Sabtu, 24 September 2022

Pulang ke Indonesia

 

pixabay.com



Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum ke-35

 

       Pagi hari terasa indah segar cahaya matahari Singapura bersinar cerah menembus luas pantai samudera berwarna membiru. Gelombang pantai berjalan pelan bersama angin pagi basah. Cahaya matahari menembus riak gelombang pantai berwarna menguning emas. Burung-burung camar mulai beterbangan bebas. Kejar-mengejar di atas gelombang pantai. Beterbangan memutar-mutar di atas tugu marcu suar. Hinggap di atas bebatuan karang pantai.

      Aku dan Supaptiwi jalan pagi di pinggiran bibir jalan pantai. Riak gelombang pantai berjalan pelan menyentuh mata kakiku. Terasa dingin. Berjalan bergandengan tanpa kata menyelusuri setiap pinggiran bibir pantai. Saling memandang tukar senyum dibawah cahaya matahari pagi. Suara deru mesin kapal barang bersatu padu dengan gelombang pantai. Gelombang ombak menghantam tebing batu pembatas pantai. Air pantai menjadi berwarna putih membuih ketepian bibir pantai.

      Dibawah cahaya matahari pagi yang menguning tampak bayangan tubuhku berjalan bergandengan erat diatas pasir. Supraptiwi tersenyum sambil menatapku dengan kedua bola matanya yang tajam. Terasa bergetar jantungku ketika Supraptiwi menatapku tajam tanpa kata. Hanya senyuman manis terasa bebas lepas tanpa rekayasa mengartikan cinta.

      Semilir angin pantai mulai berhembus kencang. Rambutnya Suparptiwi mulai mengembang bergerak bergoyang searah angin berhembus. Terkadang kebelakang. Kekanan. Kekiri. Bahkan sampai menyapu wajahku ketika aku merangkul pundak Supartiwi. Dibawah pohon sukun diatas batu hitam Supraptiwi mengajakku istirahat.

     “Istirahat dulu ya Mas.“

     “Oke.“

     “Mau pesen minuman apa Mas?“

     “Teh tawar panas aja ya Dik.“

     “Dengan roti bakar ya Mas?“

     “Ya, terima kasih.“

     Supraptiwi berjalan mendekati deretan kuliner di pinggiran pantai. Pesan dua teh panas dan roti bakar rasa pisang. Kemudian mendekatiku. Duduk merapat disebelahku. Kepalanya disandarkan pundak sebelah kananku. Terasa hangat dengusan napas Supraptiwi menyentuh kulit leherku. Empat jam lagi aku harus meninggalkan Supraptiwi. Aku harus pulang ke Indonesia. Menuju kampungku Kusuma Baru. Anak asuhku Sarmi masuk UGD sebab terpapar virus c 19. Biung dengan setia setiap hari menunggu di ruang tunggu.

      Jam sepuluh siang waktu Singapura

     Aku sudah siap pulang kampung. Tas. Bekal makanan kecil. Minuman mineral air putih. Tiket pesawat. Dompet, Hp, ATM nya Supraptiwi juga uang kes aku masukkan tas cangklong hitam mengahadap ke depan. Aku menunggu Supraptiwi sambil duduk di bawah pohon bogenvile bunganya empat warna, putih, merah, biru dan unggu. Daunnya lebat berwarna hijau segar ditengah-tengah bunganya mekar segar berkembang sempurna.

Aku melihat Supraptiwi berlari kecil membawa bungkusan plastik berwarna kuning ada tulisannya The Singapura. Dengan senyumnya khas terlihat gigi depan putih rata. Kedua bola matanya seakan bercahaya. Menandakan rasa bombong semringgah penuh keceriaan lahir dalam hatinya.

“Ini untuk ngemil di pesawat Mas.“

“Aduhh duhh sudah banyak nih.“

“Gak apa-apa lah Mas.“

“Ini ada roti.“

“Ini kan kesukannya Mas.”

“Apa ya Dik?“

“Kacang atom.“

“Makasih ya Dik.“

“Iya ya Mas,“ jawab Supraptiwi sambil memasukkan kacang atom dalam tas kresekku.

“Apa lagi yang dibawa ni Dik?“

“Gak ada.“

“Bener?“

“Eee anu Mas.“

“Apa?”

“Tolong hatiku dibawa.“

“Ke mana?”

“Ke hatimu Mas.“

“Ada ada saja, Dik Dik.“

“Salam tu Rama dan Biungku tiga hari aku pulang.“

“Oke.“

      Aku dan Supraptiwi berjalan menuju jalan aspal menunggu taksi dari perusahan penerbangan Sliwedari Air.  Biro penerbangan Pesawat Sliwedari Air selalu memanjakan calon penumpang pesawat. Dua jam sebelum penerbangan menyemput semua calon penumpang. Sesuwai dengan pesanan calon penumpang pesawat Sliwedari Air. Makanya perusahan pesawat Sliwedari Air terkenal dengan servis memuaskan para calon penumpang.

Pukul satu siang Singapura

Taksi berwarna kuning gading dengan tulisan di kaca depan Agen Pesawat Sliwedari Air berhenti didepanku. Aku melihat kedua bolanya Supraptiwi penuh genangan air mata di pinggiran garis bola matanya. Ketika aku masuk dalam taksi. Supraptiwi mengusap kedua bola matanya dengan kedua tangannya. Taksi berjalan pelan-pelan. Supraptiwi melambaikan kedua tangannya. Senyumnya sangat khas manis sekali. Memerah basah bibirnya. Giginya putih rata mengembang bersama senyumnya. Taksi terus berjalan meninggalkan Supartiwi dipinggiran bibir jalan aspal.Tangannya tetap setia melambaikan kearahku.

Padahal rencana awal Supraptiwi mau mengantar aku sampai bandara. Tapi tidak jadi sebab harus mengurus izin kepulangan ke Indonesia di biro kerjanya. Taksi berjalan dangan cepat mengantarku sampai pintu masuk bandara pesawat terbang Singapura. Semua bekal aku masukkan tas dorong. Tiket pesawat aku siapkan. Masuk urutan calon penumpang. Tiket pesawat aku serahkan petugas. Aku naik tangga masuk dalam pesawat terbang Sliwedari Air. Mencari kursi duduk nomer 091. B. Sesuwai dengan nomer tiket pesawat.

Didalam pesawat terbang lewat pintu kaca aku melihat bangunan-bangunan sangat megah. Hotel tertata rapi. Akses jalan sangat tertib bahkan tidak macet. Apa lagi penjual kaki lima tertata rapi ditempatkan daerah tersendiri. Tidak ada persaingan pasar tradisional dengan modern. Semua tertata dengan baik. Kota Singapura luar biasa indah. Malam hari penuh cahaya lampu-lampu listrik berwarna warni. Persis cahaya pelangi senja. Melengkung di dinding langit bercahaya berwarna. Sayang sekali. Di tengah kota Singapura yang gemerlapan. Puluhan anak-anak bangsa Indonesia membawa uang rakyatnya. Korupsi. Di perbangkan. BLBI. Perminyakan. Pertambangan. PLN. Lahan kelapa sawit di luar jawa. Semua berlari sembunyi di tengah kota indahnya Singapura.

Aku masih ingat siaran televisi pemerintah dan swasta. Waktu itu menyiarkan berita seorang koruptor hebat. Bos kelapa sawit merugikan uang Negara sejumlah 78 T. Mega korupsi lahan hutan di luar jawa. Belum yang lain-lainnya nyaris hidup sangat nyaman ditengah gemerlapan indahnya kota Singapura. Aku tersenyum sendiri sambil melihat hotel-hotel tinggi di Singapura dibalik kaca pesawat terbang.

Sudah menjadi gaya hidup baru anak-anak bangsaku: belanja, pesiar, nyalon kecantikan, kuliner ke Singapuran. Bahkan sudah nembus pola berfikir demi gengsi dan tuntutan zaman. Tamasya ke Singapura adalah lambang orang berklas. Meninggalkan kultur nenek moyangnya dari makanan trasional. Wisata lokal. Kekayaan alam Nusantara. Satu persatu mulai ditinggalkan. Berbondong-bondong wisata ke Singapura. Bukan hanya wisata saja. Emak-emak berkantong tebal wisata sex dengan gigolo Singapura. Bapak-bapak berkantong tebal judi rolet main perempuan malam di tengah indahnya cahaya lampu kota Singapura

Lamunanku buyar pecah ketika mendengar salah satu Pramugari memberikan pengarahan pesawat mau terbang. Aku mematikan Hp. Duduk bersandar. Aku kunci sabuk tempat dudukku. Mengambil jaket untuk menutupi sebagian tubuhku. Dingin. AC pesawat sangat dingin sekali. Lampu kuning menyala dalam kabin pesawat terbang Sliwedari Air. Pesawat mulai terbang. Aku mengintip lewat kaca pesawat terbang di sana kekasihku Supraptiwi tinggal. Kurang tiga hari lagi pulang kampung Munggangsari. Pulang. Langsung minta nikah resmi denganku tanpa harus lamaran dulu. 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar