Pelukis dan Parfum ke-39
Oleh. Agus Yuwantoro
Dua hari setelah acara
pemakaman anak angkatku Sarmi. Badan Biung panas batuk pilek. Sudah aku
periksakan bidan Desa belum sembuh. Hari ini aku bawa ke Puskesmas. Periksa.
Biar ditangani Dokter agar cepat sembuh. Jam delapan pagi aku sudah sampai
Puskesmas. Mengambil nomor antrian. Nunggu nomor panggilan. Aku dan Biung duduk
di ruang tunggu. Aku pegang erat-erat tangan Biung biar hangat. Sebentar
kemudian nomor urutan pendaftaran dipanggil. Aku mendekat ke loket memberikan
kartu BPJS dan KTP Biung. Keluhan Biung badannya panas batuk dan pilek.
Setelah itu aku dan Biung berjalan menuju
ruang pemeriksaan. Duduk dikursi tetap jaga jarak pakai masker bersebelahan
denganku. Aku pegang telapak tangannya erat-erat. Untung aku membawa sarung
kututupi sebagian tubuh biar hangat. Biung menatapku tajam kemudian tersenyum
bertanya.
“Kok belum dipanggil ya Mas.“
“Sabar Yung.“
“Antri ya Mas?“
“Ya iyalah.“
“Mas?”
“Apa Yung.“
“Sekarang Puskesmas Kecamatan bersih
nyaman pelayanannya bagus ya Mas.“
“Ya emang harus gitu Yung.“
“Zaman kecilnya Biung Puskesmas sangar Mas.“
“Apa iya Yung?“
“Iya petugasnya galak-galak, gedung
Puskesmasnya sempit. Dokternya tidak ada.“
“Itu kan zaman dulu Yung.“
“Sekarang bersih, luas, nyaman petugasnya ramah-ramah.“
“Itu demi pelayanan terbaik bagi masyarakat Yung.“
“Iya ya Mas.“
“Siapa tahu bisa sembuh dengan keramah- tamahan petugas.”
“Bener bener bisa jadi obat ya Mas.“
“Ya iya lah Yung.“
Sebentar kemudian
nomer antri pemeriksaan Biung dipanggil. Biung masuk ruangan. Diperiksa. Aku
menunggu sambil berdoa terbaik untuk Biung tercinta. Sepeluh menit kemudian
Biung keluar. Wajahnya semringgah. Bombong. Tersenyum padaku lalu mendekatiku. Aku
berdiri kugandeng tangan Biung kemudian duduk kembali.
“Gimana hasilnya
Yung?“
“Kata bu Dokter
Biung kecapeaan kurang istirahat.“
“Makanya harus
banyak istirahat.“
“Ini resep obat dari
bu Dokter.“
“Dimas saja yang antri
ambil obat di ruang apoteker ya Yung.“
“Iya ya Mas “
Aku berjalan menuju
ruang apoteker. Duduk. Antri mengambil obat. Sebentar kemudian aku diapanggil
dikasih obat oleh petugas apoteker. Aku berjalan menemui Biung di ruang tunggu.
Biung tersenyum sambil menatapku penuh kasih sayang. Setelah itu pulang
kerumah.
Aku kaget bercampur
bahagia. Sebelum sampai rumah. Ada mobilnya Pak Suherman pelanggan setia
lukisanku. Aku tidak pangling mobilnya.
“Kok sampai sini ya, ada
apa ya?” bisik batinku.
Mobil Honda Jezz seri terbaru
berwarna hitam dop. Ciri khasnya mobilnya selalu ada tulisan balok warna merah
berhiasan bunga mawar merah bertulis “Kucari dirimu sampai kemanapun“. Setiap
mobilnya Bapak Suherman pasti ada tulisan seperti itu. Mobilnya parkir tepat
dihalaman rumahku. Biung berjalan disebelahku tanganku dilepas dari
genggamannya.
“Mas Biung mampir
warungnya yu Minah dulu.“
“Nanti ajalah Yung.“
“Gak popo tinggal ambil
belanja, sudah pesan kemarin.“
“Pesan apaan si Yung “
“Itu bahan tuk buat sayur
pecel, kan kesukaannya Mas.“
“Iya ya cucok banget tu
Yung.“
“Dah mas pulang dulu.“
“Mas tunggu aja lah Yung.“
“Tidak usah lah Mas.“
“Pulang sendiri Yung.“
“Kan sudah deket gak popo Mas.“
“Iya ya Yung.“
“Mas beres-beres rumah.“
“Iya Yung.“
“Sarapannya nunggu Biung masak sayur pecel
ya Mas.“
“Iya ya Yung.“
“Sana duluan. Biung ke warung dulu ya Mas.“
“Ya Yung.“
“Biung nati pulangnya lewat pintu belakang
aja ya Mas.“
“Kenapa Yung?“
“Biar langsung masak sayur pecel untuk sarapan
Mas.”
“Oo iya, terima kasih Yung.“
“Masama ya Mas.“
Biung berjalan kearah kanan gang
jalan menuju warung yu Minah. Aku berjalan lurus menuju jalan gang rumahku.
Setelah sampai dirumah kudekati mobilnya bapak Suherman. Aku ngintip lewat kaca
mobil di jok tengah ada lukisan istri tercintanya. Bahkan sudah dilapisi mika
terbagus berwarna bening. Lukisannya tampak bersih. Begitu setianya dengan
istri tercinta. Lukisan istrinya selalu dibawa kemana saja. Aku geleng-geleng
kepala sendiri.
“Begitu mulia rasa
cintanya,” batinku.
Aku mengamati kanan kiri
depan belakang. Sepi. Hanya suara burung prenjak saling bersautan di atas pohon
turi. Saling kejar-mengejar kemudian hinggap diatas dahannya. Gerombolan burung
emprit masuk persawahan. Berebutan makan butiran padi yang menguning. Hinggap
diatas daun sampai padinya menunduk ke bawah. Daun padi bergoyang-goyang.
Burung-burung emprit berterbangan keluar dari rimbunnya pohon padi. Ketika
mendengar suara kaleng bekas roti berbunyi bersama gerakan orang-orangan
digerakkan tali rafia oleh penunggu padi untuk menakuti burung emprit.
Aku masuk rumah. Sepi. Aku
keluar lagi kesamping kebelakang kedepan belum ketemu bapak Suherman.
“Ke mana ya?” batinku.
Aku masuk rumah. Menyapu
halaman ruang tamu rumah. Menyalakan api kompor gas. Masak air. Sambil
bersih-bersih juga menunggu masak air matang. Aku selalu menoleh kaca jendela
depan rumah. Ketika aku masuk ruang dapur menaruh air panas dalam tremos. Pintu
rumah depan diketuk.
Dok dokk dokkk… Suara
pintu depan rumah.
“Kulo nuwun, kulo nuwun,”
suara tamunya.
Aku menuju kedepan rumah.
Betul dugannku bapak Suherman dengan stelan baju jelana panjang jens. Ada
tulisan kecil disamping saku bajunya. Lewis. Aku sangat terharu bapak Suherman
menyempatkan waktu berkunjung ke rumahku. Aku bukakan pintu. Bapak Suherman
tersenyum hangat langsung memelukku erat-erat.
“Ketemu juga ya Mas
rumahmu.“
“Iya ya bapak jauh banget.“
“Gak apa-apa mas, bapak
kangen.“
“Sama pak?”
“Hampir enam bulan ya Mas.“
“Iya, Pak.“
“Kenapa pulang kampung Mas?“
“Musim pandemi, Pak?”
“Tapi mas sehat-sehat aja
si?“
“Sehat. Di Bali sepi.“
“Iya ya Bapak paham.“
“Tidak ada tamu. Hotel,
motel, penginapan sepi. Apa lagi jasa pariwisata macet total. Semua pulang
kampung. Nunggu aman pak.”
“Sendirian di rumah ya Mas?“
“Sama Biung.“
“Di mana Biungmu?“
“Ke warung beli bahan
masak sayur pecel kesukaanku, Pak.”
Seketika itu diam. Membisu.
Hening sepi. Aku melihat aura wajah bapak Suherman bercahaya cerah. Bahkan
tersenyum lepas bebas tanpa beban. Ketika aku menjawab Biung sedang membeli
bahan untuk membuat sayur pecel. Bapak Suherman mendekatiku kemudian berucap
lirih.
“Masak sayur pecel, Mas?”
“Iya, sayur pecel.“
“Ini kesukaan Bapak, Mas.“
“Bener pak.“
“Iya bener Mas.“
“Loo kok sama Pak.“
“Bapak suka sayur pecel.
Setiap keluar kota selalu makan dengan sayur pecel, Mas.“
“Bener tu Pak.“
“Iya Mas.”
“Nanti sarapan disini aja
ya pak tidak usah keluar.”
“Oke oke terima kasih ya
Mas.“
“Masama Pak.“
“Bapak memang sengaja
datang kesini. Dua bulan yang lalu lukisan pahlawan nasional Pangeran
Diponegoro dan tokoh pergerakan wanita Jawa dari Jepara di beli kolektor dari
Eropa. Bahkan mau bayar berapapun. Asal kedua lukisannya bisa dibeli. Bapak
sebetulnya merasa keberatan. Tapi ia tetep memaksa membeli kedua lukisan itu.
Akhirnya Bapak lepas. Lhaa ini ada rezeqi untuk Mas.”
“Kan sudah lunas Pak.“
“Betul tapi ini rezeqinya
Mas.“
“Tidak usah itu haknya
Bapak.“
“Gak gitu mas dengan dua
lukisan ini Bapak juga dapat order.“
“Maksudnya?“
“Bapak disuruh merancang
bangunan rumah pribadinya untuk ruang mosium koleksi lukisannya. Dari rencana
anggaran belanja sampai finising. Cuma satu bulan beres. Jadi. Ia merasa puas
bahkan memberiku komisi. Makanya Bapak sampai sini dengan petunjuk Mas. Ada
alamat jalan kampung. Nama desa. Kecamatan Kabupaten. Bapak dengan mudah sampai
kesini. Diterima ya Mas.“
Aku menatap wajah bapak
Suherman sangat serius. Ada cahaya kebahagiannya tersendiri ketika memberikan
segepok uang kertas berwarna merah. Aku tersenyum sambil menerima uang
tersebut.
“Terima kasih ya Bapak.“
“Bapak yang wajib
mengucapkan terima kasih, Mas.“
“Kok bisa.“
“Ya iyalah dengan dua
lukisan itu Bapak selalu dapat order.“
Aku dan bapak Suherman
saling memandang. Tersenyum. Tertawa kecil di ruang tamu rumahku. Tidak lama
kemudian muncul bau aroma gorongan kacang tanah dalam wajan. Ternyata Biung
masuk rumah lewat pintu belakang. Langsung membuat bumbu pecel. Aroma gorongan
kacang tanah dengan bumbu pecel itu. Yustru menambah bercahaya wajah bapak
Suherman. Bahkan dihirup dalam-dalam sampai urat nadi tenggerokkannya bergerak
naik turun. Kedua bola matanya begerak kekan kekiri. Menelan ludah
berkali-kali.
Seolah-olah ada sesuwatu
yang dicari. Aku diam. Hampir sepuluh menit bau aroma kacang tanah bersama
bumbu pecel membius hidungnya bapak Suherman. Aku masuk dapur membuat kopi
hitam panas kesukannya bapak Suherman. Aku melihat Biung mencuci sayur. Aku
membuat kopi hitam panas. Aku bawa keruang tamu. Bapak Suherman tersenyum
ketika aku membawa kopi hitam panas.
“Terima kasih, terima
kasih ya Mas.“
“Sama sama bapak.“
“Harum sekali aromanya
bumbu pecel itu ya Mas.“
“Iya Bapak sebentar lagi
siap saji, sarapan sini aja.“
“Iya ya terima kasih ya
Mas,“ jawab bapak Suherman.
Bapak suherman
mengeluarkan rokok kesayangannya Malboro putih dengan korek Zippo berwarna
kuning keemasan. Korek dinyalakan. Bapak Suherman mengisap rokoknya asapnya
dimainkan membentuk lingkaran kecil. Aku mengambil asbak di ruang belakang.
Wajah biung memerah padam.
Hidungnya kempas-kempis ketika menghirup aroma bau rokoknya bapak Suherman.
Sampai jidatnya keluar bintik-bintik basah penuh air keringat. Kedua bola matanya
bergerak kekanan-kekiri. Biung diam duduk di kursi. Bahkan tidak menyapaku. Aku
dekati Binung. Kupeluk dari belakang. Biung masih diam. Ada genagan air mata
mengembang di kedua bola matanya.
“Yung ada apa, sehat si
Yung.“
“Sehat. Sehat Mas.“
“Istirahat dulu ya Yung di
kamarnya Dimas sudah bersih rapi wangi.“
“Iya Mas.“
“Obatnya diminum ya Yung.“
“Iya Mas.“
“Sarapan dulu Yung.“
“Sudah mas tadi makan
arem-arem di warung yu Minah.“
“Ini obatnya Yung.“
“Ya ya Mas.“
Biung makan obat dari
Puskesmas. Masuk kekamar tidurku. Istirahat. Di atas meja kayu sudah siap menu
sarapan dengan sayuran pecel lauk krupuk
berwarna merah kuning unggu biru seperti warna pelangi senja merekah di
dinding langit.