Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Episode
ke-40
Aku keluar rumah beli tolak angin cair
untuk bapak Suherman di warung yu Minah. Pikiranku masih penasaran dengan bapak
Suherman. Langsung pingsan ketika melihat pisau Biung yang diselipkan papan
kayu dinding rumah. Aku jadi teringat pisau itu. Hampir merobek perut mandor
hutan pak Darsam. Ketika aku masih kecil mandi di pancuran bambu dengan Biung.
Mandor Darsam ngintip Biung sedang mandi di bawah pancuran bambu. Biung tidak
tahu. Mandor Darsam langsung masuk dalam bilik kamar mandi mau memeluk Biung
dari belakang.
Biung langsung mengambil pisau dengan cepat
mengayunkan pisau kekanan kekiri ketika mau menusuk perutnya mandor Darsam. Ia
langsung berlari terbirit- birit. Biung mengambil batu sebesar kepalan
tanganku. Melemparkan ke arah kepala mandor Darsam. Kena. kepalanya becor
berdarah. Setelah kejadian itu mandor Darsam tidak berani menggoda Biung lagi.
“Tapi kenapa? bapak Suherman langsung
pingsan melihat pisau Biung.“ Batinku sambil berjalan menuju warung yu Minah.
Setelah sampai warung aku membeli satu
pak tolak angin cair untuk persedian di rumah. Ketika aku mau masuk rumah.
Biung sudah bangun bahkan berteriak keras di balik kamar dinding kayu ruang
tamu. Aku tidak jadi masuk. Berdiri di samping tembok kayu kamar tamuku.
“Haii! ngapaiin kamu kesini mau cari
masalah denganku ya!“
Bapak Suherman diam seribu bahasa.
Kedua bola matanya basah memerah memilihat Biung dari ujung kaki sampai rambut.
“Ngapain lihat-lihat sudah puas
menyiksaku selama ini. Keluarr!“
“Maafkan Mas, Dik.“
“Mas! Sudah tidak ada kata Mas dalam
hidupku”
“Dik maafkan aku Dik?”
“Keluar!”
“Dik aku kangen Dik?”
“Makan tuu rasa kangenmu. Lelaki brengsek.
Pergi sanaa!”
“Dik maafkan aku.”
“Pergi…!”
“Dik?”
Aku mengitip dari selah papan dinding
kayu. Biung masuk ke dapur sebentar kemudian masuk ruang tamu. Kali ini Biung
membawa pisau yang diselipkan dalam tembok papan kayu. Mendekati bapak Suherman
siap merobek-robek perut bapak Suherman. Keika mau menusuk perutnya Biung
terpeleset. Jatuh. Kepala menghantam kursi kayu tamu. Biung langsung pingsan.
Pisaunya jatuh dibawah. Aku melihat Bapak Suherman langsung memeluk tubuh
Biung.
“Maafkan aku Dik, Dik?”
Suaranya bapak Suherman sambil menangis lirih.
Bapak Suherman mulai
kebingungan. Menoleh kekanan kikiri. Akhirnya tubuh Biungku diangkat. Dibopong
keluar rumah masuk mobilnya. Ketika bapak Suherman mau menutup pintu mobil. Aku
berlari kecil mendekati bapak Suherman.
“Kenapa Pak?”
“Biungmu pingsan.“
“Pingsan!”
“Ayoo cepat masuk mas kita
bawa ke dokter.“
“Ya ya Pak.“
“Cepat Mas.“
“Ya Pak.“
Aku melihat kedua bola
mata bapak Suherman memerah basah sambil mengemudikan mobilnya. Hidungnya
kempas kempis. Mobil berjalan keluar gang jalan kampungku. Ketika mau keluar
gang jalan hampir saja tabrakan dengan Col L.300. Aku menepuk pundaknya bapak Suherman. Mobil
langsung berhenti.
“Dimas saja yang nyopir
Pak “
“Ya ya,“ jawab bapak
Suherman kebingungan
“Bapak pindah kebelakang
tolong jagain Biung.“
“Iya Mas.“
Aku duduk di depan. Siap
mengemudikan mobil menuju rumah pratek Dokter Irfan. Dari sepion dalam aku
melihat bapak Suherman membelai rambut Biung. Wajah Biung diraba pelan-pelan.
Sambil menangis lirih mendekap erat tubuh Biung. Biung masih pingsan belum ada
tanda-tanda sadar. Setelah sampai depan rumah praktek Dokter Irfan. Aku turun
dari mobil. Bapak Suherman turun menggendong Biung. Masuk rumah praktek Dokter
Irfan. Setelah masuk rumahnya. Istri Doker Irfan mengatakan.
“Mohon maaf suamiku ke
luar kota tidak dirumah,“ cetusnya.
Aku bingung. Bapak
Suherman juga kebingungan kemudian ngendong Biung lagi masuk dalam mobil. Aku
mengikuti dari belakang.
“Mayoo Mas ke rumah sakit
terdekat.“
“Ya iya Pak.“
“Jauh ngak mas Rumah
Sakitnya.“
“Jauh pak, baiknya di
Puskesmas aja ya Pak.“
“Ya ya Puskesmas gak
apa-apa. Cepat cepat Mas.“
“Iya ya Pak.“
Dua puluh menit Aku sampai
Puskesman kecamatan. Aku turun. Bapak Suherman turun sambil mengendong Biung
langsung masuk UGD. Untung ada yang piket. Langsung diperiksa petugas kesehatan
Puskesmas. Aku dan bapak Suherman nunggu di ruang tunggu UGD. Saling diam
membisu. Tidak ada satu kata pun keluar. Kali ini aku betul-betul menangis.
Bapak Suherman kepalanya menunduk kebawah. Berkali-kali menggusap kedua bola
matanya dengan sapu tangannya. Saling diam membisu tanpa keluar sepatah kata.
Sebentar kemudian seorang
perawat berseragam serba putih mendekatiku.
“Keluarganya mana ya?”
“Saya, saya,“ jawab bapak
Suherman
“Aku anaknya,“ jawabku
sambil berdiri
“Mari ikut kami “
“Ya ya,“ jawabku
Aku mengikuti perawat dari
belakang. Bapak Suherman langsung mengikutiku. Masuk ruang tunggu. Sebentar
kemudian dokter Puskesmas memanggilku di ruang khusus. Sebelum duduk aku bertanya
pada Dokter Puskesman.
“Gimana keadaan Bingku Dok?“
“Sudah sadar.“
“Alhamdulillah, terima
kasih Dok.“
“Sama sama, cuma?”
“Cuma apa Dok?“
“Harus dirujuk Rumah Sakit
Margono atau Karyadi Semarang.“
“Kenapa Dok?“
“Gejala serangan jantung.“
“Jantung Dok?”
“Iya makanya harus dirujuk
ke Rumah Sakit sebab alat untuk memeriksa jantung belum ada.“
“Kapan rujuknya Dok?“
“Sekarang.“
“Sekarang Dok.“
“Lebih cepat lebih baik.“
“Iya ya Dok?“
“Tunggu sebentar surat
rujukan dalam proses.“
“Baiknya di rumah sakit
mana Dok?“
“Nunggu informasinya.“
“Iya ya Dok.“
Sebentar kemudian seorang
perawat datang kembali membawa stopmap berwarna putih langsung diberikan Dokter
Puskesmas. Sambil berucap.
“Maaf Dok Rumah Sakit
Margono sudah penuh tidak ada bangsal kosong.“
“Penuh?“
“Iya Dok sedang menunggu
jawaban dari Rumah Sakit Karyadi Semarang.“
“Ya ya terima kasih.“
Setelah menyerahkan berkas
dalam stopmap. Perawat keluar dari ruang dokter. Aku disuruh tanda tangan dalam
berkas.
“Nanti di tunggu jawabannya
dari Rumah Sakit Karyadi, mudah-mudahan tidak penuh.“
“Iya ya Dok. Terima kasih
Dok.“
“Sama sama.“
“Surat surat sudah aku
tandatangani semua Dok.“
“Laa yang ini belum.“
“Ya ya Terima kasih, Dok.“
“Baiknya nanti di tunggu
di ruang tunggu UGD ya?”
“Ya ya Dok.“
“Biungmu sudah sadar cuma
tidak boleh banyak bicara dan gerak. Baiknya istirahat dulu sambil menunggu
jawabannya dari Rumah Sakit Karyadi Semarang.”
“Ya ya terima kasih Dok.“
Aku keluar ternyata bapak
Suherman mendengarkan semuanya dari balik dinding ruang dokter. Kedua bola
matanya memerah basah. Bibirnya kering bergetar. Mendekatiku memandangku penuh
rasa iba.
“Mas nanti kalau Rumah
Sakit Karyadi penuh. Langsung dibawa Jakarta, Rumah Sakit khusus penyakit
jantung. Bapak sudah telpon biro khusus untuk mengantar Biungmu.“
“Terima kasih, terima
kasih ya Pak.“
“Ya ya Mas.“
“Jadi merepotkan Bapak.“
“Tidak Mas.“
“Terima kasih ya Pak.“
Bapak Suherman menatapku
tajam kemudian memelukku rapat sekali. Seperti biasanya rambutku diusap dari
depan kebelakang. Lembut sekali aku merasa nyaman sekali.
“Mas tidak usah bingung
masalah biyaya ini dan itu. Semua yang menanggung Bapak, Tenang saja ya Mas.”
“Terima kasih. Terima
kasih ya Pak.“
“Ya ya.“
Hampir dua jam Aku
menunggu informasi dari Rumah Sakit Karyadi. Belum ada jawabnya. Menurut
perawat Puskesmas di tunggu saja. Pasti ada jawabannya. Aku mulai gelisah.
Bapak Suherman mendekatiku sambil menepuk- nepuk pundakku.
“Tenang aja Mas Biungmu
aman di sini.“
“Iya Pak.“
“Setengah jam lagi mobil
biro khusus siap mengantar Biungmu ke Jakarta.“
“Jakarta. Pak?”
“Iya biar ditangani secara
cepat dan profesioanal.“
“Mahal Pak.“
“Tidak masalah Mas ini
masalah nyawa Biungmu.“
“Ya iya.“
Hampir dua jam kurang dua
puluh menit aku menunggu belum ada jawabnya dari Rumah Sakit Karyadi. Lima
menit kemudian Perawat Puskesmas
mendekatiku.
“Baru saja kami menerima
telpon dari Rumah Sakit Karyadi Semarang bangsalnya sudah penuh. Bisa diterima
tapi di ruang ICU, gimana?”
“Tidak apa-apa yang
penting cepet-cepet dibawa kesana.“
“Ya ya. Tapi harus
menunggu Mobil Ambulan.“
“Ya, terima kasih.“
“Dua puluh lima menit lagi
Mobil Ambulannya datang.”
“Terima kasih.“
Belum sempat aku berdiri
masih duduk bersebelah bapak Suherman. Mobil biro khusus berwarna putih persis
Mobil Ambulan Puskesmas Kecamatan. Mobil Toyota Hiace berhenti depan pintu
Puskesmas. Seorang petugas khusus dengan pakain serba putih langsung masuk
ruang administrasi. Setelah itu masuk ruang dokter Puskesmas. Sopirnya langsung mendekati bapak Suherman.
“Mobil sudah siap, bersama
perawat khusus sesuwai dengan pesanan Bapak.“
“Oke, terima kasih.”
“Nunggu sebentar surat
rujukannya.“
“Oke. Berapa jam sampai
Jakarta.”
“Secepatnya Pak.“
“Oke. Terima kasih.“
Sebentar kemudian proses
rujukan selesai. Bapak Suherman
mendekatiku lagi.
“Baiknya tidak usah
menunggu Mobil Ambulan Puskesmas.“
“Maksud Bapak.“
“Mobil untuk mengantar
Biungmu ke Jakarta sudah siap. Itu?“ jawab bapak Suherman sambil menunjukkan
arah mobilnya.
“Biar perawat dan dokter
Puskesmas yang ngurusi Biungmu ke dalam
mobil.“
“Iya ya Pak.“
Proses pemindahan Bingku
dari ruang UGD Puskesmas begitu serba cepat. Biungku sudah masuk dalam mobil
Toyota Hiace.
“Mari Pak kami sudah siap
mengantar,“ cetus sopirnya.
“Oke. Ayoo Mas.”
“Ya ya Bapak,“ jawabku.
Aku dan Bapak Suherman
berjalan menuju mobil siap mengantar Biungku ke Jakarta rumah sakit khusus
penyakit Jantung. Selama ini aku belum pernah ke Jakarta. Bapak Suherman
memilih duduk bersebelahan dengan Biungku. Mulut biung ditutupi alat khusus di bawahnya
ada tabung oksigen. Dipasang cairan inpus sebagai penganti nutrisi makan. Hanya
kedua bola matanya yang kelihatannya. Sebelah kanan Biungku petugas kesehatan
khusus duduk sambil mengawasi Biungku. Aku di suruh duduk di depan. Aku melihat
tangan bapak Suherman memegang erat tangan Biungku. Biung diam. Tapi wajah
Biung tidak mau menoleh ke arah bapak Suherman. Bahkan membuang mukanya. Mobil
Toyota Hiace Commuter H.2000 Improvement berjalan cepat menembus senja
meninggalkan Puskesmas Kecamatan menuju Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar