Pelukis dan Parfum ke-21
Agus Yuwantoro
Jam tujuh pagi minggu pertama bulan Mei.
Dinding plataran langit di atas kampung
Kusuma Baru sangat cerah. Langit berwarna membiru berhias gumpalan mega putih
berarak putih bersih di garis langit biru. Setelah merasa puas melihat desa
Wadas Dungkal. Bisa ketemu bapak Ludiman adiknya guru sd-ku tanya ini
itu. Dua bulan kemudian aku pulang kampung ada pesta demokrasi Pilkades.
Aku menghitung hampir dua minggu di rumah biung. Besok
pagi Pilkades. Sekarang hari tenang. Semua panita Pilkades turun ke jalan
membersihkan poster calon kades. Paling banyak gambarnya calon kades bapak Sarkum.
Hampir seratus persen menempel di tugu masuk setiap kampung, warung juga
dinding rumah pendukungnya. Desaku terdiri dari lima kampung. Sigandul. Sipete. Munggangsari.
Cikal dan kampungku Kusuma Baru.
Menurut berita slentingan warga. Besok
yang menang jelas bapak Sarkum sebab banyak pendukungnya. Sedangkan bapak
Wagino bapaknya Supraptiwi pendukungnya cuma dua puluh lima persen. Rata-rata
bekerja sebagai buruh. Buruh ngarit pencari rumput. Pencari kayu bakar di hutan
rakyat. Pencari daun jati dan daun pisang. Juga ada sebagian pemuda dari
kampungku. Termasuk aku. Bahkan biungku sama sekali tidak mendukung. Alasannya
balas budi kepada bapak Sarkum. Orang pertama kali mau menerima kedatangan
biungku dan tiga warga lainnya.
Tapi aku tidak begitu fokus dengan Pilkades.
Justru aku merasa penasaran dengan warga asli kampungku yang berasal dari
daerah desa Wadas Dungkal termasuk biungku. Hanya tinggal satu bernama mbah
Sumo. Usianya hampir tujuh puluh tahun. Setiap hari bekerja sebagai tukang
mancing belut dan pencari katak hijau di persawahan pada malam hari dengan
lampu minyaknya. Istrinya sudah meninggal dunia bersama ayah dan ibu angkat
biungku. Meninggal dunia kena wabah penyakit muntah berak massal sebab pola
hidup tidak sehat.
Kebiasaan warga berak, mandi, mencuci beras,
sayur pada sungai yang sama. Akhirnya menjadi sumber penyakit muntah berak
massal. Hampir lima puluh lima warga meninggal dunia tertular penyakit
muntah berak. Sekarang untuk mencegah penyakit muntah berak setiap warga wajib membuat
kakus. Setiap bibir sungai dipasang tulisan jangan berak dan buang sampah.
Aku ingin ketemu dengan mbah Sumo. Tukang
mancing belut dan pencari katak hijau di sawah. Tidak bernapsu tentang Pilkades.
Sudah aku catat nama-nama orang pertama kali datang di kampungku. Tersisa hanya
dua biungku dan mbah Sumo. Mudah-mudahhan bisa terjawab. Siapa aku. Siapa
sebenarnya nama biungku. Aku merasa penasaran sekali setelah bapak Suherman
menyuruh melukis foto istri tercintanya. Nanti sehabis salat berjamaah Ashar di
Musholla aku akan ke rumah mbah Sumo. Kalau sehabis Isya mbah Sumo sudah turun
ke sawah
mencari katak hijau.
Jam setengah tiga minggu kedua bulan Mei.
Aku sudah sampai depan rumah mbah Sumo. Rumahnya
terbuat dari papan kayu Albasia. Berukuran lima kali enam. Lantainya sudah
disemen dengan pewarna biru laut. Dinding rumah berwarna kuning gading. Setiap
pojok pekarangan rumah ditanami pohon pisang ambon wulan. Bahkan dua pohon
pisang sedang keluar bunga jantungnya. Di pojok rumah sebelah kanan ada kakus ukuran
dua kali dua tempat buang hajat.
Aku melihat mbah Sumo duduk di bawah pohon
blimbing wulung. Mengupas blarak: daun kelapa kering dengan sabit. Diambil
lidinya untuk membuat sapu lidi. Setelah terkumpul dua puluh sapu lidi dijual
ke pasar.
Pulangnya membawa beras dan ikan asin. Rumahnya dekat dengan anak putri
satu-satu bernama Sumilah. Suami Sumilah bekerja menjadi penarik becak di pengkolan. Hidup
penuh syukur. Selalu mensyukuri memberian Tuhan. Sumilah dan suaminya hidup
rukun bahagia. Walaupun setiap hari makannya sego jangan dan sambal. Yang
penting berkah barokah.
Mbah Sumo tidak mau hidupnya menjadi
ketergantungan anak putrinya. Berdikari. Mandiri. Mencari makan dengan caranya
sendiri. Setiap hari rajin membuat sapu lidi. Mancing belut dan memburu katak
hijau di sawah. Apa lagi sekarang pesanan belut dan katak hijau sangat banyak.
Tuhan sudah membagi rezekinya kepada setiap manusia hidup. Termasuk di dalamnya mbak
Sumo.
Aku mendekati mbah Sumo sedang asyik
mengupas blarak, daun kelapa kering.
“Kulo nuwun, kulo nuwunn Mbah, Mbah.“
Mbah Sumo masih diam sambil mengupas daun
kelapa kering
“Mbah, Mbah.“
“Wee ladalah cah bagus si Dimas Prihatin ya.“
“Iya ya Mbah.“
“Sini sini masuk Mas.“
Aku dituntun persis anak kecil. Penuh
perasaan kasih sayang. Masuk kamar tamu. Aku melihat di pojok meja kecil ada televisi
Nasional hitam putih lima belas in. Sampingnya radio dua ban nempel di saka tengah.
Di atas
meja tamu sudah tersedia tremos air panas, kopi, teh, gula pasir dan empat
gelas.
“Mau minum kopi atau teh ya Mas.“
“Membuat sendiri saja lah Mbah.“
“Monggo-monggo milih sendiri ya Mas.“
Ketika mbah Sumo masuk kamar tengah. Aku
membuat minuman teh tawar. Sebentar kemudian keluar sudah berganti pakaian duduk di ruang tamu.
“Pulang
kapan Mas?“
“Sudah
satu minggu Mbah?”
“Biungmu
sehat sehat aja to Mas?“
“Berkat
doa mbah biung sehat.“
“Syukur-syukur
ikut bombong bungah biungmu sehat Mas.“
“Iya
Mbah,
Mbah
dua bulan lalu aku ke rumahnya bapak Ludiman adiknya bapak guruku esde.“
“Ke
Wadas Dungkal, Mas?“
“Ya
Wadas Dungkal Mbah.“
“Waduh,
Jauh banget Mas butuh satu hari dari sini,” jawab mbah Sumo sambil menatapku tajam sekali.
Mbah Sumo menatapku lagi.
Lama sekali sambil manggut-manggut kepalanya. Tapi aku melihat dari pojok kedua bola matanya
ada air mau meleleh keluar di balik kedua bola matanya. Mungkin teringat
kenangan tiga puluh tahun lalu. Rumah tanah dari leluhurnya tidak mendapat
ganti rugi. Atau hilang tenggelam bersama jebolnya air bendungan. Termasuk juga
tanah rumah biungku.
Mbah Sumo menarik napas panjang. Jakunnya
naik turun. Kemudian mengubah posisi duduk tepat di sebelahku. Bahkan memelukku rapat sekali sambil
membelai rambutku. Aku merasa sejuk damai sebab selama ini belum pernah
dipeluk. Tapi pelukannnya mbah Sumo tidak ada getaran dalam jantung dan aliran
darahku. Tidak seperti pelukannya bapak Suherman darahku mendidih denyut
jantungku berdetak cepat. Sambil mengusap rambutku mbah Sumo mulai
berucap.
“Mas Mas, kamu itu dari darah
priyayi agung, pinter, cerdas berpendidikan.“
“Maksudnya Mbah?“
“Biungmu itu suaminya priyayi, sopan,
pakaiannya bagus badannya wangi.“
“Siapa Mbah?“
“Orang proyek.“
“Namanya siapa Mbah?“
“Waduhh lupa ja Mas.“
“Bapak Suherman ya Mbah?“
“Lupa Mas, orangnya bagus tapi
ya itu perilakunya tidak bagus. Biungmu sedang hamil kamu. Eee malah minggat.
Sampai sekarang tidak kembali. Rupanya bagus. Pakaiannya bagus. Priyayi. Laa
kok malah minggat ninggalkan biungmu, Mas.”
Aku
diam ada sedikit cahaya terang jalan menuju kehidupanku. Tapi aku masih ragu. Sungguh
disayangkan sekali. Aku tidak punya fotonya bapak Suherman. Seandainya saja aku
punya bisa kutanyakan pada mbah Sumo dan bapak Ludiman. Aku tidak punya bukti
kuat. Akan aku coba bertanya. Apakah benar biung dan mbah Sumo dan warga
lainnya menyusul saudara ke daerah Transmigrasi Luar Jawa.
“Sabar, sabar ya Mas. Kamu sudah besar. Bagus
lagi. Mbah dengar putrinya kang Wagino pulang sudah dua minggu. Apa belum
nengok ke sana po Mas. Itu kan temen masa kecilmu. Bermain gobak sodor. Jilumpet. Main
karet gelang. Sampai layangan di pinggiran sawah. Masih ingat to Mas?”
“Ingat Mbah.“
“Belum nengok ke rumahnya?“
“Belum Mbah,“ jawabku lirih.
Sebetulnya aku sangat kangen, rindu
berat sekali dengan Supraptiwi. Hampir lima tahun belum pernah ketemu. Tapi gak
enak sebab sedang hari tenang Pilkades. Juga desakan rasa penasaranku selama
ini. Setelah melukis istri bapak Suherman. Batinku meledak-ledak ingin
memecahkan tabir gelap hidupku. Maka aku bunuh rasa rinduku yang menggebu pada
Supraptiwi. Mumpung ada waktu dan saksi hidup. Mbah Sumo tahu persis dari mana
asal biungku. Makanya tadi aku tidak pamitan biung kalau mau ke rumah mbah
Sumo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar