Cerpen
Agus Pribadi
Apakah makanan yang paling kausukai
selama Ramadan? Aku menyukai kolak pisang, apalagi jika ibu yang memasaknya.
Semenjak kecil aku kerap kali
dibuatkan kolak pisang oleh ibu. Tubuhku yang terasa lemas seperti kembali
bugar setelah menyantap makanan yang manisnya karena gula jawa. Kebiasaan
selama sebulan jelang Lebaran itu terus berlanjut sampai aku menikahi Ningsih
istriku dan memboyongnya ke luar kota karena pekerjaanku dan istriku sebagai
pendidik. Seringkali ibu harus memberikan kolak pisang pada tetangga karena aku
tak datang.
Di kontrakan, Ningsih memang kerap
membuatkanku kolak pisang untuk berbuka puasa, tapi menurutku rasanya tak
selezat buatan ibu. Hingga suatu sore sehari sebelum tanggal satu Ramadan tahun ini, aku
berkata pada Ningsih, “Besok
aku akan menjenguk ibu. Aku akan berbuka di sana. Kebetulan kaubesok juga ada
kegiatan di sekolah sampai pagi.”
Tak ada jawaban dari istriku. Ia asik
dengan acara televisi kegemarannya.
“Besok aku akan menjenguk ibu. Aku
akan berbuka di sana. Kebetulan kau besok juga ada kegiatan di sekolah sampai
pagi.”
Ningsih hanya mengangguk. Aku pun
lega, meski hanya gerakan kepala ke bawah, itu menandakan istriku mengizinkanku
ke Purwokerto. Jika ditinggal di kontrakan seorang diri biasanya istriku akan
komplain,
tapi kali ini beda karena
ia akan menginap di sekolah tempatnya bekerja.
***
Minggu pagi, aku melaju pelan dengan
sepeda motorku. Biasanya waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke rumah ibu
sekitar satu jam. Dalam perjalanan, aku mengingat istriku saat melepasku tadi.
Seperti ada gamang di hatinya. Seperti tak sungguh-sungguh melepasku. Ah,
mungkin semalam Ningsih menganggapku bercanda saja kalau aku ingin bertemu ibu.
Aku sampai di kecamatan Bobotsari,
itu tandanya aku harus menempuh separuh perjalanan lagi. Sebenarnya aku malu
untuk bertemu ibu. Beliau pernah menyampaikan keinginannya untuk membeli kursi
baru sebelum Lebaran, tapi aku diam saja. Tak meresponnya. Gajiku sebagai
pegawai pemerintah sudah kugunakan untuk mencicil pinjaman bank. Uang pinjaman
bank sudah habis untuk aku belikan perabot rumah tangga. Kulkas, televisi layar
datar 32 inchi, tempat tidur, sepeda motor baru, dan lain-lain.
Sebenarnya aku ingin mengutarakan
unek-unek di hatiku tentang ibu pada istriku. Aku ingin membelikan kursi baru
untuk ibu. Dua tahun menjadi PNS belum kesampaian keinginanku itu. Selama itu aku
belum bisa membuat hati ibu bahagia. Meskipun ibu pernah mengatakan merasa
bahagia dengan hanya melihat aku memakai baju dan lencana korpri. Istriku masih
mengabdi di sekolah negeri, belum berkesempatan menjadi PNS. Aku dan istriku
masih sibuk dengan urusan kami sendiri. Aku selalu mengurungkan menyampaikan
unek-unekku itu pada istriku. Mungkin nanti saja, kalau cicilan pinjaman di
bank sudah lunas.
***
Aku sampai di pasar Larangan,
perjalananku tinggal 500 meter lagi. Sebentar lagi aku sampai di rumah ibu. Ibu
tinggal seorang diri. Sejak menjanda dan semua anaknya telah menikah, ia hidup
seorang diri di rumah yang cukup besar. Setiap bulannya ia mengambil gaji pensiunan
janda di kantor pos yang terletak di kota Purwokerto.
Aku sampai di rumah ibu jam delapan
pagi. Sepi seperti
tak ada penghuninya. Aku menuju belakang rumah melalui samping kiri rumah.
Pohon rambutan tua yang banyak dihuni ulat bulu kulewati.
Aku masuk ke rumah, pintu belakang
rumah hanya dikaitkan dengan tali pada sebuah paku sehingga dengan mudah aku
bisa membukanya. Aku uluk salam, tak ada jawaban. Aku mengira ibu sedang ke
kota mengambil rapel gaji atau gaji ke-13.
Aku tiduran di kursi panjang ruang
tengah sambil membaca buku kumpulan cerpen Murjangkung karya AS Laksana.
Kerongkonganku terasa kering. Ini
hari pertama puasa. Badanku terasa lemas. Tak terasa azan Zuhur berkumandang. Aku mengambil air wudu
kemudian salat Zuhur di ruang belakang. Ibu belum juga pulang. Aku kembali
tiduran di ruang tengah sambil melanjutkan membaca buku.
Azan Asar berkumandang, aku kembali
mengambil air wudu dan menunaikan salat Asar. Ibu belum juga pulang. Aku
kembali tiduran di ruang tengah. Kali ini aku merasa mengantuk sekali.
***
“Di, bangun, sudah azan Magrib,
saatnya berbuka.”
“Ibu...”
Aku mengucek mata. Ada wajah teduh
ibu yang tersenyum di depanku. Kerut-kerut di wajahnya tak sebanyak yang selama
ini aku lihat. Wajahnya terlihat bersinar dan lebih muda puluhan tahun. Aku
bangkit dan menuju ke dapur. Kolak pisang hangat telah terhidang di meja makan.
Wangi pandan menguar sampai ke hidung membuat perutku keroncongan.
“Dimakan dulu kolaknya untuk
membatalkan puasamu. Nanti terus menunaikan salat Magrib, lalu berbuka. Setelah
itu kauharus pulang, kasihan istrimu di kontrakan.”
“Baiklah, Bu.”
Aku menyantap kolak pisang yang
terhidang di meja dengan lahap.
“Rasanya sama dengan buatan ibu ya,
Di?”
Aku melihat ke sumber suara, seraut
wajah kakak perempuanku tersenyum ke arahku.
“Lho ibu mana?”
“Istighfar, Di. Ibu telah menghadap
Yang Kuasa setahun yang lalu tepat di hari pertama Ramadan.”
Aku tak melanjutkan menghabiskan
kolak pisang yang tinggal beberapa sendok. Tubuhku seperti kembali lemas. Kakak
perempuanku menuju ke rumahnya yang berada di belakang rumah ibu. Mungkin ia
akan mengambil makanan lainnya untukku.(*)
(Dimuat
di Satelitpost, 20 Juli 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar