Sabtu, 19 Februari 2022

Wedus Gembel

 

pixabay.com


Tri Biyaningrum

 

Waktu itu langit desa Candipuro terlihat murung. Hujan lebat sudah terjadi selama tiga hari berturut-turut. Badrun yang seorang buruh tani sudah tiga hari hanya berdiam diri di rumah, kebun yang ia garap dari tuannya sedang diistirahatkan sejak panen sebulan yang lalu. Menanam dan merawat cabai merah besar menjadi keseharian Badrun jika cuaca sedang bersahabat. Ia sudah menyusun rencana akan menggarap kebun cabai milik tuannya tepat di hari Sabtu nanti. 

Hari itupun tiba, Badrun pamit ke istrinya, “Aku pergi dulu ya, tak usah menungguku pulang. Jika kamu lapar, minta tolonglah ke anak sulungmu, Sari.”

“Iya Pak, hati-hati di jalan. Semoga cuaca hari ini bersahabat denganmu.”

Badrun meraih cangkul dan memakai tudung kepala. Kakinya melangkah mengikuti arahan hatinya. Kaki-kakinya yang kuat mencengkeram tanah subur di lereng Semeru. Tanah di kaki gunung sangatlah cocok untuk berkebun. Kandungan mineral alami yang terdapat di dalamnya bisa membuat tanaman tumbuh subur. Itulah yang diharapkan Badrun pada musim tanam kali ini.

Setengah hari telah berlalu sejak Badrun pergi ke kebun menanam cabai. Di sudut lereng Semeru yang lain, Sari sedang mempersiapkan makan malam untuk keluarganya. Sari adalah anak sulung Badrun, ia berusia delapan belas tahun. Sejak lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan, ia tak berniat melanjutkan kuliah. Ia memilih merawat orang tua yang sudah repot. Bu Narsih sudah tidak bisa berjalan. Kecelakaan tiga tahun yang lalu membuatnya harus berbaring di tempat tidur. Bu Narsih memiliki perawakan yang subur, bobotnya mencapai 80 kg, ditambah lagi asam urat yang selalu menghinggapinya membuat Bu Narsih harus merelakan masa-masa produktifnya hanya di tempat tidur.

Cibiran tetangga tentang Narsih yang menjadi beban keluarga Badrun, membuat Badrun harus membanting tulang demi keberlangsungan masa depan anak-anaknya. Terlebih Sari sempat mengutarakan niatnya untuk melanjutkan kuliah, walau hanya di Universitas Terbuka. Sedangkan anak keduanya, Sarif baru mengenyam sekolah dasar kelas empat.

    “Mbak, aku mau ngaji ke musola dulu ya, nanti aku pulang sebelum magrib,ujar Sarif kepada Sari sambil memakai sarung kotak-kotak yang sudah lusuh.

    “Ya, pelan-pelan saja naik sepedanya!” seru Sari kepada adik semata wayangnya.

Sarif melajukan sepedanya dengan penuh tawa. Musola yang berada di bawah kaki Semeru menjadi tempat yang paling asyik bagi anak-anak kampung dalam mengisi waktu yang bermanfaat. Semeru sangat gagah jika dilihat dari halaman musola. Gunung tertinggi di Jawa itu selalu menampakkan pesonanya. 

    Asar pun tiba, belum juga selesai salat. Terdengar teriakan salah satu anak yang berada di halaman musola. 

“Wedhus gembel, wedhus gembel!”

Suara gemuruh terdengar sangat jelas dari musola, beberapa anak lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti. Begitu pula dengan Sarif yang terbirit-birit sambil merapalkan doa-doa keselamatan. Peristiswa Sabtu sore itu sangat cepat terjadi. Muntahan lahar panas mengalir begitu derasnya ke sungai-sungai di kaki Semeru. Asap hitam mengepul ratusan meter ke angkasa membentuk awan panas menyerupai wedhus gembel. Jarak pandang semakin menipis. Debu berterbangan menyesakkan dada dan mengganggu penglihatan. Semeru erupsi.

Di dalam rumah sederhana, Sari berusaha membopong ibunya, tetapi berkali-kali gagal. Ibunya bolak-balik terjatuh dan tersungkur.

“Ayo Bu, kita pasti bisa lari dari sini, kita pasti bisa menyelamatkan diri.”

“Tidak Nak, selamatkanlah dirimu sendiri, biarlah ibu di sini. Lagipula, ibu sudah tak ingin menjadi beban hidup kalian. Ibu sudah tak sanggup lagi mendengar cibiran tetangga tentang keluarga kita.”

“Tidak Bu, aku tak akan meninggalkanmu sendirian.”

“Apa kau tidak takut dengan wedhus gembel yang murka?”

“Selama bersama ibu, aku akan merasa aman.” 

Bulir air mata menetes dari sudut netra kedua Sari. Memeluk sang ibu yang kepayahan berjalan. Narsih pun mendekap Sari kuat-kuat. Hanya keajaiban yang mereka harapkan. Tak perlu hitungan menit, awan panas melingkupi rumah di kaki Semeru itu. Rumah kecil itu terkurung abu vulkanik Semeru yang panasnya membuat tubuh Narsih dan Sari melepuh, gosong. 

Matahari menghilang, malam menjemput mereka pulang. Desa Candipuro hening, sepi seperti desa mati tak berpenghuni. Lahar dingin begitu derasnya mengalir di sungai-sungai lereng Semeru. Badrun kelimpungan mencari istri dan kedua anaknya, namun nihil, ia tak memperoleh informasi tentang keluarganya. Badrun putus asa, ditambah lagi akses jalan menuju rumahnya ditutup total dan diberi tanda peringatan tidak boleh ada warga yang pulang ke rumah sebelum pemerintah desa setempat menyatakan aman. Badrun histeris, ia lunglai di posko bencana yang didirikan di sekolah dasar desa tersebut.

“Pak Badrun, silakan mengisi data keluarga yang belum ditemukan,ucap salah seorang relawan.

Badrun bergeming, tatapannya kosong. Relawan itupun pergi meninggalkan Badrun sendirian. Ia tak ingin mengganggu psikologis korban Semeru.

Sinar jingga kembali lagi di ufuk timur, menyembul dari balik Semeru, tetapi Badrun tak ingin lagi melihat Semeru. Bayang-bayang istri dan kedua anak Badrun berseliweran di pikirannya. Ia tak lagi menghiraukan dirinya, nasi rames yang sudah tersaji di hadapannya ia biarkan dimakan semut-semut yang kelaparan. Masyarakat bergotong royong mengais sisa harta yang mereka punya dan mengumpulkannya. Mengambil kembali kenangan yang terpotong oleh awan panas Semeru. Tak terkecuali Badrun. Perlahan kakinya melangkah mengikuti arah angin. Ia yakin akan menemukan kenangan bersama keluarganya yang masih tertinggal di dunia ini. Badrun mengelilingi desa yang berubah warna menjadi abu-abu cenderung hitam. Dari kejauhan tampak seorang anak laki-laki sedang ditandu oleh empat orang relawan.

Ketika melewati Badrun, anak kecil yang duduk di kelas empat itu memanggil dengan rintihan, “Bapaaak!”

Badrun menghentikan langkahnya, ia menengok kembali sang anak lelaki yang wajahnya menghitam terkena debu vulkanik. Ia mengenali sarung lusuh kotak-kotak yang ia kenakan.

“Sarif, kau kah Sarifku?”

“Iya, Pak.”

Mereka pun berpelukan, menumpahkan segala kerinduan dan menyusun kembali kenangan Sabtu kemarin ketika Semeru sudah bosan mendekam di perut bumi.

 


Profil Penulis.

Tri Biyaningrum, lahir dan besar di Purbalingga. Menyukai dunia menulis sebagai terapi hati. Buku puisi Senandung Kehidupan adalah buku solo perdananya. Beberapa cerpennya sudah terbit dalam buku antologi antara lain; Magenta, Narasi Sang Dwija, Gelita, Matahariku, Sentuhan Tangan Tuhan, Lipstik, Silet. Fiksi Mini pun pernah ia tulis antara lain tertuang dalam buku antologi Amber, Anjana, dan Tulip. Cerpen berjudul Mahar menjadi cerpen perdana yang dimuat dimajalah pelajar MOP.

2 komentar: