Agus Yuwantoro
( Pelukis dan Parfum ke-10 )
Jam empat aku bangun bersama suara azan subuh bergema merdu di atas langit kampungku. Suaranya serak-serak basah. Biasanya mbah Pawit yang azan subuh. Suara gema azan subuh keluar dari corong suara toa berwarna biru telur bebek di atas musala Al Huda. Aku melipat selimut tidurku bergambar kupu-kupu berwarna ungu terong. Kubersihkan sprei dengan sapu lidi. Dua bantal aku taruh kembali. Keluar dari kamar menuju pancuran bambu. Basuh muka cuci tangan kaki. Kemudian wudhu untuk menjalankan salat subuh berjamaah di musala.
Aku melihat kamar biung sudah kosong. Ternyata biung sudah berangkat dulu ke musala. Aku menyusul berangkat ke musala. Tetap masih seperti masa kecilku dahulu. Hanya ada empat orang yang sudah duduk bersila. Kepalanya menunduk membaca zikir, tasbih, sholawat dan istighfar sambil menunggu iqomat. Para jamaah usia kepala enam puluhan. Sudah bau tanah. Sementara yang masih muda- masih tertidur lelap di kamar rumahnya masing- masing. Belum mendapatkan hidayah.
Setelah salat Subuh berjamaah aku membaca kitab suci Al Quran. Bisa menjadi penyejuk hati. Obat hati. Juga mencari keberkahan dalam kehidupan ini. Jam setengah tujuh aku pamit Biung. Rencana mau jalan- jalan pagi sambil menghirup udara segar. Tidak lupa aku membawa buku gambar dan pensil hitam 2B. Pertama nengok bapak guru esdeku. Bapak Dikin guru esdeku juga guru melukis. Menurut warga kampungku beliau orang asli sini. Hanya pak Dikin yang masih hidup lainnya sudah mendahului meninggal dunia. Pak Dikin tahu persis asal asul kampungku.
Sebelum berdiri kampung tanah itu adalah milik juragan gabah Pak Salim. Tanahnya kering retak berbatu bahkan tidak subur. Sudah ditanami apa saja tetap tidak tumbuh. Pada awalnya mau dibeli oleh pihak Pemda Kecamatan. Untuk tempat penampungan sampah akhir. Tapi sebagian warga tidak setuju. Akhirnya dijual perkapling oleh pemiliknya. Kemudian dari bulan ke bulan didirikan rumah. Akhirnya menjadi kampung sampai sekarang. Salah satu diantaranya adalah aku dan biung tinggal di kampung itu.
Pada awalnya Biung kontrak rumah pak Carik. Hampir lima belas tahun kontrak. Setelah aku tamat esema aku bekerja menjadi pelukis. Pertama mendapatkan tawaran melukis di topi caping kelompok petani tingkat dusun. Merambah tingkat desa kemudian nembus tingkat kecamatan dan kabupaten. Setelah itu disuruh melukis dinding di tempat pendidikan Anak Usia Dini. Kemudian di taman kanak- kanak se kecamatan dan tingkat kabupaten. Dari hasil melukis aku bisa menabung dan membeli tanah kapling dengan cara mengangsur tiap bulan pada pak Salim. Akhirnya bisa membeli tanah dan membangun rumah. Rumah tanah itu seumur denganku. Hampir dua puluh lima tahun aku tinggal di kampung itu.
Atas usul dari beberapa kesepuhan kampung dan dukungan dari pak Dikin kampung itu diberi nama kampung Kusuma Baru. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai buruh harian secara serabutan. Cuma ada beberapa orang yang menjadi pedagang di Pasar. Warga kampung Kusuma Baru hidupnya rukun penuh dengan nuansa gotong royong. Sebab merasa senasib seperjuangan.
Saat aku melewati halaman rumah bapak guru esdeku. Aku melihat pak Dikin sedang duduk di teras depan rumah. Di pojok kanan kiri ada gantungan kandang burung berbentuk kotak yang terbuat dari bahan bambu. Dua burung perkutut sedang manggung saling menyaut kanan dan kiri. Pak Dikin tersenyum-senyum sambil manggut-manggut ketika burung perkutut manggung dengan suara yang khas.
“Khukk kherukk kok, khukk kheruk kok,“ suara burung perkutut.
Aku mencoba mendekati Pak Dikin guru esdeku juga guru melukisku.
“Selamat pagi Bapak.“
“Wee ladhalah kamu to Mas.“
“Iya Bapak.”
“Laa kapan pulang e ya Mas.“
“Kemarin pagi Bapak.“
“Syukur syukur la do sehat sehat semuanya to Mas.“
“Berkat doa bapak biung juga sehat.“
“Syukur syukur alhamdulliah do sehat semuanya.“
“Iya ya Bapak.“
“Ayo Mas masuk sini.“
“Terima kasih Bapak.“
Sebentar kemudian istri bapak Dikin keluar dari ruang tengah menemui aku sambil tersenyum senyum.
“Walah- walah janur gunung nih ada tamu agung.“
“Gak lah Bu, biasa aja lah.“
“Gimana masih melukis, sii Mas?“
“Masih Bu.“
“Tu persis dengan pak Dikin guru sdmu.“
“Iya ya Bu.“
“Sekarang sedang asyik melukis burung perkutut, la itu di pojok ruang tamu.“
“Bagus itu Bu.“
“Iya tapi ngak jadi jadi lukisannya Mas.“
“Gak apa- apa yang penting Bapak senang.“
“Iya ya Mas, mau minum apa ya Mas?“
“Seadanya saja lah Bu.“
“Ya ya sebentar ya Mas.“
“Ya Bu.“
Istri bapak Dikin masuk ke ruang dapur untuk membuat minuman. Bapak Dikin mendekatiku kemudian mengajak aku duduk di depan rumah. Persis di bawah pohon jambu bangkok yang sedang berbunga. Duduk bersila di atas dipan yang terbuat dari kayu albasia. Di atasnya digelar tikar jawa. Aku duduk di samping bapak Dikin.
“Gimana Mas senang si menjadi pelukis?“
“Senang Bapak.“
“Syukur lah.“
“Malah akhir- akhir ini banyak yang memesan melukis tokoh pahlawan Nasional.“
“Bagus itu, Mas.“
“Iya Bapak.“
“Bapak itu dari dulu pingin menjadi pelukis, tapi…“
“Tapi apa Bapak.“
Bapak Dikin terdiam. Kemudian membisikkan ke telingaku suara pelan sekali.
“Sayang istriku tercinta tidak pernah mendukung menjadi pelukis.“
“Loo kok bisa ya Bapak.“
“Bisa saja sebab tidak senang, tidak cocok kalau bapak menjadi pelukis.”
“Masa sii Pak?”
“Iya betul laa lihat sendiri bapak mau melukis burung perkutut saja, ngomel aja tiap hari jadi tidak pernah menikmati melukis.“
“Iya ya Pak.“
“Pelukis itu perlu merenung, membayangkan apa yang mau dilukis juga yang lebih penting ada faktor pendukungnya “
“Iya Pak.“
“Makanya Mas kalau cari istri bisa mendukung melukis, harus yang mendukung kalau tidak, yaa seperti nasib bapak ini, mau melukis burung perkutut saja sampai berbulan-bulan tidak jadi.“
“Iya Pak.“
“Harus yang mendukung ya Mas.”
Sebentar kemudian istri bapak Dakin keluar dari ruang tamu sambil membawa baki berisi dua cangkir kopi hitam panas. Kelihatan di atas cangkir ada kepulan asap putih. Racikan kopi jawa dengan gula dengan air panas yang sudah mendidih matang. Bahkan bukan kepulan asap yang keluar. Tapi bau khas kopi keluar bersama semilir angin pagi. Aroma bau kopinya nembus lubang hidungku. Dua cangkir kopi hitam panas ditaruh di depanku besama satu toples berisi gorengan intip kering berwarna kuning kehitaman.
“Monggo monggo Mas diminum kopinya.“
“Terima kasih Bu.“
“Mohon maaf ibu tidak bisa menemani minum kopi, mau ngupas biji jagung di dapur Mas.“
“Iya Bu, terima kasih kopinya.“
“Sama-sama Mas.“
Sebentar kemudian istri bapak Dikin masuk ke ruang tengah langsung ke dapur untuk mengupas biji jagung sudah kering. Biasanya buah jagung ditaruh di atas tungku. Diikat sejumlah sepuluh ditaruh di atas tungku tempat memasak. Jadi lama kelamaan jagung bisa kering. Sebab pengaruh dari asap api dan panas dari kayu bakar. Ini adalah cara tradisional menjemur jagung di dapur.
Sambil minum kopi aku ingin bertanya pada bapak Dikin. Bukan masalah dunia melukis. Tapi mau bertanya warga Kusuma Baru itu aslinya berasal dari daerah mana. Sebab selama ini aku penasaran sekali.
“Mohon maaf Bapak kalau boleh tahu warga kampungku itu aslinya dari daerah mana ya?”
“Ooo dari daerah desa Wadas Dungkal.“
“Wadas Dungkal daerah mana itu Bapak?“
“Jauh itu Mas butuh enam jam sampai ke desa Wadas Dungkal.“
“Jadi warga kampung itu aslinya dari sana ya Pak?“
“Iya ya Mas, bapak jadi ingat kamu tu masih bayi merah sekitar berumur sebelas bulan, hanya satu satunya warga kampung yang membawa bayi ya itu biungmu.”
“Khemm, gitu ja pak “
“Iya ya pertama datang biungmu, ngontrak rumahnya pak Carik. Dulu rumah itu sebagai tempat lumbung padi. Kemudian dibersihkan untuk tempat tinggal biungmu. Biungmu itu jujur ulet rajin telaten jualan nasi pecel keliling. Bahkan bisa nyekolahken kamu sampai tamat esempe, he hee.“
“Baik Pak kalau boleh tahu desa Wadas Dungkal itu daerah mana?”
“Mau ke sana po Mas.”
“Ya rencana ada si Pak.“
“Kebetulan kalau mau ke sana. Di sana ada adik bapak namanya Ludiman dulu pegawai staf Kecamatan daerah sana. Beliau tahu persis sejarah desa Wadas Dungkal.”
“Menurut kabar burung ada proyek bendungan raksaka ya Pak?“
“Bukan kabar burung tapi kenyataan memang ada program proyek bendungan raksaksa di sana.“
“Betul itu Pak.“
“Betul Mas, proyek bendungan raksaksa bertujun menampung air untuk mengairi persawahan yang kering. Juga sebagai penggerak aliran listrik. Tapi ya itu ada delapan desa di bawah bendungan raksaksa.“
“Maksud Bapak?”
“Sebelum proyek bendungan raksaksa dimulai semua warga berkumpul di halaman Kecamatan bertujuan untuk mengganti rugi tanah pekarangan, kebun, persawahan dan rumah.“
“Lalu?“
“Satu bulan kemudian yang mempunyai tanah pekarangan, kebun, persawahan juga rumah harus mempunyai surat leter c atau tanda bukti setor pajak SPPT, kalau tidak punya maka hak untuk ganti rugi tanah tidak dibayar oleh perusahaan itu.“
“Maksud Bapak harus ada bukti baik surat leter c dan SPPT?“
“Ya iya betul Mas?“
“Jadi warga yang tidak punya surat resmi tidak mendapat ganti rugi ya Pak?“
“Betul.“
“Kasihan ya Pak?“
“Laa ini termasuk yang tinggal di dusun Kusuma Baru. Semuanya tidak ada tanda bukti. Akhirnya harus meninggalkan kampung halaman dari leluhurnya. Kemudian merantau sampai ke sini pada awalnya menjadi tukang tandur padi, kuli panggul pasar, narik becak, manol dan kenek angkot, termasuk biungmu setiap hari menjual nasi pecel keliling Mas sambil gendong kamu di belakang punggung biungmu.“
“Oo gitu to Pak.“
“Orang-orang yang tinggal di situ adalah para pejuang hidup sejati. Berani menantang badai kehidupan. Tidak loyo. Apa lagi keluh kesah. Hidupnya penuh impian dan semangat. Mampu membeli tanah kaplingan dengan cara mengangsur tiap bulan. Akhirnya bisa tinggal di kampung Kusuma Baru sampai sekarang.”
“Hebat ya Pak.“
“Iya hebat perlu dicontoh pada generasi muda, tidak mudah pasrah dalam kehidupan. Tapi mengubah kehidupan yang lebih baik dan tertata.”
“Gitu ya Pak.“
“Ayo diminum kopinya Mas.“
“Iya ya terima kasih Pak.“
“ jadilah pelukis sejati artinya melukis dengan mata hati. Penuh dengan perasaan hasilnya pasti bagus. Jangan menjadi pelukis asal-asalan apa lagi transaksional tidak baik, pelukis itu bukan penjual di pasar.“
“Iya Pak.“
“Jadilah pelukis professional, tahan banting pada situasi keadaan zaman.”
“Siapp Bapak.“
“Ni bapak tuliskan alamat lengkap adik bapak yang tinggal di desa Wadas Dungkal. Barangkali Mas mau mencari informasi latar belakang pembangunan proyek bendungan raksaksa yang menenggelamkan delapan desa, biar tidak penasaran, Mas.”
“Terima kasih ya Bapak.“
“Sama sama, Mas.”
Sebelum pamit aku sempat melihat beberapa lukisan bapak Dikin. Nyaris belum sempurna ada lukisan senja tapi hanya ada warna langit jingga bersama sayap burung camar. Ada lukisan burung perkutut tapi cuma kepalanya. Ada juga lukisan tokoh wayang kyai Semar baru kepalanya saja. Betul yang dikatakan bapak Dikin istrinya dari dulu tidak pernah mendukung menjadi pelukis.
Sebab istrinya sama sekali tidak pernah mendukung melukis. Sehingga bapak Dikin sering melukis dengan mencuri waktu. Melukis ketika istrinya pergi ke pasar, kondangan, kumpulan ertenan dan tidur siang. Ketika istrinya kembali ke rumah berhenti total melukis. Untung bapak Dikin mendapat pensiunan bisa untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Di samping itu juga sangat rajin menanam beberapa macam sayuran. Beberapa pohon pisang dan tiga kotak tanaman singkong rambat. Untuk menambah kebutuhan hidupnya.
“Bapak mohon izin pamit.“
“Loo mau ke mana to Mas?“
“Mau jalan-jalan pagi mumpung udaranya masih segar.“
“Oo ya ya Mas, pesen bapak sekali lagi cari istri yang mendukungmu.“
“Maksud Bapak?“
“Yang mendukung melukis ya jangan seperti bapak ya he hee.“
“Iya ya Bapak.“
“Hati-hati tetap semangat menjadi pelukis ya Mas.“
“Siapp bapak, ini skesta lukisan Bapak. Tapi mohon maaf dengan pensil dulu.“
“Bagus, bagus Mas, jadi kamu itu sambil melukis bapak to.“
“Iya Bapak.“
“Wee la dhalah pinter banget kamu too Mas, ngobrol sambil melukis.“
“Ini kan semua dari ilmu Bapak.“
“Ya ya tentunya juga didukung banyak latihan dan serius belajar melukis.”
Setelah memberikan skesta lukisan bapak guru esdeku. Aku turun dari dipan. Kertas kecil putih bertuliskan alamat adik kandungnya bapak guruku aku masukkan dalam dompet. Sebelum meninggalkan bapak Dikin aku berjabat tangan. Aku cium tangan bapak Dikin. Beliau mengusap usap kepalaku sambil berdoa.
“Bapak doakan sukses selalu ya Mas.”
“Amin ya robal ngalamin.“
Asikk pak krennn abis
BalasHapus