Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum ke-38
Sarmi anak angkat asuhku
meninggal dunia terpapar virus covid 19. Menyusul kedua orang tuanya yang sudah
meninggal dunia tujuh tahun lalu. Pukul dua belas malam proses pemakaman
dimulai. Hanya petugas khusus boleh memakamkan. Bertujuan untuk menghindari
kerumuman massa tidak tertular virus covid 19. Maka pemakamannya tengah malam.
Bahkan aku dan Biung tidak boleh masuk ke tanah makam. Menunggu berdiri di gang
pintu jalan masuk pemakamam umum. Bersama beberapa perangkat desa. Anggota
Koramil dan Polsek kecamatan. Pukul setengah satu malam pemakamam selesai.
Petugas khusus masuk mobil satu persatu meninggalkan tanah makam umum desaku.
Biung mendekatiku sambil memegang erat
tanganku. Kedua pipinya pucat. Kedua bola matanya basah memerah. Hidungnya
kempas-kempis. Memegang erat sekali pergelangan tanganku. Kemudian Biung
berucap.
“Di sini mas tujuan akhir kehidupan
manusia.“
“Iya Yung.“
“Hidup ini terbagi berbagai alam.“
“Maksud Biung.“
“Dulu masih janin hidup di alam kandungan. Alam kenyataan
seperti sekarang ini. Sarmi menempuh kehidupan di alam kubur. Besok bangun
masuk alam hisab : perhitungan terakhir. Apakah kita masuk Surga atau Neraka.
Semua tergantung amal perbuatan kita hidup didunia ini Mas.“
“Ya iya Yung.“
“Satu persatu mulai meninggalkan Sarmi. Baik petugas yang
memakamkan. Perangkat desa. Anggota Koramil dan Polsek Kecamatan. Kemudian kita
meninggalkan Sarmi. Pulang kerumah masing masing. Menjadi teman setia Sarmi
tinggal amal perbuatan terbaik.“
“Ngibadah pada Gusti Alloh ya Yung.“
“Betul, Mas.“
“Hanya amalan ngibadah, sedekah. Sodakhoh, amal jariyah,
memberikan ilmu bermanfaat menemani
Sarmi.“
“Iya Yung.“
“Mari kita doakan terbaik untuk Sarmi agar mendapatkan
ampunan dari segala kesalahan dan dosa-dosanya ya Mas.“
“Iya Yung.”
Aku dan Biung masih berdiri di depan pintu gang masuk jalan
tanah makam umum. Berdoa terbaik pada Tuhan. Semoga semua amalan ibadah Sarmi
diterima menghantar ke pintu masuk syurganya Tuhan. Aku melirik Biung bibirnya
komat-kamit membaca doa-doa terbaik bagi Sarmi.
Setelah itu aku dan Biung berjalan pulang ke rumah.
Dibelakang ditemani dua limas kampungku dengan membawa senter menyala. Cahaya
terang menerangi langkah kaki Aku dan Biung. Sambil berjalan Biung tetap
memegang erat pergelangan tanganku. Sambil berucap.
“Mas.“
“Iya Yung.“
“Ternyata harta benda, pangkat, keluarga tercinta tidak bisa
menjadi teman dalam alam kubur ya Mas.“
“Iya Yung.“
“Makanya hidup terbaik adalah selalu ihklas menerima
pemberian dari Tuhan.“
“Betul Yung.“
“Buktinya banyak orang sehabis mengantarkan tanah makam belum
mampu mengambil pelajarannya.“
“Iya ya Yung.“
“Terus memburu harta benda, jabatan, kekuasaan hanya kebahagian
sesaat.“
“Betul Yung.“
“Harta benda, jabatan, kekuasaan semu belaka. Ditinggalkan
ketika kita wafat. Tidak dibawa kelam kubur.“
“Iya Yung.“
“Hanya amalan ngibadah terbaik pada Gusti Alloh jadi teman
setia.“
“Betul ya Yung.“
“Iya si Mas.“
“Iya Yung.“
“Sudah tau belum
kabarnya Pak Guru Sakim.“
“Ada apa Yung.“
“Sekarang ikut program Transmigrasi di Luar Jawa.“
“Kemarin telpon Aku kasih kabar Sarmi masuk UGD.“
“Betul Mas.“
“Setelah itu pamit Biung Transmigrasi.”
“Transmigrasi Yung.“
“Iya betul.“
“Sekeluarga.“
“Iya Mas. Pak Sakim curhat pada Biung. Seminggu sebelum
berangkat Transmigrasi. Jadi guru wiyata bakti honornya tidak cukup untuk
biyaya kehidupannya. Sebulan cuma dapat bayaran enam ratus ribu rupiah. Begitu
juga sering menjadi ban serep Guru-guru yang sudah diangkat. Alasannya mau
kondangan. Rapat. Takziah. Nenggok bayi temennya. Pak Sakim sudah berkali-kali
ikut ujuian CPNS. Tidak lulus. Mau kuliah S.1 tidak ada biyayanya. Untuk
mendapatkan tunjangan sertifakasi ia hanya lulusan Diploma dua tahun. Tidak
punya izasah S.1. Makanya ikut transmigrasi sambil menjadi guru disana.
Tujuannya bisa diangkat PNS. Mas.”
“Begitu too Yung?“
“Iya Mas.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar