Tri
Biyaningrum
Waktu
itu langit desa Candipuro terlihat murung. Hujan lebat sudah terjadi selama
tiga hari berturut-turut. Badrun yang seorang buruh tani sudah tiga hari hanya
berdiam diri di rumah, kebun yang ia garap dari tuannya sedang diistirahatkan
sejak panen sebulan yang lalu. Menanam dan merawat cabai merah besar menjadi
keseharian Badrun jika cuaca sedang bersahabat. Ia sudah menyusun rencana akan
menggarap kebun cabai milik tuannya tepat di hari Sabtu nanti.
Hari
itupun tiba, Badrun pamit ke istrinya, “Aku pergi dulu ya, tak usah menungguku
pulang. Jika kamu lapar, minta tolonglah ke anak sulungmu, Sari.”
“Iya
Pak, hati-hati di jalan. Semoga cuaca hari ini bersahabat denganmu.”
Badrun
meraih cangkul dan memakai tudung kepala. Kakinya melangkah mengikuti arahan
hatinya. Kaki-kakinya yang kuat mencengkeram tanah subur di lereng Semeru.
Tanah di kaki gunung sangatlah cocok untuk berkebun. Kandungan mineral alami
yang terdapat di dalamnya
bisa membuat tanaman tumbuh subur. Itulah yang diharapkan Badrun pada musim
tanam kali ini.
Setengah
hari telah berlalu sejak Badrun pergi ke kebun menanam cabai. Di sudut lereng Semeru
yang lain, Sari sedang mempersiapkan makan malam untuk keluarganya. Sari adalah
anak sulung Badrun, ia berusia delapan belas tahun. Sejak lulus dari Sekolah
Menengah Kejuruan, ia tak berniat melanjutkan kuliah. Ia memilih merawat orang
tua yang sudah repot. Bu Narsih sudah tidak bisa berjalan. Kecelakaan tiga
tahun yang lalu membuatnya harus berbaring di tempat tidur. Bu Narsih memiliki
perawakan yang subur, bobotnya mencapai 80 kg, ditambah lagi asam urat yang
selalu menghinggapinya membuat Bu Narsih harus merelakan masa-masa produktifnya
hanya di tempat tidur.
Cibiran
tetangga tentang Narsih yang menjadi beban keluarga Badrun, membuat Badrun
harus membanting tulang demi keberlangsungan masa depan anak-anaknya. Terlebih
Sari sempat mengutarakan niatnya untuk melanjutkan kuliah, walau hanya di
Universitas Terbuka. Sedangkan anak keduanya, Sarif baru mengenyam sekolah
dasar kelas empat.
“Mbak, aku mau ngaji ke musola dulu ya, nanti aku pulang sebelum magrib,” ujar Sarif kepada Sari
sambil memakai sarung kotak-kotak yang sudah lusuh.
“Ya, pelan-pelan saja naik sepedanya!” seru Sari kepada adik semata wayangnya.
Sarif
melajukan sepedanya dengan penuh tawa. Musola yang berada di bawah kaki Semeru
menjadi tempat yang paling asyik bagi anak-anak kampung dalam mengisi waktu
yang bermanfaat. Semeru sangat gagah jika dilihat dari halaman musola. Gunung
tertinggi di Jawa itu selalu menampakkan pesonanya.
Asar pun tiba, belum juga selesai salat. Terdengar teriakan salah satu anak
yang berada di halaman musola.
“Wedhus
gembel, wedhus gembel!”
Suara
gemuruh terdengar sangat jelas dari musola, beberapa anak lari tunggang
langgang menyelamatkan diri. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti. Begitu
pula dengan Sarif yang terbirit-birit sambil merapalkan doa-doa keselamatan.
Peristiswa Sabtu sore itu sangat cepat terjadi. Muntahan lahar panas mengalir
begitu derasnya ke sungai-sungai di kaki Semeru. Asap hitam mengepul ratusan
meter ke angkasa membentuk awan panas menyerupai wedhus gembel. Jarak pandang
semakin menipis. Debu berterbangan menyesakkan dada dan mengganggu penglihatan.
Semeru erupsi.
Di
dalam rumah sederhana, Sari berusaha membopong ibunya, tetapi berkali-kali
gagal. Ibunya bolak-balik terjatuh dan tersungkur.
“Ayo
Bu, kita pasti bisa lari dari sini, kita pasti bisa menyelamatkan diri.”
“Tidak
Nak, selamatkanlah dirimu sendiri, biarlah ibu di sini. Lagipula, ibu sudah tak
ingin menjadi beban hidup kalian. Ibu sudah tak sanggup lagi mendengar cibiran
tetangga tentang keluarga kita.”
“Tidak
Bu, aku tak akan meninggalkanmu sendirian.”
“Apa
kau tidak takut dengan wedhus gembel yang murka?”
“Selama
bersama ibu, aku akan merasa aman.”
Bulir
air mata menetes dari sudut netra kedua Sari. Memeluk sang ibu yang kepayahan
berjalan. Narsih pun mendekap Sari kuat-kuat. Hanya keajaiban yang mereka
harapkan. Tak perlu hitungan menit, awan panas melingkupi rumah di kaki Semeru
itu. Rumah kecil itu terkurung abu vulkanik Semeru yang panasnya membuat tubuh
Narsih dan Sari melepuh, gosong.
Matahari
menghilang, malam menjemput mereka pulang. Desa Candipuro hening, sepi seperti
desa mati tak berpenghuni. Lahar dingin begitu derasnya mengalir di
sungai-sungai lereng Semeru. Badrun kelimpungan mencari istri dan kedua
anaknya, namun nihil, ia tak memperoleh informasi tentang keluarganya. Badrun
putus asa, ditambah lagi akses jalan menuju rumahnya ditutup total dan diberi
tanda peringatan tidak boleh ada warga yang pulang ke rumah sebelum pemerintah
desa setempat menyatakan aman. Badrun histeris, ia lunglai di posko bencana
yang didirikan di sekolah dasar desa tersebut.
“Pak
Badrun, silakan mengisi data keluarga yang belum ditemukan,” ucap salah seorang
relawan.
Badrun
bergeming, tatapannya kosong. Relawan itupun pergi meninggalkan Badrun
sendirian. Ia tak ingin mengganggu psikologis korban Semeru.
Sinar
jingga kembali lagi di ufuk timur, menyembul dari balik Semeru, tetapi Badrun
tak ingin lagi melihat Semeru. Bayang-bayang istri dan kedua anak Badrun
berseliweran di pikirannya. Ia tak lagi menghiraukan dirinya, nasi rames yang
sudah tersaji di hadapannya
ia biarkan dimakan semut-semut yang kelaparan. Masyarakat bergotong royong
mengais sisa harta yang mereka punya dan mengumpulkannya. Mengambil kembali
kenangan yang terpotong oleh awan panas Semeru. Tak terkecuali Badrun. Perlahan
kakinya melangkah mengikuti arah angin. Ia yakin akan menemukan kenangan
bersama keluarganya yang masih tertinggal di dunia ini. Badrun mengelilingi
desa yang berubah warna menjadi abu-abu cenderung hitam. Dari kejauhan tampak
seorang anak laki-laki sedang ditandu oleh empat orang relawan.
Ketika
melewati Badrun, anak kecil yang duduk di kelas empat itu memanggil dengan
rintihan, “Bapaaak!”
Badrun
menghentikan langkahnya, ia menengok kembali sang anak lelaki yang wajahnya
menghitam terkena debu vulkanik. Ia mengenali sarung lusuh kotak-kotak yang ia
kenakan.
“Sarif,
kau kah Sarifku?”
“Iya,
Pak.”
Mereka
pun berpelukan, menumpahkan segala kerinduan dan menyusun kembali kenangan
Sabtu kemarin ketika Semeru sudah bosan mendekam di perut bumi.
Profil
Penulis.
Tri
Biyaningrum, lahir dan besar di Purbalingga. Menyukai dunia menulis sebagai
terapi hati. Buku puisi Senandung Kehidupan adalah buku solo perdananya.
Beberapa cerpennya sudah terbit dalam buku antologi antara lain; Magenta,
Narasi Sang Dwija, Gelita, Matahariku, Sentuhan Tangan Tuhan, Lipstik, Silet.
Fiksi Mini pun pernah ia tulis antara lain tertuang dalam buku antologi Amber,
Anjana, dan Tulip. Cerpen berjudul Mahar menjadi cerpen perdana yang dimuat
dimajalah pelajar MOP.
Saya suka, semangat, Ning💪
BalasHapusSemangatmu, semangatku...cieee...
BalasHapus