Oleh. Agus Yuwantoro
Pelukis dan Parfum ke-13
Tepat pukul delapan pagi pada hari Minggu bulan Mei. Aku sudah sampai di
pangkalan bus pariwisata Bali. Hampir dua minggu aku mudik pulang kampung. Rasa
kangen pada biung sudah mencair dalam dadaku. Anganku masih hangat dalam acara
hari ulang tahun desaku. Meriah penuh rasa persahabatan persaudaraan. Sebelum
acara makan bersama di tanah lapangan desa. Pagi harinya semua warga desaku
mengadakan gotong royong membersihkan tanah makam.
Segala macam bentuk rerumputan yang menutupi setiap jalan makam.
Dibersihkan dengan sabit dan cangkul. Jalan menuju makam
dilebarkan. Semua tanaman rumput di cabut. Instalasi listrik menuju makam
diteliti kembali. Balon-balon lampu listrik yang mati di ganti. Bahkan tugu
masuk ke makam dicat kembali. Pohon-pohon yang daunnya mulai lebat dipangkas.
Hampir dua jam kegiatan bersih-bersih di sekitar makam.
Setelah itu sesepuh desa tokoh agama menutup doa keselamatan untuk semua
warga desanya. Kemudian membersihkan semua alat-alatnya di bibir sungai.
Setelah itu menuju tanah lapang. Ibu-ibu sudah menyediakan nasi tumpeng beserta
lauk pauknya. Digelar di atas selembar daun pisang kepok.
Semua duduk bersila sambil menunggu doa tolak balak memohon pada Tuhan agar
semua tananam tumbuh subur, usahanya selalu lancar berkah barokah. Jauh dari
segala macam bencana alam.
Sehabis mengamini doa-doa dari tokoh agama. Semua warga menikmati nasi
tumpeng bersama-sama. Malam harinya
menggelar kesenian tradisioan tarian Qubro Siswo. Sebuah tarian
klasik dengan alat gong, bonang, terompet juga bedug. Menyanyikan lagu
perjuangan sambil menari-nari. Penari Qubro Siswo lelaki semua baris rapi
berbanjar. Menari bersama alunan suara. Penonton asyik menyaksikan tariannya
dengan membentuk lingkaran.
Acara klasik ini melekat erat dalam otakku. Akan aku lukis acara makan tumpeng bersama. Juga tarian
Qubro Siswo yang dikelilingi warga. Begitu juga acara gotong royong di tanah
makam.
******
Ketika aku berjalan menuju rumah kontrankanku. Aku melihat dari kejauhan
di gang jalan Lintang Kemukus ada bendera putih berkibar. Biasanya kalau ada
bendera putih bertanda ada yang baru meninggal dunia. Aku tetap berjalan menuju
rumah kontrankanku. Sebelum sampai di depan pintu Ketut Dian Purnama
menghampiriku. Langsung membantu membawa tas. Membukakan pintu. Membuat minuman
teh panas. Setelah aku duduk sambil minum teh panas. Ketut Dian Purnama
menatapku tajam. Kedua bola matanya memerah penuh genangan air mata. Aku
penasaran.
“Ada apa Dik?”
Ketut Dian Purnama masih diam. Bibirnya malah bergetar.
“Ada apa Dik?”
“Anu Kak.“
“Anu apa Dik?”
“Gadis berambut panjang dengan pita jingga meninggal dunia.“
“Meningal dunia?“
“Iya Kak.“
“Si gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga itu?“
“Iya Kak.“
“Kapan?”
“Sehabis senja. Bertepatan Kakak mau mudik.“
“Ya kakak masih inggat gadis itu sempat melambaikan kedua tangannya, Dik.”
“Betul Kak, setelah itu pulang berjalan kaki tiba-tiba ada sepeda
motor Yamaha RX King 125 cc nabrak dari belakang. Kepalanya terbentur tanggul
jalan. Retak berdarah sehingga tewas di jalan. Si penabrak langsung lari tidak
tanggung jawab. Darahnya sampai ke dada. Namanya Vika Wulandari, Kak.”
“Gadis kecil itu dari mana ya Dik?“
“Katanya dari komplek Kak.“
“Makudnya?“
“Biasanya anak-anak komplek lahir tidak punya ayah, Kak.“
“Lo kok bisa?“
“Ya bisa lah Kak, itu hal biasa terjadi di komplek itu.“
“Komplek yang mana to?“
“Itu di balik bukit di sana banyak kawin kontrak, Kak.“
“Dengan siapa?”
“Ya dengan siapa saja yang mau
ngontrak kawin.“
“Dengan bule.“
“Bukan hanya dengan bule, tinggal
permintannya Kak.“
“Bisa bule, orang Jepang, India,
Malaysia bahkan orang Indonesia Kak.“
“Apa tidak ada yang mengingatkan
dampak kawin kontrak?”
“Nggak ada Kak.“
“Sebabnya?“
“Sama-
sama membutuhkan.“
“Maksudnya?“
“Yang dikawin kontrak butuh uang, la yang
kontrak kawin butuh temen tidur, rumah kontrakan pada laku, warung pinggiran
jalan ramai pembeli, kota wisata di mana saja ya seperti itu, Kak.”
“Masa?“
“Iya Kak, gadis berambut panjang dengan pita merah itu hanya contoh
kecil kak, ada puluhan anak-anak seperti dia, dilantarkan,dibuang bahkan
dibiarkan hidup berkeliaran bebas di pasar, terminal, juga ramainya pasar malam.“
“Kok bisa-bisanya ya dik “
“Ya tentu bisa lah kak “
“Sebab saling membutuhkan “
“Laa Ibu kandungnya tinggal di mana?“
“Nggak tahu Kak.”
“Biasanya setelah melahirkan bayi, menerima jasa kawin kontrak lagi.“
“Lo kok bisa?“
“Zaman gini serba bisa Kak.“
“Dik tolong antarkan aku ke makam gadis berambut panjang dengan pita
jingga.“
“Siap Kak, kapan?’
“Sekarang.“
“Sekarang Kak?“
“Iya.“
“Dengan kang Sarmo ya Kak?”
“Kenapa?”
“Sebab kang Sarmo yang mengurus dari kejadian tabrak lari sampai proses
pemakaman juga acara doa bersama selama tujuh hari Kak.“
“Bener itu?“
“Iya Kak, kang Sarmo semua biaya pemakaman dan lain-lain yang
menanggung.“
“Baik, tapi sebelum ke makam antar kakak di rumah kontrakan
jalan Lintang Kemukus no: 23 ya Dik.”
“Siap Kak, mari-mari Kak.“
Aku dengan Dian Ketut Purnama berjalan lewat gang jalan setapak. Cukup
sepuluh menit sudah sampai di jalan
Lintang Kemukus. Romah no: 23. Mungkin pernah dikontrak Supraptiwi. Sebab aku
pernah mengejar dari kejauhan langkah kaki gadis berambut panjang dengan pita
jingga. Mengilang di blok jalan ini. Sebelum masuk gang rumah. Ada seorang bapak berjalan sambil
membungkuk sambil memegang tongkat kayu. Menghampiri kemudian langsung
menyapaku.
“Mau cari rumah kontrakan apa ya Mas?“
“Tidak Pak. “
“Dari tadi Bapak perhatikan selalu melihat rumah no: 23.“
“Ini kosong?“
“Kosong Mas semenjak gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga.
Tewas. Tabrak lari oleh pengendara sepada motor Yamaha RX King 125 cc.
Pengendaranya mabok berat. Kasihan langsung tewas di tempat. Biasanya yang tidur
di sini ya
si gadis kecil itu.”
“Yang kontrak siapa Pak.“
“Orang Cina sepertinya anak yang lahir dari perkawinan campuran pribumi
dengan Cina, sebab kulitnya hitam manis, kedua biji bola matanya hitam seperti
kita, tapi bentuk wajahnya putih bersih persis Cina.“
“Namanya siapa ya Pak?“
“Nggak tahu ya, sebab tiap bulan orangnya
datang dan pergi. Selalu berganti orang yang tinggal di kontrakan. Lebih-lebih rumah
yang dijaga gadis berambut panjang itu. Cuma satu bulan kadang dua bulan datang
ke sini itu
saja biasanya cuma menginap satu hari. Menjelang senja sudah ada yang
menjemput pergi.“
“O … gitu ya Pak terima kasih informasinya.“
“Sama sama Mas, la tinggalnya di mana?“
“Di jalan Suka Damai, Pak.“
“Itu komplek peremuhan para seniman ya Mas?“
“Tidak juga kok Pak.“
“Bapak ta ngontrol rumah yang di sana.“
“Ya ya Pak hati-hati,“ jawabku pelan.
Sebelum aku melangkah meninggalkan rumah kontrakan itu. Di balik korden
berwarna ungu terong dengan motif gambar daun bambu kuning. Aku melihat tulisan
karton yang dikalungkan ke leher gadis berambut panjang dengan
pita jingga. Tulisannya masih tetap utuh. Tapi penuh dengan darah merah kering.
Bahkan pita jingga masih melilit di samping kertas kartun. Warnanya tidak
jingga lagi. Hitam kemerahan bercampur darah kering. Aku coba mengintip lewat korden yang
transparan. Sunyi sepi senyap. Tanpa penghuni. Nyaris tidak ada tanda suara di
dalam rumah. Cuma suara kran bocor di sebelah rumah. Terdengar kemricik di
bak air.
Merasa belum puas melihat kondisi rumah kontrakan itu. Aku meneruskan
langkah kakiku ziaroh ke makam gadis kecil berambut panjang dengan pita jingga.
Bernama Vika Wulandari gadis yang lahir di komplek kawasan kawin kontrak.
Bahkan tetangganya tidak tahu nama Ibunya. Apa lagi bapaknya.
Hidupnya mengembara dari lorong ke lorong. Dari warung ke warung. Menjaga rumah
kontrakan satu ke lainnya. Nyapu. Ngepel. Buang sampah. Ternyata bukan hanya
Vika Wulandari saja.
Masih banyak anak-anak kecil hidup di alam bebas. Berteman malam. Hujan.
Bahkan kedinginan. Sudah terbiasa. Bisa muncul di terminal sebagai penjual
koran, majalah. Tukang semir. Tukang cuci piring, mangkok dan sendok. Bahkan
tidak jarang menjadi pengamen dan pengemis jalanan. Rata-tara anak lahir hasil
kawin kontrak. Dibiarkan bebas lepas hidup. Tanpa perlindung ibu dan ayah.
Berteman dengan alam. Bahkan cara berpikir seperti rembulan. Malam tidur
nyenyak di mana saja. Bahkan seperti matahari. Berani menantang panas
turun ke jalan kerja apa saja yang penting bisa makan. Kadang seperti
senja. Tidak mampu melihat bayangan tubuhnya sendiri. Apa lagi nama ibu dan
bapaknya. Tidak tahu. Yang dia tahu mencari makan dan mencari makan. Di balik
indahnya panorama dan gemerlapan lampu-lampu di setiap kota wisata.
Undang-Undang Dasar 1945, anak- anak terlantar, fakir miskin
tanggung jawab Negara. Negara bukannya diam membisu. Tapi tidak mampu
memberikan fasilitas jaminan hidup pada anak-anak negri yang terlantar.
Jumlahnya hampir jutaan. Atau mungkin uangnya sudah dikorup. Jadi tidak tepat
sasaran.
Di saat senja merekah memerah di langit jingga. Bermunculan orang-orang
seragam turun dari truk. Menangkap pengamen, pengemis, tukang semir, penjual
koran. Anak-anak yang hidup terlantar di setiap persimpangan jalan. Sebab
merusak tata kelola daerah kota wisata. Sebagai penyakit kota. Harus
disingkirkan. Kemiskinan. Kebodohan. Pendidikan. Pemahaman agama yang tipis
sekali. Sehingga kawin kontrak menjadi gaya hidup tersendiri. Bahkan mewarnai gemerlapan
juga indahnya daerah kota wisata di mana saja berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar