Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum ke-36
Pesawat Sliwedari Air
mulai terbang menurun ke bawah menuju Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang.
Lampu dalam kabin pesawat mulai menyala kuning terang. Bersama lampu pemandu
disetiap bibir jalan masuk bandara. Kelap-kelip menyala biru tanda pesawat akan
turun. Salah satu Pramugari berambut pirang memerah. Tinggi badan seratus enam
puluh tujuh. Badannya ramping padat berisi. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya
mancung. Kedua bola matanya berwarna biru. Memakai seragam batik tulis dari
Pekalongan. Ada tulisan kecil sebelah kanan dadanya Sliwedari Air. Dibawahnya
tertulis nama Ferly Augustha. Mungkin hasil perkawinan campuran orang jawa
dengan warga Eropa. Memberikan pengarahan kepada semua penumpang pesawat.
“Pesawat sudah sampai
bandara. Silahkan di cek kembali barang anda ?, buka tali kunci tempat duduk
anda, terima kasih.“ Suara Pramugarinya halus manja menggoda.
Aku melepaskan tali
pengaman tempat duduk pesawat. Membenahi roti, kacang atom, sisa air mineral.
Aku masukkan dalam tas kresek. Termasuk tas cangklong aku kalungkan leherku
menghadap kedepan. Satu persatu semua penumpang pesawat turun dari pintu
gerbang pesawat. Semua penumpang turun lewat tangga perut peswat. Aku berjalan
menuju pintu masuk bandara internasional Ahmad Yani Semarang.
Aku merasa bangga punya
bandara ini. Suasana bandara internasional Ahmad Yani Semarang. Bersih. Nyaman.
Indah. Juga aman. Tidak kalah penampilannya dengan bandara internasional
Singapura. Setiap hari lantainya dibersihkan. Dindingnya penuh hiasan natural.
Pelayanan sangat bersahabat. Nyaris tidak ada sampah. Cahaya lampu listrik
tertata indah. Berhias dinding kaca di setiap pojokan. Multi fungsi bisa
berhias sambil melihat berbagai gaya berjalan.
Aku keluar dari pintu
bandara internasional Ahmad Yani. Sudah aku pesan tiket biro jasa trevel Arjuna
menuju kampungku. Lima menit mobil trevel datang berhenti depan bandara. Mobil
trevel Diatsu Luxsio seri X berwarna hitam menghampiriku. Aku langsung masuk
dalam mobil duduk persis belakang sopir. Duduk bersandar di kursi mobil. Mobil
trevel berjalan meninggalkan bandara. Berjalan lurus kedepan masuk jalan tol
tanpa hambatan apa lagi kemacetan. Sambil melihat pemandangan sekitar wilayah
jalan tol. Aku ngemil kacang atom pemberian Supraptiwi.
Mobil trevel berjalan
cepat lancar aman dan nyaman. Tidak terasa sudah masuk wilayah Kecamatanku.
Lima menit lagi masuk gapura masuk desaku. Rencanaku aku minta turun di
Puskesmas rawat inap Kecamatan. Tidak turun depan rumah. Langsung nenggok si
Sarmi dan Biung. BIar Biung pulang bisa istirahat dirumah. Sudah beberapa hari
harus menunggu Sarmi.
“Mas tolong berhenti depan
Puskesmas saja,“ cetusku sambil membetulkan letak tas cangklong.
“Ya ya, tidak jadi turun
di Kusuma Baru.“
“Tidak.“
“Baik,“ jawab sopir
singkat.
Mobil trevel berhenti depan
Puskesmas kecamatan. Aku turun. Sopir ikut turun membuka pintu bekasi
menurunkan tas dan semua bekalku. Setelah tas keluar dari bekasi. Sopir masuk
pintu depan. Trevel berjalan meninggalkanku. Mengantarkan penumpang lainnya
sampai ketujuan. Aku berjalan menuju pintu masuk rawat inap Puskesmas. Pakai
masker kaos tangan menuju ruang informasi. Minta informasi ruang UGD nya
dimana. Salah satu perawat bernama Nisrina Agty Istiqomah dengan ramah
menunjukkan arah jalan masuk ruang UGD. Sambil menunjukkan arah jalannya.
Hanya butuh waktu tiga
menit aku sudah sampai depan pintu UGD. Disebelah pojok ada Mushola ukuran 4x6
berwarna krem. Aku melihat tas Biung di depan pintu masuk Mushola. Aku belok
kanan menuju jalan Mushola. Sepi. Kosong didalam Mushola. Biung tidak ada.
Hanya tas Biung yang ada. Aku menoleh kakan kiri depan belakang. Sepi.
“Tapi ini tas Biungku,“ batinku
Aku duduk didepan Mushola.
Tas aku taruh. Kaos kaki aku lepas. Jaket.Topi. Masker Aku lepas menuju tempat
wudu. Berwudu mengerjakan sholat sunnah duha empat rokaat. Aku punya keyakinan
mengerjakan amalan sholat sunnah duha. Tuhan akan memudahkan urusannya. Sebelum
mengelar sajadah aku pindah tas Biung disampingku. Aku mengerjakan amalan
ibadah sholat duha. Setelah itu berdoa pada Tuhan.
Disaat aku berdoa aku
mendengar suara sendal menuju Mushola. Suara sendal semakin dekat. Belum sempat
Aku menoleh kearah suara itu. Tubuhku dipeluk erat dari belakang. Biung
memelukku rapat sekali. Tubuhku terasa hangat sekali. Terasa ada energi positif
masuk dalam lobang pori-poriku. Pelukan Biung hangat penuh cahaya kasih sayang.
Biungnya siapapun ketika memeluk anak-anak tercinta akan merasakan sejuk damai
tentram ditengah dekapannya.
Dekapan Biung tetep
seperti dekapan anak tercinta ketika masih belita. Didekap erat. Dielus-elus
kepalanya. Badannya. Sambil memanjatkan doa-doa terbaik dari bibir Biung untuk
anak-anak tercinta. Aku berbalik. Menghadap Biung. Aku tatap wajah Biung penuh
garis perjuangan dan doa. Membesarkaku tanpa harus minta bantuan dari lelaki. lelaki
atas nama suami. Dari kecil aku dibesarkan dengan tangan kaki Biungku sendiri.
Aku cium tangan biung. Aku cium pipi kakan kiri Biung. Kepeluk erat sekali
tanpa kata dan tanya. Terasa damai. Nyaman. Sejuk damai dalam pelukan Biung.
Walaupun aku sebenarnya bukan lagi usia anak-anak. Tapi pelukan Biung ini
menumbuhkan energi positif dalam semua aliran darahku.
Tapi ada batinku
bergejolak hebat. Kedua bola mata Biungku hampir sama dengan kedua bola mata
lukisan istrinya Bapak Suherman. Hitam. Bulat. Alisnya tebal menghitam. Sangat
tajam kedua bola. Mirip kedua bola mata perempuan Mandarin Jepang. Hampir dua
bulan aku belum bertemu dengan Bapak Suherman. Ada perasaan rindu mengumpal
dalam dada. Terakhir ketemu digalereliku mengambil pesanan lukisan istri tercintanya.
Bahkan mampu menyembuhkan penyakit impotensi. Ketika Bapak Suherman memandang
lukisan istri tercinta. Terbukti malamnya bermimpi bercinta hebat sampai alat
kelaminnya bisa ireksi kembali.
Aku masih memeluk erat
dibawah kedua bola matanya Biungku. Hampir sama dengan lukisan istrinya Bapak
Suherman. Biung mengusap rambutku dari arah depan kebelakang. Halus. Lembut.
Penuh dengan perasaan kasih sayang. Sambil berucap.
“Gimana kabarnya si
Supraptiwi.“
“Sehat, Yung.“
“Syukurlah itu temen setia
kecilmu Mas?“
“Iya Yung.“
“Kok tidak jadi pulang
denganmu Mas.“
“Sedang ngurus surat-surat
di bironya, Yung.“
“Syukurlah yang penting
sehat waras slamet ya Mas.“
“Iya Yung.“
“Apa bener Mas sayang
Supraptiwi.“
“Pol sayange Yung.“
“Syukurlah.“
“Bocah wadhon pol prihatinne
tu si Supraptiwi, Mas.“
“Iya Yung.“
“Berjuang sendiri
mengangkat derajat orang tuanya.“
“Bener Yung.“
“Masa mudanya dihabiskan
babu kerja di luar negri demi menggangkat harkat martabat orang tuanya.“
“Betul Yung, perempuan
hebat dia Yung.“
“Biung juga salut dengan
Supraptiwi, Mas.“
“Tiga hari lagi pulang
kampung kok Yung.“
“Iya to Mas.“
“Iya Yung malah dia minta
langsung minta nikah dengaku.“
“Loo gak lamaran dulu po
Mas?“
“Tidak Yung.“
“Syukur-syukur
alhamdulillah Biung pol seneng banget Mas.“
“Iya Yung minta doa
restunya.“
“Biung restui Mas.“
“Terima kasih ya Yung,” jawabku
sambil memeluk tubuh Biung dengan aroma khas natural sekali tanpa serpihan bau
parfum.
Biung menatapku tajam sekali. Penuh ribuan
kata-kata tersimpan rapat dalam batinnya paling dalam. Menatap penuh kejujuran
dan kerinduan kedua bola mata. Aku melihat ada genangan air mata mengembang
basah ditengah lingkaran kedua bola matanya Biung. Pelan-pelan berwarna
memerah. Hidungnya kempas-kempis. Kedua pipinya memerah. Menatap lagi kedua bola mataku dalam-dalam. Seolah-olah
Biung menemukan sesuwatu dikedua bola mataku. Aku dipeluk rapat sekali.
Pundakku basah penuh tetesan air mata biungku.
Pelan-pelan Biung mengusap
kedua bola mataku dengan sapu tangan berwarna unggu terong. Perlakuan Biung
persis anak kecil. Berkali kali diusap kedua bola mataku. Aku dipeluk lagi
sambil berucap.
“Biung kangen Mas.“
“Sama Yung.“
“Iya ya Mas,“ Jawab Biung
memelukku erat.
Ada pertanyaan menganjal
dalam hatiku. Ketika Biung menatap kedua bola mataku seolah menemukan dunia
baru yang hilang dalam kehidupannya. Kedua bola mataku membuat hati Biung
semringgah bungah bombong lega hatinya.
“Ada apa di balik kedua
bola mataku,“ batinku sambil kubalas pelukan Biung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar