Tambang
Ilegal
Oleh
: Tri Biyaningrum
Truk-truk
bak terbuka berbaris rapi di jalur menuju sungai. Antre mengangkut pasir di
sungai yang semakin hari tergerus erosi dan emosi. Sopir-sopir rela antre dari
pagi sampai malam menjelang demi menggenggam segepok uang. Penambangan pasir
ilegal itu sudah dilakukan secara masif oleh orang-orang tak bertanggungjawab.
Mereka menambang pasir dengan mesin atau secara manual dengan memindahkan
pasir-pasir dari perahu ke truk dengan menggunakan sekop.
Aku terus mengamati aktivitas itu
setiap minggu ketika aku sedang libur kuliah. Bapakku yang konon katanya
sebagai wakil rakyat sudah berkali-kali aku utarakan maksud ke Bapak agar bisa
menyudahi tambang pasir yang ada dekat dengan pemukiman warga di RT 05. Namun,
Bapak sepertinya tak punya nyali. “Tambang itu hanya akan merusak alam, Pak.
Lama-lama pemukiman yang ada di sana juga akan habis. Lalu, apa yang timbul
setelah itu? Longsor, Pak.” Aku terus saja meracau ketika Bapak baru saja
pulang dari kantor yang megah itu.
“Sudah,
diamlah kau, Ardi. Itu bukan urusanmu. Selesaikan saja kuliahmu yang lima tahun
tak lulus-lulus,” gerutu Bapak sembari berjalan masuk kamar.
Ibu
yang sedari tadi berada di ruang tamu menyambut Bapak, hanya bisa menggelengkan
kepala. Lalu ia pun masuk menyiapkan makan malam di meja makan.
“Bapak
memang tak punya nyali.”
“Hush,
sudah sana cuci tangan dan bersiap makan malam,” pinta ibu kepadaku.
“Aku
mau keluar, Bu. Teman-teman kuliahku sudah menunggu di basecamp.”
“Owalah,
disuruh makan malah mau pergi. Ya sudah jangan sampai pagi ya, Nak.” Ibu
mengingatkanku. Ibu memang perhatian kepadaku. Beda dengan Bapak yang sibuk
dengan pekerjaannya. Sering ke luar kota bahkan luar propinsi. Setiap kali aku
tanya, ada urusan apa Bapak selalu ke luar kota. Ia selalu menjawab kalau itu bukan
urusanku. Aku pikir apa gunanya kuliah tinggi-tinggi, toh ujungnya menyakiti
hati rakyat kecil.
Di
basecamp sudah ada Anton, Doni, Iko, dan Salman. Mereka teman satu kampus yang
bernasib sama sepertiku. Lima tahun tak lulus-lulus. Mungkin sebentar lagi,
kami berlima akan menerima surat peringatan dari Dekan untuk segera
menyelesaikan kuliah. Setiap membahas itu, kami hanya bisa tersenyum. Ada yang
lebih penting dari itu semua yaitu menyelamatkan warga di RT 05 yang
terus-menerus terzalimi.
Kami berlima menyusun strategi agar
tambang pasir ilegal itu bisa disudahi operasinya. Tidak ada lagi yang bisa
melawan ketidakadilan jika kita sendiri hanya berpangku tangan saja. Iko
membuka catatan harian kegiatan apa saja yang ia lihat dua minggu belakangan di
tambang pasir, termasuk berapa banyak truk yang memuat pasir dalam sehari. Itu
akan menjadi acuan untuk menentukan langkah selanjutnya. Sedangkan Doni memutar
beberapa rekaman wawancara dengan warga sekitar yang rumahnya dekat dengan
tambang pasir. Dari hasil wawancara itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan, jika
warga di RT 05 sudah sangat prihatin dengan kondisi sungai. Aku, Anton, dan
Salman menjadi penyambung lidah ke pihak-pihak yang terkait dengan tambang
pasir. Kita berlima bekerjasama menghentikan kegiatan tambang pasir ilegal yang
sangat dekat dengan pemukiman warga.
Aku kembali ke rumah dini hari,
Bapak dan Ibu tentulah sudah terlelap dalam tidurnya. Aku tak bisa diam saja
dengan kezaliman yang orang-orang proyek lakukan. Aku menghubungi beberapa
kawan kampus yang masih peduli dengan penderitaan rakyat kecil. Mereka setuju
untuk melancarkan aksi unjuk rasa hari Senin mendatang. Walau cuaca sedang
tidak baik-baik saja, aku dan teman-teman bersiap untuk melakukan perlawanan.
“Dah siap semua kawan?” aku bertanya
dengan berapi-api.
“Siap!” Mereka menjawab serentak.
Kurang lebih ada seratus enam puluh
mahasiswa yang akan turun ke jalan melakukan aksi yaitu menolak tambang ilegal
yang lebih banyak merugikan dan menyengsarakan warga.
“Ardi, bukankah Bapakmu seorang
wakil rakyat? Tidakkah kau bisa merayunya untuk melobi orang yang punya
kepentingan agar mau menghentikan tambang ilegal tersebut?” tanya seorang
mahasiswa disebelahku.
“Sudahlah, itu sama sekali tak ada
kaitannya. Bapakku bukanlah penyambung lidah yang baik.” Jawabku sambil terus
berorasi dihadapan aparat yang sudah membuat pagar betis karena mengetahui akan
ada unjuk rasa mahasiswa. Tak hanya itu, dua buah mobil water canon juga sudah berada di lokasi beserta
mobil pengurai massa lainnya.
Ratusan
mahasiswa itu tetap melakukan aksi unjuk rasa ke depan Gedung DPRD, walaupun
barikade aparat telah menghadang di depan. Satu dua pukulan aparat sudah ada
yang mengenai mahasiswa yang berunjuk rasa karena mereka mencoba menerabas
pagar betis yang aparat buat.
“Mundur, mundur!” teriak salah
seorang pengunjuk rasa.
Suasana semakin kacau. Kerusuhan tak
bisa lagi dihindari. Beberapa mahasiswa sudah ada yang berhasil ditangkap
aparat. Aku yang sedang melakukan orasi otomatis terhenti ketika aparat mulai
menembakkan gas air mata.
“Awas, tutup mata kalian, lari dari
sini!”
Teman-temanku pontang-panting
menyelamatkan diri. Mereka tak ingin merasakan pedihnya terkena gas air mata
yang dapat mengakibatkan pandangan kabur, sesak nafas, dan gangguan kesehatan
lainnya.
Empat
jam berlalu sejak peristiwa unjuk rasa tambang ilegal itu, aku berhasil
meloloskan diri walau mata sedikit pedih akibat terpapar gas air mata. Aku dan
teman-teman kembali ke basecamp. Setidaknya ada enam belas orang yang berhasil
ditangkap oleh aparat. Puluhan orang harus mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan.
Sedangkan lainnya kembali ke basecamp dengan selamat.
Salman menghampiriku, “Payah kau
Ardi, rencana kita gagal. Pasukan kita berhasil dipukul mundur oleh aparat.
Bahkan si Anton ikut terciduk oleh aparat.”
Aku yang sedari tadi meringis
kesakitan, mencoba menenangkan diri. Mengambil segelas air dari galon yang
teronggok di pojok ruangan.
“Tenang saja kawan, perjuangan kita
tak akan berhenti sampai di sini. Dimana-mana pasti kebenaran yang akan menang.
Percayalah.”
“Semoga.” Salman menjawab dengan
penuh harap.
Seiring berjalannya waktu, aku dan
teman-teman tetap memantau aktivitas pertambangan tersebut. Anton yang sempat
ditangkap aparat karena unjuk rasa tempo hari, kini sudah bersamaku. Tiga
minggu ini, hujan terus mengguyur desaku. Walau rintiknya kecil, tapi hujan
akhir-akhir ini berintensitas cukup tinggi. Seorang warga RT 05 berlari mengadu
ke balai desa, “Pak, tolong rumah yang kami tinggali longsor ke penambangan
pasir, dua truk yang sedang berada di sungai tertimbun material longsor.” Kepala desa dan perangkatnya bergegas menemui
korban longsor di RT 05. Namun naas, dua buah truk yang tertimbun material
longsor tak bisa lagi diselamatkan. Empat pekerja menjadi korban tambang ilegal
yang mengakibatkan erosi dan penurunan tanah yang ditimbulkan oleh aktivitas
penambangan pasir secara masif.
Desaku
masuk berita, media massa di mana-mana. Para pemangku kepentingan pura-pura
tidak tahu-menahu tentang aktivitas tambang ilegal. Mereka seolah tutup mata
ketika kami melakukan unjuk rasa tempo hari. Tak terkecuali Bapak, seorang
wakil rakyat yang hanya mengejar gaji dan tunjangan tanpa tahu apa sebenarnya
jabatan yang ia emban.
Biodata
Penulis
Tri
Biyaningrum, lulusan ilmu administrasi negara ini sekarang bekerja di SMP N 3
Bukateja. Beberapa cerpennya sudah terbit di majalah pelajar MOP dan antologi
bersama. Ibu dari tiga orang anak ini menjadikan kegiatan menulis cerpen
sebagai aktivitas yang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar