Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Bab ke-27
Jam delapan pagi waktu Singapura, aku
sampai di Bandara Changi. Berhias gedung megah halamannya luas bersih nyaris
tidak ada sampah. Singapura salah satu wilayah di Asia. Tingkat perekonomian
sangat maju mengalahkan negara tetangga. Singapura berciri khas dengan ikon
Merlion Park: simbol negara badan ikan kepala singa. Wilayah Marlion Park
sangat terkenal, sejuk segar bersih. Ketika senja datang bertaburan cahaya
lampu berwarna-warni seperti bintang-gemintang di langit jingga.
Pagi harinya digunakan untuk joging,
bersepeda semua warganya. Situasi kota Singapora bersih damai didukung semua
warga negaranya. Taat pada peraturan hukum yang berlaku. Disiplin dan
menghargai waktu. Menjaga kebersihan. Tidak ada toleransi untuk pelaku
korupsi. Perbedaan bukan masalah buat
mereka.
Aku mau langsung menuju lokasi
Supraptiwi hampir empat minggu mendekam di penjara Singapora. Kata Bapaknya
Supraptiwi. Tanpa ada yang menyeguknya. Jauh dari sanak saudaranya. Semua
saudaranya tinggal di Indonesia daerah Jawa Tengah. Untung. Aku sudah menyimpan
nomer ponselnya Supraptiwi. Dibawah tiang lampu Bandara Changi Singapora aku
mulai menulis whatsapp ke Supraptiwi.
“Met pagi, aku sudah di Singapora posisi
di mana ya?”
“Syukur-syukur ikut seneng cepat ke sini.“
“Iya ya di mana.“
“Di kantor Dubes Indonesia, Mas.“
“Ooo, alamatnya.“
“Gampang kok mas tinggal naik taksi.“
“Kemana turunnya?”
“KBRI Singapora aku tunggu cepet ke sini.“
“Ya
ya sebentar.“
“Di jalan itu banyak taxsi kok Mas.“
“Ya ya sebentar.“
“Cepet thoo, Mas.“
“Katanya di penjara.“
“Tidak di penjara tapi diselamatkan dulu
oleh kantor KBRI, Mas.“
“Ya ya.“
“Sambil nunggu cek ulang di tempat
kejadian perkara bunuh dirinya keluarga besar Kim Sang. Jujur aku tidak
membunuhnya Mas.”
“Iya ya aku percaya.“
“Cepet ke sini ya Mas.“
“Ya ya.“
Aku berjalan di pinggiran jalan.
Menunggu taxsi datang. Belum lima menit taxsi berwarna kuning berhenti di
depanku. Aku masuk taxsi minta turun di KBRI Singapora. Sopirnya
manggut-manggut. Taxsi berjalan sesuwai dengan tujuannya. Dua puluh menit aku
sudah sampai di depan gedung KBRI di Singapora. Ketika aku mau turun Supraptiwi
sudah menunggu di bibir jalan aspal.
Aku masih bengong diam terpaku
memandang gedung KBRI di Singapora. Megah bersih indah. Halamannya penuh
tanaman kembang. Persis di depan bibir jalan aspal aku melihat Supraptiwi.
Memakai celana jins warna biru dongker dengan stelan kaos lengan panjang
berwarna kuning bergambar Merlion Park : simbol negara Singapora badan ikan
kepala singa dengan tulisan dibawah The Singapora.
Wajah Supraptiwi memerah, kedua bola
matanya penuh genangan air mata hidungnya kempas kempis. Mendekatiku. Menatapku
tajam. Bibirnya merah basah bergetar. Tiba-tiba memeluk rapat sekali. Sehingga
terdengar jelas detak derap jantungnya. Kepalanya di benamkan dalam pundak
kananku. Sehingga pundakku basah penuh derai air matanya sambil berbisik pelan
ditelingaku.
“Aku tidak membunuh, tidak membunuh,“
bisiknya.
Memelukku erat-erat sekali. Kemudian
menangis dan menangis dalam pelukanku. Supraptiwi semakin erat memelukku. Suara
tangisnya pecah bersuara. Aku berusaha menenangkan jiwanya. Aku belai rambutnya
panjang menghitam. Pelan-pelan. Sambil berucap.
“Aku percaya adik bukan pembunuhnya, aku
percaya itu.“
“Iya ya, aku bukan pembunuhnya, Mas.“
“Udah jangan menangis.“
“Ya, Mas.“
Aku dan Supraptiwi memilih duduk
dibangku ukiran besi bergambar ukiran bunga mawar berwarna biru laut. Persis di
bawah pohon bunga melati sedang berbunga berwarna putih. Mengeluarkan aroma
harum khas bunga melati ketika terbawa angin. Duduk berdua dibelakang taman
bunga KBRI Singapora. Aku tatap kedua bola matanya kawan kecil smpku. Dahulu.
Hanya saling mencuri pandang dan tukar senyum di persimpangan jalan kalidatar.
Sekarang tumbuh subur. Kedua bola matanya sudah berubah memancar penuh cahaya
kasih sayang. Bahkan menyimpan rasa kerinduan yang menggumpal. Tapi aku takut
untuk mengatakan rasa.
Supraptiwi semakin duduk merapat
kesebelahku. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangannya. Menunduk kebawah.
Berkali-kali mengusap wajahnya dengan sapu tangan berwarna ungu bergampar
kupu-kupu. Kepalanya disandarkan kepundakku. Dengus suara napas tidak
beraturan. Terasa hangat menembus dipundakku. Rambutnya dibiarkan terurai
menyentuh pipiku.
“Biung dan Bapakku sehat-sehat aja si Mas.“
“Alhamdullilah beliau berdua sehat-sehat
aja Dik.“
“Semenjak terpilih menjadi Kades Bapakku
sregeb ke kantor Desa.“
“Syukur lah Biung Bapakku pada sehat,
aku jadi merasa bersalah dan kasihan pada kedua orang tuaku.“
“Kenapa?”
“Bikin susah keluarga.“
“Gak apa-apa nanti kan selesai masalahmu.“
“Iya ya ini aja aku dibantu Bapak
Suherman kontraktor bangunan di Singapora juga kolektor lukisan. Seharusnya aku
tinggal sementara di kantor Kepolisian Kabupaten. Tapi Bapak Suherman berani
untuk jaminannya. Sebab Bapak Suherman termasuk penanam saham terbesar di
perusahaan perhiasan emas milik almarhum Kim Sam. Bahkan Bapak Suherman berani
tanda tangan di kanor Polisi Sektor Singapora. Merasa tidak percaya kalau aku
yang meracuni keluarga besar Kim Sam. Maka aku dititipkan di perumahan KBRI.
Salah satu karyawan KBRI di sini ada yang menjadi tenaga sukarelawan para TKW
di Singapora.”
“Oo gitu kapan Bapak Suherman datang
kemari.“
“Dua hari setelah terjadi tragedi bunuh
diri massal keluarga besar Kim Sang.“
“Sekarang di mana?“
“Ke Belanda ikut pameran lukisan,
termasuk lukisan tokoh gerakan peradaban wanita dari Jepara dan Pahlawan klasik
Diponegoro dari Jawa Tengah. Lukisannya bagus. Aku tidak tahu siapa yang
melukis. Bapak Suherman tidak pernah bilang siapa nama pelukisnya. Aku sangat
senang sekali melihat lukisan itu. Warna. Gaya melukisnya persis lukisan kedua
bola mataku.”
“Khemm gitu to?”
“Iya Mas. Bahkan Bapak
Suherman sudah mengikhklaskan semua saham yang diberikan perusahaan Kim Sam. Tidak
diminta kembali lewat ahli warisnya. Bahkan gajiku selama lima bulan yang
membayar Bapak Suherman. Langsung transfer ke no rekeningku dengan tambahan
uang untuk keperluan hidup selama ada masalah di Singapora, orangnya sangat
baik Mas.“
“Iya ya Dik.“
“Deket denganku sini Mas.“
“Iya ya Dik.“
Aku sangat dekat sekali
duduk disebelah Supraptiwi. Wajahnya mulai berubah tenang. Kedua bola matanya
teduh. Bahkan genangan air matanya tidak kelihatan lagi. Deru suara napasnya
mulai normal.
“Mas nginap di sini
aja.“
“Di mana?“
“Di rumah dinas KBRI sebab
ada yang kosong ini juga rekomendasi dari Bapak Suherman. Juga Tiem peduli rasa
aman bagi TKW di sini dipelopori Bunda Shinta. Bunda Shinta dulu juga TKW. Tapi
nyambi kuliah di sini mengambil jurusan Hukum Internasional. Setelah selesai
kuliah mendirikan Yayasan untuk membantu para TKW di Singapora yang bermasalah.
Dari korban pemerkosaan sang majikan. Melahirkan anak hasil hubungan gelap
dengan anak majikannya. Kekerasan fisik majikan. Bahkan ada beberapa TKW tidak
pernah mendapatkan upah kerjanya. Semua dibantu oleh yayasannya Bunda Shinta.
Mas.”
“Hebat, hebat luar biasa.“
“Mas nanti malam bisa
istirahat di rumah sebelah, nanti adik yang minta izin ke Bunda Shinta.“
“Baik, terima kasih.“
“Laa adik tidur bersama
TKW yang sedang punya masalah.“
“Oke.“
“Doakan masalah ini
cepet rampung. Bisa bebas dari semua tuntutan. Nunggu satu minggu lagi untuk
cek n ricek ulang di tempat terjadinya perkara di rumahnya Kim Sam. Menunggu
Komandan bagian Investigasi Forensik. Untuk mengadakan pemeriksaan ulang di
kamar khusus keluarga Kim Sam bunuh diri. Termasuk meneliti ulang sidik jari di
dalam gelas. Dengan dugaan ada salah satu gelas itu ada sidik jari aku, Mas.“
“Mudah-mudahhan cepet
selesai. Bebas. Dari semua tuduhan”
“Iya Mas.“
“Nunggu satu minggu lagi
tiem Investigasi Forensik langsung ke TKP, Mas.”
“Iya ya dik “
“Mudah-mudahan tiem
Investigasi Forensik Kepolisian Singapora menemukan bukti kebenaran bahwa aku
bukan pembunuhnya.”
“Mas doakan, bebas dari
segala tuduhannya.”
“Terima kasih ya Mas,“ jawab
Supraptiwi sambil memelukku dan mencium pipiku.
“Akhh, jangan gitu dik malu dilihat
orang tuu…”
Supraptiwi malah tersenyum sambil
menatapku tajam. Badannya semakin merapat samping tubuhku. Kepalanya di
sandarkan kepundakku sampai pulas tertidur yang terdengar hanya suara sengguran
napasnya.
“Nguurrr, ngossss, ngurrr ngossss,“ suara
sengguran Supraptiwi.
Aku bisanya cuma geleng-geleng kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar