Agus Pribadi
Kami tiga sahabat yang biasa kumpul di pos ronda. Aku bekerja di kampung saja, membantu ayah dan ibu mengurusi sawah yang tidak seberapa luas. Sahabatku yang satu baru pulang dari kota, dari pakaian dan cara bicaranya sih sepertinya sudah sukses. Ia bernama Boy. Sedangkan sahabatku lainnya yang bernama Roy juga sedang pulang dari kota dan sepertinya juga sudah sukses kalau dilihat dari senyumannya. Pada sebuah sore yang cerah, kami terlibat obrolan santai di pos ronda kampung.
Kami ngobrol ngalor ngidul, dan sampailah kami pada obrolan tentang makanan paling enak. Boy bercerita saat bekerja di kota, hampir semua rumah makan sampai warung tepi jalan sudah dinikmati semua. Ia paling suka sate kambing muda yang dagingnya empuk. Ia berlangganan di sebuah warung makan sate kambing di dekat tempatnya bekerja. Sedangkan Roy bercerita tak mau kalah. Ia juga menceritakan kalau sudah menjajal semua makanan yang ada di rumah makan paling mewah di kota tempatnya bekerja. Ia paling suka dengan seafood. “Kalau kamu gimana, Ndul?” kedua sahabatku bertanya hampir bersamaan dan memanggilku Ndul karena waktu kecil aku paling suka cukur gundul.
Aku agak tergagap karena tak mengira akan ditodong dengan pertanyaan semacam itu. Aku tak langsung menjawab pertanyaan mereka. Aku bercerita paling suka dengan masakan yang dimasak secara tradisional, yaitu dimasak di atas tungku dengan kayu bakar, sehingga masakannya matang sempurna. “Aku paling suka tempe goreng dan sambal terasi, ditambah sayur bening. Bukan dari sebuah rumah makan, tapi masakan ibuku sendiri,” Jawabku. Seperti ada embun di mata kedua temanku. Keduanya sudah tidak memiliki ibu, mungkin mereka kangen dengan masakan ibu mereka masing-masing.
Bms, 6 Maret 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar