Pelukis dan Parfum ke-20
Agus Yuwantoro
Ternyata upah melukis istri tercinta
bapak Suherman luar biasa. Padahal selama ini setiap kali pesan melukis aku
tidak pernah pasang tarif. Setelah melukis istri tercinta bapak Suherman, perasaanku menggebu
ingin melacak lebih tahu keberadaan bendungan raksasa di wilayah desa Wadas
Dungkal. Ada perasaan aneh juga penasaran.
Aku merasa beruntung sekali waktu itu bisa bertemu dengan bapak guru sd-ku. Bahkan
bapak Dikin memberikan nomer telepon adiknya bernama bapak Ludiman yang berada
wilayah perbatasan Wadas Dungkal.
Katanya bapak Dikin hanya ada satu saksi
masih hidup sewaktu pembelian ganti rugi tanah. Sebelum proses bangunan
bendungan raksasa dibangun. Diwarnai pro dan kontra masyarakat asli
dengan pihak sponsor proyek. Nyaris bentrok massal. Ada dua desa ngotot tidak
setuju dengan proyek itu. Bahkan ada sebagian warga cuma mendapatkan ganti rugi
lima puluh persen. Begitu juga ada yang nyaris tidak mendapatkan ganti rugi.
Demo menolak proyek bendungan. Akhirnya
pihak sponsor proyek merapat ke Muspika. Bapak Camat, Kapolsek dan Danramil.
Mengadakan mediasi dengan masyarakat pentingnya proyek bendungan itu. Warga
tetap menolak tidak mau meninggalkan tanah leluhurnya. Datang dua truk pasukan
Pamong Praja Kabupaten mengamankan para pendemo. Tidak mempan. Malah dari hari
ke hari
pendemo berdatangan tetep menolak proyek itu.
Akhirnya datang lagi empat truk dari
anggota Kodim dan dua regu brimob dengan senjata lengkap. Massa merasa
ketakutan. Dari pada ribut juga tidak mendapatkan ganti rugi. Maka sepakat
menerima ganti rugi tanah. Walaupun tidak sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat.
Peristiwa mediasi: rembugan, musyawarah
dari pihak sponsor proyek bendungan raksaksa itu penuh diwarnai dengan kong
kalikong. Aliasnya bagi-bagi duit atas nama pembangunan. Hanya panitia khusus yang
mendapatkan keuntungan besar. Di balik proses pembayaran ganti rugi tanah untuk
pembangunan proyek. Warga yang punya bukti kepemilikan tanah hanya
mendapatkan enam puluh persn. Sisanya untuk tim khusus yang ngurus ini dan itu.
Termasuk di antaranya adalah rumah tanah milik biungku. Sama sekali tidak
mendapatkan ganti rugi sedikitpun. Juga lima tanah rumah tetanggaku senasib
dengan biungku. Sebab tidak mampu membuktikan kekuatan kepemilkian tanah yang
sah. Dahulu sewaktu membeli tanah tidak ada surat resmi tanda bukti membeli
dari pihak penjual tanah. Itu menurut sebagian kecil cerita dari bapak Dikin
guru sd-ku.
Kurang satu hari lagi aku akan meluncur ke
Desa Wadas Dungkal tempat bangunan bendungan raksasa. Rencana awal mau
berangkat bersama teman karibku juga sudah seperti saudaraku Kang Sarmo.
Mumpung belum musim banyaknya ikan di pantai. Tapi aku pikir-pikir ini masalah
pribadiku. Maka aku tidak jadi mengajak Kang Sarmo. Sudah aku pesan mobil
carteran bersama sopirnya. Membutuhkan waktu satu hari satu malam sampai lokasi
bendungan raksasa.
Sepatu, sendal, sarung, baju, celana panjang
juga bekal sudah aku siapkan dalam tas besar. Begitu juga uang kes. Aku siapkan
dalam tas cangklong. Untuk keperluan beli bensin, makan, bayar tol juga uang
receh untuk bayar kencing dan berak di kamar kecil samping pom bensin. Aku
harus bisa ketemu dengan adik kandung bapak Dikin. Sebab bisa membuka tabir
kehidupanku yang sebenar-benarnya.
Sudah aku telepon adik bapak Dikin. Dia
bersedia. Malah dengan senang hati membuka pintu selebarnya kedatanganku. Dalam
teleponnya malah menawarkan menginap di rumahnya. Selama tinggal
di desa Wadas Dungkal. Sebetulnya keinginanku untuk mencari informasi bendungan
raksasa sudah lama sekali. Berawal dari sowan guru sd-ku. Bahwa warga kampung
baru bernama Kusuma Baru rata-rata berasal dari desa Wadas Dungkal. Nyaris
rumah tanah pekarangannya tidak mendapat ganti rugi. Sebab tidak ada bukti kuat
atas pemilikan tanah. Akhirnya pergi menjauh merantau di pinggiran kaki
gunung pegunungan. Pertama kali datang sebagian besar sebagi buruh mencangkul,
kuli panggul pasar, termasuk biungku menjadi penjual makanan keliling kampung
sambil menggendong aku sewaktu masih berumur delapan bulan. Kata bapak Dikin
guru sd-ku.
Sehabis salat Isya jam
setengah delapan malam mobil carteran sudah siap parkir depan rumah
kontrakanku. Sopirnya memasukkan semua bekal selama perjalananku. Sebelum
berangkat sopirnya aku suruh makan malam. Sudah aku siapkan sarimi rasa soto
ayam bawang dengan campuran telur bebek kampung. Sudah aku sediakan di atas
meja makan. Setelah makan malam bersama denganku. Tepat jam delapan malam mobil
carteran keluar gang jalan rumah kontrakanku. Berjalan menembus angin malam
bersama cahaya rembulan yang memantul di setiap jalan aspal hitam.
Mobil carteran berjalan dengan cepat, sopirnya
super lincah juga profesional. Mobil carteran berjalan cepat tenang. Sehingga
aku tertidur pulas di bawah cahaya bintang gumintang. Jam empat pagi aku bangun.
Dari balik kaca mobil sayup-sayup terdengar suara sholawatan dari atas corong
toa berwarna biru telur bebek. Suara serak- serak basah menembus daun
telingaku. Mobil carteran berhenti di pom bensin, aku melihat papan besi
berwarna hijau bertulis Kebumen.
Menurut bapak Ludiman dari Kebumen ke desa
Wadas Dungkal butuh waktu dua jam. Aku turun dari mobil carteran mencari kamar
kecil. Buang air kecil. Basuh muka. Sikatan gigi lalu mandi. Setelah itu
melaksanakan ibadah salat Subuh di Musala samping pom bensin daerah Kebumen. Sehabis salat Subuh
memanjatkan doa-doa terbaik biar selalu diberikan kemudahan oleh Tuhan. Aku
melihat sopir berjalan masuk mobil carteran. Izin istirahat tidur di depan jok depan.
Sebab semalam nyaris tidak tidur.
Sambil menunggu sopir istirahat aku pesen
teh panas di warung makan samping Musala. Minum teh manis panas dengan pisang goreng
terasa nikmat. Badanku menjadi hangat kedua bola mataku terasa mak pyar. Terang
benderang. Sambil menunggu sopir bangun aku membaca buku Roman berjudul Gadis
Pantai karangan Pramudya Ananta Tur penulis hebat dari Blora. Menceritakan
kisah gadis pantai yang dikirim orang tuanya ke rumah den bagusse ngarso
penguasa tanah juga juragan ikan untuk dijadikan selirnya. Persis wedus jawa.
Gragas penuh napsu setiap melihat betina. Tanpa basa basi langsung bercinta.
Roman dengan judul Gadis Pantai nyaris bercerita predator seksual pada
zamannya.
Jam setengah delapan pagi sopir turun
dari mobil carteran bawa handuk sabun mandi dan tas kecil. Masuk kamar mandi untuk
mandi pagi. Sebentar kemudian keluar sudah ganti kaos bergambar candi Mendut
berwarna merah hati dengan stelan celana panjang
begi berwarna hitam. Kemudian duduk mendekatiku. Sudah aku pesankan kopi
susu panas juga dua piring nasi rames paling istimewa untuk sarapan pagi
bersama denganku.
Setelah sarapan aku mengeluarkan dompet
untuk membayar ongkos perjalanan mobil carteran. Sudah aku hitung perjalanannya butuh
waktu dua hari ditambah rencana menginap satu hari di rumah bapak Ludiman. Jadi tiga
hari. Tapi aku menghitung empat hari. Itung- itung yang satu hari untuk tips
supirnya.
Ketika aku mau membayar dengan uang kes.
Sopirnya malah menolak dengan perkataan yang halus.
“Mohon maaf semua sudah dibayar bapak
Suherman ples tambahan bonus nyopirnya,“ jawab sopirnya.
“Kapan bayarnya Mas?“
“Satu hari sebelum berangkat, bahkan semua
biro perjalanan ke mana saja sudah dipesan bapak Suherman. Ketikan mengantar Mas mau kemana
saja suruh kirimi no rekeningnya ke bapak Suherman. Gitu Mas.“
“Ini sekadar untuk beli rokok ya Mas.“
“Tidak usah Mas sudah dibelikan bapak
Suherman dua boks untuk bekal perjalanan pp.“
Aku terdiam sambil minum teh panas.
Anganku masih segar melihat bapak Suherman ketika berbisik pelan ke telingaku. Tadi
malam habis bermimpi bercinta dengan istri tercintanya. Kemudian duduk di ruang tamu. Tersenyum-senyum
sendiri sambil menghisap rokok malboro merah. Ternyata lukisan istri tercinta
mampu menyembuhkan penyakit impotensinya selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar