Ruli
Purwaningsih
Tepat pukul 16.00 WIB Ammara sampai di rumah, seperti
biasa aku menyambutnya dengan pelukan hangat dan kecupan di keningnya.
Kangen rasanya lama tidak bertemu karena selama terjadi pandemi covid-19 tidak diperbolehkan
orangtua menjenguk dan para santri pun tidak diperbolehkan pulang.
“Assallamu’alaikum Ibu… Alhamdulillah aku sudah sampai
rumah, aku kangen Ibu, kangen suasana rumah,” sapanya ketika dia baru datang.
“Wa’alaikumussallam Warahmatullah…ibu juga kangen
sekali,” balasku kepadanya, lantas aku berkata, “ayo cuci tangan dulu dan ganti
baju ya Kak….”
“Iya Bu…,”
jawabnya singkat.
Aku kembali merapikan hidangan masakan yang telah di
buat, menu favorit kakak, dan tentunya semua juga menyukainya. Senang sekali
rasanya bisa berkumpul makan bersama dengan formasi lengkap.
“Ibu… aku sudah selesai mandi, sudah bersih lho… tidak
ada virus dan bakteri yang menempel,” ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.
“Ya sudah kalau sudah bersih-bersih, tinggal makan Kak….”
“Ibu dari tadi aku kok belum lihat Dek Hanan?” dia
menanyakan adiknya.
“Ya biasa Kak, jam segini ya adikmu lagi ngaji di TPQ,”
jawabku.
“Oh iya….”
Alhamdulillah aku sudah dikaruniai dua orang putri,
jarak kelahiran antara Ammara dan adiknya Hanan 8 tahun. Sekarang Hanan sudah
kelas dua SD. Meskipun sama-sama anak perempuan keduanya memiliki ciri fisik
yang tidak mirip dan tentu saja karakternya juga berbeda.
“Kak… katanya lapar, makan saja dulu.”
“Memangnya Ibu masak apa?”
“Biasa masakan kesukaan kamu, itu lihat aja di meja
makan, sudah ibu siapkan.”
“Masyaallah… Ibu tahu aja menu favoritku,” ucapnya sambil
ambil tempe goreng dan dicocolkan ke sambal cabai rawit hijau.
“Ya aku kan ibumu masa tidak tahu makanan kesukaanmu.”
Kakak itu suka sekali dengan rasa pedas, kalau sudah
bertemu sambel rawit hijau pasti makannya tidak berhenti, padahal itu sambal
menurutku sudah pedas bukan main, tapi bagi kakak enak-enak saja.
“Hemmm… masyaaAllah sedapnya…,” ucapnya sambil terus
makan tempe dengan sambal yang pedas luar biasa itu.
Sambil memandanginya yang sedang sibuk makan, aku
bergumam dalam hati, ternyata aku sudah punya putri sebesar ini, rasanya baru
kemarin mengajaknya bermain, berlatih jalan, berlatih bicara.
“Ibu… Ibu… Ibu tahu ga? Aku itu kalau di ma’had suka
kangen dengan masakan rumah, ya yang seperti ini yang Ibu masak, tumis kangkung
sama sambal cabai rawit hijaunya ngangenin.”
“Hemmm… berarti cuma kangen dengan masakan ibu saja,
kalau sama ibu tidak kangen ya?”
“Sama Ibu ya kangen juga… kadang kalau merasa capai
suka kangen ingin dipeluk Ibu, tiduran di pangkuan Ibu,” jawab kakak sambil
tidak berhenti mencocol sambal.
“Kak… ayo sama nasinya dimakan, nanti sambal sudah
habis malah nasinya masih utuh.”
“Tenang… tenang…, Bu. Pasti aku makan nasinya sampai
habis,” kata kakak sambil mengusap keringatnya dan bibirnya yang mulai memerah
karena efek makan sambal.
Aku pergi meninggalkan Ammara yang masih sibuk dengan
sambal kesukaannya. Aku menuju ke tempat jemuran baju kering merapikan pakaian
kering yang sudah menumpuk karena tidak sempat melipatnya sejak kemarin.
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, senja telah
datang dengan ditandai langit yang berwarna jingga, sebentar lagi sudah mau
magrib. Aku bergegas menutup jendela dan korden rumah.
Terdengar pintu depan dibuka dan nada suara salam,
“Assallamu’alaikum ibu, aku pulang.”
Rupanya Hanan yang pulang ngaji.
“Wa’alaikumsallam warahmtullah…,” aku menjawab
salamnya.
“Dek kok tumben ngajinya sampai sore hampir mau magrib
baru pulang?” tanyaku, karena tidak
biasanya pulang ngaji TPQ sampai
menjelang magrib.
“Iya Bu, tadi itu ada setoran hafalan dan aku antrian
terakhir, jadinya sampai sore.”
“Oh gitu, terus bagaimana hafalanmu lancar, Dek?” tanyaku
penasaran.
“Alhamdulillah lancar Bu, aku besok lanjut ke surat
berikutnya.”
“MasyaaAllah, Alhamdulillah… terus semangat ya Dek
mudah-mudahan dimudahkan dalam menghafal surat berikutnya.” Sambil kupeluk
sebagai bentuk pujian karena Hanan sudah menyelesaikan hafalannya.
“Aamiin…,” jawab Hanan sambil merekatkan pelukanku.
“Dek, Kakak sudah pulang lho…”
“Oh Kakak sudah sampai ya Bu?”
“Iya, itu sedang makan di belakang”
Hanan menaruh tas TPQ-nya dan bergegas ke ruang makan
menemui kakanya.
“Kak…,” sapa Hanan kepada kakaknya, “Wah, aku tidak
bisa salim ya Kak, itu tangan kakak kena sambal nanti pedas…”
“Hemmm… sini kamu makan sekalian, Dek!” ucap kakak.
“Iya aku cuci tangan dulu….”
Mereka berdua kalau sudah bertemu pasti ada saja hal
yang jadi topik pembicaraan, sang kakak sibuk menceritakan kegiatannya di
ma’had (sekolah), sang adik juga bercerita tentang pengalaman bermain dengan
teman-temannya.
****
Senja telah berganti malam, setelah
lelah berkegiatan seharian tinggalah waktunya untuk istirahat. Aku mengecek
pintu memastikan sudah terkunci dan mematikan lampu-lampu. Waktu menunjukkan
pukul 21.05 WIB, suasana rumah sudah sepi, suami dan anak-anak sudah tertidur. Memang
di keluarga kami terbiasa tidur di awal waktu, terkadang aku yang tidur hingga
larut malam, jika ada lembur tugas yang harus diselesaikan. Aku sempatkan
menengok kamar anak-anak, memandangi wajah mereka yang telah tertidur pulas,
sambil membetulkan selimut yang menutupi badannya.
Perasaan baru saja mau tidur lelap,
tiba-tiba terdengar suara tangisan lirih dari kamar Ammara. Spontan aku turun
dari tempat tidur dan berlari ke kamar Ammara, kulihat dia memegang dadanya
karena sesak, nafasnya tersengal-sengal karena sesak serta badanya juga panas.
“Astaghfirullah… Ammara asmanya kambuh.”
Memang sejak kecil usia tujuh tahun Ammara terkena asma. Sakit asmanya
sering kambuh jika kelelahan, alergi udara dingin, debu, asap atau makan dan
minum yang memicu asmanya kambuh.
Aku mengambil beberapa bantal dan
menumpuknya jadi satu, kuganjalkan di belakang punggung kakak. Aku membantu
mengangatkan badannya dan merebahkannya dengan posisi setengah duduk.
“Kak, istighfar ya, sambil atur napas pelan-pelan.”
Segera aku bangunkan suami yang tidur di kamar
sebelah.
“Ayah, tolong bangun, kakak dadanya sesak asmanya
kambuh. Tolong ambilkan air putih hangat untuknya.”
Segera suami bangun dan mengambilkan air minum hangat.
Udara malam itu sangat dingin, mungkin ini yang jadi
pemicu sakit asma kakak kambuh.
“Kak ini diminum air putih hangatnya, biar sesak napasnya
agak reda,” kata ayahnya sambil membantu meminumkan airnya.
Sudah jam 03.00 dini hari, sesak napas kakak belum
mereda juga, karena persediaan obat yang ada di rumah tidak cukup meredakan
sesak di dada kakak, ini tandanya membutuhkan pertolongan untuk di lakukan uap (nebulizer). Segera mencari bantuan
mobil saudara untuk membawa kakak ke rumah sakit. Jarak ke rumah sakit lumayan
jauh, karena di klinik kecamatan terdekat tidak ada fasilitas untuk melakukan nebulizer. Mobil dipacu kencang, karena
dini hari jalanan masih sepi dalam waktu setengah jam sudah sampai di Instalasi
Gawat Darurat sebuah rumah sakit swasta. Alahmdulillah pelayanan sigap, kakak
dapat tertangani dengan cepat. Kami berbagi tugas, suami melakukan pendaftaran
dan aku menemani kakak di ruang IGD.
Alat uap segera dipasang, aku menemani kakak sambil
mengusap-usap dadanya. Sekitar setengah jam penguapan selesai, sesak di dada
kakak mulai mereda. Aku bertanya kepada dokter jaga di IGD tentang kondisi
kakak.
“Bagaimana Dok, apakah anak saya perlu rawat inap atau
bisa rawat jalan?”
“Ini hanya serangan asma biasa Bu, setelah diuap
insyaaAllah sudah reda sesaknya, jadi tidak perlu rawat inap cukup istirahat di
rumah.”
“Baik Dok, alhamdulillah kalau begitu.”
“Ini obatnya Bu untuk diminum di rumah, karena asma
adalah penyakit yang bisa sewaktu-waktu kambuh, mohon hindari pemicu yang
menyebabkan asmanya kambuh.”
“Baik dok, terimakasih atas sarannya dan sudah
ditangani dengan baik.”
Setelah proses administrasi selesai
akhirnya bisa pulang ke rumah. Kakak melanjutkan istirahat di rumah. Ini bukan
kali pertama kakak kambuh asmanya, jadi kakak harus hati-hati dengan hal-hal
yang bisa memicu asmanya kambuh.
Sudah dua hari kondisi kakak sudah
membaik. Karena masa libur tinggal satu hari lagi, semoga ketika berangkat ke
ma’had kondisinya kakak sudah benar-benar sehat.
****
Tiga hari sudah kakak di rumah bertanda selesai masa
liburnya, karena jatah pulang ke rumah hanya dua hari saja. Kakak sudah mulai
berkemas, merapikan barang-barangnya yang akan dibawa kembali ke ma’had dan
memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
“Kak… mau bawa bekal makan apa untuk dibawa ke
ma’had?” tanyaku.
“Seperti biasa Ibu… itu makanan favoritku, sambel
cabai rawit hijau yang penuh kehangatan, tumis kangkung dan pletosan tempe
lombok hijau yang penuh kasih sayang, tentu saja yang dimasak Ibu
dengan penuh cinta,” jawabnya dengan muka memanja.
Masakan bekal ke ma’had sudah selesai dimasak, aku
sengaja memasak banyak agar nanti sampai di ma’had bisa berbagi makan dengan
teman-temannya.
Matahari sudah meninggi, hari semakin siang, terdengar
suara azan
Zuhur berkumandang
dari masjid dekat rumah. Sebelum kakak berangkat kembali ke ma’had (sekolah) kita
sempatkan salat Zuhur berjamaah.
Pukul 12.15 WIB selesai salat Zuhur, waktunya kakak
kembali ma’had. Aku membantu mengeluarkan barang-barang yang akan dibawa. Kakak
berangkat diantar ayahnya dengan motor (ya iya, karena belum punya mobil alhamdulillah
kami punyanya motor). Jika saja ada mobil, kami bisa mengantar kakak
ramai-ramai semua bisa ikut. Tapi motor saja sudah alhamdulillah kami merasa
sangat bersyukur.
Waktunya kakak berangkat. Selalu saja ada perasaan
sedih ketika kakak berpamitan mau berangkat ke ma’had. Namun, bagaimanapun kami
tetap mengikhlaskan, ini demi kebaikan masa depan dunia akhirat anak-anakku.
“Ibu salim dulu, aku pamit ya Bu…,” kata kakak sambil
mencium tanganku dan mencium pipiku.
“Iya Kak, Kakak hati-hati yang semangat belajar di
ma’had ya…,” ucapku sambil kupeluk dan mengusap mukanya serta membalas
ciumannya. Ada perasan terharu namun bahagia.
Kakak memakai helmnya dan membonceng ayahnya. Sambil
membetulkan roknya agar tidak masuk ruji motor dan merapikan kerudungnya yang
besar agar tidak menutupi lampu riting motor.
“Aku pamit berangkat ya Bu…, Ibu dan adik yang
sehat-sehat di rumah.”
“Iya Kak… fii
ammanillah (
hati-hati) ya kak hati-hati,” pesanku.
“Ya bu, uhibuki
(aku
cinta) ibu, I love you, aku cinta ibu,” ucap kakak sambil menunjukkan jari
lambang cinta.
“Uhibuki (aku
cinta) Kakak… jangan lupa semangat hafalan ya.”
“Iya insyaaAllah…”
Ayah sudah menyetater motornya dan siap berangkat. Aku
menatap punggungnya dari belakang, rasanya sedih dan ingin menangis
mengantarkan kepergian kakak kembali ke ma’had (sekolah). Tak terasa air mata bening menetes, sambil melangitkan doa-doa
terbaik kepada sang Maha Menjaga semoga kakak selalu dalam lindunganNya.
Pasti nanti aku akan merindukannya, menghitung lagi
hari-hari sambil menunggu jadwal kepulangan kakak berikutnya.
Selamat menempuh ilmu kakak, berbahagialah berkumpul
di taman-taman syurga. Aku akan tetap merindukanmu…
Bunda Ruli adalah seorang
ibu ruamah tangga biasa yang dikaruniai dua orang putri. Selain sebagai ibu
rumah tangga juga memiliki kegiatan mengelola lembaga PAUD di KB Taruna Imani,
ia juga mengemban amanah menjadi Kepala Bidang Litbang PD HIMPAUDI Purbalingga
Periode 2019-2023. Menjadi pengurus HIMPAUDI harus berkualitas, tapi menjadi ibu rumah tangga adalah prioritas. Keduanya harus berjalan
beriringan. Ia sangat bangga menjadi bagian dari HIMPAUDI, bisa berkarya dan
hidupnya menjadi penuh arti. Baginya
HIMPAUDI adalah tempat berjuang, sesuai dengan mottonya “karena
hidup adalah untuk mengabdi, berbakti dan berbagi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar