Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum Bab 28
Cahaya matahari bersinar cerah di atas
langit biru Singapura. Semilir angin pagi berhembus menggerakkan daun-daun
cemara di setiap bibir jalan masuk KBRI. Burung- burung emprit dan gereja beterbangan
bebas. Saling kejar-mengejar di atas pucuk daun cemara. Sepasang burung gereja
kawin di atas genting. Sekelompok burung emprit beterbangan sambil menggigit
rumput kering. Hinggap sembunyi di sela-sela pojok dinding ternit berlubang.
Membuat sangkar untuk sang betina bertelur.
Aku keluar dari rumah dinas KBRI.
Jalan-jalan pagi sambil menghirup udara Singapura. Udara dan cahaya matahari
pagi hampir sama dengan kampungku. Bedanya tipis sekitar lingkungan KBRI bersih
terawat oleh petugas khusus kebersihan. Sementara kampungku setiap pagi warga selalu
rajin membersihkan halaman rumah dengan sapu lidi. Ketika jam tujuh pagi.
Sebagian warga keluar rumah membawa cangkul sabit ke ladang dan sawah. Tepat
jam delapan pagi penjual sayur keliling berdatangan masuk setiap gang
menawarkan dagangannya.
Jam setengah tujuh di depan jalan KBRI di
Singapura banyak anak, remaja dan orang tua memanfaatkan waktu untuk olah raga
selama tiga puluh lima menit. Sebelum menjalankan aktivitasnya. Bekerja sesuai
kompetensinya masing-masing. Di setiap bibir jalan aspal nyaris tidak ada
sampah. Bersih. Rapi indah maka sudah sewajarnya Singapura terkenal kepedulian
sampah demi menciptakan nuansa kebersihan. Aku jadi teringat Imam Musholaku
sering memberikan saran “Kebersihan itu sebagian dari pada iman”. Ternyata Singapura
mampu melaksanakan amalan itu.
Aku melihat Supraptiwi dengan
teman-temannya sibuk membersihkan halaman KBRI. Menyapu, membersihkan pagar
besi dan mencabuti rumput. Aku pun ikut membersihkan halaman mengambil
daun-daun kering. Pagi ini wajah Supraptiwi seperti cahaya matahari pagi.
Bersih cerah sumringah. Bombong. Ketika aku mencuri pandang Supraptiwi. Ia
selalu tersenyum cerah bahagia. Mungkin kedatanganku membuat bombong semringah
perasaannya.
Jam tujuh pagi lebih sepuluh menit waktu
di Singapura karyawan-karyawati KBRI berdatangan. Tiga satpam siap berdiri
menjaga pintu masuk. Tepat jam setengah delapan di halaman depan KBRI semua
berkumpul. Berbaris rapi di depan tiang bendera sangsaka merah putih. Apel pagi
sebelum bekerja. Aku merinding ketika semua yang apel menyanyikan lagu kebangsaaan
Indonesia. Lagu Indonesia Raya karya W.R. Soepratman dari Purworejo Jawa
Tengah. Lagu ini mampu menggerakkan semangat rasa Nasionalisme kebangsaan.
Bahkan menjadi lagu wajib dalam acara upacara.
Tidak terasa kedua bola mataku basah. Dadaku
terasa hangat. Detak jantungku berdetak. Di Singapura aku mendengar lagu
kebangsaan Indonesia. Merdu indah terdengar bahkan kompak nada irama suaranya.
Aku merasa bangga menjadi salah satu anak bangsa Indonesia punya lagu ciri khas
kebangsaan. Mampu menumbuhkan rasa kepedulianku membela mempertahankan NKRI.
Sampai titik darah penghabisan.
Aku melihat orang-orang masuk di KBRI.
Wajah. Kulit. Bentuk tubuh sama denganku. Orang-orang pribumi asli Indonesia bekerja
di Singapura. Seolah-olah aku bukan berada di Singapura tapi di desaku Kusuma
Baru. Ketika aku mendengar mereka saling berbicara dengan bahasa Jawa, Sunda,
Bali, Sumatra. Betul-betul menandakan nilai Bhineka Tunggal Ika : berbeda suku
adat bahasa tetep bersatu anak bangsa Indonesia.
Para pekerja di Singapura ini adalah salah
satu pahlawan devisa untuk bangsanya. Mampu mengangkat derajat taraf ekonomi
keluarga di rumah. Seperti halnya Supraptiwi putrinya Bapak Wagino dari kampung
Munggangsari. Mengangkat derajat ekonomi orang tuanya. Dahulu. Hampir terpuruk
hidup miskin banyak hutang-hutangnya. Supraptiwi mengangkat derajat orang
tuanya dari kemiskinan dan banyak hutang. Rasa kemiskinan dan banyak hutangnya
terangkat dan lunas hutang hutangnya. Setiap bulan sekali Supraptiwi ngirimi
uang untuk orang tuanya.
Aku menjadi salut dengan
Supraptiwi. Mengorbankan waktu masa mudanya demi kebaikan hidup orang tuanya.
Bahkan nyawapun menjadi taruhannya. Masih taraf praduga Supraptiwi diduga
membunuh keluarga besar Kim Sang dengan cara meracuni lewat minuman dalam
gelas. Sebab salah satu gelas ditemukan sidik jarinya Supraptiwi. Dua hari lagi
tiem Investigasi Forensik ahli sidik jari Polisi Singapura. Datang ke TKP ruang
khusus pribadi Kim Sang. Menentukan Supraptiwi apakah pelakunya atau bukan.
Kalau memang benar terbukti Supraptiwi pelakunya maka sangsinya hukuman mati.
Tidak bisa naik banding di Pengadilan Singapura sebab termasuk pembunuhan
massal.
Jam delapan lebih lima
belas menit di Singapura. Supraptiwi memangilku dari arah belakang KBRI.
“Mas, Mas.“
“Ya ya.“
“Cepet sini Mas!“
“Ada apa?“
“Ayoo sarapan Mas.“
“Ya.“
“Aku masak oseng-oseng
kangkung dengan lauk tempe pecak.“
“Loo kok menu desa ya.“
“Iya ya Mas.“
“Ayo,“ jawabku singkat.
Tidak terasa Supraptiwi langsung menggandeng tanganku erat-erat. Aku tersenyum
sambil melihat kedua bola matanya bercahaya semringah bombong. Aku masuk ruang
dapur. Ternyata sudah ditunggu sarapan pagi teman-temannya Supraptiwi. Tapi aku
merasa aneh. Aneh sekali. Wajahnya temen Supraptiwi. Tidak semringah. Bombong.
Apa lagi bercahaya cerah. Susah. Gelisah. Galau. Bahkan tampak garis wajahnya
penuh putus asa. Seakan banyak beban dan permasalahan dalam kehidupannya di
Singapura.
Di atas meja makan ada
nasi putih ditaruh baskom plastik berwarna kuning. Sayur oseng-oseng kangkung
ditaruh piring oval berwarna hijau. Di tengah sayur oseng-oseng kangkung ada
campuran cabai merah berbentuk bulat. Sampingnya lauk tempe pecak dalam piring
doralek warna biru. Bahkan ada enam ikan asin di taruh piring beling bergambar
bunga mawar. Supraptiwi mendekatiku.
“Nasinya mau banyak po
sedikit ya Mas.“
“Sedikit aja, sayur
kangkungnya agak banyak.“
“Okee, siap. Segini ya Mas.“
“Ya, makasih.“
“Minumnya apa Mas?“
“Teh tawar aja.“
“Oke.“
“Mantap nih rasa sayur
oseng-oseng kangkungnya.“
“Mau nambah ya Mas.“
“Sedikit aja.“
“Banyak juga gak popo,
yang masak kan aku Mas,“ jawab Supraptiwi tersenyum hangat lalu duduk
bersebelahan denganku. Tidak memperdulikan temen-temennya. Acuh. Cuek. Duduk
mendekatiku.
“Enak ya Mas sayur
kangkungnya.“
“Iya ya.“
“Ayoo nambah lagi.“
“Sudah, sudah.“
“Bener “
“Iya.“
“Besok aku masakin kluban
urab dengan lauk ikan asin ya Mas.“
“Laa bahannya beli di mana?“
“Tu tinggal metik di
belakang, ada daun singkong, pepaya, timun, kecipir, protoseli dan jipang laa
kelapa dah ada kok Mas.“
“Kelapanya beli di mana?“
“Tinggal metik, tuu di
samping KBRI. Biasanya penjaganya yang memetik asli orang Banyumas dari Wangon
Desa Karangtawang.“
“Baik.“
“Masama ya Mas.“
Sehabis sarapan pagi aku
Supraptiwi keluar dari ruang dapur. Ke ruang belakang duduk di kursi plastik
berwarna biru laut. Di depan KBRI semakin banyak berdatangan tamu. Ngurus
perpanjangan paspor, nabung, izin menikah dan lain-lainnya. Ketika aku sedang
nyantai duduk berdua. Salah satu staf KBRI datang mendekati Suparptiwi.
Kemudian berbisik.
“Ada dua Polisi Singapura
mau ketemu denganmu Mbak.“
“Ya iya di mana?“
“Di ruang lobi, Mbak.“
“Sekarang.“
“Ya sekarang Mbak.“
“Mas harus ikut aku.“
“Aku?“
“Iya ya ikut menemaniku di
ruang lobi.“
“Ya ya.“
Aku dan Supraptiwi menuju
ruang lobi KBRI. Dua anggota Polisi Singapura sudah menunggu kedatanganku.
Seragam dinasnya berwarna coklat. Lengkap dengan senjata laras panjang. Sebelah
kanan ada bayonet menempel erat di kopel. Sebelah kirinya ada tempat megasin
tiga berwarna hijau. Wajahnya dingin kedua bola matanya menatap tajam
Supraptiwi. Supraptiwi tidak merasa takut sedikitpun. Dibalas dengan tatapan
mata tajam. Persis tatapan mata Harimau Jawa. Tidak takut sedikitpun.
“Dua hari lagi Tiem
Investigasi Forensik ahli sidik jari mau cek n ricek kembali di TKP, nona
Supraptiwi harus siap membantu kami “
“Siap. Aku bukan
pembunuhnya keluarga besar Kim Sang.“
“Baik. Besok kami buktikan
di TKP.“
“Siapp.“
“Besok nona Supraptiwi
wajib hadir di TKP.“
“Siap, tapi aku butuh
pendamping.“
“Pengacara?“
“Bukan.“
“Lalu siapa?”
“Kawan kecil kampungku
Dimas Prihatin.“
“Bisa lihat KTPnya?“
“Bisa.“
Aku mengeluarkan dompet.
Mengambil KTP. Aku serahkan dua pada anggota Polisi Singapura. KTPku difoto.
Kemudian diserahkan kembali. Tanpa basa basi langsung memberikan surat
panggilan berwarna coklat dengan Kop Surat Markas Besar Polisi Singapura.
Sambil berucap.
“Nona Supraptiwi dan Dimas
Prihatin wajib datang ke TKP.“
“Siapp,“ jawab Supraptiwi
tegas menatap tajam dua petugas Polisi Singapura.