Minggu, 17 Juli 2022

Di Singapura

 

pixabay.com

Oleh. Agus Yuwantoro

Pelukis dan Parfum   Bab ke-27

 

       Jam delapan pagi waktu Singapura, aku sampai di Bandara Changi. Berhias gedung megah halamannya luas bersih nyaris tidak ada sampah. Singapura salah satu wilayah di Asia. Tingkat perekonomian sangat maju mengalahkan negara tetangga. Singapura berciri khas dengan ikon Merlion Park: simbol negara badan ikan kepala singa. Wilayah Marlion Park sangat terkenal, sejuk segar bersih. Ketika senja datang bertaburan cahaya lampu berwarna-warni seperti bintang-gemintang di langit jingga.

       Pagi harinya digunakan untuk joging, bersepeda semua warganya. Situasi kota Singapora bersih damai didukung semua warga negaranya. Taat pada peraturan hukum yang berlaku. Disiplin dan menghargai waktu. Menjaga kebersihan. Tidak ada toleransi untuk pelaku korupsi.  Perbedaan bukan masalah buat mereka.

       Aku mau langsung menuju lokasi Supraptiwi hampir empat minggu mendekam di penjara Singapora. Kata Bapaknya Supraptiwi. Tanpa ada yang menyeguknya. Jauh dari sanak saudaranya. Semua saudaranya tinggal di Indonesia daerah Jawa Tengah. Untung. Aku sudah menyimpan nomer ponselnya Supraptiwi. Dibawah tiang lampu Bandara Changi Singapora aku mulai menulis whatsapp ke Supraptiwi.

       “Met pagi, aku sudah di Singapora posisi di mana ya?”

       “Syukur-syukur ikut seneng cepat ke sini.“

       “Iya ya di mana.“

       “Di kantor Dubes Indonesia, Mas.“

       “Ooo, alamatnya.“

       “Gampang kok mas tinggal naik taksi.“

       “Kemana turunnya?”

       “KBRI Singapora aku tunggu cepet ke sini.“

       “Ya ya sebentar.“

       “Di jalan itu banyak taxsi kok Mas.“

       “Ya ya sebentar.“

       “Cepet thoo, Mas.“

       “Katanya di penjara.“

       “Tidak di penjara tapi diselamatkan dulu oleh kantor KBRI, Mas.“

       “Ya ya.“

       “Sambil nunggu cek ulang di tempat kejadian perkara bunuh dirinya keluarga besar Kim Sang. Jujur aku tidak membunuhnya Mas.”

       “Iya ya aku percaya.“

       “Cepet ke sini ya Mas.“

       “Ya ya.“

        Aku berjalan di pinggiran jalan. Menunggu taxsi datang. Belum lima menit taxsi berwarna kuning berhenti di depanku. Aku masuk taxsi minta turun di KBRI Singapora. Sopirnya manggut-manggut. Taxsi berjalan sesuwai dengan tujuannya. Dua puluh menit aku sudah sampai di depan gedung KBRI di Singapora. Ketika aku mau turun Supraptiwi sudah menunggu di bibir jalan aspal.

        Aku masih bengong diam terpaku memandang gedung KBRI di Singapora. Megah bersih indah. Halamannya penuh tanaman kembang. Persis di depan bibir jalan aspal aku melihat Supraptiwi. Memakai celana jins warna biru dongker dengan stelan kaos lengan panjang berwarna kuning bergambar Merlion Park : simbol negara Singapora badan ikan kepala singa dengan tulisan dibawah The Singapora.

        Wajah Supraptiwi memerah, kedua bola matanya penuh genangan air mata hidungnya kempas kempis. Mendekatiku. Menatapku tajam. Bibirnya merah basah bergetar. Tiba-tiba memeluk rapat sekali. Sehingga terdengar jelas detak derap jantungnya. Kepalanya di benamkan dalam pundak kananku. Sehingga pundakku basah penuh derai air matanya sambil berbisik pelan ditelingaku.

       “Aku tidak membunuh, tidak membunuh,“ bisiknya.

       Memelukku erat-erat sekali. Kemudian menangis dan menangis dalam pelukanku. Supraptiwi semakin erat memelukku. Suara tangisnya pecah bersuara. Aku berusaha menenangkan jiwanya. Aku belai rambutnya panjang menghitam. Pelan-pelan. Sambil berucap.

       “Aku percaya adik bukan pembunuhnya, aku percaya itu.“

       “Iya ya, aku bukan pembunuhnya, Mas.“

       “Udah jangan menangis.“

       “Ya, Mas.“

         Aku dan Supraptiwi memilih duduk dibangku ukiran besi bergambar ukiran bunga mawar berwarna biru laut. Persis di bawah pohon bunga melati sedang berbunga berwarna putih. Mengeluarkan aroma harum khas bunga melati ketika terbawa angin. Duduk berdua dibelakang taman bunga KBRI Singapora. Aku tatap kedua bola matanya kawan kecil smpku. Dahulu. Hanya saling mencuri pandang dan tukar senyum di persimpangan jalan kalidatar. Sekarang tumbuh subur. Kedua bola matanya sudah berubah memancar penuh cahaya kasih sayang. Bahkan menyimpan rasa kerinduan yang menggumpal. Tapi aku takut untuk mengatakan rasa.

        Supraptiwi semakin duduk merapat kesebelahku. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangannya. Menunduk kebawah. Berkali-kali mengusap wajahnya dengan sapu tangan berwarna ungu bergampar kupu-kupu. Kepalanya disandarkan kepundakku. Dengus suara napas tidak beraturan. Terasa hangat menembus dipundakku. Rambutnya dibiarkan terurai menyentuh pipiku.

       “Biung dan Bapakku sehat-sehat aja si Mas.“

       “Alhamdullilah beliau berdua sehat-sehat aja Dik.“

       “Semenjak terpilih menjadi Kades Bapakku sregeb ke kantor Desa.“

       “Syukur lah Biung Bapakku pada sehat, aku jadi merasa bersalah dan kasihan pada kedua orang tuaku.“

       “Kenapa?”

       “Bikin susah keluarga.“

       “Gak apa-apa nanti kan selesai masalahmu.“

       “Iya ya ini aja aku dibantu Bapak Suherman kontraktor bangunan di Singapora juga kolektor lukisan. Seharusnya aku tinggal sementara di kantor Kepolisian Kabupaten. Tapi Bapak Suherman berani untuk jaminannya. Sebab Bapak Suherman termasuk penanam saham terbesar di perusahaan perhiasan emas milik almarhum Kim Sam. Bahkan Bapak Suherman berani tanda tangan di kanor Polisi Sektor Singapora. Merasa tidak percaya kalau aku yang meracuni keluarga besar Kim Sam. Maka aku dititipkan di perumahan KBRI. Salah satu karyawan KBRI di sini ada yang menjadi tenaga sukarelawan para TKW di Singapora.”

        “Oo gitu kapan Bapak Suherman datang kemari.“

        “Dua hari setelah terjadi tragedi bunuh diri massal keluarga besar Kim Sang.“

       “Sekarang di mana?“

      “Ke Belanda ikut pameran lukisan, termasuk lukisan tokoh gerakan peradaban wanita dari Jepara dan Pahlawan klasik Diponegoro dari Jawa Tengah. Lukisannya bagus. Aku tidak tahu siapa yang melukis. Bapak Suherman tidak pernah bilang siapa nama pelukisnya. Aku sangat senang sekali melihat lukisan itu. Warna. Gaya melukisnya persis lukisan kedua bola mataku.”

      “Khemm gitu to?”

“Iya Mas. Bahkan Bapak Suherman sudah mengikhklaskan semua saham yang diberikan perusahaan Kim Sam. Tidak diminta kembali lewat ahli warisnya. Bahkan gajiku selama lima bulan yang membayar Bapak Suherman. Langsung transfer ke no rekeningku dengan tambahan uang untuk keperluan hidup selama ada masalah di Singapora, orangnya sangat baik Mas.“

  “Iya ya Dik.“

“Deket denganku sini Mas.“

“Iya ya Dik.“

Aku sangat dekat sekali duduk disebelah Supraptiwi. Wajahnya mulai berubah tenang. Kedua bola matanya teduh. Bahkan genangan air matanya tidak kelihatan lagi. Deru suara napasnya mulai normal.

   “Mas nginap di sini aja.“

“Di mana?“

“Di rumah dinas KBRI sebab ada yang kosong ini juga rekomendasi dari Bapak Suherman. Juga Tiem peduli rasa aman bagi TKW di sini dipelopori Bunda Shinta. Bunda Shinta dulu juga TKW. Tapi nyambi kuliah di sini mengambil jurusan Hukum Internasional. Setelah selesai kuliah mendirikan Yayasan untuk membantu para TKW di Singapora yang bermasalah. Dari korban pemerkosaan sang majikan. Melahirkan anak hasil hubungan gelap dengan anak majikannya. Kekerasan fisik majikan. Bahkan ada beberapa TKW tidak pernah mendapatkan upah kerjanya. Semua dibantu oleh yayasannya Bunda Shinta. Mas.”

“Hebat, hebat luar biasa.“

“Mas nanti malam bisa istirahat di rumah sebelah, nanti adik yang minta izin ke Bunda Shinta.“

“Baik, terima kasih.“

“Laa adik tidur bersama TKW yang sedang punya masalah.“

    “Oke.“

   “Doakan masalah ini cepet rampung. Bisa bebas dari semua tuntutan. Nunggu satu minggu lagi untuk cek n ricek ulang di tempat terjadinya perkara di rumahnya Kim Sam. Menunggu Komandan bagian Investigasi Forensik. Untuk mengadakan pemeriksaan ulang di kamar khusus keluarga Kim Sam bunuh diri. Termasuk meneliti ulang sidik jari di dalam gelas. Dengan dugaan ada salah satu gelas itu ada sidik jari  aku, Mas.“

“Mudah-mudahhan cepet selesai. Bebas. Dari semua tuduhan”

“Iya Mas.“

“Nunggu satu minggu lagi tiem Investigasi Forensik langsung ke TKP, Mas.”

“Iya ya dik “

“Mudah-mudahan tiem Investigasi Forensik Kepolisian Singapora menemukan bukti kebenaran bahwa aku bukan pembunuhnya.”

“Mas doakan, bebas dari segala tuduhannya.”

“Terima kasih ya Mas,“ jawab Supraptiwi sambil memelukku dan mencium pipiku.

        “Akhh, jangan gitu dik malu dilihat orang tuu…”

         Supraptiwi malah tersenyum sambil menatapku tajam. Badannya semakin merapat samping tubuhku. Kepalanya di sandarkan kepundakku sampai pulas tertidur yang terdengar hanya suara sengguran napasnya.

        “Nguurrr, ngossss, ngurrr ngossss,“ suara sengguran Supraptiwi.

        Aku bisanya cuma geleng-geleng kepala.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar