Pelukis dan Parfum ke-18
Agus Yuwantoro
Tepat jam delapan malam aku siapkan
perlengkapan melukis yang terbaik. Dari pensil, kwas, cat juga kanvas termahal.
Foto perempuan itu melahirkan kekuatan luar biasa hebat. Seolah melahirkan
energi positif. Bukan masalah upah melukis dijanjikan bapak Suherman, tapi foto
perempuan itu menjadi semangatku. Aku dekatkan foto perempuan itu di bawah lampu 15 watt. Foto itu tampak
kurang jelas sebab sudah berumur 27 tahun. Gambar fotonya agak pecah dan buram. Aku
ganti lampunya dengan 30 watt. Biar kelihatan jelas wajah, bola mata, hidung, bibir juga gaya
rambutnya.
Ketika aku mengamati foto perempuan itu
dari semua garis wajah. Darahku kembali memanas. Perasaanku nyas-nyasan
kembali. Aku cuma diam sambil melihat seluruh bentuk wajahnya. Aku melirik
bapak Suherman. Kemudian mendekatiku sambil berbisik.
“Cantik si istri bapak Mas.“
“Ya iya persis gadis Mandarin.“
“Betul Mas hasil perkawinan
rambon orang Jawa dengan Jepang.“
“Iya Bapak.“
Aku mulai melukis dari bentuk wajah, mata, telinga, hidung juga
gaya rambutnya. Ketika aku membuat garis lengkung dua bola matanya, bapak
Suherman memberi saran kepadaku.
“Mas kedua bola matanya kebesaran agak sipit.“
“Baik.”
“Alisnya tebal hitam bukan tipis Mas.“
“Iya ya Bapak.“
“Bibirnya tidak tebal tapi tipis
memerah basah Mas.“
“Baik.“
“Itu hidungnya kurang mancung Mas.“
“Ya
ya seperti hidungnya gadis Mandarin.“
“Betul Mas.“
“Begini ya bapak bentuk hidungnya?“
“Betul Mas.“
“Baik.“
“Itu di bawah telinga ada
antingnya bercorak bulan sabit Mas, bapak beli di toko mas terbaik termahal di Jakarta, bos besarnya
orang Singapura namanya Kim Sang.“
“Siap Bapak.“
Setiap aku menggores garis lukisan
perempuan di foto itu bapak Suherman sangat serius sekali mengamati setiap gerakan
tanganku. Hampir satu jam sketsa lukisan
perempuan itu jadi. Bapak Suherman mendekati sketsa lukisan istrinya.
Kemudian manggut-manggut dan tersenyum semringah merasa bombong bungah hatinya.
Kelihatan wajahnya cerah penuh aura kebahagiaan.
Aku ke dapur membuat minuman kopi
hitam panas. Aku tambah rempeyek kacang dalam toples sudah aku sediakan dalam
lemari makan. Ketika aku sampai ruang tengah. Aku melihat bapak Suherman
menciumi lukisan perempuan itu sambil berucap.
“Aku sungguh sayang dan sangat mencintai
mu Yem, Yem, perasaanku selama ini kamu masih hidup tidak tewas bersama
jebolnya tanggul itu,“ ucapan bapak Suherman.
Aku diam diri tidak berani mendekati
bapak Suherman. Sedang bercinta dengan lukisan perempuan lewat dunia ilusinya.
Aku biarkan segala tingkah laku bapak Suherman di depan lukisan perempuan
itu. Biar puas tuntas bercinta lewat dunianya. Rindu yang tersimpan puluhan tahun mencair
ketika bapak Suherman menikmati kedua bola matanya, bibirnya, hidungnya juga
rambutnya di depan lukisan perempuan itu yang dahulu istri tercinta.
Istri tercinta tewas tenggelam bersama
lumpur dan luapan air bendungan jebol yang dia gambar dan dibangun. Untuk
menebus dosanya. Setiap dua bulan bapak Suherman selalu mencari dan mencari
informasi keberadaan istrinya. Bahkan pernah membuat tenda tidur di samping
tanggul bendungan raksasa bersama rombongan pemancing dari luar kota. Mencari
dan mencari jejak keberadaan istrinya.
Bahkan ketika musim terang. Debit air
bendungan surut kelihatan bekas mes tempat menginap bapak Suherman. Jalan
kampung menuju rumah istri tercinta. Bahkan kelihatan bekas gudang barang
proyek. Juga petilasan warung Wagiyem penjual nasi pecel istri tercinta. Sebuah
kenangan menyentuh jiwanya ketika mabuk berat. Tidak bisa berdiri hanya melambaikan
tangannya. Ketika truk dam mundur kurang dua meter lagi pecah kepalanya tergilas ban truk. Untung ada yang
menyeret kedua kakinya ke samping truk dam. Sehingga masih hidup
sampai sekarang.
Bapak Suherman bukan hanya mencium lukisan
itu. Bahkan memeluk erat-erat dalam pelukannya penuh dengan serpihan kerinduan
membeku dalam dinding dadanya. Aku sembunyi dalam korden kamar. Aku biarkan
dulu lukisan dalam pelukannya bapak Suherman. Betapa besar cintanya pada
perempuan dalam lukisan itu.
Ketika bapak Suherman menaruh lukisan itu
aku mencoba mendekati sambil menaruh kopi panas di atas meja.
“Ini kopi hitam panas Bapak.“
“Ya
ya terima kasih Mas.“
“Baik
Bapak.“
“Terus
dilanjutkan melukisnya ya,
Mas.”
“Siap.“
Aku
mulai mengambil beberapa warna cat terbagus. Untuk warna kulit, bibir juga
rambut. Ketika aku mulai mewarnai kedua bola mata lukisan itu. Darahku mendidih
kembali. Perasaanku bergetar hebat. Nyas-nyasan. Bahkan detak jantungku berdetak keras.
“Lho kok seperti....” Batinku sambil melukis
Kedua bola mata ini dalam lukisan
membuatku tambah semangat melukis. Seolah-olah berbisik lembut di telinga
kananku.
“Lukis dengan sempurna ya Mas?”
Aku
fokus melukis betul-betul aku nikmati setiap goresan ketika mewarnai lukisan
itu. Bapak Suherman domblong mlongo kedua bola matanya selalu mengawasi setiap
gerakan tanganku. Persis di sampingku terdengar deru suara napas tidak
beraturan. Mungkin deru napas kerinduan menggumpal dalam darah dan dada. Sebab
sebentar-bentar bapak Suherman mengambil napas panjang kemudian melepaskan
lewat mulutnya. Ada perasaan api cinta membara panas pada lukisan perempuan
itu.
Lukisan hampir sempurna. Aku terpasung lagi
tatapan kedua bola mata lukisan perempuan ini, bukan hanya kedua bola matanya
saja; hidungnya, bibirnya dan rambutnya.
“Loo kok seperti....” Bisikku lagi dalam
batinku.
Aku
melirik bapak Suherman kedua bola matanya tajam menikmati lukisan perempuan
itu. Jakunnya naik turun. Bahkan beberapa kali menelan ludah.
“Gimana Bapak lukisan perempuan
ini?“
“Bagus bagus Mas.“
“Ada yang kurang.“
“Ada warna kulitnya putih mengkilat persis
kulitnya orang Jepang.“
“Siap.“
“Alisnya kurang tebal Mas.“
“Begini Bapak.“
“Ya ya kedua bulu matanya lentik Mas.“
“Siap.“
“Ya ya seperti itu.“
“Begini ya Bapak.“
“Rambutnya kurang hitam Mas.“
“Siap.“
Hampir dua jam aku betul-betul
menimati melukis perempuan ini. Seolah-olah ada kekuatan energi positif. Setiap
melukis lekukan garis wajah, hidung, bibir dan rambutnya. Hampir sempurna.
Bapak Suherman tersenyum semringan bombong bungah hatinya. Sambil berucap
di sampingku.
“Sempurna, mirip banget Mas, mirip.“
“Baik Bapak.“
Bapak Suherman berdiri lalu duduk
kembali. Kali ini mengambil kaca mata. Di dekatkan wajanya pada lukisan
perempuan itu. Dekat sekali. Sambil tersenyum-senyum sendiri kemudian
menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku terdiam tapi kedua bola mata lukisan
perempuan itu membuat bergetar seluruh tubuhku. Seakan aku sangat dekat dengan
kedua bola mata dalam lukisan itu. Sangat dekat dan dekat sekali dengan kedua
bola mata itu.
“Ohh Tuhanku apakah lukisan perempuan itu
adalah....” Bisikku lagi.
Kali ini bapak Suherman bukan hanya
menikmatai lukisan perempuan itu. Akan tetapi tangannya dengan lembut penuh
dengan perasaan membelai rambutnya, meraba kedua pipinya, kedua bola matanya,
hidungnya dan sekitar bibirnya. Berkali kali meraba lukisan itu. Aku masuk
ruang dapur tidak terasa kedua bola mataku basah. Terhipnotis kekuatan luar
biasa oleh kedua bola mata dalam lukisan itu. Entah kenapa kedua bola mata dalam
lukisan perempuan itu seakan menatapku tajam. Setajam mata pedang samurai
sehingga menembus relung hatiku.
Aku
masih terdiam di balik korden. Sambil berbisik lembut dalam hatiku
“Kedua
bola mata di lukisan itu kok seperti … akh apa mungkin ya.“ Bisikku dalam hatiku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar