Rabu, 05 Oktober 2022

Sampai Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang

 

pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-36

 

      Pesawat Sliwedari Air mulai terbang menurun ke bawah menuju Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang. Lampu dalam kabin pesawat mulai menyala kuning terang. Bersama lampu pemandu disetiap bibir jalan masuk bandara. Kelap-kelip menyala biru tanda pesawat akan turun. Salah satu Pramugari berambut pirang memerah. Tinggi badan seratus enam puluh tujuh. Badannya ramping padat berisi. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya mancung. Kedua bola matanya berwarna biru. Memakai seragam batik tulis dari Pekalongan. Ada tulisan kecil sebelah kanan dadanya Sliwedari Air. Dibawahnya tertulis nama Ferly Augustha. Mungkin hasil perkawinan campuran orang jawa dengan warga Eropa. Memberikan pengarahan kepada semua penumpang pesawat. 

“Pesawat sudah sampai bandara. Silahkan di cek kembali barang anda ?, buka tali kunci tempat duduk anda, terima kasih.“ Suara Pramugarinya halus manja menggoda.

Aku melepaskan tali pengaman tempat duduk pesawat. Membenahi roti, kacang atom, sisa air mineral. Aku masukkan dalam tas kresek. Termasuk tas cangklong aku kalungkan leherku menghadap kedepan. Satu persatu semua penumpang pesawat turun dari pintu gerbang pesawat. Semua penumpang turun lewat tangga perut peswat. Aku berjalan menuju pintu masuk bandara internasional Ahmad Yani Semarang.

Aku merasa bangga punya bandara ini. Suasana bandara internasional Ahmad Yani Semarang. Bersih. Nyaman. Indah. Juga aman. Tidak kalah penampilannya dengan bandara internasional Singapura. Setiap hari lantainya dibersihkan. Dindingnya penuh hiasan natural. Pelayanan sangat bersahabat. Nyaris tidak ada sampah. Cahaya lampu listrik tertata indah. Berhias dinding kaca di setiap pojokan. Multi fungsi bisa berhias sambil melihat berbagai gaya berjalan.

Aku keluar dari pintu bandara internasional Ahmad Yani. Sudah aku pesan tiket biro jasa trevel Arjuna menuju kampungku. Lima menit mobil trevel datang berhenti depan bandara. Mobil trevel Diatsu Luxsio seri X berwarna hitam menghampiriku. Aku langsung masuk dalam mobil duduk persis belakang sopir. Duduk bersandar di kursi mobil. Mobil trevel berjalan meninggalkan bandara. Berjalan lurus kedepan masuk jalan tol tanpa hambatan apa lagi kemacetan. Sambil melihat pemandangan sekitar wilayah jalan tol. Aku ngemil kacang atom pemberian Supraptiwi.

Mobil trevel berjalan cepat lancar aman dan nyaman. Tidak terasa sudah masuk wilayah Kecamatanku. Lima menit lagi masuk gapura masuk desaku. Rencanaku aku minta turun di Puskesmas rawat inap Kecamatan. Tidak turun depan rumah. Langsung nenggok si Sarmi dan Biung. BIar Biung pulang bisa istirahat dirumah. Sudah beberapa hari harus menunggu Sarmi.

“Mas tolong berhenti depan Puskesmas saja,“ cetusku sambil membetulkan letak tas cangklong.

“Ya ya, tidak jadi turun di Kusuma Baru.“

“Tidak.“

“Baik,“ jawab sopir singkat.

Mobil trevel berhenti depan Puskesmas kecamatan. Aku turun. Sopir ikut turun membuka pintu bekasi menurunkan tas dan semua bekalku. Setelah tas keluar dari bekasi. Sopir masuk pintu depan. Trevel berjalan meninggalkanku. Mengantarkan penumpang lainnya sampai ketujuan. Aku berjalan menuju pintu masuk rawat inap Puskesmas. Pakai masker kaos tangan menuju ruang informasi. Minta informasi ruang UGD nya dimana. Salah satu perawat bernama Nisrina Agty Istiqomah dengan ramah menunjukkan arah jalan masuk ruang UGD. Sambil menunjukkan arah jalannya.

Hanya butuh waktu tiga menit aku sudah sampai depan pintu UGD. Disebelah pojok ada Mushola ukuran 4x6 berwarna krem. Aku melihat tas Biung di depan pintu masuk Mushola. Aku belok kanan menuju jalan Mushola. Sepi. Kosong didalam Mushola. Biung tidak ada. Hanya tas Biung yang ada. Aku menoleh kakan kiri depan belakang. Sepi.

“Tapi ini tas Biungku,“ batinku

Aku duduk didepan Mushola. Tas aku taruh. Kaos kaki aku lepas. Jaket.Topi. Masker Aku lepas menuju tempat wudu. Berwudu mengerjakan sholat sunnah duha empat rokaat. Aku punya keyakinan mengerjakan amalan sholat sunnah duha. Tuhan akan memudahkan urusannya. Sebelum mengelar sajadah aku pindah tas Biung disampingku. Aku mengerjakan amalan ibadah sholat duha. Setelah itu berdoa pada Tuhan.

Disaat aku berdoa aku mendengar suara sendal menuju Mushola. Suara sendal semakin dekat. Belum sempat Aku menoleh kearah suara itu. Tubuhku dipeluk erat dari belakang. Biung memelukku rapat sekali. Tubuhku terasa hangat sekali. Terasa ada energi positif masuk dalam lobang pori-poriku. Pelukan Biung hangat penuh cahaya kasih sayang. Biungnya siapapun ketika memeluk anak-anak tercinta akan merasakan sejuk damai tentram ditengah dekapannya.

Dekapan Biung tetep seperti dekapan anak tercinta ketika masih belita. Didekap erat. Dielus-elus kepalanya. Badannya. Sambil memanjatkan doa-doa terbaik dari bibir Biung untuk anak-anak tercinta. Aku berbalik. Menghadap Biung. Aku tatap wajah Biung penuh garis perjuangan dan doa. Membesarkaku tanpa harus minta bantuan dari lelaki. lelaki atas nama suami. Dari kecil aku dibesarkan dengan tangan kaki Biungku sendiri. Aku cium tangan biung. Aku cium pipi kakan kiri Biung. Kepeluk erat sekali tanpa kata dan tanya. Terasa damai. Nyaman. Sejuk damai dalam pelukan Biung. Walaupun aku sebenarnya bukan lagi usia anak-anak. Tapi pelukan Biung ini menumbuhkan energi positif dalam semua aliran darahku.

Tapi ada batinku bergejolak hebat. Kedua bola mata Biungku hampir sama dengan kedua bola mata lukisan istrinya Bapak Suherman. Hitam. Bulat. Alisnya tebal menghitam. Sangat tajam kedua bola. Mirip kedua bola mata perempuan Mandarin Jepang. Hampir dua bulan aku belum bertemu dengan Bapak Suherman. Ada perasaan rindu mengumpal dalam dada. Terakhir ketemu digalereliku mengambil pesanan lukisan istri tercintanya. Bahkan mampu menyembuhkan penyakit impotensi. Ketika Bapak Suherman memandang lukisan istri tercinta. Terbukti malamnya bermimpi bercinta hebat sampai alat kelaminnya bisa ireksi kembali.

Aku masih memeluk erat dibawah kedua bola matanya Biungku. Hampir sama dengan lukisan istrinya Bapak Suherman. Biung mengusap rambutku dari arah depan kebelakang. Halus. Lembut. Penuh dengan perasaan kasih sayang. Sambil berucap.

“Gimana kabarnya si Supraptiwi.“

“Sehat, Yung.“

“Syukurlah itu temen setia kecilmu Mas?“

“Iya Yung.“

“Kok tidak jadi pulang denganmu Mas.“

“Sedang ngurus surat-surat di bironya, Yung.“

“Syukurlah yang penting sehat waras slamet ya Mas.“

“Iya Yung.“

“Apa bener Mas sayang Supraptiwi.“

“Pol sayange Yung.“

“Syukurlah.“

“Bocah wadhon pol prihatinne tu si Supraptiwi, Mas.“

“Iya Yung.“

“Berjuang sendiri mengangkat derajat orang tuanya.“

“Bener Yung.“

“Masa mudanya dihabiskan babu kerja di luar negri demi menggangkat harkat martabat orang tuanya.“

“Betul Yung, perempuan hebat dia Yung.“

“Biung juga salut dengan Supraptiwi, Mas.“

“Tiga hari lagi pulang kampung kok Yung.“

“Iya to Mas.“

“Iya Yung malah dia minta langsung minta nikah dengaku.“

“Loo gak lamaran dulu po Mas?“

“Tidak Yung.“

“Syukur-syukur alhamdulillah Biung pol seneng banget Mas.“

“Iya Yung minta doa restunya.“

“Biung restui Mas.“

“Terima kasih ya Yung,” jawabku sambil memeluk tubuh Biung dengan aroma khas natural sekali tanpa serpihan bau parfum.

 Biung menatapku tajam sekali. Penuh ribuan kata-kata tersimpan rapat dalam batinnya paling dalam. Menatap penuh kejujuran dan kerinduan kedua bola mata. Aku melihat ada genangan air mata mengembang basah ditengah lingkaran kedua bola matanya Biung. Pelan-pelan berwarna memerah. Hidungnya kempas-kempis. Kedua pipinya memerah. Menatap lagi  kedua bola mataku dalam-dalam. Seolah-olah Biung menemukan sesuwatu dikedua bola mataku. Aku dipeluk rapat sekali. Pundakku basah penuh tetesan air mata biungku.

Pelan-pelan Biung mengusap kedua bola mataku dengan sapu tangan berwarna unggu terong. Perlakuan Biung persis anak kecil. Berkali kali diusap kedua bola mataku. Aku dipeluk lagi sambil berucap.

“Biung kangen Mas.“

“Sama Yung.“

“Iya ya Mas,“ Jawab Biung memelukku erat.

Ada pertanyaan menganjal dalam hatiku. Ketika Biung menatap kedua bola mataku seolah menemukan dunia baru yang hilang dalam kehidupannya. Kedua bola mataku membuat hati Biung semringgah bungah bombong lega hatinya.

“Ada apa di balik kedua bola mataku,“ batinku sambil kubalas pelukan Biung.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar