Oleh Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Bab. 32
Komandan Forensik ahli sidik jari Polisi
Singapura. Meneliti semua isi rumah Kim Sam. Bukan hanya rekaman CCTV saja.
Piring, gelas, tremos, taplak meja, korden kamar sampai semua dinding rumah
diperiksa dengan cermat teliti. Sebagai bahan barang bukti kuat menentukan
secara hukum positif Supraptiwi bukan pembunuh tunggal keluarga besar Kim Sam.
Komandan Feronsik masih meneliti secara langsung di TKP. Penuh teliti cermat
super hati-hati sebelum membuat laporan tertulis kepada Pengadilan Negri
Singapura. Bahwa : Supraptiwi bukan pembunuhnya keluarga Kim Sam. Ia tewas
sebab bunuh diri di ruangan khusus kamar pribadinya bersama keluarga besarnya.
Aku dan Supraptiwi duduk dipojok pintu
keluar. Melihat, mengamati mengawasi semua kegiatan petugas Polisi di rumahnya
Kim Sam. Sambil menunggu hasil di TKP aku duduk dengan Supraptiwi. Dua anak
buahnya Lee Shim Pret dengan seragam lengkap bersenjata laras panjang M.16
mendekatiku. Kemudian memberikan dua nasi box untuk makan malam. Tanpa kata
senyum langsung memberikan kepadaku.
Komandan Polisi Forensik memanggil semua
anak buahnya. Berkumpul posisi melingkar. Komandannya duduk di tengah. Membuka
lektop. Mengumpulkan barang bukti berupa CCTV. Semua gelas, tremos air, piring
sampai taplak meja dikumpulkan untuk barang bukti. Sebagai laporan pendukung
dasar barang bukti. Menyimpulkan bahwa : Supraptiwi bebas dari semua dakwaan
juga bebas dari tuntutan hukuman mati. Bukan hanya itu saja Komandan
memerintahkan langsung anak buahnya menghubungi Markas Besar Forensik Polisi
Singapura. Mengumumkan di media masa eloktronik baik siaran TV Pemerintah dan
Swasta menyiarkan berita secara langsung bahwa : Supraptiwi bukan pembunuhnya
keluarga Kim Sam.
Aku dan Supraptiwi tidak paham bahasanya.
Komandannya bicara dengan bahasa Singapura suara lantang keras tegas sambil
menunjukkan tangan kekanan kekiri. Tapi ketika satu persatu anak buahnya keluar
untuk istirahat. Disusul petugas dengan seragam Jas Ket. Tiba-tiba komandannya
bilang memerintahkan salah satu anak buahnya. Bukan bahasa Singapura tapi
bahasa aneh.
“Minn, tulung lah cupuknna pulpenku
ketinggalan neng ngisor meja bang kiwo ya, suwun ya Minn.“ (Min tolong
diambilkan polpenku tertinggal di bawah meja sebelah kanan, terima kasih ya
Min)
Aku dan Supraptiwi kaget tersenyum
sambil memandang kemudian menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangannya
sendiri-sendiri. Bahkan ketika mau mengakhiri rapat kecil komandannya komentar.
“Suwun ya kerjane luar biasa hebat,
okelah kalau begitu, mayoo pada bali wis kesel kok, iya mbok.“ ( terima kasih
ya kerja luar biasa hebat, okelahlah kalau begitu, ayo pulang sudah capek
semuanya, ia shi )
Dari tadi Komandan Forensik tetap
memakai alat khusus untuk menutupi wajahnya. Hanya kedua bola matanya bergerak
kekanan kekiri. Tidak di buka sampai selesai memeriksa di TKP. Tapi dari logat
bahasanya kok seperti orang Banyumas. Tapi aku tidak berani mendekat sebab tiga
anak buahnya dengan seragam lengkap membawa senjata laras panjang M.16 selalu
memperhatikan gerak-gerikku. Aku dan Supraptiwi hanya diam membisu terkadang
harus menahan tertawa ketika Komandan Forensik komentar dengan bahasa
Banyumasan.
Jam sepuluh malam waktu Singapura.
Petugas Polisi Forensik Singapura satu
persatu meninggalkan TKP. Komandan Forensik paling terakhir pulangnya. Masih
tetap memakai alat khusus di wajahnya. Bukan masker. Tapi alat khusus petugas
Forensik. Bahkan diatas kepalanya ada lampu kecil berwarna hijau. Seperti sinar
lampu laser. Salah satu alat pendukung Sniper untuk menentukan fokus sasarannya
dari kejauhan. Sopir pribadinya Komandan Forensik mendekati aku dan Supraptiwi
sambil memberikan surat dinas dengan Kop Surat Markas Besar Polisi Singapura.
Bagian khusus Forensik ahli Sidik Jari. Berwarna coklat sambil berucap.
“Maaf kami semua nona Supraptiwi dan
Dimas Prihatin ternyata nona bukan pembunuhnya, dua hari lagi kami undang di
Mabes untuk siaran Pres.“
Aku dan Supraptiwi saling memandang,
tersenyum sambil menerima surat dinas dari salah satu petugas Forensik.
Komandannya mematikan lampu berjalan kekanan turun menutup pintu ruangan khusus
pribadinya Kim Sam. Sebelum naik mobil dinas Pajero Shpot berwarna cokelat.
Komandan Feronsik bilang pada sopirnya.
“Minn mengko mampir warungge bakayu
Wakem pinggir gili kaee, wis kencot enyong pingin madang jangan semur cengkol
kok, ya Minn.“ (Minn nanti mampir warung makan yu Wakem, sudah lapar ingin
makan malam dengan sayur semur cengkol, yaa Minn)
Aku diam. Supraptiwi malah cekikikan
tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan surat undangan dinas dari Mabes
Polisi Singapura.
“Lhoo
kok kaya kesenangannya si Jitong dan adiknya Kampret ya,“ batinku.
Keluarga Jitong dan Kampret ketika
musim lebaran tiba. Biasanya Biungnya menyiapkan semur jengkol dengan lauk
gorengan dages. Ditaruh atas meja tengah dengan baskom plastik sebelahnya nasi
putih hangat dalam ceting: tempat naruh nasi dari anyamam bambu. Aku bertiga
duduk di kursi risbab beralas tikar jawa sudah sobek ditengahnya. Biasanya aku,
Jitong dan Kampret sehabis pulang sholat idul fitri di lapangan samping pasar
hewan. Langsung pulang kerumahnya Jitong. Bertiga menikmati sayur semur jengkol
dengan lauk gorengan dages. Tidak ada opor ayam kampung apa lagi sayur semur
daging sapi. Biunge Jitong belum mampu membeli daging ayam dan sapi. Cukup
membeli dua kilo jengkol dibuat sayur semur jengkol setiap lebaran tiba.
Tapi setelah Biungnya Jitong nikah
resmi. Ikut suaminya ke Singapura bersama adiknya Jitong si Kampret. Waktu itu
Kampret baru tamat Esempe. Jitong dititipkan kakeknya setelah tamat esema.
Jitong usaha jual beli batu akiq. Sampai diujung kematiannya. Jitong meninggal
dunia terserang virus covid 19 dibibir sungai wilayah Tasikmalaya. Tangan
sebelah kanan menggenggam erat batu aqik temuannya batu akiq kejubung wulung.
Sampai sekarang aku belum pernah ketemu kawan kecil kampungku si Kampret juga
Biungnya. Aku kaget dari lamunanku ketika Supraptiwi nyikut badanku.
“Mikiran apaan si, kok serius banget ya
Mas.“
“Enggak, biasa saja kok.“
“Mikirin aku ya?”
“Enggak.“
“Apa mikirin tentang pernikahan kita ya
Mas.“
“Akhh gak, nglamar aja belum kok.“
“Langsungan aja gak apa-apa kok, Mas.“
“Ya iya.“
“Bener nihh.“
“Iya.“
“Setelah dinyatakan
bebas, kita pulang kampung langsung ngurus persyaratan nikah tempatnya Kaur
Kesra Pak Warsim ya Mas.“
“ Iya ya,“ jawabku
singkat. Secara reflek Supraptiwi memelukku rapat. Mencium pipi kanan kiriku.
Memelukku erat sekali acuk tak acuh dengan petugas Polisi Singapura sedang
serius merapikan semua barang temuannya di TKP.
“Mas tetep bangun
Paud dan TK juga sanggar senil lukis ya.“
“Ya ya.“
“Bangunnya di samping
kamarku.“
“Iya.“
“Itu loo sebelah kanan
kamarku.“
“Oo sebelah pohon blimbing
wulung itu.“
“Iya ya Mas, uangnya cukup
ya Mas.“
“Lebih dari cukup.“
“Deket sini Mas, dingin ya?”
“Iya ya,“ jawabku mendekat
rapat samping tubuh Supraptiwi.
“Mas?“
“Apa?“
“Boleh tiduran di pangkuanmu?“
“Boleh, sini.“
“Oke, makasih ya Mas.“
“Masama.“
“Ini istananya juragan
perhiasan emas. Sebelum covid 19 menyerang setiap hari aku masak nasi lima
kilo. Menyiapkan minuman teh manis setiap pagi tujuh puluh gelas bersama
sneknya. Semua karyawan disini hanya mendapatkan makan siang sebab jam tiga
sudah pulang. Ketika semua karyawan pulang aku harus membersihkan piring gelas
sejumlah seratus empat puluh Mas. Di sana itu sebelah gudang. Hampir tujuh
tahun hidup disini. Suka dan duka.“
“Okhh gitu ya?”
“Iya ya, bahkan
aku pernah mendapatkan kepercayaan bos besar Kim Sam. Bolak balik singapura
Bali. Kota-kota besar di jawa sampai
Jakarta.“
“Pesiar dengan
bos besar ya.“
“Gakk boro-boro
plesiran di suruh bos, nyetok perhiasan emas terbaru.“
“Sendiri.“
“Iya sendiri,
sampai Bali deket dengan galeri lukisannya Mas.“
“Khemm oo jadi
kamu yang naruh parfum dalam lukisanku.“
“Bukan aku.“
“Gadis kecil dengan pita jingga, ya.”
“Ya.“
“Kenapa harus nyuruh gadis
kecil.“
“Takut ketahunan Mas.“
“Kenapa takut?”
“Masih marah denganku.“
“Ya iyalah gara-gara mau
nikah dengan dengan saudaranya babah Shiong juragan cengkeh.“
“Bukan nikah tapi ikut
kerja saudaranya Babah Shiong di Singapura.“
“Kenapa gak pamitan
denganku.“
“Waktunya tidak ada, Mas “
“Tingal niatnya aja
dik-dik, kenapa lukisanku di semprot parfummu.“
“Aku cinta sama Mas.“
“Bener.“
“Bener-lah buat apa bohong.“
“Syukurlah.“
“Peluk aku Mas dingin
sekali.“
“Ya,“ jawabku singkat.
“Mas.”
“Apa?”
“Kenapa kau lukis kedua
bola mataku.“
“Pingin aja.“
“Kenapa?”
“Ya pingin aja.“
“Jawab yang jujur lah Mas.“
“Ingin bercinta dengan
kedua bola matamu.“
“Emangnya bisa?“
“Bisa lah.“
“Caranya?“
“Aku pandang kedua bola
mata itu.“
“Emangnya ada apa dengan
kedua bola mataku Mas.“
“Tajang setajam silet”
“Oo gitu to Mas.“
“Ya”
“He hee itu namanya cinta
Mas.“
“Lukisannya itu sekarang
di mana?“
“Aku simpan.“
“Di mana?“
“Rhs lah, aku suka lukisan
itu Mas.“
“Bener.“
“Itu tanda luapan emosi
cintanya Mas.“
“Kok tahu “
“Ya tahulah, peluk aku Mas.“
“Ya.”
“Yang rapat biar hangat.“
“Ya ya.“
“Jangan iya ya tok.“
“Ayooo dingin banget ni
Mas?“
Aku memeluk erat tubuh Supraptiwi. Udara malam
di rumahnya Kim Sam semakin malam semakin dingin. Aku tetap memeluk rapat tubuh
Supraptiwi biar terasa hangat. Aku tetap menjaga semua organ tubuhnya
Supraptiwi. Sempurna. Tanpa harus bergerilya tanganku ke bagian sekitar dada.
Supraptiwi tertidur pulas di pangkuanku terasa aman nyaman bombong semringgah.
Tidak terasa terdengar suara dengkuran napas Supraptiwi.
“Ngurr nguurrrr shett
ngurrr shett ngurrr,“ suara dengkuran napas Supraptiwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar