Monika Nurdiani
Lebaran tinggal menghitung hari. Seharusnya aku
bergembira menyambut hari fitri itu tiba, tapi nyatanya ada yang mengganjal di
hatiku. Mukena Ibu, itu masalahnya. Sudah sejak lama aku ingin sekali membelikan
Ibu mukena baru untuk mengganti mukena lamanya yang sudah usang dengan beberapa
jahitan di sana-sini. Namun demikian Ibu masih saja memakainya untuk salat
sehari-hari. Bahkan beberapa kali salat Idulfitri pun mukena itu selalu
menemani Ibu.
Ibu tak pernah meminta apa-apa padaku. Mungkin karena
Ibu tahu penghasilanku sebagai tukang parkir tak seberapa, hanya cukup untuk
makan sehari-hari. Uang yang kudapat selalu kuberikan pada Ibu. Saat itu pula
aku selalu minta maaf karena belum bisa membelikan mukena baru untuknya. Ibu
hanya tersenyum dan berkata kalau Tuhan tak pernah salah membagi rezeki-Nya.
Ibu selalu yakin akan hal itu.
"Aziz, Ibu titip ini buat ibumu, ya. Sampaikan
maaf dari Ibu karena tidak bisa datang ke rumahmu," kata Bu Kades sambil memberikan
sebuah bungkusan saat aku pulang kerja. Dulu sewaktu muda Ibu pernah bekerja di
rumah Bu Kades selama bertahun-tahun dan baru berhenti ketika aku lahir.
Setibanya di rumah segera kuberikan titipan dari Bu Kades. Ibu membukanya
pelan, sebuah mukena putih berenda ada di bungkusan itu. Mataku berkaca-kaca
melihat wajah Ibu tampak bahagia memeluk mukena itu. Ibu benar Tuhan memberi
rezeki di waktu yang tepat.
Monika Nurdiani
lahir di Purbalingga pada tanggal 5 Pebruari. Wanita lulusan Universitas Negeri
Semarang (UNNES) ini sehari-harinya berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris di
sebuah SMP di Kabupaten Purbalingga. Menebarkan kebaikan lewat goresan
pena menjadi salah satu harapan terbesarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar