Pelukis dan Parfum ke-15
Agus Yuwantoro
Bapak Suherman sudah telepon denganku
dua hari lagi mau mengambil pesanan lukisan tokoh pergerakan peradaban wanita
dari Jawa : Raden Ajeng Kartini yang hebat dan luar biasa pola pemikirannya
lewat surat-surat yang dikirim ke eropa Belanda bernama Stella Zeehandelaar dan
Rosa Abendanon. Ketika daerah asal kelahirannya sedang edan-edannya para
penguasa tanah. Juragan. Saudagar. Bahkan antek Kompeni. Sedang hebohnya
mencari wanita-wanita tercantik di seluruh kampungnya untuk dijadikan selirnya.
Intinya hanya untuk pemuas nafsu birahi para juragan di tanah Jawa saat itu.
Setelah merasa puas para selir dikembalikan ke rumahnya. Tanpa ada status
perkawinan yang jelas. Gadis tetapi bukan perawan lagi. Dinikmati oleh para
juragan bejat di tanah Jawa waktu itu.
Muncul rasa berontak dalam
hati Kartini. Membela kaumnnya. Bahkan sampai meledak otaknya. Kemudian
mengirim puluhan surat ke sahabatnya di Belanda. Sehingga muncul sebuah karya heboh:
Habis Gelap Terbitlah Terang. Penuh sensasi dan aksi memperjuangan hak wanita
pada zamannya. Lukisan Ibu Kita Kartini dengan tampilan sangat berbeda. Dengan
rambut terurai memanjang. Posisi baca buku di bawah lampu teplok jawa. Dengan
pakaian corak penuh bunga. Sedikit ada pesan senyum. Bukan senyum manis. Tapi
senyum sinis pada juragan di Jawa yang suka koleksi wanita di kamar rumahnya
atas nama istri selir.
Nyaris tidak pernah diurus statusnya.
Persis seperti bungkusan nasi kertas minyak atau daun pisang. Setelah semua
isinya dimakan puas. Kertas minyak atau daun pisang bungkusan nasi dilempar di
tepian jalan. Pola pikiran paling bejat merusak nilai-nilai peradaban manusia.
Bahkan lebih kejam dari kawin kontrak yang selama ini viral di kawasan daerah
kota wisata.
Lukisan Ibu Kita Kartini nyaris hampir
sempurna dengan latar warna kemuning seperti cahaya senja. Bersama tenggelamnya cahaya
mentari. Aku coba tebalkan lagi garis-garis rambutnya biar kelihatan hitam
bercahaya. Kedua bola matanya aku tebalkan warna putih di tengah bola mata
hitamnya. Garis rambut alis aku sedikit tegakkan khas wanita Jawa pada zamannya.
Setiap sudut mata aku bersihkan dengan kapas agar tidak kelihatan garis-garis
di pojok kedua mata. Sengaja aku gelar di pojok kamar tamu. Dengan sandaran
kayu seukuran lukisan. Belum aku buatkan figura. Menunggu Bapak Suherman datang
dulu. Biasanya akan melihat juga menikmati lukisan itu. Setelah merasa puas dan
pas. Kemudian menyuruh aku memasang pigura yang paling bagus.
Kali ini lukisan harus ada tulisan pesan
dari Ibu Kita Kartini atas pesanannya Bapak Suherman. Persis di bawah lukisannya
ada tulisannya : “Agama memang menjuhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak
dosa yang kita lakukan atas nama agama?” Raden Ajeng Kartini.
Lukisan ini aku lukis dengan totalitas
artinya semua kemampuanku aku curahkan lewat kwas dengan perpaduan berbagai
warna. Dengan cat spesial agar lukisannya tampak ada marwah ketika dilihat para
penikmat lukisan. Jam delapan malam Bapak Suherman menelponku. Lima belas menit
lagi sampai di rumah kontrakanku. Malah mau menginap satu malam di rumah
kontrakanku. Mau pesan lagi membuat lukisan Kendedes putrinya semata wayang seorang
brahmana Mpu Purwa. Selain cantik, dia juga dikenal “alim” dalam hal agama.
Juga dikenal sebagai perempuan yang suka seni. Dilihat dari kepribadiannya ini.
Kendedes memang sosok perempuan sempurna dan istimewa. Juga lukisan putri dari
pedesaan yang dicintai sepanjang masa.
Masalah figur atau profil Kendedes itu
urusan mudah bagiku. Akan tetapi untuk melukis seorang putri dari pedesaan ini
yang membuatku super bingung. Katanya Bapak Suherman nanti akan memberikan
fotonya seorang putri pedesaan. Ukuran dua kali tiga yang selama ini disimpan
dalam dompet pribadinya. Tepat jam sepuluh pagi Bapak Suherman datang. Kali ini
mengendarai mobil sendiri. Mobil Honda CRV seri terbaru warna hitam. Turun dari
mobil sambil tersenyum-senyum memandangku.
“Gimana kabarnya Mas, sehat.“
“Sehat Bapak.”
“Gimana pesanan lukisanku Mas?“
“Sudah jadi Bapak, silahkan dilihat.“
“Oke, mana Mas?“
“Itu Bapak di pojok ruang tamu.“
“Waduh, waduh luar biasa nih.“
“Terima kasih Bapak.“
“Kamu memang berbakat menjadi pelukis.“
“Masih proses belajar kok Bapak.“
“Ini bagus banget, menyala penuh marwah Mas.“
“Terima kasih, mau milih figura yang mana Bapak?“
“Yang paling bagus dengan warna kuning emas.“
“Siap Bapak.“
“Lukisan ini pesanan dari teman bapak, juragan peranjin emas dari kota Singapura
namanya Kim Sang. Pesan lukisan Kendedes putrinya seorang brahmana bernama Mpu
Purwa sangat terkenal di dataran Cina. Makanya temen bapak pesen lukisan
Kendedes. Kendedes itu yang melahirkan raja-raja di tanah Jawa, lo Mas.“
“Siap Bapak.“
“Tapi posisi lukisan Kendedes sedang mandi di
bibir sungai.“
“Siap
Bapak akan aku coba.“
“Itu
ada sejarahnya kok Mas. Ketika Kendedes sedang mandi di sungai lalu ada anak buahnya
Tunggul Ametung melihat langsung lapor. Tanpa basa basi langsung saja si
Tunggul Ametung menuju tekape. Sebab kecantikannya Kendedes langsung Tunggul
Ametung penguasa di wilayah Tumampel. Menculik. Memaksa. Kendedes dibawa ke
Tumampel. Akhirnya terjadi kawin paksa antara Tunggul Ametung dengan Kendedes, Mas.“
“Iya Bapak.“
“Tumampel itu merupakan salah satu daerah
kekuasaan Kediri berada di bawah kekuasaan Tunggul Ametung.“
“Gitu ya Bapak.“
“Pokoknya bapak buatkan lukisan Kendedes
posisi sedang mandi di bibir sungai.”
“Dengan balutan jarit atau gimana Bapak?“
“Ya ya posisi tubuh dengan balutan jarit,
tidak telanjang bulat lo Mas.“
“Siap Bapak.“
“Mas, bapak mau istirahat.“
“Silahkan Bapak di kamar tengah itu khusus
tamu yang mau menginap.”
“Terima
kasih ya Mas.“
“Ada
satu lagi bapak pesan melukis wanita dari desa.“
“Siap
Bapak.“
“Nanti
malam saja bapak mau tidur dulu.“
“Silahkan
Bapak.“
Ketika bapak Suherman masuk kamar. Pikiranku
terfokus dengan konsep lukisan gadis dusun. Aku sangat penasaran gadis dari
dusun mana. Belum lima belas menit masuk kamarku. Aku mendengar sengguran bapak
Suherman dari balik dinding kamar.
“Ngurr
ngrokk ngurr ngrokk,“ suara senggurnya Bapak Suherman.