Sabtu, 30 Juli 2022

Pagi Hari di KBRI Singapura

 


pixabay.com


Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum  Bab 28

 

     Cahaya matahari bersinar cerah di atas langit biru Singapura. Semilir angin pagi berhembus menggerakkan daun-daun cemara di setiap bibir jalan masuk KBRI. Burung- burung emprit dan gereja beterbangan bebas. Saling kejar-mengejar di atas pucuk daun cemara. Sepasang burung gereja kawin di atas genting. Sekelompok burung emprit beterbangan sambil menggigit rumput kering. Hinggap sembunyi di sela-sela pojok dinding ternit berlubang. Membuat sangkar untuk sang betina bertelur.

     Aku keluar dari rumah dinas KBRI. Jalan-jalan pagi sambil menghirup udara Singapura. Udara dan cahaya matahari pagi hampir sama dengan kampungku. Bedanya tipis sekitar lingkungan KBRI bersih terawat oleh petugas khusus kebersihan. Sementara kampungku setiap pagi warga selalu rajin membersihkan halaman rumah dengan sapu lidi. Ketika jam tujuh pagi. Sebagian warga keluar rumah membawa cangkul sabit ke ladang dan sawah. Tepat jam delapan pagi penjual sayur keliling berdatangan masuk setiap gang menawarkan dagangannya.

     Jam setengah tujuh di depan jalan KBRI di Singapura banyak anak, remaja dan orang tua memanfaatkan waktu untuk olah raga selama tiga puluh lima menit. Sebelum menjalankan aktivitasnya. Bekerja sesuai kompetensinya masing-masing. Di setiap bibir jalan aspal nyaris tidak ada sampah. Bersih. Rapi indah maka sudah sewajarnya Singapura terkenal kepedulian sampah demi menciptakan nuansa kebersihan. Aku jadi teringat Imam Musholaku sering memberikan saran “Kebersihan itu sebagian dari pada iman”. Ternyata Singapura mampu melaksanakan amalan itu.

     Aku melihat Supraptiwi dengan teman-temannya sibuk membersihkan halaman KBRI. Menyapu, membersihkan pagar besi dan mencabuti rumput. Aku pun ikut membersihkan halaman mengambil daun-daun kering. Pagi ini wajah Supraptiwi seperti cahaya matahari pagi. Bersih cerah sumringah. Bombong. Ketika aku mencuri pandang Supraptiwi. Ia selalu tersenyum cerah bahagia. Mungkin kedatanganku membuat bombong semringah perasaannya.

      Jam tujuh pagi lebih sepuluh menit waktu di Singapura karyawan-karyawati KBRI berdatangan. Tiga satpam siap berdiri menjaga pintu masuk. Tepat jam setengah delapan di halaman depan KBRI semua berkumpul. Berbaris rapi di depan tiang bendera sangsaka merah putih. Apel pagi sebelum bekerja. Aku merinding ketika semua yang apel menyanyikan lagu kebangsaaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya karya W.R. Soepratman dari Purworejo Jawa Tengah. Lagu ini mampu menggerakkan semangat rasa Nasionalisme kebangsaan. Bahkan menjadi lagu wajib dalam acara upacara.

     Tidak terasa kedua bola mataku basah. Dadaku terasa hangat. Detak jantungku berdetak. Di Singapura aku mendengar lagu kebangsaan Indonesia. Merdu indah terdengar bahkan kompak nada irama suaranya. Aku merasa bangga menjadi salah satu anak bangsa Indonesia punya lagu ciri khas kebangsaan. Mampu menumbuhkan rasa kepedulianku membela mempertahankan NKRI. Sampai titik darah penghabisan.

     Aku melihat orang-orang masuk di KBRI. Wajah. Kulit. Bentuk tubuh sama denganku. Orang-orang pribumi asli Indonesia bekerja di Singapura. Seolah-olah aku bukan berada di Singapura tapi di desaku Kusuma Baru. Ketika aku mendengar mereka saling berbicara dengan bahasa Jawa, Sunda, Bali, Sumatra. Betul-betul menandakan nilai Bhineka Tunggal Ika : berbeda suku adat bahasa tetep bersatu anak bangsa Indonesia.

     Para pekerja di Singapura ini adalah salah satu pahlawan devisa untuk bangsanya. Mampu mengangkat derajat taraf ekonomi keluarga di rumah. Seperti halnya Supraptiwi putrinya Bapak Wagino dari kampung Munggangsari. Mengangkat derajat ekonomi orang tuanya. Dahulu. Hampir terpuruk hidup miskin banyak hutang-hutangnya. Supraptiwi mengangkat derajat orang tuanya dari kemiskinan dan banyak hutang. Rasa kemiskinan dan banyak hutangnya terangkat dan lunas hutang hutangnya. Setiap bulan sekali Supraptiwi ngirimi uang untuk orang tuanya.

Aku menjadi salut dengan Supraptiwi. Mengorbankan waktu masa mudanya demi kebaikan hidup orang tuanya. Bahkan nyawapun menjadi taruhannya. Masih taraf praduga Supraptiwi diduga membunuh keluarga besar Kim Sang dengan cara meracuni lewat minuman dalam gelas. Sebab salah satu gelas ditemukan sidik jarinya Supraptiwi. Dua hari lagi tiem Investigasi Forensik ahli sidik jari Polisi Singapura. Datang ke TKP ruang khusus pribadi Kim Sang. Menentukan Supraptiwi apakah pelakunya atau bukan. Kalau memang benar terbukti Supraptiwi pelakunya maka sangsinya hukuman mati. Tidak bisa naik banding di Pengadilan Singapura sebab termasuk pembunuhan massal.

Jam delapan lebih lima belas menit di Singapura. Supraptiwi memangilku dari arah belakang KBRI.

“Mas, Mas.“

“Ya ya.“

“Cepet sini Mas!“

“Ada apa?“

“Ayoo sarapan Mas.“

“Ya.“

“Aku masak oseng-oseng kangkung dengan lauk tempe pecak.“

“Loo kok menu desa ya.“

“Iya ya Mas.“

“Ayo,“ jawabku singkat. Tidak terasa Supraptiwi langsung menggandeng tanganku erat-erat. Aku tersenyum sambil melihat kedua bola matanya bercahaya semringah bombong. Aku masuk ruang dapur. Ternyata sudah ditunggu sarapan pagi teman-temannya Supraptiwi. Tapi aku merasa aneh. Aneh sekali. Wajahnya temen Supraptiwi. Tidak semringah. Bombong. Apa lagi bercahaya cerah. Susah. Gelisah. Galau. Bahkan tampak garis wajahnya penuh putus asa. Seakan banyak beban dan permasalahan dalam kehidupannya di Singapura.

Di atas meja makan ada nasi putih ditaruh baskom plastik berwarna kuning. Sayur oseng-oseng kangkung ditaruh piring oval berwarna hijau. Di tengah sayur oseng-oseng kangkung ada campuran cabai merah berbentuk bulat. Sampingnya lauk tempe pecak dalam piring doralek warna biru. Bahkan ada enam ikan asin di taruh piring beling bergambar bunga mawar. Supraptiwi mendekatiku.

“Nasinya mau banyak po sedikit ya Mas.“

“Sedikit aja, sayur kangkungnya agak banyak.“

“Okee, siap. Segini ya Mas.“

“Ya, makasih.“

“Minumnya apa Mas?“

“Teh tawar aja.“

“Oke.“

“Mantap nih rasa sayur oseng-oseng kangkungnya.“

“Mau nambah ya Mas.“

“Sedikit aja.“

“Banyak juga gak popo, yang masak kan aku Mas,“ jawab Supraptiwi tersenyum hangat lalu duduk bersebelahan denganku. Tidak memperdulikan temen-temennya. Acuh. Cuek. Duduk mendekatiku.

“Enak ya Mas sayur kangkungnya.“

“Iya ya.“

“Ayoo nambah lagi.“

“Sudah, sudah.“

“Bener “

“Iya.“

“Besok aku masakin kluban urab dengan lauk ikan asin ya Mas.“

“Laa bahannya beli di mana?“

“Tu tinggal metik di belakang, ada daun singkong, pepaya, timun, kecipir, protoseli dan jipang laa kelapa dah ada kok Mas.“

“Kelapanya beli di mana?“

“Tinggal metik, tuu di samping KBRI. Biasanya penjaganya yang memetik asli orang Banyumas dari Wangon Desa Karangtawang.“

“Baik.“

“Masama ya Mas.“

Sehabis sarapan pagi aku Supraptiwi keluar dari ruang dapur. Ke ruang belakang duduk di kursi plastik berwarna biru laut. Di depan KBRI semakin banyak berdatangan tamu. Ngurus perpanjangan paspor, nabung, izin menikah dan lain-lainnya. Ketika aku sedang nyantai duduk berdua. Salah satu staf KBRI datang mendekati Suparptiwi. Kemudian berbisik.

“Ada dua Polisi Singapura mau ketemu denganmu Mbak.“

“Ya iya di mana?“

“Di ruang lobi, Mbak.“

“Sekarang.“

“Ya sekarang Mbak.“

“Mas harus ikut aku.“

“Aku?“

“Iya ya ikut menemaniku di ruang lobi.“

“Ya ya.“

Aku dan Supraptiwi menuju ruang lobi KBRI. Dua anggota Polisi Singapura sudah menunggu kedatanganku. Seragam dinasnya berwarna coklat. Lengkap dengan senjata laras panjang. Sebelah kanan ada bayonet menempel erat di kopel. Sebelah kirinya ada tempat megasin tiga berwarna hijau. Wajahnya dingin kedua bola matanya menatap tajam Supraptiwi. Supraptiwi tidak merasa takut sedikitpun. Dibalas dengan tatapan mata tajam. Persis tatapan mata Harimau Jawa. Tidak takut sedikitpun.

“Dua hari lagi Tiem Investigasi Forensik ahli sidik jari mau cek n ricek kembali di TKP, nona Supraptiwi harus siap membantu kami “

“Siap. Aku bukan pembunuhnya keluarga besar Kim Sang.“

“Baik. Besok kami buktikan di TKP.“

“Siapp.“

“Besok nona Supraptiwi wajib hadir di TKP.“

“Siap, tapi aku butuh pendamping.“

“Pengacara?“

“Bukan.“

“Lalu siapa?”

“Kawan kecil kampungku Dimas Prihatin.“

“Bisa lihat KTPnya?“

“Bisa.“

Aku mengeluarkan dompet. Mengambil KTP. Aku serahkan dua pada anggota Polisi Singapura. KTPku difoto. Kemudian diserahkan kembali. Tanpa basa basi langsung memberikan surat panggilan berwarna coklat dengan Kop Surat Markas Besar Polisi Singapura. Sambil berucap.

“Nona Supraptiwi dan Dimas Prihatin wajib datang ke TKP.“

“Siapp,“ jawab Supraptiwi tegas menatap tajam dua petugas Polisi Singapura.  

 

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar