Jumat, 19 Agustus 2022

Malam Hari di Rumah Kim Sam

 

pixabay.com

Oleh Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum Bab. 32

 

      Komandan Forensik ahli sidik jari Polisi Singapura. Meneliti semua isi rumah Kim Sam. Bukan hanya rekaman CCTV saja. Piring, gelas, tremos, taplak meja, korden kamar sampai semua dinding rumah diperiksa dengan cermat teliti. Sebagai bahan barang bukti kuat menentukan secara hukum positif Supraptiwi bukan pembunuh tunggal keluarga besar Kim Sam. Komandan Feronsik masih meneliti secara langsung di TKP. Penuh teliti cermat super hati-hati sebelum membuat laporan tertulis kepada Pengadilan Negri Singapura. Bahwa : Supraptiwi bukan pembunuhnya keluarga Kim Sam. Ia tewas sebab bunuh diri di ruangan khusus kamar pribadinya bersama keluarga besarnya.

     Aku dan Supraptiwi duduk dipojok pintu keluar. Melihat, mengamati mengawasi semua kegiatan petugas Polisi di rumahnya Kim Sam. Sambil menunggu hasil di TKP aku duduk dengan Supraptiwi. Dua anak buahnya Lee Shim Pret dengan seragam lengkap bersenjata laras panjang M.16 mendekatiku. Kemudian memberikan dua nasi box untuk makan malam. Tanpa kata senyum langsung memberikan kepadaku.

     Komandan Polisi Forensik memanggil semua anak buahnya. Berkumpul posisi melingkar. Komandannya duduk di tengah. Membuka lektop. Mengumpulkan barang bukti berupa CCTV. Semua gelas, tremos air, piring sampai taplak meja dikumpulkan untuk barang bukti. Sebagai laporan pendukung dasar barang bukti. Menyimpulkan bahwa : Supraptiwi bebas dari semua dakwaan juga bebas dari tuntutan hukuman mati. Bukan hanya itu saja Komandan memerintahkan langsung anak buahnya menghubungi Markas Besar Forensik Polisi Singapura. Mengumumkan di media masa eloktronik baik siaran TV Pemerintah dan Swasta menyiarkan berita secara langsung bahwa : Supraptiwi bukan pembunuhnya keluarga Kim Sam.

      Aku dan Supraptiwi tidak paham bahasanya. Komandannya bicara dengan bahasa Singapura suara lantang keras tegas sambil menunjukkan tangan kekanan kekiri. Tapi ketika satu persatu anak buahnya keluar untuk istirahat. Disusul petugas dengan seragam Jas Ket. Tiba-tiba komandannya bilang memerintahkan salah satu anak buahnya. Bukan bahasa Singapura tapi bahasa aneh.

      “Minn, tulung lah cupuknna pulpenku ketinggalan neng ngisor meja bang kiwo ya, suwun ya Minn.“ (Min tolong diambilkan polpenku tertinggal di bawah meja sebelah kanan, terima kasih ya Min)

       Aku dan Supraptiwi kaget tersenyum sambil memandang kemudian menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangannya sendiri-sendiri. Bahkan ketika mau mengakhiri rapat kecil komandannya komentar.

        “Suwun ya kerjane luar biasa hebat, okelah kalau begitu, mayoo pada bali wis kesel kok, iya mbok.“ ( terima kasih ya kerja luar biasa hebat, okelahlah kalau begitu, ayo pulang sudah capek semuanya, ia shi )

         Dari tadi Komandan Forensik tetap memakai alat khusus untuk menutupi wajahnya. Hanya kedua bola matanya bergerak kekanan kekiri. Tidak di buka sampai selesai memeriksa di TKP. Tapi dari logat bahasanya kok seperti orang Banyumas. Tapi aku tidak berani mendekat sebab tiga anak buahnya dengan seragam lengkap membawa senjata laras panjang M.16 selalu memperhatikan gerak-gerikku. Aku dan Supraptiwi hanya diam membisu terkadang harus menahan tertawa ketika Komandan Forensik komentar dengan bahasa Banyumasan.

      Jam sepuluh malam waktu Singapura.

      Petugas Polisi Forensik Singapura satu persatu meninggalkan TKP. Komandan Forensik paling terakhir pulangnya. Masih tetap memakai alat khusus di wajahnya. Bukan masker. Tapi alat khusus petugas Forensik. Bahkan diatas kepalanya ada lampu kecil berwarna hijau. Seperti sinar lampu laser. Salah satu alat pendukung Sniper untuk menentukan fokus sasarannya dari kejauhan. Sopir pribadinya Komandan Forensik mendekati aku dan Supraptiwi sambil memberikan surat dinas dengan Kop Surat Markas Besar Polisi Singapura. Bagian khusus Forensik ahli Sidik Jari. Berwarna coklat sambil berucap.

      “Maaf kami semua nona Supraptiwi dan Dimas Prihatin ternyata nona bukan pembunuhnya, dua hari lagi kami undang di Mabes untuk siaran Pres.“

       Aku dan Supraptiwi saling memandang, tersenyum sambil menerima surat dinas dari salah satu petugas Forensik. Komandannya mematikan lampu berjalan kekanan turun menutup pintu ruangan khusus pribadinya Kim Sam. Sebelum naik mobil dinas Pajero Shpot berwarna cokelat. Komandan Feronsik bilang pada sopirnya.

       “Minn mengko mampir warungge bakayu Wakem pinggir gili kaee, wis kencot enyong pingin madang jangan semur cengkol kok, ya Minn.“ (Minn nanti mampir warung makan yu Wakem, sudah lapar ingin makan malam dengan sayur semur cengkol, yaa Minn)

       Aku diam. Supraptiwi malah cekikikan tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan surat undangan dinas dari Mabes Polisi Singapura.

        “Lhoo kok kaya kesenangannya si Jitong dan adiknya Kampret ya,“ batinku.

        Keluarga Jitong dan Kampret ketika musim lebaran tiba. Biasanya Biungnya menyiapkan semur jengkol dengan lauk gorengan dages. Ditaruh atas meja tengah dengan baskom plastik sebelahnya nasi putih hangat dalam ceting: tempat naruh nasi dari anyamam bambu. Aku bertiga duduk di kursi risbab beralas tikar jawa sudah sobek ditengahnya. Biasanya aku, Jitong dan Kampret sehabis pulang sholat idul fitri di lapangan samping pasar hewan. Langsung pulang kerumahnya Jitong. Bertiga menikmati sayur semur jengkol dengan lauk gorengan dages. Tidak ada opor ayam kampung apa lagi sayur semur daging sapi. Biunge Jitong belum mampu membeli daging ayam dan sapi. Cukup membeli dua kilo jengkol dibuat sayur semur jengkol setiap lebaran tiba.

        Tapi setelah Biungnya Jitong nikah resmi. Ikut suaminya ke Singapura bersama adiknya Jitong si Kampret. Waktu itu Kampret baru tamat Esempe. Jitong dititipkan kakeknya setelah tamat esema. Jitong usaha jual beli batu akiq. Sampai diujung kematiannya. Jitong meninggal dunia terserang virus covid 19 dibibir sungai wilayah Tasikmalaya. Tangan sebelah kanan menggenggam erat batu aqik temuannya batu akiq kejubung wulung. Sampai sekarang aku belum pernah ketemu kawan kecil kampungku si Kampret juga Biungnya. Aku kaget dari lamunanku ketika Supraptiwi nyikut badanku.

        “Mikiran apaan si, kok serius banget ya Mas.“

        “Enggak, biasa saja kok.“    

       “Mikirin aku ya?”

       “Enggak.“

      “Apa mikirin tentang pernikahan kita ya Mas.“

        “Akhh gak, nglamar aja belum kok.“

       “Langsungan aja gak apa-apa kok, Mas.“

        “Ya iya.“

    “Bener nihh.“

    “Iya.“

    “Setelah dinyatakan bebas, kita pulang kampung langsung ngurus persyaratan nikah tempatnya Kaur Kesra Pak Warsim ya Mas.“

    “ Iya ya,“ jawabku singkat. Secara reflek Supraptiwi memelukku rapat. Mencium pipi kanan kiriku. Memelukku erat sekali acuk tak acuh dengan petugas Polisi Singapura sedang serius merapikan semua barang temuannya di TKP.

    “Mas tetep bangun Paud dan TK juga sanggar senil lukis ya.“

“Ya ya.“

“Bangunnya di samping kamarku.“

“Iya.“

“Itu loo sebelah kanan kamarku.“

“Oo sebelah pohon blimbing wulung itu.“

“Iya ya Mas, uangnya cukup ya Mas.“

“Lebih dari cukup.“

“Deket sini Mas, dingin ya?”

“Iya ya,“ jawabku mendekat rapat samping tubuh Supraptiwi.

“Mas?“

“Apa?“

“Boleh tiduran di pangkuanmu?“

“Boleh, sini.“

“Oke, makasih ya Mas.“

“Masama.“

“Ini istananya juragan perhiasan emas. Sebelum covid 19 menyerang setiap hari aku masak nasi lima kilo. Menyiapkan minuman teh manis setiap pagi tujuh puluh gelas bersama sneknya. Semua karyawan disini hanya mendapatkan makan siang sebab jam tiga sudah pulang. Ketika semua karyawan pulang aku harus membersihkan piring gelas sejumlah seratus empat puluh Mas. Di sana itu sebelah gudang. Hampir tujuh tahun hidup disini. Suka dan duka.“

      “Okhh gitu ya?”

      “Iya ya, bahkan aku pernah mendapatkan kepercayaan bos besar Kim Sam. Bolak balik singapura Bali. Kota-kota besar di  jawa sampai Jakarta.“

       “Pesiar dengan bos besar ya.“

       “Gakk boro-boro plesiran di suruh bos, nyetok perhiasan emas terbaru.“

      “Sendiri.“

      “Iya sendiri, sampai Bali deket dengan galeri lukisannya Mas.“

      “Khemm oo jadi kamu yang naruh parfum dalam lukisanku.“

      “Bukan aku.“

     “Gadis kecil dengan pita jingga, ya.”

“Ya.“

“Kenapa harus nyuruh gadis kecil.“

“Takut ketahunan Mas.“

“Kenapa takut?”

“Masih marah denganku.“

“Ya iyalah gara-gara mau nikah dengan dengan saudaranya babah Shiong juragan cengkeh.“

“Bukan nikah tapi ikut kerja saudaranya Babah Shiong di Singapura.“

“Kenapa gak pamitan denganku.“

“Waktunya tidak ada, Mas “

“Tingal niatnya aja dik-dik, kenapa lukisanku di semprot parfummu.“

“Aku cinta sama Mas.“

“Bener.“

“Bener-lah buat apa bohong.“

“Syukurlah.“

“Peluk aku Mas dingin sekali.“

“Ya,“ jawabku singkat.

“Mas.”

“Apa?”

“Kenapa kau lukis kedua bola mataku.“

“Pingin aja.“

“Kenapa?”

“Ya pingin aja.“

“Jawab yang jujur lah Mas.“

“Ingin bercinta dengan kedua bola matamu.“

“Emangnya bisa?“

“Bisa lah.“

“Caranya?“

“Aku pandang kedua bola mata itu.“

“Emangnya ada apa dengan kedua bola mataku Mas.“

“Tajang setajam silet”

“Oo gitu to Mas.“

“Ya”

“He hee itu namanya cinta Mas.“

“Lukisannya itu sekarang di mana?“

“Aku simpan.“

“Di mana?“

“Rhs lah, aku suka lukisan itu Mas.“

“Bener.“

“Itu tanda luapan emosi cintanya Mas.“

“Kok tahu “

“Ya tahulah, peluk aku Mas.“

“Ya.”

“Yang rapat biar hangat.“

“Ya ya.“

“Jangan iya ya tok.“

“Ayooo dingin banget ni Mas?“

 Aku memeluk erat tubuh Supraptiwi. Udara malam di rumahnya Kim Sam semakin malam semakin dingin. Aku tetap memeluk rapat tubuh Supraptiwi biar terasa hangat. Aku tetap menjaga semua organ tubuhnya Supraptiwi. Sempurna. Tanpa harus bergerilya tanganku ke bagian sekitar dada. Supraptiwi tertidur pulas di pangkuanku terasa aman nyaman bombong semringgah. Tidak terasa terdengar suara dengkuran napas Supraptiwi.

“Ngurr nguurrrr shett ngurrr shett ngurrr,“ suara dengkuran napas Supraptiwi.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar