Selasa, 06 Desember 2022

Beli Tolak Angin Cair untuk Bapak Suherman

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum Episode ke-40

 

      Aku keluar rumah beli tolak angin cair untuk bapak Suherman di warung yu Minah. Pikiranku masih penasaran dengan bapak Suherman. Langsung pingsan ketika melihat pisau Biung yang diselipkan papan kayu dinding rumah. Aku jadi teringat pisau itu. Hampir merobek perut mandor hutan pak Darsam. Ketika aku masih kecil mandi di pancuran bambu dengan Biung. Mandor Darsam ngintip Biung sedang mandi di bawah pancuran bambu. Biung tidak tahu. Mandor Darsam langsung masuk dalam bilik kamar mandi mau memeluk Biung dari belakang.

 Biung langsung mengambil pisau dengan cepat mengayunkan pisau kekanan kekiri ketika mau menusuk perutnya mandor Darsam. Ia langsung berlari terbirit- birit. Biung mengambil batu sebesar kepalan tanganku. Melemparkan ke arah kepala mandor Darsam. Kena. kepalanya becor berdarah. Setelah kejadian itu mandor Darsam tidak berani menggoda Biung lagi.

      “Tapi kenapa? bapak Suherman langsung pingsan melihat pisau Biung.“ Batinku sambil berjalan menuju warung yu Minah.

       Setelah sampai warung aku membeli satu pak tolak angin cair untuk persedian di rumah. Ketika aku mau masuk rumah. Biung sudah bangun bahkan berteriak keras di balik kamar dinding kayu ruang tamu. Aku tidak jadi masuk. Berdiri di samping tembok kayu kamar tamuku.

      “Haii! ngapaiin kamu kesini mau cari masalah denganku ya!“

        Bapak Suherman diam seribu bahasa. Kedua bola matanya basah memerah memilihat Biung dari ujung kaki sampai rambut.

      “Ngapain lihat-lihat sudah puas menyiksaku selama ini. Keluarr!“

      “Maafkan Mas, Dik.“

      “Mas! Sudah tidak ada kata Mas dalam hidupku”

      “Dik maafkan aku Dik?”

      “Keluar!”

      “Dik aku kangen Dik?”

     “Makan tuu rasa kangenmu. Lelaki brengsek. Pergi sanaa!”

     “Dik maafkan aku.”

     “Pergi…!”

     “Dik?”

       Aku mengitip dari selah papan dinding kayu. Biung masuk ke dapur sebentar kemudian masuk ruang tamu. Kali ini Biung membawa pisau yang diselipkan dalam tembok papan kayu. Mendekati bapak Suherman siap merobek-robek perut bapak Suherman. Keika mau menusuk perutnya Biung terpeleset. Jatuh. Kepala menghantam kursi kayu tamu. Biung langsung pingsan. Pisaunya jatuh dibawah. Aku melihat Bapak Suherman langsung memeluk tubuh Biung.

“Maafkan aku Dik, Dik?” Suaranya bapak Suherman sambil menangis lirih.

Bapak Suherman mulai kebingungan. Menoleh kekanan kikiri. Akhirnya tubuh Biungku diangkat. Dibopong keluar rumah masuk mobilnya. Ketika bapak Suherman mau menutup pintu mobil. Aku berlari kecil mendekati bapak Suherman.

“Kenapa Pak?”

“Biungmu pingsan.“

“Pingsan!”

“Ayoo cepat masuk mas kita bawa ke dokter.“

“Ya ya Pak.“

“Cepat Mas.“

“Ya Pak.“

Aku melihat kedua bola mata bapak Suherman memerah basah sambil mengemudikan mobilnya. Hidungnya kempas kempis. Mobil berjalan keluar gang jalan kampungku. Ketika mau keluar gang jalan hampir saja tabrakan dengan Col L.300.  Aku menepuk pundaknya bapak Suherman. Mobil langsung berhenti.

“Dimas saja yang nyopir Pak “

“Ya ya,“ jawab bapak Suherman kebingungan

“Bapak pindah kebelakang tolong jagain Biung.“

“Iya Mas.“

Aku duduk di depan. Siap mengemudikan mobil menuju rumah pratek Dokter Irfan. Dari sepion dalam aku melihat bapak Suherman membelai rambut Biung. Wajah Biung diraba pelan-pelan. Sambil menangis lirih mendekap erat tubuh Biung. Biung masih pingsan belum ada tanda-tanda sadar. Setelah sampai depan rumah praktek Dokter Irfan. Aku turun dari mobil. Bapak Suherman turun menggendong Biung. Masuk rumah praktek Dokter Irfan. Setelah masuk rumahnya. Istri Doker Irfan mengatakan.

“Mohon maaf suamiku ke luar kota tidak dirumah,“ cetusnya.

Aku bingung. Bapak Suherman juga kebingungan kemudian ngendong Biung lagi masuk dalam mobil. Aku mengikuti dari belakang.

“Mayoo Mas ke rumah sakit terdekat.“

“Ya iya Pak.“

“Jauh ngak mas Rumah Sakitnya.“

“Jauh pak, baiknya di Puskesmas aja ya Pak.“

“Ya ya Puskesmas gak apa-apa. Cepat cepat Mas.“

“Iya ya Pak.“

Dua puluh menit Aku sampai Puskesman kecamatan. Aku turun. Bapak Suherman turun sambil mengendong Biung langsung masuk UGD. Untung ada yang piket. Langsung diperiksa petugas kesehatan Puskesmas. Aku dan bapak Suherman nunggu di ruang tunggu UGD. Saling diam membisu. Tidak ada satu kata pun keluar. Kali ini aku betul-betul menangis. Bapak Suherman kepalanya menunduk kebawah. Berkali-kali menggusap kedua bola matanya dengan sapu tangannya. Saling diam membisu tanpa keluar sepatah kata.

Sebentar kemudian seorang perawat berseragam serba putih mendekatiku.

“Keluarganya mana ya?”

“Saya, saya,“ jawab bapak Suherman

“Aku anaknya,“ jawabku sambil berdiri

“Mari ikut kami “

“Ya ya,“ jawabku

Aku mengikuti perawat dari belakang. Bapak Suherman langsung mengikutiku. Masuk ruang tunggu. Sebentar kemudian dokter Puskesmas memanggilku di ruang khusus. Sebelum duduk aku bertanya pada Dokter Puskesman.

“Gimana keadaan Bingku Dok?“

“Sudah sadar.“

“Alhamdulillah, terima kasih Dok.“

“Sama sama, cuma?”

“Cuma apa Dok?“

“Harus dirujuk Rumah Sakit Margono atau Karyadi Semarang.“

“Kenapa Dok?“

“Gejala serangan jantung.“

“Jantung Dok?”

“Iya makanya harus dirujuk ke Rumah Sakit sebab alat untuk memeriksa jantung belum ada.“

“Kapan rujuknya Dok?“

“Sekarang.“

“Sekarang Dok.“

“Lebih cepat lebih baik.“

“Iya ya Dok?“

“Tunggu sebentar surat rujukan dalam proses.“

“Baiknya di rumah sakit mana Dok?“

“Nunggu informasinya.“

“Iya ya Dok.“

Sebentar kemudian seorang perawat datang kembali membawa stopmap berwarna putih langsung diberikan Dokter Puskesmas. Sambil berucap.

“Maaf Dok Rumah Sakit Margono sudah penuh tidak ada bangsal kosong.“

“Penuh?“

“Iya Dok sedang menunggu jawaban dari Rumah Sakit Karyadi Semarang.“

“Ya ya terima kasih.“

Setelah menyerahkan berkas dalam stopmap. Perawat keluar dari ruang dokter. Aku disuruh tanda tangan dalam berkas.

“Nanti di tunggu jawabannya dari Rumah Sakit Karyadi, mudah-mudahan tidak penuh.“

“Iya ya Dok. Terima kasih Dok.“

“Sama sama.“

“Surat surat sudah aku tandatangani semua Dok.“

“Laa yang ini belum.“

“Ya ya Terima kasih, Dok.“

“Baiknya nanti di tunggu di ruang tunggu UGD ya?”

“Ya ya Dok.“

“Biungmu sudah sadar cuma tidak boleh banyak bicara dan gerak. Baiknya istirahat dulu sambil menunggu jawabannya dari Rumah Sakit Karyadi Semarang.”

“Ya ya terima kasih Dok.“

Aku keluar ternyata bapak Suherman mendengarkan semuanya dari balik dinding ruang dokter. Kedua bola matanya memerah basah. Bibirnya kering bergetar. Mendekatiku memandangku penuh rasa iba.

“Mas nanti kalau Rumah Sakit Karyadi penuh. Langsung dibawa Jakarta, Rumah Sakit khusus penyakit jantung. Bapak sudah telpon biro khusus untuk mengantar Biungmu.“

“Terima kasih, terima kasih ya Pak.“

“Ya ya Mas.“

“Jadi merepotkan Bapak.“

“Tidak Mas.“

“Terima kasih ya Pak.“

Bapak Suherman menatapku tajam kemudian memelukku rapat sekali. Seperti biasanya rambutku diusap dari depan kebelakang. Lembut sekali aku merasa nyaman sekali.

“Mas tidak usah bingung masalah biyaya ini dan itu. Semua yang menanggung Bapak, Tenang saja  ya Mas.”

“Terima kasih. Terima kasih ya Pak.“

“Ya ya.“

Hampir dua jam Aku menunggu informasi dari Rumah Sakit Karyadi. Belum ada jawabnya. Menurut perawat Puskesmas di tunggu saja. Pasti ada jawabannya. Aku mulai gelisah. Bapak Suherman mendekatiku sambil menepuk- nepuk pundakku.

“Tenang aja Mas Biungmu aman di sini.“

“Iya Pak.“

“Setengah jam lagi mobil biro khusus siap mengantar Biungmu ke Jakarta.“

“Jakarta. Pak?”

“Iya biar ditangani secara cepat dan profesioanal.“

“Mahal Pak.“

“Tidak masalah Mas ini masalah nyawa Biungmu.“

“Ya iya.“

Hampir dua jam kurang dua puluh menit aku menunggu belum ada jawabnya dari Rumah Sakit Karyadi. Lima menit kemudian  Perawat Puskesmas mendekatiku.

“Baru saja kami menerima telpon dari Rumah Sakit Karyadi Semarang bangsalnya sudah penuh. Bisa diterima tapi di ruang ICU, gimana?”

“Tidak apa-apa yang penting cepet-cepet dibawa kesana.“

“Ya ya. Tapi harus menunggu Mobil Ambulan.“

“Ya, terima kasih.“

“Dua puluh lima menit lagi Mobil Ambulannya datang.”

“Terima kasih.“

Belum sempat aku berdiri masih duduk bersebelah bapak Suherman. Mobil biro khusus berwarna putih persis Mobil Ambulan Puskesmas Kecamatan. Mobil Toyota Hiace berhenti depan pintu Puskesmas. Seorang petugas khusus dengan pakain serba putih langsung masuk ruang administrasi. Setelah itu masuk ruang dokter Puskesmas. Sopirnya langsung  mendekati bapak Suherman.

“Mobil sudah siap, bersama perawat khusus sesuwai dengan pesanan Bapak.“

“Oke, terima kasih.”

“Nunggu sebentar surat rujukannya.“

“Oke. Berapa jam sampai Jakarta.”

“Secepatnya Pak.“

“Oke. Terima kasih.“

Sebentar kemudian proses rujukan selesai. Bapak Suherman  mendekatiku lagi.

“Baiknya tidak usah menunggu Mobil Ambulan Puskesmas.“

“Maksud Bapak.“

“Mobil untuk mengantar Biungmu ke Jakarta sudah siap. Itu?“ jawab bapak Suherman sambil menunjukkan arah mobilnya.

“Biar perawat dan dokter Puskesmas yang ngurusi  Biungmu ke dalam mobil.“

“Iya ya Pak.“

Proses pemindahan Bingku dari ruang UGD Puskesmas begitu serba cepat. Biungku sudah masuk dalam mobil Toyota Hiace.

“Mari Pak kami sudah siap mengantar,“ cetus sopirnya.

“Oke. Ayoo Mas.”

“Ya ya Bapak,“ jawabku.

Aku dan Bapak Suherman berjalan menuju mobil siap mengantar Biungku ke Jakarta rumah sakit khusus penyakit Jantung. Selama ini aku belum pernah ke Jakarta. Bapak Suherman memilih duduk bersebelahan dengan Biungku. Mulut biung ditutupi alat khusus di bawahnya ada tabung oksigen. Dipasang cairan inpus sebagai penganti nutrisi makan. Hanya kedua bola matanya yang kelihatannya. Sebelah kanan Biungku petugas kesehatan khusus duduk sambil mengawasi Biungku. Aku di suruh duduk di depan. Aku melihat tangan bapak Suherman memegang erat tangan Biungku. Biung diam. Tapi wajah Biung tidak mau menoleh ke arah bapak Suherman. Bahkan membuang mukanya. Mobil Toyota Hiace Commuter H.2000 Improvement berjalan cepat menembus senja meninggalkan Puskesmas Kecamatan menuju Jakarta.

 

  

 

    

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar