Juli Antinah
Ines bergegas
berjalan menuju sebuah bank ternama di kota P. Dia berencana akan mendaftar
kuliah di salah satu universitas negeri di kota S. Sudah sejak lama Ines ingin
melanjutkan kuliah setelah tamat dari SMA. Ines sudah menganggur selama dua tahun setelah tamat SMA. Rencana untuk tahun ke-3 ini Ines
akan mendaftar kuliah. Saat ia menuju ke
bank sebenarnya Ines dalam keadaan jengkel kepada emaknya. Ines merasa tersinggung dengan apa yang
dikatakan emaknya walaupun mungkin itu untuk kebaikan Ines sendiri.
“Sial hp mati
tadi lupa dices,” gumam Ines dalam hati setiba di bank. Setelah dua jam mengantre dan mengurus pendaftaran di bank akhirnya selesai juga.
Ines dengan santainya berjalan kembali pulang menuju rumahnya. Bank yang Ines tuju tidak terlalu jauh dari rumahnya sehingga
Ines berinisiatif untuk jalan saja. Ines mampir ke toko alat tulis terlebih
dahulu untuk membeli pulpen dan buku agenda. Setelah mendapatkan barangnya Ines
berjalan kembali untuk pulang. Saat sampai di mulut gang besar rumahnya, Ines
heran “Ko ada bendera putih, siapa yang meninggal?” pikirnya.
Ines kemudian berbelok
menuju gang rumahnya, orang-orang memandang Ines dengan iba dan kasihan. Dan
berkata “Dari mana saJa Nes, yang sabar ya.” Ines hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Hati Ines sebenarnya sudah tidak karu-karuan. “Ada
apa ini?” pikir Ines. Begitu sampai di depan pintu rumahnya, Ines disambut tangisan oleh kakak dan adiknya.
“Ya Allah Nes kamu
kemana saja?” tanya kakaknya. “Di telpon ngga aktif, dicari sama Nanda ke beberapa bank Kamunya tidak
ketemu. Bank mana sih?” Ines langsung dipeluk oleh kakak dan adiknya, adiknya
berkata “Mba Ines emak sudah meninggal”.
Seketika itu badan
Ines langsung lemas dan menangis sesenggukan. Kakaknya memeluk Ines dengan erat
agar Ines tegar dan berusaha menenangkan Ines. Setelah agak tenang Ines bertanya
“Dimana Emak?”.
“Di kamar,”
jawab Nanda.
Ines berjalan
menuju kamar emak dan mulai meneteskan air mata. Saat tiba di kamar
emaknya, Ines melihat emaknya sudah terbujur kaku di kasur. Emak masih
menggunakan pakaian yang sama saat Ines tinggal ke bank. Ines menangis
sesenggukan “Mak, Mak kenapa Mak?” sambil mengguncang-guncangkan badan emaknya. Akan
tetapi emaknya hanya terdiam tidak merespon sama sekali. Ines terus menangis
meratapi kepergian emaknya.
Kakak dan
adiknya menenangkan Ines, dan berkata “Sabar
Nes ikhlaskan.” Ines terus menangis sambil memeluk emaknya. Selama ini hanya Ines dan
emaknya yang tinggal satu rumah. Sementara kakak dan adiknya tinggal di desa
sebelah mengikuti suaminya.
Masih teringat
jelas dalam ingatan Ines saat dia pergi ke bank, emaknya dalam keadaan sehat. Emak
Ines memang dalam kondisi gejala struk, akan tetapi emak masih bisa beraktivitas seperti biasa walaupun menggunakan tangan kirinya.
“Mak… aku ke bank dulu!” teriak Ines dengan keras. Emaknya sedang duduk di kursi
belakang sementara Ines sudah berada di depan. Tanpa menunggu jawaban emaknya,
Ines berlalu begitu saja. Ines masih jengkel dengan emaknya. Pikir Ines:
yang penting sudah pamit dan emak
tahu kalau aku pergi.
Kepergian Ines
ke bank menyisakan kegalauan di hatinya. Di dapur saat Ines membantu emak membuat sarapan pagi
terjadi percakapan antara Ines dan emaknya.
“Nes, kamu sudah berapa tahun nganggur?”
“Dua tahun Mak,” kata Ines.
“Apa kamu tidak bosan di rumah terus?”
Ines menghela
nafasnya, “Bosan tapi dikit,” sambil menggerakan jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Sana kamu cari kerja atau daftar kuliah!” daripada di rumah
cuma makan tidur, main hp. Mendengar perintah emaknya Ines cemberut karena
dianggap di rumah hanya makan tidur dan main hp. Padahal Ines main hp terkadang
juga dalam rangka mencari lowongan kerja dan mencari info pendaftaran kuliah.
“Ini Ines juga
lagi usaha Mak, Mak saja yang tidak tahu.”
“Ko tidak
bilang-bilang sama Emak sapa tahu Emak bisa bantu,” jawab Emak.
“Ala bantu apa
Mak, Emak jalan saja sudah susah.” Emak hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Ines.
“Nes walaupun
Emak jalannya susah dan tidak bisa membantu kamu tapi Emak bisa bantu doa kan?”
“Doa?” jawab Ines. Selama ini memang Ines sering
bolong-bolong salatnya, padahal sudah berkali-kali emaknya selalu
mengingatkan untuk selalu sholat minimal 5 waktu. Akan tetapi Ines sering
melewatinya.
“Nes, yang rajin
ya sholatnya, InsyaAllah akan terkabul doa Mu.” Ines hanya diam saja.
“Tapi tidak hanya
doa saja lo Nes, juga usaha,” lanjut emak.
“Nes, kalau gitu
kamu
punya rencana apa untuk tahun ini?” emak memecah kesunyian.
“Ngga tahu,” jawab Ines sambil melengos. Ines sebenarnya sudah punya rencana
hari ini mau registrasi mendaftar di salah satu universitas di kota S tapi
tidak bilang sama emaknya.
“Sudah ya Mak,
Aku mau mandi lagian sudah hampir selesai.” Emak hanya mengangguk.
Selesai mandi
Ines menuju ruang makan. Bersama dengan emaknya, Ines makan dalam
diam. Setelah membereskan meja makan dan mencuci piring, Ines masuk kamar
kembali dan bersiap-siap untuk pergi. Sedangkan emaknya pergi ke belakang untuk
bersantai.
Ines menghela napas dalam-dalam, menyesali sikapnya kepada emaknya tadi
pagi. Ines berusaha tegar mengikhlaskan kepergian emaknya. Setelah prosesi
pensucian dilanjutkan upacara pemakaman. Satu persatu para peziarah
meninggalkan tempat pemakaman. Tersisa keluarga dekat yang masih dalam
pemakaman. Ines berjanji di depan makam emaknya untuk selalu berusaha, tidak
malas dan mulai taat beribadah.
“Mak, maafkan
Ines ya,” ucap Ines sambil menaburkan bunga di peristirahatan terakhir
emaknya.
Juli Antinah,
S.Sos., S.Pd.,
lahir di Purbalingga pada 31 Juli 1974. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN
Purbalingga Wetan 3 dan melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Purbalingga dan SMA
Agustinus Purbalingga. Kemudian menempuh studi jurusan Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Airlangga Surabaya, mengikuti
pendidikan penyetaraan S1 PAUD Fakultas Ilmu Pendidkan dan Keguruan di
Universitas Terbuka Purwokerto. Pengalaman organisasi pernah sebagai sekretaris
di HIMPAUDI Kabupaten Purbalingga selama 2 periode dan sekarang menjabat
bendahara dalam organisasi yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar