Minggu, 18 Desember 2022

Di Rumah Sakit Jantung Jakarta

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-41

 

     Selama perjalanan ke Jakarta menuju Rumah Sakit khusus penyakit jantung, aku tidak bisa tidur memikirkan kondisi kesehatan Biung. Dari kaca dalam mobil, aku selalu mengawasi gerak-gerik Biung. Bapak Suherman masih setia posisi duduk samping sambil memegang erat pergelangan tangan Biungku. Terkadang mengusap-usap rambut dan kening Biungku ketika tertidur pulas. Namun, Biungku tidak respon sedikitpun. Bahkan beberapa kali wajahnya membuang muka ke kanan kiri. Tidak pernah menatap wajah bapak Suherman.

Mobil begitu cepat menembus malam dan indahnya gemerlap cahaya lampu kota di setiap pinggiran bibir jalan aspal. Menjelang subuh bersama pecahnya cahaya fajar matahari. Persis dadar telur bebek sawah dalam wajan Biungku. Mobil Toyota Hiace berhenti depan pintu UGD. Tiga petugas dengan cekatan menurunkan Biung. Langsung masuk ruang UGD. Ruangan UGD penuh dengan cahaya lampu listrik terang benderang. Saking terangnya mampu menerangi bayangan tubuhku dibawah lantai keramik berwarna putih.

Aku melihat semua petugas rumah sakit jantung selalu patuh dengan perintah bapak Suherman. Cepat. Tanggap. Semua perintahnya. Walaupun hanya dengan isyarat semua tau perintahnya. Setahu Aku bapak Suherman hanya seorang kontraktor terkenal dalam bidang spesialis rancangan bendungan raksasa. Juga seorang kolektor lukisan dari anak-anak Bangsa kelas pinggiran.

Aku melihat bapak Suherman masuk ruang kerja dokter Spesialis Jantung. Dari balik dinding kaca kristal putih aku dapat mendengarkan percakannya.

“Tolong ditangani dengan baik ya Dok.“

“Siap Bapak,“ jawab Dokter jaga UGD.

“Secepatnya Dok.“

“Ya nanti kami cek semua kemudian ronsen dulu.“

“Ya ya.“

“Kami sudah menghubungi Dokter Spesialis Jantung terbaik di rumah sakit ini.“

“Terima kasih, Dok.“

“Sama sama ini kan pesanan dari Bapak.“

“Dokter Sutejo ya, Dok.“

“Iya ya betul, lima menit nyampai sini.“

“Terima kasih ya Dok.“

“Sama sama Bapak.“

  Aku melihat bapak Suherman selalu duduk berdiri bersebelahan dengan Biungku. Bahkan seditikpun tidak mau meninggalkan. Kemanapun selalu mendampingi dari cek tekanan darah, Gula darah, kolestrol dan lain-lainnya. Setia mengawal disampingnya. Ketika masuk ruang ronsen bapak Suherman menunggu. Tetap menunggu di balik pintu ruang ronsen. Aku juga mengikuti dari belakang kemanapun Biung keluar masuk ruangan. Bapak Suherman dengan setia mendampingi Biungku kemanapun. Tapi Biungku tetap membuang muka. Tidak mau menatap wajahnya bapak Suherman.

Dokter Sutejo datang tepat waktu. Langsung berjabat tangan kemudian berpelukan dengan bapak Suherman.

“Maaf kami terlambat.“

“Tidak Dok.“

“Mana hasil ronsennya?” Sapa Dokter dengan salah satu perawat.

“Ini Dok,“ jawab perawatnya

Sebentar kemudian Dokter Sutejo memeriksa foto hasil ronsen dengan cahaya lampu berwarna biru. Berulang-ulang melihat memeriksa foto hasil ronsen. Kemudian Dokter Sutejo tersenyum-senyum mendekati bapak Suherman.

“Aman aman ko bapak Suherman.“

“Maksud Dokter?“

“Hanya ada penyumbatan di saluran jantung.“

“Lalu?“

“Baiknya dioperasi.”

“Opersai Dok?“

“Ya baiknya operasi.“

“Kapan?”

“Hari ini.“

 

”Oke oke, jam berapa?”

“Jam pertama.“

“Baik.“

Dokter Spesialis jantung Sutejo memanggil beberapa perawat juga dokter jaga UGD untuk menyiapkan tempat khusus operasi. Semua gerak cepat menyiapkan semua alatnya. Sepuluh menit kemudian Biung masuk tangga liv bersama bapak Suherman menuju ruang operasi jantung. Biung tetep membuang muka ketika bapak Suherman membetulkan letak selimutnya.

Setelah sampai ruang operasi Aku dan bapak Suherman tidak boleh masuk. Harus menunggu diruang tunggu. Dua perawat masuk kemudian menutup pintu kamar operasi. Aku melihat bapak Suherman mulai tampak gelisah. Duduk berdiri lagi berkali kali. Jakungnya bergerak naik turun. Aku diam sambil berdoa terbaik agar proses operasi Biung lancar. Cepat sehat kembali pulang kerumah. Hampir setengah jam Aku dan bapak Suherman diam membisu di ruang tunggu operasi.

 Aku melihat sepasang cecak berjalan pelan naik dinding tembok. Lidahnya keluar bergerak dengan cepat melahab nyamuk didepannya. Setelah itu sepasang cecak bercinta dibalik lampu balkon dinding. Semilir angin pagi masuk lewat lobang pintu angin. Rambutku terasa dibelai Biung dipinggiran jalan pematang persawahan. Teringat ketika aku masih kecil sering diajak Biung buruh menanam padi miliknya bapak Kepala Desa.

Dengan bekal nasi jagung dan kluban urab lauk rempeyek ikan asin dibungkus daun Jati. Aku duduk diatas daun pisang dibawah pohon turi sedang berbunga. Aku melihat Biung berjejer rapi di tengah pematang persawahan. Bersama teman-teman Biungku menanam padi dengan gerakan hampir sama serempak kompak. Menanam padi dengan gerakan mundur bersama. Kemudian istirahat bersama-sama di bawah pohon turi.

Saling membuka bekal yang dibawa dari rumah. Ada nasi jagug, leye, tiwul juga buah pisang raja bandung. Digelar. Bersama-sama makan siang dipinggiran bibir pematang sawah. Bersama semilir angin sawah. Biung dengan lahap makan nasi jagung dengan kluban urab sambil mengusap-usap rambutku dari arah depan kebelakang. Aku tersentak dari lamunanku ketika hpku bergetar dan berbunyi tanda telpon masuk. Aku melihat layar hpku yang menelpon Supraptiwi dari Singapura.

Dhit ditt ditttt… Bunyi hp-ku.

Aku berdiri mengambil hp dalam saku celana panjangku. Keluar dari ruang tunggu operasi menerima telpon masuk dari Supraptiwi.

“Mas? “

“Iya ya Dik ada apa?”

“Sehat-sehat saja si Mas.“

“Sehat, adik juga sehat aja si.“

“Sehat Mas.“

“Syukurlah, tetep jaga kesehatannya ya Dik.“

“Iya Mas. Dua hari lagi aku pulang sudah pesen tiket pesawat jam pertama.“

“Pesawat apa ya Dik.“

“Sliwedari Air Buing 07754, Mas.”

“Oke, Mas doaken selamat pe rumah ya Dik.“

“Iya ya Mas makasih.“

“Iya ya Dik.“

“Pulang kampung langsung Nikah ya Mas.“

“Iya ya Dik.“

“Bener loo jangan bohong.“

“Iya ya Dik.“

“Bener loo Mas?“

“Iya ya.“

“Aku dah telpon Bapak suruh ngurus persyaratan Nikah kita Mas.“

“Iya ya Dik.“

“Dah ya Mas ni sedang ngurus surat izin pulang.“

“Oke hati-hati ya Dik.“

“I love yau, Mas.“

“Oke, I love yau tuu.“

      Setelah menerima telpon aku masuk lagi ke ruang tunggu operasi. Bapak Suherman masih setia menunggu duduk di atas kursi. Saling diam membisu menunggu Biungku operasi di rumah sakit jantung Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar