belanak goreng, tempe goreng, telur dadar, sayur bening, sambal terasi, dan kerupuk terung. Semuanya itu makanan kesukaan Bapak, tak ada satupun makanan kesukaannya sendiri. Sudah tiga hari ini Emak memasak sebanyak itu. Biasanya dia hanya memasak sedikit, cukup untuk kami berdua saja. Tetapi tiga hari ini Emak memasak sangat banyak. Anehnya, dia hanya mencicipi sedikit. Buat Bapak, katanya. Akupun tak berani mengambil banyak. Dan akhirnya sisa makanannya akan dibuang.

“Mak, upahku minggu ini sudah habis untuk masak tiga hari,” ucapku pelan.

“Kalau kamu keberatan, Emak kembalikan uangmu!” Emak memotong kalimatku dengan kasar. Dia marah rupanya. Aku gelagapan.

“Bukan begitu, Mak. Maksud Ratih, apa tidak sebaiknya Emak masak seperti biasa saja? Kalau Bapak benar-benar datang, baru Emak masak banyak, begitu, Mak?”

“Tak usah berkelit, Ratih. Emak bisa menjual si Rambo supaya kamu tidak repot-repot mengeluarkan uang untuk menjamu bapakmu!”

Emak tersinggung. Cukup repot jika Emak sudah mengeluarkan taringnya. Emak adalah wanita penyayang dan lembut, tetapi dia pasti murka jika ada yang mengatakan hal buruk tentang Bapak. Aku memilih untuk menyingkir dari hadapannya, masuk ke dalam kamarku, menguncinya dari dalam, mengabaikannya yang terus mengomeli aku yang tak menghormati Bapak.

Langit mulai gelap. Hewan malam sudah mulai bersahut-sahutan dari seantero penjuru rumah. Di desa yang jauh dari keramaian, memang begitulah musik pengiringnya. Jika diresapi, kedamaian akan kau temukan.

Emak sudah terlelap berselimut kain bergaris hitam putih. Itu selimut kesukaannya. Kabarnya, Bapak yang membawa dari rumah orang tuanya. Emak tak akan lelap tidurnya tanpa selimut kumal itu.

Aku berjingkat menuju pintu ruang tamu, amat pelan kubuka kantong kresek besar, mendekati kupu-kupu yang mungkin tertidur itu. Secepat kilat kututupkan kantong kresek itu ke badan hewan bersayap rapuh itu, tetapi tiba-tiba saja mata hewan itu membuka lebar dan menatapku tajam. Aku mundur beberapa langkah dengan jantung berdegup kencang.

Hewan itu ... dia memelototkan matanya, menyeringai memamerkan taringnya yang runcing. Hei, seingatku ketika sekolah dulu di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, kupu-kupu tak bertaring. Tapi hewan ini memiliki dua pasang taring yang panjang. Sepasang antenanya bergerak-gerak seakan mengancamku.

Mata facetnya membesar, merah menyala. Taringnya kurasa kian memanjang. Sepersekian detik kemudian, hewan itu terbang lalu berhenti mendadak sejengkal di depan hidungku. Barulah kusadari betapa mengerikannya wajah hewan ini jika dilihat dari dekat, tak ubahnya seperti sebuah monster.

Kedua pasang kaki depannya diangkat tinggi-tinggi, kepalanya yang tengil itu menengok ke kanan ke kiri dengan gerakan angkuh.Dan, hei... dia tertawa!

“Mau apa kamu?” tanyaku dengan suara bergetar. Tak dapat kupungkiri, aku begitu ketakutan. Hewan itu tak menjawab, dia terbang mengelilingiku beberapa kali dengan suara tawanya yang terdengar seperti cericit burung tetapi menyakitkan telinga.

“Jangan berani mengusirku!” gertaknya persis di samping telinga kananku.

“Kamu sudah membuat Emak percaya akan kedatangan Bapak. Emak sudah terlalu berhalusinasi. Tolong, pergilah,” pintaku.

“Hahaha ... Ratih, Ratih ... Aku adalah pertanda akan kedatangan seseorang. Tak mungkin aku pergi jika tamu itu belum datang,”

“Kamu sudah tiga hari di sini. Upahku satu minggu sudah habis untuk belanja menyambut kedatangan Bapak. Jadi kapan dia akan datang?”

“Aku tak tahu!”

“Apa? Kamu tak tahu?”

Aku mengebutkan kantong kresek itu mengarah pada hewan jumawa itu. Meleset, hewan itu bisa menghindar begitu cepat. Aku yang sudah terlanjur marah, mengejar hewan yang pandai berkelit itu. Berkali-kali dia menggodaku, seakan dia gampang saja kutangkap, tetapi tiba-tiba dia terbang menghindar dengan suara tawanya yang kubenci.

Kali ini dia terpojok, dia hinggap di ujung sebuah kayu bulat panjang yang disebut “alu” yang biasa digunakan Emak menumbuk padi di dalam lesung. Aku tersenyum menyeringai, di sudut itu, dia tak leluasa bergerak. Kali ini dia tak akan lolos. Dan hup! Brak!

Aku merasakana sakit yang teramat sangat di kepalaku. Sesuatu yang besar dan berat menimpa kepalaku, membuatku terhuyung lalu ambruk tak sadarkan diri.

Entah berapa lama aku pingsan. Entah bagaimana Emak mendapatiku. Aku masih tak dapat membuka mata, tapi telingaku mendengar suara Bapak, “Ratih, ini Bapak,Nak. Bangun, Nak ...”

“Bapak, Ratih, Pak ...” itu suara Emak menangis tersedu-sedu. Kubayangkan, Emak sedang menggamit lengan Bapak, atau bahkan memeluk tubuh lelaki yang sedasa warsa tak pernah menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Emak benar, Bapak pulang.

***

Semarang, medio Oktober 2022

 

 

 

 

 


 

 

            Issyaroh, dilahirkan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Pebruari 1978.

Buku tunggal pertamanya berjudul Penerus Sintren (2021) diterbitkan oleh Penerbit Sangkar Arah. Sedangkan karya antologinya antara lain Bunga Memerah Kumbang Menari (2019), Antara Ada dan Tiada (2020), Tears (2020), Sappy Stories (2021), Kinang (2021), Sisi Lain (2021), dan Sepatu (2021). Buku Antologi puisinya di antaranya Percakapan hari Libur (2020), Corona Mengepung Listrik Melambung (2020).

Sejak tahun 2002 hingga kini, penulis mengabdikan diri sebagai guru di SDN Pedurungan Lor 01 Semarang. Bisa dihubungi melalui wa/telepon di 085 727 855 283 atau melalui surel issyaroh@gmail.com.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar