Minggu, 15 Mei 2022

Sambal Cabai Rawit Hijau Penuh Cinta

 

Pixabay.com

Ruli Purwaningsih

 

Hari ini aku agak sibuk masak menu istimewa, bahan-bahannya sederhana: tumis kangkung, tempe goreng, ikan kembung keranjang dan tidak lupa sambal cabai rawit hijau yang menggugah selera, yang membuat menu ini istimewa karena aku memasaknya dengan penuh cinta. Ini adalah masakan kesukaan putri pertamaku, Ammara. Ketika di rumah, kami memanggilnya Kakak, gadis usia 16 tahun yang sekarang menjadi santriwati kelas dua Ulya (setara SLTA). Ia sudah lima tahun menempuh pendidikan di Pondok Pesantren di Purwokerto. Hari ini adalah jadwal kepulangannya. Ayahnya yang pergi menjemputnya ke Pondok Pesantren.

Tepat pukul 16.00 WIB Ammara sampai di rumah, seperti biasa aku menyambutnya dengan pelukan hangat dan kecupan di keningnya. Kangen rasanya lama tidak bertemu karena selama terjadi pandemi covid-19 tidak diperbolehkan orangtua menjenguk dan para santri pun tidak diperbolehkan pulang.

“Assallamu’alaikum Ibu… Alhamdulillah aku sudah sampai rumah, aku kangen Ibu, kangen suasana rumah,” sapanya ketika dia baru datang.

“Wa’alaikumussallam Warahmatullah…ibu juga kangen sekali,” balasku kepadanya, lantas aku berkata, “ayo cuci tangan dulu dan ganti baju ya Kak….”

“Iya Bu…,” jawabnya singkat.

Aku kembali merapikan hidangan masakan yang telah di buat, menu favorit kakak, dan tentunya semua juga menyukainya. Senang sekali rasanya bisa berkumpul makan bersama dengan formasi lengkap.

“Ibu… aku sudah selesai mandi, sudah bersih lho… tidak ada virus dan bakteri yang menempel,” ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.

“Ya sudah kalau sudah bersih-bersih, tinggal makan Kak….”

“Ibu dari tadi aku kok belum lihat Dek Hanan?” dia menanyakan adiknya.

“Ya biasa Kak, jam segini ya adikmu lagi ngaji di TPQ,” jawabku.

“Oh iya….”

Alhamdulillah aku sudah dikaruniai dua orang putri, jarak kelahiran antara Ammara dan adiknya Hanan 8 tahun. Sekarang Hanan sudah kelas dua SD. Meskipun sama-sama anak perempuan keduanya memiliki ciri fisik yang tidak mirip dan tentu saja karakternya juga berbeda.

“Kak… katanya lapar, makan saja dulu.”

“Memangnya Ibu masak apa?”

“Biasa masakan kesukaan kamu, itu lihat aja di meja makan, sudah ibu siapkan.”

“Masyaallah… Ibu tahu aja menu favoritku,” ucapnya sambil ambil tempe goreng dan dicocolkan ke sambal cabai rawit hijau.

“Ya aku kan ibumu masa tidak tahu makanan kesukaanmu.”

Kakak itu suka sekali dengan rasa pedas, kalau sudah bertemu sambel rawit hijau pasti makannya tidak berhenti, padahal itu sambal menurutku sudah pedas bukan main, tapi bagi kakak enak-enak saja.

“Hemmm… masyaaAllah sedapnya…,” ucapnya sambil terus makan tempe dengan sambal yang pedas luar biasa itu.

Sambil memandanginya yang sedang sibuk makan, aku bergumam dalam hati, ternyata aku sudah punya putri sebesar ini, rasanya baru kemarin mengajaknya bermain, berlatih jalan, berlatih bicara.

“Ibu… Ibu… Ibu tahu ga? Aku itu kalau di ma’had suka kangen dengan masakan rumah, ya yang seperti ini yang Ibu masak, tumis kangkung sama sambal cabai rawit hijaunya ngangenin.”

“Hemmm… berarti cuma kangen dengan masakan ibu saja, kalau sama ibu tidak kangen ya?”

“Sama Ibu ya kangen juga… kadang kalau merasa capai suka kangen ingin dipeluk Ibu, tiduran di pangkuan Ibu,” jawab kakak sambil tidak berhenti mencocol sambal.

“Kak… ayo sama nasinya dimakan, nanti sambal sudah habis malah nasinya masih utuh.”

“Tenang… tenang…, Bu. Pasti aku makan nasinya sampai habis,” kata kakak sambil mengusap keringatnya dan bibirnya yang mulai memerah karena efek makan sambal.

Aku pergi meninggalkan Ammara yang masih sibuk dengan sambal kesukaannya. Aku menuju ke tempat jemuran baju kering merapikan pakaian kering yang sudah menumpuk karena tidak sempat melipatnya sejak kemarin.

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, senja telah datang dengan ditandai langit yang berwarna jingga, sebentar lagi sudah mau magrib. Aku bergegas menutup jendela dan korden rumah.

Terdengar pintu depan dibuka dan nada suara salam, “Assallamu’alaikum ibu, aku pulang.  Rupanya Hanan yang pulang ngaji.

“Wa’alaikumsallam warahmtullah…,” aku menjawab salamnya.

“Dek kok tumben ngajinya sampai sore hampir mau magrib baru pulang?” tanyaku, karena tidak  biasanya pulang ngaji TPQ sampai  menjelang magrib.

“Iya Bu, tadi itu ada setoran hafalan dan aku antrian terakhir, jadinya sampai sore.”

“Oh gitu, terus bagaimana hafalanmu lancar, Dek?” tanyaku penasaran.

“Alhamdulillah lancar Bu, aku besok lanjut ke surat berikutnya.”

“MasyaaAllah, Alhamdulillah… terus semangat ya Dek mudah-mudahan dimudahkan dalam menghafal surat berikutnya.” Sambil kupeluk sebagai bentuk pujian karena Hanan sudah menyelesaikan hafalannya.

“Aamiin…,” jawab Hanan sambil merekatkan pelukanku.

“Dek, Kakak sudah pulang lho…”

“Oh Kakak sudah sampai ya Bu?”

“Iya, itu sedang makan di belakang”

Hanan menaruh tas TPQ-nya dan bergegas ke ruang makan menemui kakanya.

“Kak…,” sapa Hanan kepada kakaknya, “Wah, aku tidak bisa salim ya Kak, itu tangan kakak kena sambal nanti pedas…”

“Hemmm… sini kamu makan sekalian, Dek!” ucap kakak.

“Iya aku cuci tangan dulu….”

Mereka berdua kalau sudah bertemu pasti ada saja hal yang jadi topik pembicaraan, sang kakak sibuk menceritakan kegiatannya di ma’had (sekolah), sang adik juga bercerita tentang pengalaman bermain dengan teman-temannya.

 

****

            Senja telah berganti malam, setelah lelah berkegiatan seharian tinggalah waktunya untuk istirahat. Aku mengecek pintu memastikan sudah terkunci dan mematikan lampu-lampu. Waktu menunjukkan pukul 21.05 WIB, suasana rumah sudah sepi, suami dan anak-anak sudah tertidur. Memang di keluarga kami terbiasa tidur di awal waktu, terkadang aku yang tidur hingga larut malam, jika ada lembur tugas yang harus diselesaikan. Aku sempatkan menengok kamar anak-anak, memandangi wajah mereka yang telah tertidur pulas, sambil membetulkan selimut yang menutupi badannya.

            Perasaan baru saja mau tidur lelap, tiba-tiba terdengar suara tangisan lirih dari kamar Ammara. Spontan aku turun dari tempat tidur dan berlari ke kamar Ammara, kulihat dia memegang dadanya karena sesak, nafasnya tersengal-sengal karena sesak serta badanya juga panas. “Astaghfirullah… Ammara asmanya kambuh.”  Memang sejak kecil usia tujuh tahun Ammara terkena asma. Sakit asmanya sering kambuh jika kelelahan, alergi udara dingin, debu, asap atau makan dan minum yang memicu asmanya kambuh.

            Aku mengambil beberapa bantal dan menumpuknya jadi satu, kuganjalkan di belakang punggung kakak. Aku membantu mengangatkan badannya dan merebahkannya dengan posisi setengah duduk.

“Kak, istighfar ya, sambil atur napas pelan-pelan.”

Segera aku bangunkan suami yang tidur di kamar sebelah.

“Ayah, tolong bangun, kakak dadanya sesak asmanya kambuh. Tolong ambilkan air putih hangat untuknya.”

Segera suami bangun dan mengambilkan air minum hangat.

Udara malam itu sangat dingin, mungkin ini yang jadi pemicu sakit asma kakak kambuh.

“Kak ini diminum air putih hangatnya, biar sesak napasnya agak reda,” kata ayahnya sambil membantu meminumkan airnya.

Sudah jam 03.00 dini hari, sesak napas kakak belum mereda juga, karena persediaan obat yang ada di rumah tidak cukup meredakan sesak di dada kakak, ini tandanya membutuhkan pertolongan untuk di lakukan uap (nebulizer). Segera mencari bantuan mobil saudara untuk membawa kakak ke rumah sakit. Jarak ke rumah sakit lumayan jauh, karena di klinik kecamatan terdekat tidak ada fasilitas untuk melakukan nebulizer. Mobil dipacu kencang, karena dini hari jalanan masih sepi dalam waktu setengah jam sudah sampai di Instalasi Gawat Darurat sebuah rumah sakit swasta. Alahmdulillah pelayanan sigap, kakak dapat tertangani dengan cepat. Kami berbagi tugas, suami melakukan pendaftaran dan aku menemani kakak di ruang IGD.

Alat uap segera dipasang, aku menemani kakak sambil mengusap-usap dadanya. Sekitar setengah jam penguapan selesai, sesak di dada kakak mulai mereda. Aku bertanya kepada dokter jaga di IGD tentang kondisi kakak.

“Bagaimana Dok, apakah anak saya perlu rawat inap atau bisa rawat jalan?”

“Ini hanya serangan asma biasa Bu, setelah diuap insyaaAllah sudah reda sesaknya, jadi tidak perlu rawat inap cukup istirahat di rumah.”

“Baik Dok, alhamdulillah kalau begitu.”

“Ini obatnya Bu untuk diminum di rumah, karena asma adalah penyakit yang bisa sewaktu-waktu kambuh, mohon hindari pemicu yang menyebabkan asmanya kambuh.”

“Baik dok, terimakasih atas sarannya dan sudah ditangani dengan baik.”

            Setelah proses administrasi selesai akhirnya bisa pulang ke rumah. Kakak melanjutkan istirahat di rumah. Ini bukan kali pertama kakak kambuh asmanya, jadi kakak harus hati-hati dengan hal-hal yang bisa memicu asmanya kambuh.

            Sudah dua hari kondisi kakak sudah membaik. Karena masa libur tinggal satu hari lagi, semoga ketika berangkat ke ma’had kondisinya kakak sudah benar-benar sehat.

****

Tiga hari sudah kakak di rumah bertanda selesai masa liburnya, karena jatah pulang ke rumah hanya dua hari saja. Kakak sudah mulai berkemas, merapikan barang-barangnya yang akan dibawa kembali ke ma’had dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal.

“Kak… mau bawa bekal makan apa untuk dibawa ke ma’had?” tanyaku.

“Seperti biasa Ibu… itu makanan favoritku, sambel cabai rawit hijau yang penuh kehangatan, tumis kangkung dan pletosan tempe lombok hijau yang penuh kasih sayang, tentu saja yang dimasak Ibu dengan penuh cinta,” jawabnya dengan muka memanja.

Masakan bekal ke ma’had sudah selesai dimasak, aku sengaja memasak banyak agar nanti sampai di ma’had bisa berbagi makan dengan teman-temannya.

Matahari sudah meninggi, hari semakin siang, terdengar suara azan Zuhur berkumandang dari masjid dekat rumah. Sebelum kakak berangkat kembali ke ma’had (sekolah) kita sempatkan salat Zuhur berjamaah.

Pukul 12.15 WIB selesai salat Zuhur, waktunya kakak kembali ma’had. Aku membantu mengeluarkan barang-barang yang akan dibawa. Kakak berangkat diantar ayahnya dengan motor (ya iya, karena belum punya mobil alhamdulillah kami punyanya motor). Jika saja ada mobil, kami bisa mengantar kakak ramai-ramai semua bisa ikut. Tapi motor saja sudah alhamdulillah kami merasa sangat bersyukur.

Waktunya kakak berangkat. Selalu saja ada perasaan sedih ketika kakak berpamitan mau berangkat ke ma’had. Namun, bagaimanapun kami tetap mengikhlaskan, ini demi kebaikan masa depan dunia akhirat anak-anakku.

“Ibu salim dulu, aku pamit ya Bu…,” kata kakak sambil mencium tanganku dan mencium pipiku.

“Iya Kak, Kakak hati-hati yang semangat belajar di ma’had ya…,” ucapku sambil kupeluk dan mengusap mukanya serta membalas ciumannya. Ada perasan terharu namun bahagia.

Kakak memakai helmnya dan membonceng ayahnya. Sambil membetulkan roknya agar tidak masuk ruji motor dan merapikan kerudungnya yang besar agar tidak menutupi lampu riting motor.

“Aku pamit berangkat ya Bu…, Ibu dan adik yang sehat-sehat di rumah.”

“Iya Kak… fii ammanillah ( hati-hati) ya kak hati-hati,” pesanku.

“Ya bu, uhibuki  (aku cinta) ibu, I love you, aku cinta ibu,” ucap kakak sambil menunjukkan jari lambang cinta.

Uhibuki (aku cinta) Kakak… jangan lupa semangat hafalan ya.”

“Iya insyaaAllah…”

Ayah sudah menyetater motornya dan siap berangkat. Aku menatap punggungnya dari belakang, rasanya sedih dan ingin menangis mengantarkan kepergian kakak kembali ke ma’had (sekolah). Tak terasa air mata bening menetes, sambil melangitkan doa-doa terbaik kepada sang Maha Menjaga semoga kakak selalu dalam lindunganNya.

Pasti nanti aku akan merindukannya, menghitung lagi hari-hari sambil menunggu jadwal kepulangan kakak berikutnya.

Selamat menempuh ilmu kakak, berbahagialah berkumpul di taman-taman syurga. Aku akan tetap merindukanmu…

 


Bunda Ruli adalah seorang ibu ruamah tangga biasa yang dikaruniai dua orang putri. Selain sebagai ibu rumah tangga juga memiliki kegiatan mengelola lembaga PAUD di KB Taruna Imani, ia juga mengemban amanah menjadi Kepala Bidang Litbang PD HIMPAUDI Purbalingga Periode 2019-2023. Menjadi pengurus HIMPAUDI harus berkualitas, tapi menjadi ibu rumah tangga adalah prioritas. Keduanya harus berjalan beriringan. Ia sangat bangga menjadi bagian dari HIMPAUDI, bisa berkarya dan hidupnya menjadi penuh arti. Baginya HIMPAUDI adalah tempat berjuang, sesuai dengan mottonya “karena hidup adalah untuk mengabdi, berbakti dan berbagi” 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar