Selasa, 06 Desember 2022

Cerpen Juara 2 Lomba Cerpen KMAP 2022

 

pixabay.com

Tambang Ilegal

Oleh : Tri Biyaningrum

 

Truk-truk bak terbuka berbaris rapi di jalur menuju sungai. Antre mengangkut pasir di sungai yang semakin hari tergerus erosi dan emosi. Sopir-sopir rela antre dari pagi sampai malam menjelang demi menggenggam segepok uang. Penambangan pasir ilegal itu sudah dilakukan secara masif oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Mereka menambang pasir dengan mesin atau secara manual dengan memindahkan pasir-pasir dari perahu ke truk dengan menggunakan sekop.

            Aku terus mengamati aktivitas itu setiap minggu ketika aku sedang libur kuliah. Bapakku yang konon katanya sebagai wakil rakyat sudah berkali-kali aku utarakan maksud ke Bapak agar bisa menyudahi tambang pasir yang ada dekat dengan pemukiman warga di RT 05. Namun, Bapak sepertinya tak punya nyali. “Tambang itu hanya akan merusak alam, Pak. Lama-lama pemukiman yang ada di sana juga akan habis. Lalu, apa yang timbul setelah itu? Longsor, Pak.” Aku terus saja meracau ketika Bapak baru saja pulang dari kantor yang megah itu.

“Sudah, diamlah kau, Ardi. Itu bukan urusanmu. Selesaikan saja kuliahmu yang lima tahun tak lulus-lulus,” gerutu Bapak sembari berjalan masuk kamar.

Ibu yang sedari tadi berada di ruang tamu menyambut Bapak, hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu ia pun masuk menyiapkan makan malam di meja makan.

“Bapak memang tak punya nyali.”

“Hush, sudah sana cuci tangan dan bersiap makan malam,” pinta ibu kepadaku.

“Aku mau keluar, Bu. Teman-teman kuliahku sudah menunggu di basecamp.”

“Owalah, disuruh makan malah mau pergi. Ya sudah jangan sampai pagi ya, Nak.” Ibu mengingatkanku. Ibu memang perhatian kepadaku. Beda dengan Bapak yang sibuk dengan pekerjaannya. Sering ke luar kota bahkan luar propinsi. Setiap kali aku tanya, ada urusan apa Bapak selalu ke luar kota. Ia selalu menjawab kalau itu bukan urusanku. Aku pikir apa gunanya kuliah tinggi-tinggi, toh ujungnya menyakiti hati rakyat kecil.

Di basecamp sudah ada Anton, Doni, Iko, dan Salman. Mereka teman satu kampus yang bernasib sama sepertiku. Lima tahun tak lulus-lulus. Mungkin sebentar lagi, kami berlima akan menerima surat peringatan dari Dekan untuk segera menyelesaikan kuliah. Setiap membahas itu, kami hanya bisa tersenyum. Ada yang lebih penting dari itu semua yaitu menyelamatkan warga di RT 05 yang terus-menerus terzalimi.

            Kami berlima menyusun strategi agar tambang pasir ilegal itu bisa disudahi operasinya. Tidak ada lagi yang bisa melawan ketidakadilan jika kita sendiri hanya berpangku tangan saja. Iko membuka catatan harian kegiatan apa saja yang ia lihat dua minggu belakangan di tambang pasir, termasuk berapa banyak truk yang memuat pasir dalam sehari. Itu akan menjadi acuan untuk menentukan langkah selanjutnya. Sedangkan Doni memutar beberapa rekaman wawancara dengan warga sekitar yang rumahnya dekat dengan tambang pasir. Dari hasil wawancara itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan, jika warga di RT 05 sudah sangat prihatin dengan kondisi sungai. Aku, Anton, dan Salman menjadi penyambung lidah ke pihak-pihak yang terkait dengan tambang pasir. Kita berlima bekerjasama menghentikan kegiatan tambang pasir ilegal yang sangat dekat dengan pemukiman warga.

            Aku kembali ke rumah dini hari, Bapak dan Ibu tentulah sudah terlelap dalam tidurnya. Aku tak bisa diam saja dengan kezaliman yang orang-orang proyek lakukan. Aku menghubungi beberapa kawan kampus yang masih peduli dengan penderitaan rakyat kecil. Mereka setuju untuk melancarkan aksi unjuk rasa hari Senin mendatang. Walau cuaca sedang tidak baik-baik saja, aku dan teman-teman bersiap untuk melakukan perlawanan.

            “Dah siap semua kawan?” aku bertanya dengan berapi-api.

            “Siap!” Mereka menjawab serentak.

            Kurang lebih ada seratus enam puluh mahasiswa yang akan turun ke jalan melakukan aksi yaitu menolak tambang ilegal yang lebih banyak merugikan dan menyengsarakan warga.

            “Ardi, bukankah Bapakmu seorang wakil rakyat? Tidakkah kau bisa merayunya untuk melobi orang yang punya kepentingan agar mau menghentikan tambang ilegal tersebut?” tanya seorang mahasiswa disebelahku.

            “Sudahlah, itu sama sekali tak ada kaitannya. Bapakku bukanlah penyambung lidah yang baik.” Jawabku sambil terus berorasi dihadapan aparat yang sudah membuat pagar betis karena mengetahui akan ada unjuk rasa mahasiswa. Tak hanya itu, dua buah mobil water  canon juga sudah berada di lokasi beserta mobil pengurai massa lainnya.

Ratusan mahasiswa itu tetap melakukan aksi unjuk rasa ke depan Gedung DPRD, walaupun barikade aparat telah menghadang di depan. Satu dua pukulan aparat sudah ada yang mengenai mahasiswa yang berunjuk rasa karena mereka mencoba menerabas pagar betis yang aparat buat.

            “Mundur, mundur!” teriak salah seorang pengunjuk rasa.

            Suasana semakin kacau. Kerusuhan tak bisa lagi dihindari. Beberapa mahasiswa sudah ada yang berhasil ditangkap aparat. Aku yang sedang melakukan orasi otomatis terhenti ketika aparat mulai menembakkan gas air mata.

            “Awas, tutup mata kalian, lari dari sini!”

            Teman-temanku pontang-panting menyelamatkan diri. Mereka tak ingin merasakan pedihnya terkena gas air mata yang dapat mengakibatkan pandangan kabur, sesak nafas, dan gangguan kesehatan lainnya.

Empat jam berlalu sejak peristiwa unjuk rasa tambang ilegal itu, aku berhasil meloloskan diri walau mata sedikit pedih akibat terpapar gas air mata. Aku dan teman-teman kembali ke basecamp. Setidaknya ada enam belas orang yang berhasil ditangkap oleh aparat. Puluhan orang harus mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan. Sedangkan lainnya kembali ke basecamp dengan selamat.

            Salman menghampiriku, “Payah kau Ardi, rencana kita gagal. Pasukan kita berhasil dipukul mundur oleh aparat. Bahkan si Anton ikut terciduk oleh aparat.”

            Aku yang sedari tadi meringis kesakitan, mencoba menenangkan diri. Mengambil segelas air dari galon yang teronggok di pojok ruangan.

            “Tenang saja kawan, perjuangan kita tak akan berhenti sampai di sini. Dimana-mana pasti kebenaran yang akan menang. Percayalah.”

            “Semoga.” Salman menjawab dengan penuh harap.

            Seiring berjalannya waktu, aku dan teman-teman tetap memantau aktivitas pertambangan tersebut. Anton yang sempat ditangkap aparat karena unjuk rasa tempo hari, kini sudah bersamaku. Tiga minggu ini, hujan terus mengguyur desaku. Walau rintiknya kecil, tapi hujan akhir-akhir ini berintensitas cukup tinggi. Seorang warga RT 05 berlari mengadu ke balai desa, “Pak, tolong rumah yang kami tinggali longsor ke penambangan pasir, dua truk yang sedang berada di sungai tertimbun material longsor.”  Kepala desa dan perangkatnya bergegas menemui korban longsor di RT 05. Namun naas, dua buah truk yang tertimbun material longsor tak bisa lagi diselamatkan. Empat pekerja menjadi korban tambang ilegal yang mengakibatkan erosi dan penurunan tanah yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan pasir secara masif.

Desaku masuk berita, media massa di mana-mana. Para pemangku kepentingan pura-pura tidak tahu-menahu tentang aktivitas tambang ilegal. Mereka seolah tutup mata ketika kami melakukan unjuk rasa tempo hari. Tak terkecuali Bapak, seorang wakil rakyat yang hanya mengejar gaji dan tunjangan tanpa tahu apa sebenarnya jabatan yang ia emban.

 

Biodata Penulis

Tri Biyaningrum, lulusan ilmu administrasi negara ini sekarang bekerja di SMP N 3 Bukateja. Beberapa cerpennya sudah terbit di majalah pelajar MOP dan antologi bersama. Ibu dari tiga orang anak ini menjadikan kegiatan menulis cerpen sebagai aktivitas yang menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar