Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum ke-37
Biung pelan-pelan
melepaskan pelukanku. Tapi tatapan Biung selalu menuju kedua bola mataku. Aku
tersenyum menyambut tatapan Biung. Penuh dengan aura cahaya kerinduan tersimpan
dalam kehidupannya selama ini. Biung menunjukkan arah jalan menuju UGD rawat
inap Puskesmas Kecamatan. Menggandeng tanganku erat sekali.
“Mayoo Mas
nenggok Sarmi.“
“Ya Yung.“
“Tapi
tidak boleh masuk loo Mas.“
“Ya.“
“Biung biasa nunggu di luar UGD.“
“Kenapa?”
“Dilarang
petugas, bahaya Mas.“
“Bahaya
Yung?”
“Iya Mas
Sarmi urutan nomer lima di UGD.“
“Iya Yung.“
“Satu
minggu lalu pasien satu- persatu meninggal dunia Mas.“
“Mudah-mudahan
Sarmi cepet sembuh ya Yung.“
“Aamin,
aamin.“
“Laa itu
ruang apaan ya Yung.“
“Itu juga
ruang karantina terpapar covid 19.“
“Loo kok
tidak dibawa RSU Kabupaten?“
“Sudah
penuh di RSU, Mas.“
“Makanya
ada yang di sini. Bahkan ada di gedung olah raga, Mas.“
“Iya Yung.“
“Iya Mas
bahkan setiap desa menyediakan ruang khusus untuk karangtina.“
“Oo begitu
too Yung.“
“Tahun ini
sedang muslim bagebluk : bencana, Mas harus banyak eling Gusti Alloh.“
“Iya Yung.“
Kita ini orang kecil, bisa makan tiap hari
saja sudah beruntung, Mas.”
“Iya
Yung.“
“Makanya
banyak syukur dengan Gusti Alloh.“
“Iya.“
“Sholat
jangan ditinggalkan, ngamal, sedeqah nambah berkah barokah.“
“Iya
Yung.“
“Musim
pagebluk: musibah ini adalah ujian manusia hidup Mas.“
“Iya
Yung.“
“Tidak
boleh menyalahkan musim pagebluk: bencana.”
“Iya.“
“Musim pagebluk, bencana
bisa sebab musabab perilaku manusia bumi sendiri. Serakah. Gragas. Manggas.
Mementingkan perutnya sendiri. Tidak pada rukun hidupnya. Konflik sara : Suku
adat ras agama. Sebagian terbunuh dengan sia-sia. Orang-orang pandai pada
cekcok diatas mimbar dan rapat. Bocah-bocah terpelajar : Mahasiswa, pelajar
pada berkelahi massal di jalan. Tokoh panutan agama rebutan kursi jabatan.
Janda, fakir miskin, yatim piatu dibiarkan hidup bebas miskin bahkan dibiarkan
kelaparan. Sementara siaran di Televisi setiap hari memberitakan daftar nama
pejabat Negri Korupsi. Ini jelas melahirkan musim bagebluk : bencana!“
“Iya
Yung.“
“Bahkan
sampai detik ini virus covid 19 belum ada obatnya, Mas.“
“Iya
Yung.“
“Malah
para ahli tiem kesehatan banyak yang kena kok, Mas.“
“Iya.“
“Kasihan
maraika garda paling terdepan ada Dokter, Bidan, Perawat, para analis kesehatan
satu-satu berguguran Mas.“
“Iya
Yung dIa Pahlawan covid 19.“
“Iya
Mas.“
“Sarmi
sudah berapa hari di UGD ya Yung.“
“Hampir
seminggu Mas.“
“Mudah-
mudahan cepet sembuh ya Yung.“
“Iya ya Mas. Harus banyak
berdoa. Kita ini hanya bisa membantu lewat berdoa dengan Gusti Alloh. Tuhan :
Maha pencipta seisi jagat alam raya.
Menciptakan hidup mati
kita. Memberikan rezeqi semua mahkluk hidup. Tapi sangat sedikit orang yang
pandai cerdas mensyukuri nikmat pemberian Gusti Alloh. Pada kufur. Tidak ahli
syukur. Hidup penuh keluh kesah. Tidak merasa cukup. Gragas. Diperkosa waktu
mengejar harta. Gusti Alloh malah ditinggalkan. Memburu harta kekayaan, jabatan
dengan paranormal : dukun. Syriik. Menyekutukan Tuhan. Dosa besar itu, Mas.
Beribadah hanya setahun seakali. Ramai-ramai berbondong ke Masjid. Dengan
sandal, baju, sarung, mukena serba baru. Bahkan menjadi ajang pamer mobil
terbaru dipanjang halaman mesjid dan tanah lapangangan. Ketika mau berjamaah
sholat Idul Fitri dan Adha.’
“Betul Yung.“
“Beribadah sholat massal
idul fitri dan adha sebagai bukti taatnya pada Gusti Alloh. Hanya simbolis
tanpa makna dan gerakan amalan benar. Setelah itu kembali pada habitat yang
sebenarnya, Tetep hidup gragas. Mangas. Segala cara ditempuh demi uang. Melupakan
Guti Alloh. Makanya musim pagebluk : musibah terus berdatangan. Tanah pada
longsor. Banjir. Badai topan. Shunami. Kebakaran pasar dan hutan. Gunung-gunung
menyemburkan api panas. Bencana kecelakaan alat transpormasi baik darat udara
laut. Di tambah anggota dewan terhormat berkelahi diatas meja rapat. Kaum
terpelajar pada berkelahi massal sampai terbunuh sia-sia di pinggir bibir jalan
kampusnya. Makanya pada eling. Eling. Guti Alloh ya Mas.”
“Iya
ya Yung.”
“Kita memang dilahirkan
orang pinggiran yang penting ngibadah tulus ikhlas. Ngibadah dasarnya
lilahitanggala : hanya mengharap keridhoaan Gusti Alloh. Banyak syukurnya pada
Gusti Alloh. Hidup ayem tentrem. Tidak gragas. Mangas. Biar tidak cepet stres
ya Mas.“
“Iya Yung.“
“Tuu Mas ada salah satu
petugas manggil Biung.“
“Aku saja ya Yung yang
datang.“
“Iya ya Mas.“
“Biung di sini saja gak
apa-apa.“
Aku berjalan menuju arah
petugas yang memanggil Biung. Masuk ke ruangan Dokter. Ruangan kerja serba
terang. Cat tembok warna putih. Cahaya lampu bersinar cerah. Lantainya keramik
putih. Saking bersihnya kelihatan bayangan tubuhku dibawah lantai keramik.
Dokter sudah siap duduk dipojok ruangan. Berdiri. Tersenyum. Jaga jarak. Sambil
berucap.
“Silahkan
duduk.“
“Terima
kasih, Dok.“
“Saudaranya
Sarmi.“
“Betul,
Dok.“
“Begini
perkembangan Sarmi dari hari ke hari semakin memburuk.“
“Maksud
Dokter?“
“Kami
sudah berusaha yang terbaik demi kesembuhan Sarmi.“
“Aku
siap bayar berapapun Dok yang penting Sarmi Sembuh.“
“Bukan
masalah biaya.“
“Masalahnya
apa Dok ?”
‘”Virus
covid 19 sangat cepat menyerang.“
“Iya
ya Dok.“
“Virus ini menyerang tidak
hanya disini saja. Seluruh dunia terpapar virus ini. Semua tiem kesehatan
prihatin. Sudah berusaha melakukan terbaik demi penanganan virus covid 19.
Walaupun harus nyawa taruhannya.”
“Iya ya Dok. Jadi
perkembangannya Sarmi gimana?“
“Kami sudah berusaha
memberikan pelayan terbaik.“
“Terima kasih Dok.“
“Sekarang perbanyak
doa-doa. Hanya kekuatan doa-doa pada Tuhan mengalahkan segala reser obat Dokter.“
“Iya Dok.“
Ketika aku mau pamit
keluar ruangan Dokter. Tiba-tiba perawat bagian laborat. Sergamnya serba putih
bernama Mustika Jannah tertulis diatas saku sebelah kanan.
“Maaf mohon izin Dok.
Pasien bernama Sarmi di UGD kejang-kejang, Dok?”
“Iya ya.“
Dokter langsung berdiri.
Keluar bersama perawat bagian laborat menuju UGD dengan pakain khusus seperti
astronot. Aku dilarang mengikutinya bahkan tidak boleh masuk UGD. Aku mendekati
Biung. Wajah biung mulai pucat. Duduk bersandar pada tembok. Kedua kakinya
slonjor kebawah. Kedua bola matanya sayu. Biung duduk di kursi ruang tunggu.
Kepalanya disandarkan tembok. Kedua tangannya mendekap tas cangklongku. Aku
tidak berani menyentuh tubuh Biung. Apa lagi menyapa. Aku biarkan Biung tidur
nyenyak. Bahkan aku berusaha mengusir nyamuk dan lalat yang mencoba mendekati
tubuh Biung.
Sepuluh menit kemudian
Dokter mendekatiku. Kepalanya menunduk kebawah. Menatapku tajam. Kemudian
berucap pelan di balik masker berwarna biru yang menutupi rapat mulut dan
sebagian hidungnya. Sampai maskernya bergerak menggelembung kedepan.
“Mohon maaf kami sudah
berusaha terbaik. Tapi Tuhan berkendak lain. Sarmi meninggal dunia.“
“Meninggal dunia?”
“Iya.“
“Innalillahi wa inna ilaihi
rojiun.“
“Baiknya proses pemandian
jenasah juga pemakaman wajib protokoler.“
“Maksud Dokter?“
“Harus tiem khusus yang
menangani.“
“Baik, Dok.“
“Tiem khusus yang sudah
diklat.“
“Mari ikut ke ruangan kami.“
“Siapp Dok.“
Aku berjalan mengikuti
dari belakang. Tetap jaga jarak. Dokter masuk ruangan kerja. Melepaskan baju
seperti astronot. Kemudian dimasukkan tong sampah khusus. Masuk kamar mandi
kemudian keluar. Duduk di kursi kembali. Dokter menyiapkan surat-surat
persetujuan proses pemakaman protokoler. Aku disuruh menandatangani surat
persetujuan. Setelah menandatangi Aku
keluar ruangan Dokter. Menyusul Biung di ruang tunggu. Ternyata Biung sudah
tahu kalau Sarmi sudah meninggal dunia di UGD.
Biung tabah. Tatag. Sabar.
Menghadapi semua ini. Kedua bola mata Biung memerah menahan tangisnya.
Keringatnya keluar dari ujung hidungnya. Biung tetap tegar. Selama menunggu
Sarmi Biung sudah terbiasa menghadapi kematian. Kata Biung sehari sebelum
meninggal dunia. Adiknya Bah Shiong bernama Yam Shin juga sudah meninggal
dunia. Yam Shin pemilik toko mebel daerah Bumiayu. Bahkan sering menjemput
kepulangan Supraptiwi di Bandara ketika ia mendapatkan libur satu tahun sekali
kerja di Singapura. Yam Shin meninggal
dunia terpapar covid 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar