Latifah Prasetyawati
Tanggal muda pasti yang ditunggu-tunggu,
belanja-belanja setelah gajian. Belanja keperluan rumah untuk keperluan
sebulan. Mulai dari keperluan dapur, kamar mandi, sampai camilan di salah satu
mini market dekat rumah. Segera Indah buka catatan belanjaan. Ia menyusuri
lorong mini market untuk mencari semua keperluan. Lumayan banyak, sampai tiga
keranjang menggunung.
Setelah membayar jumlah yang tertera di struk, Indah terkejut saat
kasir mengatakan, “Bunda dapat potongan 42 ribu ya…” alhamdulillah lumayan juga
ujarnya dalam hati. Kemudian dengan lihainya sang kasir melanjutkan, “ini ada
tebus murah loh Bunda…,” seraya menunjuk barang-barang yang ada di dekatnya dan
menyebutkan harga asli dan harga setelah potongan. Hm… namanya emak-emak,
telinganya tidak boleh dengar kata “murah” atau “diskon”, langsung nyawa
belanjanya bangkit… Hmmm… lumayan nih potongannya. Tak terelakkan barang yang
sebenarnya tidak perlu, tapi karena tergoda oleh potongan, maka diambil juga.
Ah, nggak rugilah, anggap saja bayar dengan diskon 42 ribu tadi. Inilah enaknya
belanja di mini market, sering ada diskon, Indah membatin.
Suaminya, Pak Ari yang menunggu di parkiran motor asyik main gadget.
Ia memang tidak mau menemani istrinya belanja, ribet katanya. kemudian mereka
pulang dengan motor penuh belanjaan.
Memasuki gang rumah, mereka melihat Bu Rimah sedang duduk menatap
warung kecilnya. Entah apa yang dipikirkannya. Saat melewati Bu Rimah, Indah
menegur, “Bu Rimah kok bengong?” Seketika beliau menoleh ke arah motor yang
dinaiki Indah dan suaminya tanpa berucap, hanya senyum riangnya yang menghias
bibir tuanya. Dug… entah mengapa saat Bu Rimah melihat belanjaan yang kelihatan
keluar dari tas, ada getaran aneh di hati Indah.
Setiba di rumah, Indah ceritakan kegalauan hati saat melihat mata Bu
Rimah tertuju pada belanjaan mereka. Ternyata hal yang sama juga dirasakan sang
suami.
“Kasihan lihat Bu Rimah waktu melirik belanjaan kita. Ada warung
dekat rumah, tetapi belanjanya di mini market. Kenapa kita nggak belanja di
warungnya aja ya?” suaminya membuka suara.
“Iya sih, tapikan warungnya Bu Rimah cuma warung kecil dan pastinya
apa yang kita butuhkan tidak ada,” Indah berargumen. Bu Rimah adalah tetangga Indah.
Ia hanya hidup berdua dengan Ali anak satu-satunya. Suaminya sudah lama
meninggal.
Sambil menikmati suasana sore, Indah mengeluarkan camilan yang dibeli
tadi sambil minum teh hangat, tanpa diduga suaminya mengulang topik pembicaraan
tadi. Ternyata kejadian siang itu masih bergelayut dalam benaknya. “Aku masih
berpikir bagaimana caranya kita belanja keperluan selama sebulan di warungnya Bu
Rimah?”
“Ya tidak mungkinlah,” potong Indah cepat, “shampoo, sabun, minyak,
gula, susu dan segala yang kita gunakan, di warungnya Bu Rimah tidak ada Pak,”
ujarnya agak sewot.
“Yang kita pakai sehari-hari itu bermerk, mahal pula, sedangkan yang
dijual Bu Rimah rata-rata barang curah,” lanjut Indah sekenanya.
Tak disangka anak bungsunya yang sedari tadi duduk bersama mereka
ikut nyeletuk, “Iya pak, enak belanja di mini market, tempatnya nyaman, adem,
barangnya lengkap dan yang penting sering ada diskonnya.” Indah mendapat
dukungan.
“Betul sekali De, tadi aja ibu belanja dapat potongan 42 ribu
lumayankan,” Mereka merasa menang. Dua lawan satu. “Lagi pula untuk keperluan
yang kecil-kecil kita belanja di warungnya Bu Rimah kok,” Indah masih membela
diri dan mencari pembenaran. Suaminya hanya diam dan mengerenyitkan dahi
mendengar ocehan istri dan anak bungsunya.
Dari ruang tamu, anak sulung mereka ternyata menyimak obrolan
tersebut, “Ya ampun, mau belanja di warungnya Bu Rimah aja repot amat sih. Mau
aku kasih ide?”
Mendengar teriakan itu, sang ayah semangat, “Ayo apa ide kamu mbak?
coba kemari.”
Kini di teras ada empat orang. Si sulung berkomentar, “Bagaimana
kalau Ibu catat semua keperluan selama sebulan, lalu berikan catatan itu ke Bu
Rimah.”
“Oala Bbak, ya tidak mungkinlah, Bu Rimah belinya pakai apa?
Belanjaan bulanan kita lebih dari satu juta. Lha dari mana Bu Rimah uang
sebanyak itu. Mbak… Mbak idenya nggak masuk akal,” ujar sang bunda mematahkan
idenya.
“Nah ini, katanya jangan suka memotong pembicaraan orang, aku belum
selesai Ibu sudah memotong,” ujar si sulung kesal.
“Owh iya maaf… maaf, soalnya ibu tidak sabar,” ucap Indah menahan
malu sambil tersenyum.
“Begini… ibu kasih catatan belanjaan berikut uang sebagai modal ke Bu
Rimah. Dengan begitu Bu Rimah bisa belanja sesuai yang ibu mau, jumlah uangnya
dilebihi ya, supaya cukup, gampangkan?”
“Ah, kalo gitu ibu nggak setujulah, repot amat. Belum belanja udah
mengeluarkan uang dulu, harganya bisa jadi lebih mahal, rugi dong,” ucap Indah
sambil cemberut.
“Tidak dapat diskon pula,” si bungsu menyambar. “Khawatir juga kalau
tidak jujur, mainkan harga, gimana?” Lanjutnya sewot.
“Apa yang dikatakan Mbak itu benar, itu ide cemerlang. Seandainya
lebih mahal beberapa ribu wajarlah, hitung-hitung kita membantu kehidupan Bu
Rimah dengan memajukan warungnya. Masalah jujur atau tidak itu bukan urusan
kita. Niat baik Insya Allah akan berbuah baik. Jangan su’udzon dulu.” Sang ayah
mengangkat ibu jarinya sebagai tanda setuju. Indah dan si bungsu cuma manyun
mendengar itu semua.
Di bulan berikutnya setelah gajian, Indah yang biasanya belanja di
mini market, sekarang mencoba ke warung Bu Rimah. “Bu…Bu Rimah….” Sambil
menunggu yang punya warung keluar, mata Indah melihat ke sekeliling warung.
Sedih juga lihatnya, hanya berisi makanan anak-anak yang bisa dibilang “murahan”,
rencengan lada, ketumbar, tepung instan, bubuk minuman dalam saset, shampoo
saset, gula pasir curah, minyak goreng curah dan…
“Eh Ibu, mau beli apa nih, tumben,” ujar Bu Rimah dengan senyum
khasnya.
“Iya Bu, tolong ya saya mau belanja bulanan, ini catatannya,” ujar
Indah sambil menyerahkan selembar kertas dengan rentetan catatan belanjaan yang
panjang.
Belum sempat ia menjelaskan, sambil melongo Bu Rimah bicara, “Maaf saya
nggak ngerti, maksudnya apa toh?” Bu Rimah serius memandang dan membaca kertas
di hadapannya itu.
“Iya Bu, saya minta tolong Bu Rimah belanjakan seperti yang tertulis
ini.”
“Yah Ibu bagaimana mungkin, warung saya tidak menjual barang-barang
yang di catatan ini. Kan Ibu tau ini cuma warung kecil, lagi pula dari mana
modalnya belanja sebanyak itu.” Bu Rimah memandang Indah keheranan sekaligus
tampak raut wajah sedihnya.
“Tenang Bu, saya jelaskan ya, ini saya beri uang untuk belanja, nah Bu
Rimah harus ambil untung, karena saya bukan titip beli barang tetapi “belanja”
sama Bu Rimah, bedanya saya beri modal buat belanjanya. Bu Rimah minta antar
Ali untuk belanja di agen Pak Haji Hasan yang dekat kantor expedisi seberang
jalan. Di sana bisa juga beli eceran. Sekalian Bu Rimah tanya harga untuk
dijual kembali dari barang-barang yang ada dicatatan itu. Nanti tinggal hitung
berapa total belanjaannya. Insya Allah uang ini lebih untuk modal belanja,” Indah
menjelaskan.
Masih dengan wajah lugunya, Bu Rimah berucap, “Ya Allah, Ibu percaya
sama saya, memberikan uang sebanyak ini untuk dibelanjakan?”
“Ya iyalah,” ujar Indah sambil menarik tangan Bu Rimah dan
menyelipkan belasan lembar uang seratus ribuan. Tampak gemetar tangan tua itu
memegang uang tersebut.
“Saya nggak pernah pegang uang sebanyak ini, jadi gemetaran,”
imbuhnya pelan. Tanpa disadari di sudut netranya ada butiran bening yang
berusaha ditahan agar jangan sampai jatuh. Setelah dapat menguasai perasaan, Bu
Rimah berucap, “Terima kasih Bu atas kepercayaannya. Insya Allah besok sama Ali,
saya akan belanja.”
Keesokan sorenya, Bu Rimah dan Ali, mengantarkan belanjaan.
Kebetulan Indah sedang duduk-duduk manis di teras. “Assalamu’alaikum”, Bu Rimah
dan Ali berjalan ke arah Indah dan meletakkan belanjaan yang lumayan banyak di
hadapannya. Setelah menjawab salam, Indah meminta mereka duduk dan mulai
membuka percakapan. Kemudian Bu Rimah menyerahkan sisa uang belanjaan.
“Alhamdulillah dari jualan ini dapat untung lumayan Bu,” matanya
berkaca-kaca, “baru sekarang saya dapat untung besar dan diberi modal di muka. Allah maha penyayang. Terima kasih ya bu
Indah, terima kasih,” ujar Bu Rimah berulang-ulang dengan senyum sumringahnya.
Duh, sebegitu senangnyakah beliau? Terpancar rasa syukur dari binar mata
tuanya. Mengapa tidak dari dulu belanja seperti ini? Rasa sesal sekaligus suka cita
membuncah di dada Indah karena bisa membuat orang lain tersenyum bahagia.
Indah merenung dan bertekad untuk istiqomah dengan trik belanja
cerdasnya. Memberikan sejumlah uang sebagai modal kepada tetangga yang
berjualan, apalagi sesama saudara muslim, tentu amat membantu perekonomian
mereka. Insya Allah semakin barokah.
Repot? Pasti! tapi kerepotan itu akan terbayar saat melihat wajah dengan
pancaran bahagia yang luar biasa.
Nama Lengkap saya Latifah Prasetyawati biasa di panggil Ifa. Saya dilahirkan di
Purbalingga pada tanggal 6 jaunari 1979. Pendidikan terakhir saya S1 pendidikan
Guru PAUD, agar selinier dengan profesi saya yaitu sebagai Pengelola Pos Paud
Mustofa Nur, yang beralamat di Jalan Lentan Acmad Nur Nomor 20 Rt 02 Rw 05
Purbalingga Lor, Purbalingga, Jawa Tengah. Saya tinggal di Jl. DI.Panjaitan
No.92 Rt 02 Rw 06, Purbalingga Lor, Purbalingga.
Pendidkan saya mulai SD di SD N 1 Purbalingga
Lor 1, lulus tahun 1991, SMP di SMP N 2 Purbalingga, lulus tahun 1994, lanjut
SMA di SMU N 2 Purbalingga, lulus tahun 1997dan untuk kuliah saya mengalami D3
dan S1 dua kali yaitu untuk D3 di Institut Pertanian Bogor, D3 Manajemen Bisnis
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
lulus tahun 2000.Dan untuk S1 di Universitas Diponegoro Semarang, S1
Manajemen Sumberdaya Perairan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, lulus tahun
2003 dan Universitas Terbuka, S1 Pendidikan Guru PAUD, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, lulus tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar