(Tinjauan Buku Trilogi Jalitheng Karya Nasirin L Sukarta)
Oleh Agus Pribadi
Bahasa dapat digunakan dengan dua
cara, yaitu diucapkan dan dituliskan. Bahasa yang diucapkan dapat didengar
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam situasi nonformal maupun formal. Bahasa
yang dituliskan dapat dibaca pada tulisan nonfiksi maupun fiksi.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa
yang diucapkan (bahasa lisan) dapat didengar baik dalam suasana nonformal
maupun formal. Dalam suasana nonformal, misalnya dapat didengar percakapan di
pos ronda tentang suatu topik yang sedang hangat. Percakapan antar anggota
keluarga sambil menonton televisi, dan lain-lain.
Dalam suasana formal, beberapa
contohnya: sambutan ketua rt dalam sebuah acara lingkup rt; pidato kepala desa
dalam acara lingkup desa.
Meskipun bahasa Banyumasan tidak
termasuk bahasa yang saat ini terancam punah, tetapi penggunaan bahasa
Banyumasan dalam percakapan sehari-hari semakin minim digunakan terutama
generasi muda kita. Percakapan antara orang tua, dan khususnya ibu dengan anak
pun juga seringkali minim penggunaan bahasa Banyumasan. Termasuk yang dialami
penulis sendiri juga demikian.
Bahasa yang dituliskan dalam bahasa
Banyumasan, sebagai contoh majalah Ancas Kalawerta Penginyongan; blog yang
khusus menggunakan bahasa Banyumasan, dan lain-lain.
Salah satu jenis karya tulisan (bahasa
yang dituliskan) dapat berupa karya sastra, misalnya cerpen (cerkak), novel,
puisi (guritan), drama, dan yang lainnya. Novel Trilogi Jalitheng karya
sastrawan dari Kalisube, Nasirin L Surakarta termasuk dalam jenis karya sastra
ini.
Trilogi Jalitheng
Novel Trilogi Jalitheng terdiri dari
tiga novel yang berturut-turut berjudul: pertama, Jalitheng. Pada
buku pertama bercerita tentang pertemuan Jalitheng dan Janet yang menimbulkan
rasa saling suka pada kepribadian masing-masing. Meskipun dalam kehidupan
Jalitheng juga ada Dewi, yang juga memiliki kesan tersendiri dalam hidup
Jalitheng. Buku ini juga memuat tentang filosofi kudi, dan juga cerita tentang
ikan Tambra yang memiliki sisik kuning.
Kedua, Tembagan Woh Katresnan. Di buku kedua ini, Jalitheng
masih bertemu dengan Janet di satu sisi, dan bertemu Dewi di sisi yang
lain. Buku ini memuat tentang cerita
pohon tembagan yang berarti juga berkaitan dengan eyang Kaiman, yang juga
berarti berkaitan dengan Banyumas.
Ketiga, Gubes-Gubes Kenong Lima. Pada
buku ketiga ini Jalitheng sudah menentukan pilihan untuk menjadi calon
pendamping hidupnya. Manyar, adiknya juga mengarahkan Jalitheng untuk memilih
salah satunya diantara Janet dan Dewi. Buku ini juga memuat tentang begalan dan
pendapa.
Lageyan dan karakter orang Banyumas
Buku trilogi ini menggambarkan dengan
kuat lageyan (gaya tutur) orang Banyumas yang terdiri dari : pertama, Cablaka
(blak-blakan) yang mencerminkan jujur dalam komunikasi. Kedua, Mbanyol
(candaan lucu) yang mencerminkan sikap sabar dan menerima. Ketiga, Semblothongan
(semaunya sendiri) yang mencerminkan sikap egaliter, kebersamaan tanpa
memandang status sosial. Semua itu tercermin dari tokoh Jalitheng yang suka
bercanda, Manyar adik Jalitheng, Blawong teman Jalitheng, Dewi, dan tokoh
lainnya.
Peran karya sastra Banyumasan
Peran karya sastra dalam melestarikan
bahasa Banyumasan: pertama, Buku sastra berbahasa Banyumasan bisa
menjadi museum kata-kata berbahasa Banyumasan yang akan abadi bisa dinikmati
anak cucu, meskipun dalam keseharian bahasa itu jarang dipakai bahkan oleh
orang Banyumas sendiri. Kedua, Bersama-sama dengan elemen lain, misal
pengguna bahasa lisan, ikut menjaga kekayaan kosa kata bahasa Banyumasan.
Ketiga, melalui cerita yang menarik dan penuh pengetahuan dan hikmah yang
diolah para pengarang, dapat menjadi daya tarik orang Banyumas atau di luarnya
untuk mengenal lebih jauh tentang bahasa Banyumasan.
Semoga bahasa Banyumasan akan selalu
ada dan dapat ditelusuri jejaknya, salah satunya melalui karya sastra; salah
satunya melalui novel Banyumasan ini.
Banyumas, 11 Maret 2022
Referensi
Rahayu,
Puji. Lageyan dan Karakter Masyarakat Banyumas dalam Kumpulan Cekak Iwak
Gendruwo karya Agus Pribadi dkk (kajian Etnolinguistik)
Sukarta, Nasirin
L. Trilogi Jaliteng. Purwokerto: SIP Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar