Minggu, 24 April 2022

Pilkades di Kampungku



Pelukis dan Parfum ke-21

Agus Yuwantoro

 

      Jam tujuh pagi minggu pertama bulan Mei.

      Dinding plataran langit di atas kampung Kusuma Baru sangat cerah. Langit berwarna membiru berhias gumpalan mega putih berarak putih bersih di garis langit biru. Setelah merasa puas melihat desa Wadas Dungkal. Bisa ketemu bapak Ludiman adiknya guru sd-ku tanya ini itu. Dua bulan kemudian aku pulang kampung ada pesta demokrasi Pilkades.

       Aku menghitung hampir dua minggu di rumah biung. Besok pagi Pilkades. Sekarang hari tenang. Semua panita Pilkades turun ke jalan membersihkan poster calon kades. Paling banyak gambarnya calon kades bapak Sarkum. Hampir seratus persen menempel di tugu masuk setiap kampung, warung juga dinding rumah pendukungnya. Desaku terdiri dari lima kampung. Sigandul. Sipete. Munggangsari. Cikal dan kampungku Kusuma Baru.

       Menurut berita slentingan warga. Besok yang menang jelas bapak Sarkum sebab banyak pendukungnya. Sedangkan bapak Wagino bapaknya Supraptiwi pendukungnya cuma dua puluh lima persen. Rata-rata bekerja sebagai buruh. Buruh ngarit pencari rumput. Pencari kayu bakar di hutan rakyat. Pencari daun jati dan daun pisang. Juga ada sebagian pemuda dari kampungku. Termasuk aku. Bahkan biungku sama sekali tidak mendukung. Alasannya balas budi kepada bapak Sarkum. Orang pertama kali mau menerima kedatangan biungku dan tiga warga lainnya.

    Tapi aku tidak begitu fokus dengan Pilkades. Justru aku merasa penasaran dengan warga asli kampungku yang berasal dari daerah desa Wadas Dungkal termasuk biungku. Hanya tinggal satu bernama mbah Sumo. Usianya hampir tujuh puluh tahun. Setiap hari bekerja sebagai tukang mancing belut dan pencari katak hijau di persawahan pada malam hari dengan lampu minyaknya. Istrinya sudah meninggal dunia bersama ayah dan ibu angkat biungku. Meninggal dunia kena wabah penyakit muntah berak massal sebab pola hidup tidak sehat.

    Kebiasaan warga berak, mandi, mencuci beras, sayur pada sungai yang sama. Akhirnya menjadi sumber penyakit muntah berak massal. Hampir lima puluh lima warga meninggal dunia tertular penyakit muntah berak. Sekarang untuk mencegah penyakit muntah berak setiap warga wajib membuat kakus. Setiap bibir sungai dipasang tulisan jangan berak dan buang sampah.

      Aku ingin ketemu dengan mbah Sumo. Tukang mancing belut dan pencari katak hijau di sawah. Tidak bernapsu tentang Pilkades. Sudah aku catat nama-nama orang pertama kali datang di kampungku. Tersisa hanya dua biungku dan mbah Sumo. Mudah-mudahhan bisa terjawab. Siapa aku. Siapa sebenarnya nama biungku. Aku merasa penasaran sekali setelah bapak Suherman menyuruh melukis foto istri tercintanya. Nanti sehabis salat berjamaah Ashar di Musholla aku akan ke rumah mbah Sumo. Kalau sehabis Isya mbah Sumo sudah turun ke sawah mencari katak hijau.

    Jam setengah tiga minggu kedua bulan Mei.

   Aku sudah sampai depan rumah mbah Sumo. Rumahnya terbuat dari papan kayu Albasia. Berukuran lima kali enam. Lantainya sudah disemen dengan pewarna biru laut. Dinding rumah berwarna kuning gading. Setiap pojok pekarangan rumah ditanami pohon pisang ambon wulan. Bahkan dua pohon pisang sedang keluar bunga jantungnya. Di pojok rumah sebelah kanan ada kakus ukuran dua kali dua tempat buang hajat.

   Aku melihat mbah Sumo duduk di bawah pohon blimbing wulung. Mengupas blarak: daun kelapa kering dengan sabit. Diambil lidinya untuk membuat sapu lidi. Setelah terkumpul dua puluh sapu lidi dijual ke pasar. Pulangnya membawa beras dan ikan asin. Rumahnya dekat dengan anak putri satu-satu bernama Sumilah. Suami Sumilah bekerja menjadi penarik becak di pengkolan. Hidup penuh syukur. Selalu mensyukuri memberian Tuhan. Sumilah dan suaminya hidup rukun bahagia. Walaupun setiap hari makannya sego jangan dan sambal. Yang penting berkah barokah.

    Mbah Sumo tidak mau hidupnya menjadi ketergantungan anak putrinya. Berdikari. Mandiri. Mencari makan dengan caranya sendiri. Setiap hari rajin membuat sapu lidi. Mancing belut dan memburu katak hijau di sawah. Apa lagi sekarang pesanan belut dan katak hijau sangat banyak. Tuhan sudah membagi rezekinya kepada setiap manusia hidup. Termasuk di dalamnya mbak Sumo.

    Aku mendekati mbah Sumo sedang asyik mengupas blarak, daun kelapa kering.

    “Kulo nuwun, kulo nuwunn Mbah, Mbah.

     Mbah Sumo masih diam sambil mengupas daun kelapa kering

    “Mbah, Mbah.

    “Wee ladalah cah bagus si Dimas Prihatin ya.

   “Iya ya Mbah.

   “Sini sini masuk Mas.

    Aku dituntun persis anak kecil. Penuh perasaan kasih sayang. Masuk kamar tamu. Aku melihat di pojok meja kecil ada televisi Nasional hitam putih lima belas in. Sampingnya radio dua ban nempel di saka tengah. Di atas meja tamu sudah tersedia tremos air panas, kopi, teh, gula pasir dan empat gelas.

     “Mau minum kopi atau teh ya Mas.

     “Membuat sendiri saja lah Mbah.

     “Monggo-monggo milih sendiri ya Mas.

        Ketika mbah Sumo masuk kamar tengah. Aku membuat minuman teh tawar. Sebentar kemudian keluar sudah berganti pakaian duduk di ruang tamu.

       “Pulang kapan Mas?

       “Sudah satu minggu Mbah?

       “Biungmu sehat sehat aja to Mas?

      “Berkat doa mbah biung sehat.

      “Syukur-syukur ikut bombong bungah biungmu sehat Mas.

      “Iya Mbah, Mbah dua bulan lalu aku ke rumahnya bapak Ludiman adiknya bapak guruku esde.

      “Ke Wadas Dungkal, Mas?

     “Ya Wadas Dungkal Mbah.

     “Waduh, Jauh banget Mas butuh satu hari dari sini,jawab mbah Sumo sambil menatapku tajam sekali.

       Mbah Sumo menatapku lagi. Lama sekali sambil manggut-manggut kepalanya. Tapi aku melihat dari pojok kedua bola matanya ada air mau meleleh keluar di balik kedua bola matanya. Mungkin teringat kenangan tiga puluh tahun lalu. Rumah tanah dari leluhurnya tidak mendapat ganti rugi. Atau hilang tenggelam bersama jebolnya air bendungan. Termasuk juga tanah rumah biungku.

       Mbah Sumo menarik napas panjang. Jakunnya naik turun. Kemudian mengubah posisi duduk tepat di sebelahku. Bahkan memelukku rapat sekali sambil membelai rambutku. Aku merasa sejuk damai sebab selama ini belum pernah dipeluk. Tapi pelukannnya mbah Sumo tidak ada getaran dalam jantung dan aliran darahku. Tidak seperti pelukannya bapak Suherman darahku mendidih denyut jantungku berdetak cepat. Sambil mengusap rambutku mbah Sumo mulai berucap.

       “Mas Mas, kamu itu dari darah priyayi agung, pinter, cerdas berpendidikan.

       “Maksudnya Mbah?

      “Biungmu itu suaminya priyayi, sopan, pakaiannya bagus badannya wangi.

     “Siapa Mbah?

     “Orang proyek.

     “Namanya siapa Mbah?

    “Waduhh lupa ja Mas.

    “Bapak Suherman ya Mbah?

     “Lupa Mas, orangnya bagus tapi ya itu perilakunya tidak bagus. Biungmu sedang hamil kamu. Eee malah minggat. Sampai sekarang tidak kembali. Rupanya bagus. Pakaiannya bagus. Priyayi. Laa kok malah minggat ninggalkan biungmu, Mas.

      Aku diam ada sedikit cahaya terang jalan menuju kehidupanku. Tapi aku masih ragu. Sungguh disayangkan sekali. Aku tidak punya fotonya bapak Suherman. Seandainya saja aku punya bisa kutanyakan pada mbah Sumo dan bapak Ludiman. Aku tidak punya bukti kuat. Akan aku coba bertanya. Apakah benar biung dan mbah Sumo dan warga lainnya menyusul saudara ke daerah Transmigrasi Luar Jawa.

    “Sabar, sabar ya Mas. Kamu sudah besar. Bagus lagi. Mbah dengar putrinya kang Wagino pulang sudah dua minggu. Apa belum nengok ke sana po Mas. Itu kan temen masa kecilmu. Bermain gobak sodor. Jilumpet. Main karet gelang. Sampai layangan di pinggiran sawah. Masih ingat to Mas?”

    “Ingat Mbah.

    “Belum nengok ke rumahnya?

    “Belum Mbah,jawabku lirih.

         Sebetulnya aku sangat kangen, rindu berat sekali dengan Supraptiwi. Hampir lima tahun belum pernah ketemu. Tapi gak enak sebab sedang hari tenang Pilkades. Juga desakan rasa penasaranku selama ini. Setelah melukis istri bapak Suherman. Batinku meledak-ledak ingin memecahkan tabir gelap hidupku. Maka aku bunuh rasa rinduku yang menggebu pada Supraptiwi. Mumpung ada waktu dan saksi hidup. Mbah Sumo tahu persis dari mana asal biungku. Makanya tadi aku tidak pamitan biung kalau mau ke rumah mbah Sumo.

 



    AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar