Kupu-Kupu di Ambang Pintu
Oleh: Issyaroh
“Pasti
hari ini Bapak datang, Tih,” ucap Emak sumringah menatap seekor kupu-kupu yang
berputar-putar di ambang pintu, terbang naik turun dari bingkai pintu paling
atas hingga ke tengah, horizontal dari bingkai bagian kiri hingga ke kanan,
lalu hinggap di bingkai sebelah kiri, persisi di atas engsel logam yang sudah
berkarat.
Aku
tersenyum kecut. Emak, seperti umumnya karakter orang-orang zaman dahulu, masih
sangat mempercayai tahayul. Kupu-kupu itu sudah tiga hari terbang
berputar-putar di sekitar ambang pintu ruang tamu. Kau tahu, Emak sangat
antusias menyambutnya. “Akan ada tamu datang, Tih,” begitu ucapnya dengan mata
berbinar, tiga hari yang lalu. Dia sibuk menerka-nerka siapa kiranya tamunya
nanti. Beberapa nama disebut, mulai dari Lik Karto, adik kandungnya yang sudah
lama merantau ke ibukota, Narsih, sepupuku yang tinggal di kabupaten lain,
hingga Wak Siti, kakaknya yang tinggal di desa sebelah. Namun semua tebakannya
berakhir pada satu nama, Bapak!
Kenapa
harus orang itu yang diharapkan? Orang yang berpredikat sebagai bapak tapi tak
menjalankan perannya dengan baik, bahkan
memutuskan berkhianat pada ikatan suci yang telah dibina bersama Emak.
Aku
yang waktu itu masih kecil, masih mengingat adegan demi adegan di memori
otakku, yang entah berapa giga bite besarnya, semuanya masih tersimpan dengan
baik, siap diputar kapanpun. Bahkan aku mengingat betul setiap kalimat yang
diucapkan Bapak. Aku bisa memperagakannya jika dibutuhkan, akan kulakukan persis
seperti yang dilakukan laki-laki yang harus kupanggil Bapak itu.
Ah,
perih jika kuceritakan di sini bagaimana lelaki berbadan kekar dengan otot dada
menonjol itu menganggap Emak sebagai lawannya di ring Mixed Martial Arts. Jelas
tidak seimbang. Emak hanya kelas terbang mini, sedangkan Bapak kelas berat.
Tentu mudah saja bagi laki-laki itu untuk membanting Emak, meremukkan
tulang-tulangnya sekaligus.
Kau
tahu apa yang paling aku benci dari semua itu? Emak tak
pernah mengeluh! Alih-alih takut dan menyalahkan Bapak dengan aksi
kekerasannya, Emak justru masih mengembangkan senyum manis menyambut dan
melayaninya. Gila, bukan?
Ya,
Emak segila itu dalam mencintai Bapak. Sangat tidak bisa diterima akal. Cinta sejati, itu katanya. “Cinta
sejati adalah cintanya seorang istri kepada suaminya, Tih. Karena dalam setiap
nafas yang dikeluarkan adalah ibadah. Setitik keringat dari melayaninya
bernilai ibadah. Kesetiaan juga ibadah. Tak sedetikpun luput dari ibadah,”
“Tapi
Bapak tidak cinta kepada Emak,” protesku.
“Tak
semua lelaki bisa mengucapkan kata cinta, Tih. Ada yang diungkapkan melalui
tingkah lakunya, ada pula yang tidak ditampakkan. Tetapi sejatinya dia menaruh
rasa kasih sayang yang besar kepada pasangannya,”
“Mana
ada lelaki yang melakukan kekerasan pada wanita yang dicintainya, Mak?”
“Tak
ada kekerasan, anakku. Tubuh Bapak besar dan kuat, membelaipun terasa berat di
kepala Emak,”
“Tapi
Bapak berhianat!”
“Tidak,
Tih. Laki-laki itu boleh menikahi empat wanita,”
Kalau
sudah begini, aku hanya mengalah. Tak dapat lagi aku mendebat wanita yang
mengandung dan melahirkanku itu. Emak bisa mematahkan apapun argumenku,
membuatku mengiyakan saja argumen Emak.
Jika
ada orang mengatakan bahwa lebih baik ditinggal suami mati daripada ditinggal kawin
lagi, itu tak berlaku bagi Emak. Sesuai dengan keyakinan Emak atas
dibolehkannya lelaki menikahi empat wanita, dia tak menganggap ada satu
kesalahpun terjadi.
Aku
duduk di kelas 2 SD ketika Bapak mengucap ikrar di hadapan penghulu dengan
seorang wanita yang kupanggil Lik Yah, yang merupakan sepupu Emak sendiri. Mbah
Roso, ayah Lik Yah adalah adik kandung nenekku. Selain lebih muda dan cantik, Lik Yah
juga amat keren pada zaman itu. Sebagai anak tunggal seorang juragan padi, dia
bisa membeli pakaian seperti orang kota, berdandan seperti artis, dan bergaya
seperti orang kaya. Tak heran jika Bapak tergila-gila padanya, lalu memilih
meninggalkan Emak dan aku untuk tinggal di istana barunya.
Apakah
Emak marah? Tidak! Emak masih sangat mengharap Bapak kembali!
“Mak,
kupu-kupu itu sudah tiga hari ada di situ. Tak ada tamu yang akan datang, Mak.
Sudahlah,”
Emak
tersenyum manis, sangat manis …
“Sejak
zaman dahulu, Tih, kupu-kupu itu selalu pertanda akan datangnya tamu. Sebelum
tamunya datang, kupu-kupu itu tak akan pergi,”
Aku
menghela nafas panjang, menghembusnya kasar. Menatap berbagai hidangan yang
tersaji di atas meja makan. Ada sayur asem dengan banyak kulit melinjo, ikan
belanak goreng, tempe goreng, telur dadar, sayur bening, sambal terasi, dan
kerupuk terung. Semuanya itu makanan kesukaan Bapak, tak ada satupun makanan
kesukaannya sendiri. Sudah tiga hari ini Emak memasak sebanyak itu. Biasanya
dia hanya memasak sedikit, cukup untuk kami berdua saja. Tetapi tiga hari ini
Emak memasak sangat banyak. Anehnya, dia hanya mencicipi sedikit. Buat Bapak,
katanya. Akupun tak berani mengambil banyak. Dan akhirnya sisa makanannya akan
dibuang.
“Mak,
upahku minggu ini sudah habis untuk masak tiga hari,”
ucapku pelan.
“Kalau
kamu keberatan, Emak kembalikan uangmu!” Emak memotong kalimatku dengan kasar.
Dia marah rupanya. Aku gelagapan.
“Bukan
begitu, Mak. Maksud Ratih, apa tidak sebaiknya Emak masak seperti biasa saja?
Kalau Bapak benar-benar datang, baru Emak masak banyak, begitu, Mak?”
“Tak
usah berkelit, Ratih. Emak bisa menjual si Rambo supaya kamu tidak
repot-repot mengeluarkan uang untuk menjamu bapakmu!”
Emak
tersinggung. Cukup repot jika Emak sudah mengeluarkan taringnya. Emak adalah wanita penyayang dan lembut, tetapi dia pasti
murka jika ada yang mengatakan hal buruk tentang Bapak. Aku
memilih untuk menyingkir dari hadapannya, masuk ke dalam kamarku, menguncinya
dari dalam, mengabaikannya yang terus mengomeli aku yang tak menghormati Bapak.
Langit
mulai gelap. Hewan malam sudah mulai bersahut-sahutan dari seantero penjuru
rumah. Di desa yang jauh dari keramaian, memang begitulah musik pengiringnya.
Jika diresapi, kedamaian akan kau temukan.
Emak
sudah terlelap berselimut kain bergaris hitam putih. Itu selimut kesukaannya.
Kabarnya, Bapak yang membawa dari rumah orang tuanya. Emak tak akan lelap
tidurnya tanpa selimut kumal itu.
Aku
berjingkat menuju pintu ruang tamu, amat pelan kubuka kantong kresek besar,
mendekati kupu-kupu yang mungkin tertidur itu. Secepat kilat kututupkan kantong kresek itu ke badan
hewan bersayap rapuh itu, tetapi tiba-tiba saja mata hewan itu membuka lebar
dan menatapku tajam. Aku mundur beberapa langkah dengan jantung berdegup
kencang.
Hewan itu ... dia memelototkan matanya, menyeringai
memamerkan taringnya yang runcing. Hei, seingatku ketika sekolah dulu di bangku
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, kupu-kupu tak bertaring. Tapi hewan
ini memiliki dua pasang taring yang panjang. Sepasang antenanya bergerak-gerak
seakan mengancamku.
Mata facetnya membesar, merah menyala. Taringnya kurasa
kian memanjang. Sepersekian detik kemudian, hewan itu terbang lalu berhenti
mendadak sejengkal di depan hidungku. Barulah kusadari betapa mengerikannya
wajah hewan ini jika dilihat dari dekat, tak ubahnya seperti sebuah monster.
Kedua pasang kaki depannya diangkat tinggi-tinggi,
kepalanya yang tengil itu menengok ke kanan ke kiri dengan gerakan angkuh.Dan,
hei... dia tertawa!
“Mau apa kamu?” tanyaku dengan suara bergetar. Tak dapat
kupungkiri, aku begitu ketakutan. Hewan itu tak menjawab, dia terbang mengelilingiku
beberapa kali dengan suara tawanya yang terdengar seperti cericit burung tetapi
menyakitkan telinga.
“Jangan berani mengusirku!” gertaknya persis di samping
telinga kananku.
“Kamu sudah membuat Emak percaya akan kedatangan Bapak.
Emak sudah terlalu berhalusinasi. Tolong, pergilah,” pintaku.
“Hahaha ... Ratih, Ratih ... Aku adalah pertanda akan
kedatangan seseorang. Tak mungkin aku pergi jika tamu itu belum datang,”
“Kamu sudah tiga hari di sini. Upahku satu minggu sudah
habis untuk belanja menyambut kedatangan Bapak. Jadi kapan dia akan datang?”
“Aku tak tahu!”
“Apa? Kamu tak tahu?”
Aku mengebutkan kantong kresek itu mengarah pada hewan
jumawa itu. Meleset, hewan itu bisa menghindar begitu cepat. Aku yang sudah
terlanjur marah, mengejar hewan yang pandai berkelit itu. Berkali-kali dia
menggodaku, seakan dia gampang saja kutangkap, tetapi tiba-tiba dia terbang
menghindar dengan suara tawanya yang kubenci.
Kali ini dia terpojok, dia hinggap di ujung sebuah kayu
bulat panjang yang disebut “alu” yang biasa digunakan Emak menumbuk padi di
dalam lesung. Aku tersenyum menyeringai, di sudut itu, dia tak leluasa
bergerak. Kali ini dia tak akan lolos. Dan hup! Brak!
Aku merasakana sakit yang teramat sangat di kepalaku.
Sesuatu yang besar dan berat menimpa kepalaku, membuatku terhuyung lalu ambruk
tak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku pingsan. Entah bagaimana Emak
mendapatiku. Aku masih tak dapat membuka mata, tapi telingaku mendengar suara
Bapak, “Ratih, ini Bapak,Nak. Bangun, Nak ...”
“Bapak, Ratih, Pak ...” itu suara Emak menangis
tersedu-sedu. Kubayangkan, Emak sedang menggamit lengan Bapak, atau bahkan
memeluk tubuh lelaki yang sedasa warsa tak pernah menginjakkan kakinya lagi di
rumah ini. Emak benar, Bapak pulang.
***
Semarang, medio Oktober 2022
Issyaroh, dilahirkan
di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Pebruari 1978.
Buku
tunggal pertamanya berjudul Penerus Sintren (2021) diterbitkan oleh Penerbit
Sangkar Arah. Sedangkan karya antologinya antara lain Bunga Memerah Kumbang
Menari (2019), Antara Ada dan Tiada (2020), Tears (2020), Sappy Stories (2021),
Kinang (2021), Sisi Lain (2021), dan Sepatu (2021). Buku Antologi puisinya di
antaranya Percakapan hari Libur (2020), Corona Mengepung Listrik Melambung
(2020).
Sejak
tahun 2002 hingga kini, penulis mengabdikan diri sebagai guru di SDN Pedurungan
Lor 01 Semarang. Bisa dihubungi melalui wa/telepon di 085 727 855 283 atau
melalui surel issyaroh@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar