Sabtu, 02 April 2022

Kolak Pisang

 

resepedia.id


Cerpen Agus Pribadi

 

Apakah makanan yang paling kausukai selama Ramadan? Aku menyukai kolak pisang, apalagi jika ibu yang memasaknya.

Semenjak kecil aku kerap kali dibuatkan kolak pisang oleh ibu. Tubuhku yang terasa lemas seperti kembali bugar setelah menyantap makanan yang manisnya karena gula jawa. Kebiasaan selama sebulan jelang Lebaran itu terus berlanjut sampai aku menikahi Ningsih istriku dan memboyongnya ke luar kota karena pekerjaanku dan istriku sebagai pendidik. Seringkali ibu harus memberikan kolak pisang pada tetangga karena aku tak datang.

Di kontrakan, Ningsih memang kerap membuatkanku kolak pisang untuk berbuka puasa, tapi menurutku rasanya tak selezat buatan ibu. Hingga suatu sore sehari sebelum tanggal satu Ramadan tahun ini, aku berkata pada Ningsih, “Besok aku akan menjenguk ibu. Aku akan berbuka di sana. Kebetulan kaubesok juga ada kegiatan di sekolah sampai pagi.”

Tak ada jawaban dari istriku. Ia asik dengan acara televisi kegemarannya.

“Besok aku akan menjenguk ibu. Aku akan berbuka di sana. Kebetulan kau besok juga ada kegiatan di sekolah sampai pagi.”

Ningsih hanya mengangguk. Aku pun lega, meski hanya gerakan kepala ke bawah, itu menandakan istriku mengizinkanku ke Purwokerto. Jika ditinggal di kontrakan seorang diri biasanya istriku akan komplain, tapi kali ini beda karena ia akan menginap di sekolah tempatnya bekerja.

***

Minggu pagi, aku melaju pelan dengan sepeda motorku. Biasanya waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke rumah ibu sekitar satu jam. Dalam perjalanan, aku mengingat istriku saat melepasku tadi. Seperti ada gamang di hatinya. Seperti tak sungguh-sungguh melepasku. Ah, mungkin semalam Ningsih menganggapku bercanda saja kalau aku ingin bertemu ibu.

Aku sampai di kecamatan Bobotsari, itu tandanya aku harus menempuh separuh perjalanan lagi. Sebenarnya aku malu untuk bertemu ibu. Beliau pernah menyampaikan keinginannya untuk membeli kursi baru sebelum Lebaran, tapi aku diam saja. Tak meresponnya. Gajiku sebagai pegawai pemerintah sudah kugunakan untuk mencicil pinjaman bank. Uang pinjaman bank sudah habis untuk aku belikan perabot rumah tangga. Kulkas, televisi layar datar 32 inchi, tempat tidur, sepeda motor baru, dan lain-lain.

Sebenarnya aku ingin mengutarakan unek-unek di hatiku tentang ibu pada istriku. Aku ingin membelikan kursi baru untuk ibu. Dua tahun menjadi PNS belum kesampaian keinginanku itu. Selama itu aku belum bisa membuat hati ibu bahagia. Meskipun ibu pernah mengatakan merasa bahagia dengan hanya melihat aku memakai baju dan lencana korpri. Istriku masih mengabdi di sekolah negeri, belum berkesempatan menjadi PNS. Aku dan istriku masih sibuk dengan urusan kami sendiri. Aku selalu mengurungkan menyampaikan unek-unekku itu pada istriku. Mungkin nanti saja, kalau cicilan pinjaman di bank sudah lunas.

***

Aku sampai di pasar Larangan, perjalananku tinggal 500 meter lagi. Sebentar lagi aku sampai di rumah ibu. Ibu tinggal seorang diri. Sejak menjanda dan semua anaknya telah menikah, ia hidup seorang diri di rumah yang cukup besar. Setiap bulannya ia mengambil gaji pensiunan janda di kantor pos yang terletak di kota Purwokerto.

Aku sampai di rumah ibu jam delapan pagi. Sepi seperti tak ada penghuninya. Aku menuju belakang rumah melalui samping kiri rumah. Pohon rambutan tua yang banyak dihuni ulat bulu kulewati.

Aku masuk ke rumah, pintu belakang rumah hanya dikaitkan dengan tali pada sebuah paku sehingga dengan mudah aku bisa membukanya. Aku uluk salam, tak ada jawaban. Aku mengira ibu sedang ke kota mengambil rapel gaji atau gaji ke-13.

Aku tiduran di kursi panjang ruang tengah sambil membaca buku kumpulan cerpen Murjangkung karya AS Laksana.

Kerongkonganku terasa kering. Ini hari pertama puasa. Badanku terasa lemas. Tak terasa azan Zuhur berkumandang. Aku mengambil air wudu kemudian salat Zuhur di ruang belakang. Ibu belum juga pulang. Aku kembali tiduran di ruang tengah sambil melanjutkan membaca buku.

Azan Asar berkumandang, aku kembali mengambil air wudu dan menunaikan salat Asar. Ibu belum juga pulang. Aku kembali tiduran di ruang tengah. Kali ini aku merasa mengantuk sekali.

***

“Di, bangun, sudah azan Magrib, saatnya berbuka.”

“Ibu...”

Aku mengucek mata. Ada wajah teduh ibu yang tersenyum di depanku. Kerut-kerut di wajahnya tak sebanyak yang selama ini aku lihat. Wajahnya terlihat bersinar dan lebih muda puluhan tahun. Aku bangkit dan menuju ke dapur. Kolak pisang hangat telah terhidang di meja makan. Wangi pandan menguar sampai ke hidung membuat perutku keroncongan.

“Dimakan dulu kolaknya untuk membatalkan puasamu. Nanti terus menunaikan salat Magrib, lalu berbuka. Setelah itu kauharus pulang, kasihan istrimu di kontrakan.”

“Baiklah, Bu.”

Aku menyantap kolak pisang yang terhidang di meja dengan lahap.

“Rasanya sama dengan buatan ibu ya, Di?”

Aku melihat ke sumber suara, seraut wajah kakak perempuanku tersenyum ke arahku.

“Lho ibu mana?”

“Istighfar, Di. Ibu telah menghadap Yang Kuasa setahun yang lalu tepat di hari pertama Ramadan.”

Aku tak melanjutkan menghabiskan kolak pisang yang tinggal beberapa sendok. Tubuhku seperti kembali lemas. Kakak perempuanku menuju ke rumahnya yang berada di belakang rumah ibu. Mungkin ia akan mengambil makanan lainnya untukku.(*)

(Dimuat di Satelitpost, 20 Juli 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar