Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Bab. 30
Jam tujuh pagi waktu Singapura.
Aku dan Supraptiwi sudah sampai di depan
gerbang pintu besi masuk rumah Kim Sang. Rumahnya besar ada lima bangunan
berwarna merah. Pertama untuk warung sembako. Sampingnya jualan foto lukisan
dari Cina tokoh utama Pahlawan revolusi Mongol Jenghis Khan. Pendobrak
peradaban pada zamannya. Masa kecil kehidupannya diwarnai kekerasan perampokan
pemerkosaan bahkan pembunuhan suku Tar-Tar. Bahkan ayah kandungnya dibunuh suku
Tar Tar. Jenghis Khan nama kecilnya Te Mucin dari kecil hidupnya penuh dihiasi
konflik berdarah rebutan wilayah juga brutalnya suku Tar Tar.
Te Muchin tumbuh semakin
besar kemudian di beri kehormatan nama Jenghis Khan. Terbukti mampu menyatukan
bangsa monggol menguasi separo dunia pada zamannya. Sampai sekarang makam tokoh
pemersatu bangsa Monggol. Penakluk dunia. Makam Jenghis Khan dirahasikan. Tidak
ada yang tahu. Kekaisaran Monggolia Jenghis Khan dari Tahun 1162 - 1227. Foto
lukisan Jenghis Khan sangat laris di beli warga Singapura yang nenek moyangnya
keturuan Monggol. Bahkan mendekati hari raya imlek foto lukisan itu di cetak
beberapa puluh lembar. Banyak memesan
untuk hiasan dinding kamar tamunya.
Jam setengah delapan pagi
waktu Singapura.
Dua mobil Polisi Singapura berwarna hitam
dop berhenti depan pintu masuk rumahnya Kim Sang. Tidak lama kemudian dua truk
berwarna coklat tua menyusul berhenti tepat di belakangnya. Dua truk berisi
Pasukan Polisi Khusus Singapura. Turun satu persatu dengan seragam lengkap
membawa senajata laras panjang M.16 dan pistol genggang FN.6 seri 988C3
dipasang samping kanan pinggangnya.
Dengan sikap siap siaga di TKP langsung
menyebar disetiap pojok rumah bangunannya Kim Sam. Berdiri siap tegak sempurna
mengamankan TKP. Tanpa kata dan bicara kedua bola matanya bergerak kekanan
kekiri selalu mengawasi setiap gerakan. Empat orang berseragam berbeda dengan
setelan Jas Ket berwarna biru dongker dengan dasi berwarna merah. Sebelah kanan
Jas Ket ada pin khusus berwarna kuning keemasan bergambar dua pistol berhadapan
ditengahnya ada ukiran bintang. Salah satu petugas dengan seragam Jas Ket
mendekati Supraptiwi dan aku.
“Siapa yang bernama Supraptiwi?“
“Aku,“ jawab Supraptiwi singkat tegas.
“Yang namanya Dimas Prihatin mana?”
“Ini Bapak,” jawabku sambil menunjukkkan jari.
“Mari ikut kami.“
“Siapp,“ jawab Supraptiwi sambil berjalan mengikuti langkah
kaki salah satu petugas memakai seragam Jas Ket.
Tiga petugas berseragam Jas Ket mengikuti dari belakang
sambil membawa senjata laras panjang M.16 sudah dilipat menjadi dua bagian.
Sementara Polisi Khusus Singapura tetap pada posisi masing-masing dengan sikap
siaga menjaga TKP. Hanya kedoa bola matanya bergerak kekanan kekiri. Salah satu
petugas membuka kunci pintu masuk rumahnya Kim Sam. Masuk kedalam. Belok kanan
ke kiri turun tangga naik tangga sehingga sampai depan pintu masuk ruangan
khusus terjadinya tewasnya semua keluarga Kim Sam. Petugas mengambil kaos
tangan. Pakai kaca mata, mengeluarkan lektop di taruh diatas meja. Memulai
mengintograsi Supraptiwi dan aku persis didepan meja petugas.
“Supraptiwi jam berapa Anda bangun tidur saat kejadiaan ini?“
“Jam empat pagi.”
“Apa yang dikerjakan?“
“Ke kamar mandi, pipis, basuh muka berwudhu lalu sholat
sunnah fajar.“
“Setelah itu?“
“Berdzikir pada Tuhan sambil nunggu adhan subuh.“
“Setelah subuh.“
“Masak air untuk membuat teh manis.“
“Di mana?”
“Di sana, sebelah kanan kamar tidur.“
“Kapan anda masak air?“
“Biasanya jam setengah tujuh pagi.“
“Membuat minuman apa?“
“Bisanya teh manis.“
“Berapa jumlah gelasnya?“
“Sesuai dengan anggota keluarga Kim Sam.“
“Gelasnya mengambil di mana?“
“Biasa di almari gelas.“
“Coba praktekkan dari masak air, membuat teh manis, ditaruh
di mana?“
Sebentar kemudian Supraptiwi mempraktekkan dari bangun tidur,
memasak air, membuat racikan minuman teh manis, menaruh di atas meja khusus
depan pintu masuk ruangan khusus keluarga Kim Sam.
“Begitu proses masak air sampai membuat teh manis Bapak,” jawab
tegas Supraptiwi.
“Tapi ini ada satu gelas, ada sidik jari anda di ruang khusus
tewasnya semua keluarga Kim Sam.”
“Tapi aku bukan pembunuhnya, berani sumpah.“
Petugas diam. Tidak menjawab sedikitpun. Empat petugas dengan
memakai kaos tangan menyapu meja dengan alat khusus. Bukan hanya meja tapi
kursi, taplak meja, vas bunga, lantai, semua ruangan khusus keluarga Kim Sam di
periksa. Aku dan Supraptiwi diam membisu menyaksikan semua petugas dengan
seragam Jas Ket pemeriksa penuh teliti semua ruangan khusus Kim Sam.
Hampir tiga jam petugas memeriksa di TKP. Menyimpulan bahwa
Supraptiwi pembunuh tunggal keluarga besar Kim Sang dengan cara menaruh racum
dalam minuman teh manis dalam gelas. Sebab ada bukti kuat salah satu gelas ada
sidik jarinya Supraptiwi.
“Hasil pemeriksaan awal di TKP , anda membunuhnya.“
“Bukan aku pembunuhnya, demi Tuhan bukan aku,“ jawab
Supraptiwi dengan tegas.
“Oke-oke kalau anda tidak percaya akan kami cek ulang lagi
pemeriksaan di ruang khusus Kim Sam.“
“Siappp, sekali lagi aku bukan pembunuhnya.“
“Nanti kita buktikan lagi pemeriksaan ke dua jam satu siang.“
“Siappp,“ jawab Supraptiwi tegas.
“Silahkan istirahat dulu ini ada jatah logistik makan siang.“
“Terima kasih.“
“Tolong jangan keluar di ruanggan ini.“
“Siappp,“ jawab Supraptiwi sementara aku hanya banyak diam
sambil melihat gelagat Supraptiwi dengan tenang tegas menjawab setiap
pertanyaan dari petugas Kepolisian Singapura.
Sambil menunggu cek n recek kedua di TKP. Aku dan Supraptiwi
menggelar sajadah, mujahadah berdoa pada Tuhan. Mohon pertolongan agar
dimudahkan juga dibebaskan dari segala perkara melilit kehidupan Supraptiw.
Baru sebatas praduga sebagi pelaku pembunuh tunggal tewasnya semua keluarga Kim
Sam. Polisi Singapura masih meneliti lagi dengan cermat untuk membuktikan bahwa
Supraptiwi pelakunya.
Sehabis sholat dhuwur aku dan Supraptiwi membuka jatah
logistik makan siang dari salah satu anggota Polisi Singapura. Aku buka
bungkusan itu. Ada nasi, sayur, telur rebus berwarn coklat, juga irisan daging
sapi disemur. Aku dan Supraptiwi makan siang. Raut wajah Supraptiwi ceria cerah
semringgah bombong. Makan siang di Singapura persis masakan Biungku. Ketika
musim Peringatan Hari Besar Islam selalu masak telur rebus, sayur dan masak
semur daging sapi. Biasanya untuk membuat takir untuk jamaah yang hadir di
pengajian.
Jam satu siang waktu Singapura
Pemeriksaan kedua di TKP tepat waktu. Aku dan Supraptiwi
tetap pada posisi semula. Sekarang yang meneliti TKP dua petugas. Penuh dengan
cermat teliti memeriksa ulang setiap barang yang ada dirungan khusus Kim Sam.
Hampir dua jam memeriksa di TKP. Polisi Singapura menyimpulan sama menemukan
sidik jari Supraptiwi. Seperti pemeriksaan awal hanya satu gelas sebagai bahan
bukti kuat bahwa Supraptiwi pelaku utama terbunuhnya keluarga Kim Sam.
Ditemukan sidik jari di salah satu gelas di ruang khusus Kim Sam. Dua petugas polisi
mendekati aku dan Supraptiwi.
“Pemeriksaan kedua, benar nona Supraptiwi pelakunya?“
“Tidak. Bukan aku pembunuhnya,“ jawab Supraptiwi tegas.
“Buktinya gelas ini Nona?“
“Tapi bukan aku pembunuhnya.“
Dua petugas saling
berbisik kemudian mendekatiku lagi.
“Baik, nanti kami lanjutkan pemeriksaan tahap ketiga di
ruangan khusus Kim Sam jam empat sore.”
“Siapp.”
“Tolong tetap di sini.“
“Ya.“
“Tidak boleh pergi,“ sambil memberikan dua gelas kopi panas
dalam gelas plastik dan dua roti susu kepadaku.
“Terima kasih,“ jawabku sambil menerima bungkusan itu.
Aku dan Supraptiwi istirahat duduk di kursi busa. Kali ini
Supraptiwi wajahnya mulai resah tidak cerah apa lagi bombong semringgah.
Mungkin terlalu capaik memperagakan dari bangun tidur sampai membuat minuman
teh manis berkali kali dihadapan peugas. Petugas menyaksikan setiap langkah
Supraptiwi bahkan salah satu petugas merekan dengan kamera digitalnya merek
Cenon seri C. 0074. Tidak terasa jam empat kurang sepuluh menit. Sehabis sholat
ashar aku dan Supraptiwi kembali pada posisi semula.
Jam empat sore waktu Singapura
Tiga petugas Polisi Singapura dengan mulai memeriksa kembali.
Pemeriksaan super ektra hati-hati sebab menyangkut kebenaran juga sangsi
hukuman mati bagi pelakunya. Makanya tiga petugas dengan teliti penuh cermat
meneliti semua benda yang ada di ruangan khusus pribadi Kim Sam. Bahkan
Supraptiwi beberpa kali lagi harus mempraktekan dari bangun tidur sampai
menaruh minuman teh manis diatas meja. Sehingga tampak jelas garis wajah
Supraptiwi. Capek. Mrengut. Besengut. Wajahnya kusut tidak bercahaya tidak
bombong apa lagi semringah.
Setelah selesai memeriksa tiga petugas Polisi Singapura
mendekati Supraptiwi.
“Berdasarkan pemeriksaan ke tiga ternyata nona Supraptiwi
pelaku tunggal pembunuhnya keluarga besar Kim Sam.“
“Bukan aku pembunuhnya, bukan!”
“Laa ini buktinya sidik jarimu dalam gelas ini.“
“Tapi bukan aku pembunuhnya,“ jawab Supraptiwi keras jelas
tegas.
Tiga petugas diam.
Kemudian semua petugas berkumpul salah satu peugas menelpon pimpinannya
melaporkan hasik pemeriksaan TKP ruangan khusus pribadi Kim Sam. Jawabanya jam
lima sore komandan langsung akan memeriksa sendiri di ruangan khusus pribadi
Kim Sam dengan alat super canggih sebelum membuat surat resmi ke Pengadilan
Singapura menjatuhkan sangsi hukuman mati.
“Baik. Kami mau memeriksa kembali jam lima sore ini langsung
komandan kami bernama Mayor Lim Swi Pret kepala Balai Diklat Ahli Sidik Jari
Polisi Singapura.“
“Siap,“ jawabku.
“Tolong tetap disini satu jam lagi komandan Mayor Jenderal
bintang satu Lim Swi Pret akan datang.“
“Siap,“ jawabku lagi.
Kali ini benar-benar wajah Supraptiwi pucat tidak bombong
semringgah sangat capak berat. Dari jam delapan pagi diintrograsi mempraktekkan
ulang dari bangun tudur sampai membawa minuman teh manis diatas meja. Aku dekap
tubuh Supraptiwi. Aku memberanikan diri membelai rambutnya panjang hitam. Aku
usap wajahnya pucat lemas penuh air keringat. Supraptiwi menatapku sambil
berucap.
“Nanti kalau pemeriksaan terakhir di TKP aku tetap pelakunya
dan menjalani hukuman mati, tolong aku dimakamkan di bawah pohon sawo jawa ya Mas.”
“Iya ya.“
“Bener ya Mas itu kenangan terindah masa kecilku dengan Mas?“
“Iya ya Dik.“
“Janji ya Ma?”
“Ya ya.“
“Kedua bangun sekolahan PAUD dan TK juga sanggar melukis ya Mas.“
“Iya ya.“
“Uang di Atmku cukup kok mas ada ratusan juta, itu tabunganku
selama kerja di sini.“
“iya ya.“
Tiba tiba kedua bola mata Supraptiwi basah. Air matanya
mengalir deras ke bawah alis mata membasahi kedua pipinya. Lobang hidungnya kempas
kempis memerah. Badannya lemas. Badannya panas. Bibirnya masih merekah merah
basah. Untuk kali ini tanpa kata aku cita kamu. Pelan-pelan aku umat bibir
merah basah hangat Supraptiwi. Supraptiwi tidak mau membalas ciumanku. Bahkan
melepaskan ciumanku. Malah memelukku erat sekali. Supraptiwi menangis
tersedu-sedu dan berucap.
“Aku bukan pembunuhnya Mas, bukan aku Mas.“
Aku dekaap erat tubuh Supraptiwi sambil menunggu komandan
Polisi Singapura Mayor Jenderal bintang satu Lim Swi Pret. Kepala Pusat Pendidikan
Ahli Sidik Jari Markas Besar Polisi Singapuran. Kata salah satu petugas polisi
Singapura komandannya bukan ahli bidang sidik jari. Jago menembak dan bela diri
bahkan semua anak buahnya takut padanya. Sekedar hanya menatap kedua bola mata
Komandannya saja semua takut dengan Mayor Jenderal Lim Swi Pret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar