Selasa, 19 April 2022

Perjalanan ke Desa Wadas Dungkal

 

pixabay.com

Pelukis dan Parfum ke-20

Agus Yuwantoro

 

      Ternyata upah melukis istri tercinta bapak Suherman luar biasa. Padahal selama ini setiap kali pesan melukis aku tidak pernah pasang tarif. Setelah melukis istri tercinta bapak Suherman, perasaanku menggebu ingin melacak lebih tahu keberadaan bendungan raksasa di wilayah desa Wadas Dungkal. Ada perasaan aneh juga penasaran.  Aku merasa beruntung sekali waktu itu bisa bertemu dengan bapak guru sd-ku. Bahkan bapak Dikin memberikan nomer telepon adiknya bernama bapak Ludiman yang berada wilayah perbatasan Wadas Dungkal.

      Katanya bapak Dikin hanya ada satu saksi masih hidup sewaktu pembelian ganti rugi tanah. Sebelum proses bangunan bendungan raksasa dibangun. Diwarnai pro dan kontra masyarakat asli dengan pihak sponsor proyek. Nyaris bentrok massal. Ada dua desa ngotot tidak setuju dengan proyek itu. Bahkan ada sebagian warga cuma mendapatkan ganti rugi lima puluh persen. Begitu juga ada yang nyaris tidak mendapatkan ganti rugi.

     Demo menolak proyek bendungan. Akhirnya pihak sponsor proyek merapat ke Muspika. Bapak Camat, Kapolsek dan Danramil. Mengadakan mediasi dengan masyarakat pentingnya proyek bendungan itu. Warga tetap menolak tidak mau meninggalkan tanah leluhurnya. Datang dua truk pasukan Pamong Praja Kabupaten mengamankan para pendemo. Tidak mempan. Malah dari hari ke hari pendemo berdatangan tetep menolak proyek itu.

    Akhirnya datang lagi empat truk dari anggota Kodim dan dua regu brimob dengan senjata lengkap. Massa merasa ketakutan. Dari pada ribut juga tidak mendapatkan ganti rugi. Maka sepakat menerima ganti rugi tanah. Walaupun tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.

     Peristiwa mediasi: rembugan, musyawarah dari pihak sponsor proyek bendungan raksaksa itu penuh diwarnai dengan kong kalikong. Aliasnya bagi-bagi duit atas nama pembangunan. Hanya panitia khusus yang mendapatkan keuntungan besar. Di balik proses pembayaran ganti rugi tanah untuk pembangunan proyek. Warga yang punya bukti kepemilikan tanah hanya mendapatkan enam puluh persn. Sisanya untuk tim khusus yang ngurus ini dan itu. Termasuk di antaranya adalah rumah tanah milik biungku. Sama sekali tidak mendapatkan ganti rugi sedikitpun. Juga lima tanah rumah tetanggaku senasib dengan biungku. Sebab tidak mampu membuktikan kekuatan kepemilkian tanah yang sah. Dahulu sewaktu membeli tanah tidak ada surat resmi tanda bukti membeli dari pihak penjual tanah. Itu menurut sebagian kecil cerita dari bapak Dikin guru sd-ku.

    Kurang satu hari lagi aku akan meluncur ke Desa Wadas Dungkal tempat bangunan bendungan raksasa. Rencana awal mau berangkat bersama teman karibku juga sudah seperti saudaraku Kang Sarmo. Mumpung belum musim banyaknya ikan di pantai. Tapi aku pikir-pikir ini masalah pribadiku. Maka aku tidak jadi mengajak Kang Sarmo. Sudah aku pesan mobil carteran bersama sopirnya. Membutuhkan waktu satu hari satu malam sampai lokasi bendungan raksasa.

   Sepatu, sendal, sarung, baju, celana panjang juga bekal sudah aku siapkan dalam tas besar. Begitu juga uang kes. Aku siapkan dalam tas cangklong. Untuk keperluan beli bensin, makan, bayar tol juga uang receh untuk bayar kencing dan berak di kamar kecil samping pom bensin. Aku harus bisa ketemu dengan adik kandung bapak Dikin. Sebab bisa membuka tabir kehidupanku yang sebenar-benarnya.

   Sudah aku telepon adik bapak Dikin. Dia bersedia. Malah dengan senang hati membuka pintu selebarnya kedatanganku. Dalam teleponnya malah menawarkan menginap di rumahnya. Selama tinggal di desa Wadas Dungkal. Sebetulnya keinginanku untuk mencari informasi bendungan raksasa sudah lama sekali. Berawal dari sowan guru sd-ku. Bahwa warga kampung baru bernama Kusuma Baru rata-rata berasal dari desa Wadas Dungkal. Nyaris rumah tanah pekarangannya tidak mendapat ganti rugi. Sebab tidak ada bukti kuat atas pemilikan tanah. Akhirnya pergi menjauh merantau di pinggiran kaki gunung pegunungan. Pertama kali datang sebagian besar sebagi buruh mencangkul, kuli panggul pasar, termasuk biungku menjadi penjual makanan keliling kampung sambil menggendong aku sewaktu masih berumur delapan bulan. Kata bapak Dikin guru sd-ku.

       Sehabis salat Isya jam setengah delapan malam mobil carteran sudah siap parkir depan rumah kontrakanku. Sopirnya memasukkan semua bekal selama perjalananku. Sebelum berangkat sopirnya aku suruh makan malam. Sudah aku siapkan sarimi rasa soto ayam bawang dengan campuran telur bebek kampung. Sudah aku sediakan di atas meja makan. Setelah makan malam bersama denganku. Tepat jam delapan malam mobil carteran keluar gang jalan rumah kontrakanku. Berjalan menembus angin malam bersama cahaya rembulan yang memantul di setiap jalan aspal hitam.

     Mobil carteran berjalan dengan cepat, sopirnya super lincah juga profesional. Mobil carteran berjalan cepat tenang. Sehingga aku tertidur pulas di bawah cahaya bintang gumintang. Jam empat pagi aku bangun. Dari balik kaca mobil sayup-sayup terdengar suara sholawatan dari atas corong toa berwarna biru telur bebek. Suara serak- serak basah menembus daun telingaku. Mobil carteran berhenti di pom bensin, aku melihat papan besi berwarna hijau bertulis Kebumen.

     Menurut bapak Ludiman dari Kebumen ke desa Wadas Dungkal butuh waktu dua jam. Aku turun dari mobil carteran mencari kamar kecil. Buang air kecil. Basuh muka. Sikatan gigi lalu mandi. Setelah itu melaksanakan ibadah salat Subuh di Musala samping pom bensin daerah Kebumen. Sehabis salat Subuh memanjatkan doa-doa terbaik biar selalu diberikan kemudahan oleh Tuhan. Aku melihat sopir berjalan masuk mobil carteran. Izin istirahat tidur di depan jok depan. Sebab semalam nyaris tidak tidur.

      Sambil menunggu sopir istirahat aku pesen teh panas di warung makan samping Musala. Minum teh manis panas dengan pisang goreng terasa nikmat. Badanku menjadi hangat kedua bola mataku terasa mak pyar. Terang benderang. Sambil menunggu sopir bangun aku membaca buku Roman berjudul Gadis Pantai karangan Pramudya Ananta Tur penulis hebat dari Blora. Menceritakan kisah gadis pantai yang dikirim orang tuanya ke rumah den bagusse ngarso penguasa tanah juga juragan ikan untuk dijadikan selirnya. Persis wedus jawa. Gragas penuh napsu setiap melihat betina. Tanpa basa basi langsung bercinta. Roman dengan judul Gadis Pantai nyaris bercerita predator seksual pada zamannya.

      Jam setengah delapan pagi sopir turun dari mobil carteran bawa handuk sabun mandi dan tas kecil. Masuk kamar mandi untuk mandi pagi. Sebentar kemudian keluar sudah ganti kaos bergambar candi Mendut berwarna merah hati dengan stelan celana panjang  begi berwarna hitam. Kemudian duduk mendekatiku. Sudah aku pesankan kopi susu panas juga dua piring nasi rames paling istimewa untuk sarapan pagi bersama denganku.

      Setelah sarapan aku mengeluarkan dompet untuk membayar ongkos perjalanan mobil carteran. Sudah aku hitung perjalanannya butuh waktu dua hari ditambah rencana menginap satu hari di rumah bapak Ludiman. Jadi tiga hari. Tapi aku menghitung empat hari. Itung- itung yang satu hari untuk tips supirnya.

      Ketika aku mau membayar dengan uang kes. Sopirnya malah menolak dengan perkataan yang halus.

      “Mohon maaf semua sudah dibayar bapak Suherman ples tambahan bonus nyopirnya,jawab sopirnya.

     “Kapan bayarnya Mas?

     “Satu hari sebelum berangkat, bahkan semua biro perjalanan ke mana saja sudah dipesan bapak Suherman. Ketikan mengantar Mas mau kemana saja suruh kirimi no rekeningnya ke bapak Suherman. Gitu Mas.

     “Ini sekadar untuk beli rokok ya Mas.

    “Tidak usah Mas sudah dibelikan bapak Suherman dua boks untuk bekal perjalanan pp.

      Aku terdiam sambil minum teh panas. Anganku masih segar melihat bapak Suherman ketika berbisik pelan ke telingaku. Tadi malam habis bermimpi bercinta dengan istri tercintanya. Kemudian duduk di ruang tamu. Tersenyum-senyum sendiri sambil menghisap rokok malboro merah. Ternyata lukisan istri tercinta mampu menyembuhkan penyakit impotensinya selama ini.        





 AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar