Andum Winasih
Senyumnya manis, seperti sifat arti namanya. Gendhis, begitu orang memanggilnya. Kedua orangtuanya asli Jawa. Gendhis bukan saja gadis bersenyum manis, tetapi parasnya pun cantik, dan perangainya menarik. Lesung pipi di sebelah kiri bibirnya, hidung yang mancung, matanya yang sipit seolah tertidur tiba-tiba tiap kali tersenyum. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang sedang dan bergelombang seperti aliran sungai Serayu. Wajahnya teduh menyejukkan seperti pohon kurma yang berdiri sendiri di tengah padang pasir.
Gendhis adalah gadis yang menawan. Pola pikirnya dewasa dan jauh ke depan, meskipun tingkahnya kekanak-kanakan dan menggemaskan karena lucu dan lugu. Itulah diantanya mengapa banyak lawan jenisnya terpikat dan menyukainya. Obrolannya polos seperti kertas HVS yang tadi Gendhis beli. Namun curhatan teman-temannya seringkali ditanggapi dengan kata-kata yang lebih bijak dari pidato Kepala Sekolah dalam sambutannya di upacara bendera Senin lalu.
Gendhis bukan sosok yang pandai bergaul, meskipun demikian Gendhis memiliki banyak teman. Selain karena keibuan, Gendhis termasuk siswi yang diperhitungkan di SMA favorit yang tidak dapat dimasuki oleh peserta didik bernilai notasi angka.
“Gendhis, tadi malam Kiki menghubungi kamu nggak?”
“Iya.”
“Kiki bilang apa?”
“Biasa aja sih, tanya lagi ngapain terus tanya PR.”
“Oh, kalau Kiki menghubungi kamu lagi bilang aku ya!”
“OK!”
Begitu teman-teman perempuan Gendhis khawatir teman laki-lakinya berpaling pada Gendhis. Gendhis si gadis ramah yang selalu antusias pada siapa saja yang datang, sudah persis customer service di BPD Jateng, melayani setiap ucapan. Sehingga banyak teman perempuan Gendhis ketar-ketir jika teman laki-lakinya mengenal Gendhis. Di sisi lain, teman perempuan Genhis sebenarnya juga tahu bahwa Gendhis adalah gadis yang cuek seperti bebek wek… wek… wek…. Bagaimana mungkin Gendhis menghiraukan perasaan setiap hati yang datang sedangkan Gendhis sendiri tidak pernah memedulikan perasaannya sendiri.
Tetap seperti perempuan pada umumnya, ada perasaan terpikat pada lelaki. Tapi dilalaikannya. Asal jangan melalaikan kewajiban, terlebih kewajiban pada Sang Pencipta loh ya...
“Gendhis, Brian suka sama kamu loh, di HP-nya aja kontak Kamu diberi gambar hati!”
“Oh...”
“Terus gimana, Gendhis?”
“Gimana apanya?”
“Kamu suka juga nggak? Sayang loh anak seperti Brian dilewatkan begitu saja, udah ganteng, pintar, soleh, kaya lagi!”
“Ah, biasa saja!”
“???”
Mungkin bisa disebut sebagai mata kuda, begitu fokus memandang ke depan. Visinya kuat untuk kehidupannya di kemudian hari. Begitu tertata rapi layaknya pameran seni rupa yang diatur sedemikian sehingga membuat kagum setiap pengunjungnya. Banyak teman laki-laki Gendhis yang berupaya mendapatkan hatinya. Dari yang bertingkah konyol, yang berusaha berjiwa kesatria, sampai yang pura-pura menjadi sangat menyebalkan. Ada pula yang berkorban hanya menjadi sahabat asal bisa dekat.
“Gendhis, sebenernya kamu ada perasaan suka nggak sih sama siapa gitu?”
“Emangnya kenapa?”
“Ya penasaran lah Ndhis kenapa kamu sampai sekarang belum pernah punya pacar? Padahal kan banyak banget yang suka sama kamu! Sebenernya gimana Gendhis, kamu ada suka sama siapa nggak?”
“Kalau ada kenapa, kalau enggak kenapa?”
“Kalau nggak ada... Masa sih?, kalau ada... Kasih tau dong!”
“Kamu pikir aku nggak normal?”
“Jadi... siapa? Kasih tau dong!”
Gendhis memasang senyum manisnya itu.
“Ih Gendhis gitu deh. Tapi dia udah nyatain perasaannya ke kamu belum?”
“Udah!”
”Cie... Cie... Berarti Kamu diem-diem udah pacaran nih?”
“Mana ada! Ngarang Kamu! Nggak mau lah aku.”
“Kok bisa?”
Entah apa yang ada dipikirannya. Gendhis begitu kukuh dengan pendiriannya. Gendhis selalu merisaukan dampak masa depannya atas perbuatannya di masa kini. Pantas juga dia dijuluki kecil-kecil cabe rawit, di usianya yang masih remaja memiliki pandangan yang jauh ke depan, sejauh bulan dan bintang di langit yang tinggi.
Putih abu-abu sudah berlalu. Nilai terbaik berada dalam dekapan senyum manis Gendhis. Universitas impiannya pun bersuka cita menyambut si gadis manis keturunan Jawa itu. Perasaannya yang terlukis sejak tiga tahun lalu masih ia simpan di belakang tekadnya untuk menuntut ilmu. Teman-temannya juga sudah bertebaran mencari jati diri di seluruh permukaan bumi pertiwi, termasuk penghuni hati Gendhis. Mereka bersungguh-sungguh menggapai impian dalam angan.
Di bangku perkuliahan tentu saja Gendhis memiliki banyak hal yang baru. Tempat tinggal baru, teman-teman baru, hingga suasana kehidupan baru. Sebenarnya perilakunya yang manja hampir saja membuat Gendhis menyerah, tapi lagi-lagi Gendhis melihat kilat masa depan datang sekejap saja di pelupuk mata sipitnya. Mahasiswa dan mahasiswi dari segala penjuru mewarnai hari-hari Gendhis. Banyak mahasiswi yang tidak kalah menarik dari Gendhis. Akan tetapi pesona kepercayaan diri dan kecuekan Gendhis tetap memesona, sehingga tidak sedikit pula mahasiswa yang mendekati mahasiwi berkulit putih bersih itu. Tidak memungkiri, dalam hati Gendhis mengakui banyak mahasiswa yang juga tampil memukau di panggung pertunjukan hatinya. Sayangnya, si penghuni hati belum juga mau pergi.
Seperti angin, waktu berjalan begitu cepatnya. Tak terasa kuliah kerja nyata tiba. Gendhis bertemu hantu hatinya di kesempatan itu. Di daerah yang sama mereka ditugaskan dari kampus mereka masing-masing. Program-program yang nyaris serupa membuat keduanya sering berkoordinasi dan bahkan berkolaborasi.
“Kamu masih seperti Gendhis yang aku kenal dulu, dan perasaanku juga masih seperti dulu.”
Seperti sebelumnya, hanya ditanggapi dengan bibir yang bergerak seimbang ke kanan dan ke kiri. Gendhis tidak mau bermain-main dengan laki-laki. Terlebih laki-laki yang sering memainkan hati perempuan. Miko adalah salah satu idola di tempat mengukir prestasi kala putih abu-abu. Banyak teman-teman Gendhis yang kegirangan ketika didekati oleh Miko, seperti emak-emak yang mendapat arisan, senang luar biasa sehingga dengan mudahnya menerima dan terluka atas sikap Miko yang telah Gendhis pelajari secara sembunyi-sembunyi. Gendhis berbeda, susah sekali ia hanya sekadar untuk menerima sang idola itu. Ibarat baja, tidak bisa ditembus paku.
Tinggal menghitung hari menuju prosesi sakral perayaan kelulusan para penyerbu gelar sarjana dilaksanakan. Semua yang berkepentingan di acara itu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Dari para calon wisudawan dan wisudawati yang sudah booking fotografer pengabadi moment, hingga para anggota paduan suara yang sibuk berlatih memeriahkan acara.
“Gendhis, bagaimana acara persiapan wisudamu?”
“Alhamdulillah sudah beres Ayah, pakaian, make-up, sepatu, fotografer, dan resto tempat kita makan sudah Gendhis siapkan.”
“Syukurlah. Oh iya, tadi teman Ayah bilang mau datang ke acara syukuran kelulusan kamu itu. Kami berencana memperkenalkan kamu dengan putra teman ayah, ini fotonya!”
“Miko???”
Andum Winasih dilahirkan di Kabupaten Banjarnegara pada 21 September 1993.“Gendhis Jawi’, merupakan tulisan pertamanya. Kesehariannya adalah mengajar matematika di SMP Negeri 1 Kaligondang Kabupaten Purbalingga. Bisa dihubungi melalui whatsapp dengan nomor 083894244355 atau email di andumwinasih@gmail.com
Ceritanya lucu Bu Andum, bagus
BalasHapusAlhamdulillah terima kasih semoga kedepannya bisa berkarya dan lebih baik lagi
Hapuskeren ndum..
BalasHapus😁😁😁😁
HapusTenkyu
HapusTerus lanjutannya gimana andummm?
BalasHapus😁😁 ending yg nggantung Mb 😃
HapusBagus mbaa, enak dibaca.. bahasanya ga membosankan. Kereen biji lagi yaa aku mau baca
BalasHapusAlhamdulillah terimakasih Tri 😁😁
BalasHapusEh maaf salah
BalasHapusEh bener maaf 😁😁😁
BalasHapus