Pelukis dan Parfum ke-16
Agus Yuwantoro
Jam setengah enam sore puluhan burung
kuntul beterbangan memutar di atas pohon asam Jawa. Bulu dan kakinya berwarna
putih seperti kapas. Menyerupai warna mega di atas langit luas. Satu persatu
hinggap di rimbunnya daun pohon asam Jawa juga daun bambu petung. Senja mulai
merekah memerah. Cahaya menguning di atas plataran dinding langit rumah
kontrakanku. Bapak Suherman sudah bangun. Aku siapkan minuman kopi hitam panas kesukannya.
Dengan rempeyek kacang aku taruh dalam toples. Aku melihat wajah bapak Suherman
sudah fres. Garis wajah rasa lelah sudah menghilang.
Sehabis magrib bapak Suherman
mendekatiku. Dekat sekali sambil berbisik di telingaku.
“Mas bapak mau curhat.“
“Iya ya Bapak.“
“Tolong jangan bilang siapapun.”
“Ya Bapak.“
Aku menunggu curhat dari bapak Suherman.
Aku lirik bapak Suherman mulai tampak gelisah. Guratan garis di atas jidatnya
mulai merapat. Jakunnya berjalan naik turun. Bahkan kedua bola matanya mulai
memerah basah. Sambil mengambil napas panjang. Mulai membuka curahan hatinya.
“Gini Mas, bapak dulu pernah
nikah resmi dengan gadis desa. Sewaktu bapak dipercaya membuat gambar dan
rencana anggaran belanja juga sebagai pengawas proyek bendungan raksaksa. Gadis
itu membuat bapak sadar dari segala pola gaya hidup serba salah. Penuh maksiat.
Pemabok. Penjudi. Suka main perempuan di setiap daerah wisata. Gadis desa itu
bernama Wagiyem. Penjual nasi pecel di pinggiran sungai. Wajahnya manis. Rambutnya hitam
memanjang. Tinggi badan sekitar seratus enam puluh enam. Kesukaannya selalu
memakai kain motif kembang mawar. Hidungnya mancung kedua bola matanya sipit
tapi bening bercahaya. Kata orang kampung ibunya dulu kawin dengan seorang
tentara Jepang yang membelot. Membantu para pejuang kemerdekaan bangsa
Indonesia. Melatih pemuda-pemuda kampung. Baris-berbaris. Bela diri.
Menggunakan senjata laras panjang. Sangkur dan samurai.
Gadis manis penjual nasi pecel itu
menjadi heboh di kalangan mandor proyek. Setiap hari para mandor proyek nongkrong di
warungnya. Dari pagi sebelum kerja. Jam istirahat. Bahkan sore menjelang habis
jam kerja. Selalu didatangi para mandor proyek. Bahkan puluhan supir truk Dam
pun ikut- ikutan nongkrong.
Bapak jadi penasaran seperti apa si wajah
penampilan gadis penjual nasi pecel itu. Ketika sedang sibuk- sibuknya semua
mandor dan kuli proyek bekerja. Bapak mencari penjual nasi pecel itu. Hampir
satu jam bapak puter-puter di sekitar lokasi proyek belum menemukan. Akhirnya
bapak turun dari mobil. Tanya pada seorang kuli bangunan yang sedang memecahkan
batu.
“Gadis penjual nasi pecel lokasi warungnya
persis di samping gudang barang proyek,“ jawab kuli proyek.
Bapak langsung meluncur ke warung nasi
pecel. Ternyata betul yang dikatakan para mandor proyek. Bukan hanya manis tapi
badannya sintal. Buah dadanya tegak ke depan. Rambutnya hitam memanjang. Kedua bola
matanya agak sipit. Kedua bola matanya putih seakan bercahaya. Giginya rata
putih bersih. Bibirnya memerah tipis basah. Bapak cuma melihat dari balik kaca
mobil. Bapak mau melacak gadis itu.
Setiap senja datang bapak selalu teringat
gadis penjual nasi pecel itu. Wajahnya. Kedua bola matanya. Rambutnya. Bahkan
bentuk badannya yang sintal. Juga buah dadanya tegak ke depan. Akhirnya bapak
mencoba mendekatinya. Di saat senja merekah di atas langit kawasan proyek.
Bapak merayu dengan segala jurus yang ada. Bapak khilaf menyamakan dengan
wanita-wanita yang pernah bapak bayar.
Ketika sudah kewalahan merayu. Bahkan
tidak respon dengan segala rayuan bapak. Pada waktu itu di sekitar warung sepi.
Hanya bapak dan gadis penjual nasi pecel. Bapak duduk dekat berdampingan dengan
gadis itu. Bapak tidak tahan. Ketika bapak mau berbuat tidak senonoh, gadis itu
langsung mengeluarkan pisau. Dengan gerakan super cepat. Kilat. Tangan bapak
disobek dengan mata pisau. Darah pun langsung keluar deras membasahi baju
lengan panjang. Gadis itu semakin garang. Bahkan mau menusuk perut bapak.
Sambil berucap.
“Maaf bapak aku bukan perempuan murahan,
sekali lagi bapak mendekat aku tusuk perutnya.“
“Maaf, maaf Mbak,“ jawab bapak.
“Jangan main-main dengan perempuan kampung
ya.”
“Ya ya.“
“Ni Wagiyem gadis kampung, sekali lagi
bapak mendekatiku aku bunuh!“
“Maaf maaf Mbak.“
Setelah kejadian itu bapak tidak berani
mendekati gadis penjual nasi pecel. Untung kejadian itu tidak diketahui para
mandor dan para kuli-kuli proyek juga para sopir truk Dam pembawa pasir dan
batu. Tapi setelah kejadian itu bapak semakin penasaran ingin mendekati lagi
gadis itu, Mas “
“Lalu terusnya gimana Bapak?“
Bapak Suherman masih diam. Bahkan
kepalanya menunduk ke bawah. Kemudian mengeluarkan sapu tangan. Wajahnya diusap
berkali-kali. Kemudian berdiri lalu duduk. Berdiri lagi lalu duduk. Jakunnya
naik turun. Kemudian minum kopi hitam. Kedua bola matanya kelihatan memerah
penuh dengan genangan air mata. Sambil mengambil napas panjang kemudian
melepaskan kembali. Berdiri kemudian duduk kembali. Kemudian meneruskan cerita
lagi.
“Hampir dua minggu bapak tidak bisa
tidur. Setiap malam selalu teringat wajahnya penjual nasi pecel. Untuk
menghilangkan perasaan itu. Bapak setiap malam minum Menshen, Bredy, Vodka,
wiski dan Bir bintang tujuh. Bersama temen-temen proyek bagian personalia,
kepala gudang barang, Satpam. Pada suatu hari bapak mabok berat. Berjalan sempoyongan
kian kemari. Berjalan lalu jatuh. Berdiri lagi. Berjalan lagi. Untung tidak ada
yang melihat ketika bapak sedang mabok berat. Bapak sengaja minum over dosis.
Hampir lima botol Mensen bapak tenggak sendiri di pojok gudang barang proyek.
Ketika itu persis jam sepuluh siang. Bapak berjalan sempoyongan. Mencoba
mendekati penjual nasi pecel. Bapak jatuh lagi. Nyaris tidak bisa berdiri.
Bahkan perutnya mulai mual. Pandangannya kabur. Terasa gelap penuh
kunang-kunang. Ketika bapak mau mencoba berdiri. Jatuh lagi.
Tiba-tiba ada truk Dam membawa besi dan
semen keluar dari gudang barang. Truk Dam atret mundur ke belakang. Sopirnya tidak
tahu. Kalau bapak persis di
belakang bak truk Dam. Jaraknya sekitar tiga meter. Ketika
truk Dam mundur pelan-pelan. Bapak tidak bisa berteriak. Sebab mabok berat.
Cuma tangan bapak angkat tinggi-tinggi sebagai isyarat jangan ditabrak. Hampir
dua meter ketika truk Dam mendekati tubuh bapak. Persis belakang bawah ban truk
Dam. hampir saja mau menggilas kepala bapak. Tidak terasa kedua kaki bapak ada
yang menyeret ke arah samping truk Dam. Dengan gerakan cepat. Bapak terhindar
dari kecelakaan maut. Andai kata kedua kaki bapak tidak ada yang menyeret ke
samping. Jelas kepala bapak pecah tergilas ban belakang truk Dam yang
sedang atret ke belakang. Tewas seketika.
Bapak disembunyikan di bawah meja
ditutupi terpal. Hampir lima belas menit bapak dibiarkan terkapar di bawah
meja. Sebentar kemudian di balik terpal bapak melihat ada tangan halus masuk sambil
memberikan degan hijau atau kelapa muda ujungnya sudah dikupas sambil berucap.
“Cepat diminum, ayoo diminum,“ sapanya.
Suara itu persis perempuan penjual nasi
pecel samping gudang barang. Bapak tidak lupa dengan suara itu. Ketika bapak
minum air kelapa muda. Langsung semua isi perut keluar semua. Berkali-kali
bapak muntah. Bapak sadar. Dari mabok berat. Bapak masih posisi di bawah meja
bersama terpal. Ketika kedua bola mata bapak sudah tidak kabur.
Babak merangkak keluar dari bawah meja.
Setelah keluar bapak melihat gadis penjual nasi pecel masih berdiri di samping
meja sambil menggeleng- gelengkan kepala. Bapak merasa takut kalu mau menusuk dengan
pisaunya yang super tajam. Gadis itu memandang bapak dengan tajam. Sambil
menggeleng-gelengkan kepala lagi. Ketika bapak mau berjalan tidak bisa.
Sempoyongan. Hampir saja bapak jatuh. Untung kedua tangan gadis itu menangkap
bapak. Bapak digandeng. Disembunyikan di balik tumpukan semen tiga roda dan
kontruksi besi cakar ayam. Sehingga nyaris ketika bapak mabok berat tidak ada yang
melihat. Setelah itu gadis penjual nasi pecel mendampingi bapak. Sampai sadar
dari mabok.
Dua minggu kemudian setiap jam makan
bapak selalu pesan nasi pecel. Dua bulan kemudian. Bapak mencoba mendekati
gadis penjual pecel. Ingin mengucapkan rasa terima kasih. Juga permohonan maaf
atas kejadian waktu dulu. Sebab bapak
merasa bersalah. Juga hutang budi.
Warung nasi pecel itu berukuran tiga kali
kali dua. Dengan sandaran empat saka dari kayu nangka. Atapnya seng bekas sudah
menghitam memerah. Ada lima bangku memanjang terbuat dari bambu wulung.
Empat bangku bambu menghadap bibir meja. Di samping menyediakan nasi pecel. Ada
gorengan tahu, pisang, tempe dan bakwan. Di setiap saka ada gantungan
kerupuk terbungkus plastik diikat dengan tali rafia. Bapak mencoba mendekati
lagi.
Tapi kali ini harus super sopan ples
hati-hati. Salah ucapan juga tindakan pisau itu siap merobek-robek tubuh bapak.
Menurut orang-orang proyek. Gadis penjual nasi pecel setiap hari selalu membawa
pisau di balik bajunya. Bapak mendekati kemudian menyapa pelan-pelan.
“Selamat siang Mbak?” Sapa bapak.
Gadis penjual nasi pecel masih diam.
Sambil membersihkan piring dan sendok. Kemudian bapak menyapa lagi.
“Selamat siang Mbak?”
“Oo, siang Pak,“ jawabnya
singkat tanpa melihat bapak.
“Mbak mohon maaf ya atas kejadian waktu itu.“
“O ya ya sama-sama.“
“Boleh pesen kopi hitam yang panas?“
“Kopi yang natural ya.“
“Loo kok sudah tahu ya Mbak?“
“La iya lah kan sering pesen kopi natural
lewat Satpan gudang proyek.“
“Sekali lagi mohon maaf atas kejadian waktu
itu.“
“Sudah lah pak kan sudah berlalu.“
“Bapak merasa berhutang budi, hampir saja
kepala bapak tergilas ban truk Dam sewaktu mabok berat.“
“Itu sudah kewajiban, saling tolong menolong
di antara
kita.“
“Terima kasih ya Mbak.“
“Sama-sama, makanya tidak usah mabok tidak
baik.“
“Iya ya Mbak.“
“Apa si untungnya mabok, merugikan diri
sendiri, sudah kerja susah payah di proyek malah hasilnya untuk mabok, bahkan
judi juga suka main perempuan malam, itu tidak baik, penyakit jiwa, kalau sudah
ketagihan ketergantungan kan rugi, bukan dirinya sendiri tapi semua keluarganya
ikut menanggung resiko dari perbuatan itu, apa orang-orang proyek bagian kantor
pola hidupnya seperti itu ya, kasihan keluarga di rumah.“
Bapak cuma diam tidak berani menjawab.
Memang betul yang dikatakan penjual nasi pecel. Sebagian besar bagian kantor
juga mandor proyek pemabok. Hanya beberapa orang yang hidupnya lurus sebab
bekal agama dari masa kecil sangat kuat. Ternyata pengaruh pendidikan agama
pada masa kecil sangat berpengaruh sekali ketika tumbuh dewasa.
Ternyata semua pola pikir juga perilaku pimpinan
proyek. Berimbas di lingkungan proyek. Awalnya cuma melihat, mendengar yang dia
rasakan dalam kawasan proyek. Ketika mendengar dan melihat beberapa pimpinan
proyek, perencana, personalia, para mandor suka mabok, judi juga main perempuan malam. Akhirnya
sebagian besar tenaga kasar orang-orang proyek meniru. Bahkan beberapa Satpamnya
meniru atasnya. Pembangunan proyek di manapun. Identik dengan bursa judi mabok dan jual
beli perempuan malam.
Semenjak bapak kenal dengan penjual nasi pecel.
Bapak mulai mencoba berhenti dari judi, mabok juga main perempuan malam. Setiap
makan nasi pecel di warungnya. Telinga babak terasa panas. Penjual nasi pecel
selalu mengingatkan bapak. Betapa bodohnya perilaku seperti itu. Merusak diri
sendiri. Bahkan bisa melupakan semua keluarga di rumah. Perilaku itu adalah
penyakit hati. Bejat. Goblok. Warisan kaum Jahiliyah dan bangsa Bar-Bar. Suka
mabok judi main perempuan.
Ternyata setelah bapak berhenti dari
kebiasaan itu. Ditiru bagian personalia. Kemudian para mandor-mandor. Begitu
juga para kuli-kuli proyek, Satpam, sopir truk Dam berhenti dari judi, mabok juga main perempuan
malam. Betapa hebat pencerahan dari penjual nasi pecel itu. Mampu mengubah
kebiasaan bapak juga semua
orang proyek.
Bahkan yang luar biasa bisa menghitung
kekuatan campuran semen satu sak dengan pasir. Untuk kontruksi bahan ngecor
setiap saka. Pernah bapak dikritik sangat pedas dan tajam.
“Pak kalau bangunan proyek
raksaksa ini, semen, besi, tidak standar apa lagi sebagian perlengkapan proyek dijual di pasar gelap. Setiap
malam diangkut truk berisi semen besi bahkan mesin molen dijual. Yang rugi
bukan Negara. Tapi rakyat kecil akan menanggung resikonya, nyawa tebusannya. Bendungan
raksaksa ini bisa jebol. Sebab sistem penggarapannya pakai teori maling teriak
maling, jangankah mutu kualitasnya, hanya keuntungan sesaat dinikmati maling-maling proyek. Bisa
saja satu tahun setelah diresmikan bendungan raksasa jebol. Menenggelamkan
beberapa desa di sekitar bawah bendungan. Itu sama saja dengan pembunuhan
massal, Pak?”
Bapak cuma diam. Hampir seratus persen
proyek raksasa ini bapak yang merancang, menggambar, menganalisa rencana
anggaran belanja. Bahkan sebagai pengawas proyek raksasa ini. Semenjak itu
bapak mulai serius mengawasi semua kegiatan pembangunan proyek tersebut. Ketika
bapak mulai akrab dengan penjual nasi pecel. Bapak mendengar sendiri ocehan
beberapa kuli proyek sambil makan nasi pecel.
“Tuu mandor-mandor proyek sekarang pada
berhenti mabuk, berjudi dan main perempuan malam, bahkan akhir-akhir ini mutu
bangunan semakin baik. Sudah tidak ada maling proyek, bagian gudang barang
dijaga ketat, para Satpam juga mulai berhenti mabok judi juga main perempuan
malam, apakah pimpinan proyek sudah ganti ya pak?“ sapa penjual
nasi pecel itu.
Bapak cuma diam sebab penjual nasi pecel
tidak tahu kalau bapak termasuk salah satunya pimpinan proyek raksasa tersebut.
Bapak semakin gila ingin rasanya selalu dekat dengan penjual nasi pecel itu.
Bukan bentuk tubuhnya yang sintal. Buah dadanya padat tegak maju ke depan. Pantatnya
gempal. Juga wajahnya yang manis. Tapi kecerdasan otaknya yang bikin bapak klepek-klepek
di depannya”.
“Begitu Mas.“
“Terusnya gimana Bapak?“
“Sebentar bapak buang air kecil dulu Mas.“
“Ya ya Bapak,” jawabku semakin
penasaran dengan cerita bapak Suherman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar