Minggu, 06 Maret 2022

Jalan Pagi di Kampungku

pixabay.com


  Agus Yuwantoro

(Pelukis dan Parfum ke-11)

 

      Matahari pagi begitu cerah bercahaya di dinding langit berwarna membiru berhias gumpalan mega meputih salju. Cahaya matahari menembus pada daun jagung, pisang dan kacang tanah berwarna hijau segar. Daun-daunnya bergoyang terbawa semilir angin pagi. Aku berjalan di jalan setapak pematang persawahan. Daunnya mulai menguning berhias butiran padi. Kanan kiri jalan berhias pohon turi tumbuh subur bahkan sedang berbunga. Daunnya berwarna hijau membasah. Terasa segar ketika melihat luasnya tanah persawahan.

    Puluhan walang sawah berterbangan bebas ada yang menempel pada daun padi. Juga berkejaran di atas rumput sawah. Sepasang capung merah sedang bercinta di atas pucuk daun talas. Kemudian terbang beriringan berjejer bersama-sama dengan kedua sayapnya di atas hamparan daun padi yang luas. Aku terus berjalan lurus sampai batas kampung Kusuma Baru.

   Tidak terasa masuk kampung Munggangsari yang banyak ditanami bunga kenikir sedang berbunga berwarna kuning di setiap bibir jalan setapak. Bahkan ada deretan tanaman sereh di setiap gang masuk jalan. Hatiku mulai bergetar ketika masuk gang jalan rumahnya Supraptiwi. Putrinya bapak Wagino. Sekarang di Singapura menjaga orang tuanya bah Shiong pemilik toko mas. Hampir lima tahun Supraptiwi meninggalkan kampung halamannya.

    Menurut kawan kecilku Jitong. Supraptiwi tidak nikah dengan saudaranya bah Shiong. Aku menjadi penasaran.

   “Apakah bener belum nikah?“ batinku sambil berjalan melewati deretan pohon pines di setiap pinggiran jalan.     

    Rumah berwarna cat hijau pupus daun pisang penuh tanaman bunga anggrek lokal berderet rapi dengan pot plastik berwarna putih. Deretan bunga daun gajah sedang tumbuh segar daunnya lebar. Di belakang rumah tumbuh kekar pohon durian sedang berbunga. Persis depan rumah ada bekas tugu pintu masuk yang sudah tidak terawat. Tinggal separuh bangunan kelihatan bata merah berbalut lumut hijau yang menempel pada dindingnya. Aku berjalan sambil melirik rumahnya Supraptiwi. Sunyi sepi. Hanya ada suara sapu lidi bergesekan dengan tanah dan daun nangka kering.

      Srek … srek … srek ….  Suara sapu lidinya.

      Halaman rumahnya sepi. Hanya ada sepasang ayam kampung betina dan pejantan. Sedang berkejar-kejaran di bawah pohon blimbing wulung. Pejantan mengepak -ngepakkan sayapnya sambil berjalan memutar di depan betina. Sebentar kemudian sang betina dengan dua kakinya ditekuk. Pejantan langsung mematuk kepalanya. Sedetik kemudian bercinta di bawah pohon blimbing wulung.

     Ada rasa dan getaran ketika aku melewati rumah Supraptiwi. Walaupun sunyi sepi yang aku temukan. Tapi merasa lunas terbayar rasa rindu juga penasaranku. Ketika aku mau berjalan menuju gang jalan besar beraspal. Aku melihat mbok Wakem sedang menjemur ikan asin dengan tampah terbuat dari anyaman bambu berbentuk bundar. Aku mencoba mendekati sambil menyapanya.

    “Kulo nuwun, kulo nuwun Mbok.”

     Simbok Wakem masih terdiam sambil memandangku dengan tatapan yang tajam bahkan melihat dari bawah kaki sampai rambut kepala. Sambil garuk-garuk kepalanya.

    “Kulo nuwun, Mbok.“

   “We ladalah sampean to, apa si Dimas yoo?”

   “Iya ya Mbok.“

  “Eee walah- walah monggo pinarak Mas.“

  “Matur suwun Mbok “

   Aku masuk rumah simbok Wakem. Rumahnya dari dulu masih seperti itu. Dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu. Usuknya juga dari bambu. Lantainya utuh masih tanah liat. Di ruang tamu hanya ada satu risban: kursi panjang dan meja. Di tengah tersedia teko beling berwarna putih bergambar bunga mawar merah. Beserta tiga cangkir putih. Simbok wakem langsung menaruh minuman teh tawar di cangkir sambil menyapaku.

      “Monggo monggo diminum Mas.“

      “Terima kasih Mbok.“

      “Cuma teh tawar ya Mas apa simbok ambilkan telo bakar?”

      “Gak usah lah Mbok ini sudah cukup.”

     “Bentar ya Mas.“

      Simbok Wakem masuk ruang tengah sebentar kemudian sudah membawa tiga telo pohong bakar berwarna kuning mentega ditaruh dalam piring seng bergambar rembulan. Kemudian menawarkan telo bakar kepadaku.

     “Laa ini Mas, enak ini Mas.”

     “Iya ya Mbok.“

    “Ayo dimakan.“

    “Mbok rumahnya pak Wagino sepi yoo?”

    “La iya kan bekerja di rumahnya bah Shiong sama istrinya.“

    “Bekerja?“

    “Iya Wagino kerjanya tiap hari jemur kopi dan cengkeh la istrinya bantu di dapur masak nyuci nyetrika pakaian.“

   “Ooo gitu to Mbok?“

   “Sudah mendingan tidak kejeglong hidupnya Mas.“

   “Kejeglong itu apa Mbok?“

  “Banyak beban hutang bang harian tu Mas.“

    “Laa untuk apa Mbok?“

   “Ya usaha setia tapi tidak jodoh, jadi makelar kambing bangkrut, jual bibit tanaman ya bangkrut, terakhir tukang nebas buah durian bangkrut total, untung anak putri satu-satunya bisa membantu sebab bekerja di Singapura. Merawat menjaga bapaknya bah Shiong di Singapur lama kelamaan bangkit kembali.“

  “La kapan putrinya pulang Mbok?“

 “Paling satu tahun sekali bertepatan hari Imlek itu loo Mas.“

“Laa tahun baru imlek kemarin pulang, walah jadi putih persis Cina mas simbok aja pangling.”

“Katanya sudah nikah ya Mbok?“

“Belum. Laa Mas kan temen akrab masa kecilnya to apa gak tahu?”

“Gak tau Mbok, Mbok.“

“Ayo dimakan telo bakarnya, ini telo palengka mentega Mas.“

“Iya ya Mbok.”

“Biung sehat to Mas?“

“Sehat Mbok.“    

   Sambil makan telo bakar aku melihat foto suami tercinta mbok wakem di dinding anyaman bambu. Pak Pras dengan seragam lengkap pegawai PJKA. Seragam berwarna biru telur bebek dengan topi kebesarannya. Suaminya bekerja sebagai membantu kondektur kerata api. Menjadi tukang motong karcis para penumpang kereta api jurusan wilayah kota Jakarta. 

      Belum merasa puas menikmati masa bulan madunya. Perkawinan baru berumur enam bulan. Suami tercinta mbok Wakem tewas beserta penumpang lainnya. Kereta api lokomotif no : 225 tabrakan tunggal dengan lokomotof 220 rel jurusan jakarta Km 8 sebelum stasiun Sudimara. Terkenal dengan petaka tragedi bintaro hari senin 19 Oktober 1987. Tabrakan kereta api terparah di Indonesia. Menewaskan 156 orang juga ratusan luka berat. Salah satu masinis yang masih hidup Slamet Suradio dari Purworejo dipecat. Kemudian divonis penjara selama dua tahun. Setelah keluar dari jeruji besi. Setiap hari berjualan rokok dan gorengan di pinggiran jalan masuk stasiun kereta api Kutoarjo.

     Rumah yang ditempati mbok Wakem adalah bukti cinta kasih suaminya. Satu bulan setelah menikah suaminya membuat rumah dengan dinding dari anyaman bambu. Berusuk batangan bambu. Konstruksi bangunan rumah dari saka pohon nangka. Lantainya masih tanah liat. Semenjak suaminya meninggal dunia bersama tragedi berdarah kecelakaan maut kereta api bintaro. Sampai sekarang mempertahankan status janda. Tidak mau menikah lagi. Mbok Wakem ingin membuktikan bahwa cintanya khusus kang Pras suami tercinta.

   Sebagai bukti rasa cintanya mbok Wakem selalu rajin ziaroh ke makam suaminya. Setiap pagi pada hari Jumat dengan membawa sapu lidi, bunga mawar putih dan merah juga korek api untuk membakar daun-daun kering yang menutupi batu nisan suaminya. Ziaroh makam suaminya mengirim doa-doa terbaik agar suaminya diampuni dosa-dosanya. 

      Ziaroh ke makam bisa mengingatkan pada kita semua. Sehebat apapun pikirannya. Sekaya apapun harta bendanya. Setinggi-tingginya pangkat dan jabatan. Sehebat apapun titel akademiknya. Tujuan akhir manusia adalah kematian. Hanya berbekal ketakwaan pada Tuhannya yang akan menemani di alam barzah. Pangkat. Harta. Jabatan. Istri anak-anak tercinta tidak bisa menjadi temannya dalam alam barzah. Semuanya pergi tidak bisa menemani di dalam perhitungan langkah baik dan buruknya kehidupan kita di bumi ini.

    Sudah tiga puluh lima tahun mbok Waken menjanda. Dulu waktu menikah pada usia dua puluh tahun. Suaminya berusia dua puluh empat. Sekarang usia mbok wakem hampir masuk kepala enam puluh. Tetep memilih hidup menyendiri. Menjaga istana cinta berupa rumah bambu yang dibangun suami tercinta. Setiap hari membersihkan foto-foto suami tercinta. Sebab merasa ditanggung kehidupannya dari hasil gaji janda dari seorang suami bekerja di PJKA golongan I/b. Merasa lebih dari cukup yang dirasakan mbok Wakem selama ini.

   Di samping menerima uang pensiunan janda setiap bulan dari almarhum suaminya. Mbok wakem setiap hari telaten membuat sindik sate yang terbuat dari  bahan bambu kering. Panjang lima belas senti meter. Setelah terkumpul lima puluh sindik sate diikat dengan karet kemudian dibungkus dengan plastik. Dua hari kemudian disetorkan kepada juragan sate kambing muda dan ayam di sekitar pasar tradisional.

      Aku kagum pada mbok Wakem. Tentang kesetiaan dan rasa cinta pada suaminya. Ternyata aku belum apa-apanya dibandingkan mbok Wakem. Baru dapet isu dari mulut ke mulut kalau Supraptiwi menikah dengan bah Shiong. Sebab ayahnya terlilit hutang pada bang harian. Aku langsung pergi merantau ke sebrang. Merasa malu dan dibohongi. Kenapa dulu tidak aku cek dan ricek kebenaran isu tersebut. Ternyata rasa egoku masih kaku. Kalah dengan mbok Wakem. Lamunanku buyar ketika mbok Wakem menyentuh tanganku.

     “Jangan ngalamun Mas nggak baik.“

     “Eee … nggak kok Mbok.“

     Sehabis menikmati telo bakar dan minum teh tawar hangat aku pamit pada mbok Wakem meneruskan jalan- jalan pagi sambil menghirup udara segar.  



AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar