pixabay.com
Oleh Agus Yuwantoro
(Pelukis dan Parfum ke-7)
Sebelum sampai rumah
aku melihat mobil Gran Mex Diatsu berwarna hitam. Berhenti persis depan rumah
kontrakanku. Di kaca belakang ada tulisan Jitong. Dengan bentuk mirip huruf
Jepang. Aku jadi ingat teman kampungku si Jitong putranya bapak Kadus kampungku. Waktu
kecil sering mengajari cara mencuri buah-buahan di kampung. Lubang hidung
Jitong tajam sekali sehingga paham betul dengan buah yang sudah matang di atas
pohon. Bahkan mencuri ikan di kolam milik bapak Carik. Kemudian dibakar depan
pos ronda.
Aku semakin cepat
melangkah kaki menuju rumah kontrakkan. Penasaran sekali dengan mobil berwarna
hitam yang berhenti depan ada tulisan di kaca belakang Jitong. Benar juga
dugaanku. Ternyata benar Jitong sudah menunggu duduk depan teras rumah kontrakanku.
Badannya tambah gemuk. Perutnya blendos. Bahkan tulang lehernya nyaris tidak
kelihatan. Menyatu dengan pundaknya. Ketika aku mau mendekati, Jitong malah
berlari menghampiriku kemudian memelukku.
“Hai Dimas Prihatin.“
“O walah si Jitong
ya.“
“Ya ya Jitong
blendhos.“
“We ladalah Jitong
ya ini.“
“Ya.“
“Loo kok tahu aku di sini?“
“Ya tahu lah.“
“Dari siapa?”
“Ya Biungmu.“
“Kapan ke rumah Biung.“
“Bulan kemarin.“
“Biung sehat si Tong?“
“Sehat wal afiat Mas.“
“Terima kasih ya Tong.“
“Sama- sama.“
“Walah-walah dapat ikan tuna cocok ni Mas biar Jitong
yang masak.“
“Oke.“
“Bakar saja ya Mas.“
“Cucok tu Tong.“
“Beres.“
Aku dan Jitong
masuk dapur mencuci dua ikan tuna. Jitong membersihkan semua isi perut ikan
tuna. Aku menyiapkan bumbu ikan bakar. Dengan cekatan dan lincah Jitong
membersihkan sisik ikan tuna. Kemudian dicuci beberapa kali biar bersih. Jitong
menyiapkan arang dan tempat bakar ikan. Serasa sempurna. Api menyala merah, aku meletakkan dua ekor
ikan tuna di tempat membakar ikan. Jitong tampak serius berdiri sambil
mengipas- ngipas dan membolakbalikkan dua ikan tuna di atas api pembakar.
Butuh waktu satu
jam untuk membakar dua ikan tuna. Jitong dari kecil memang ahli bakar membakar
segala macam ikan. Aku jadi teringat ketika masa kecilku bersama Jitong. Turun
ke sungai Bogowonto. Mencari udang di balik batu dan semak. Cukup dengan kedua tangan.
Tangan sebelah kiri membuka batu. Kemudian tangan sebelah kanan Jitong
mengambil udang.
Bukan hanya di
bawah batu tapi di bawah sisa daun kelapa yang terbawa air sungai. Ketika daun
kelapa berhenti di bibir sungai. Jitong dengan lincahnya mengambil daun kelapa.
Diangkat pelan-pelan ketika diangkat tampak puluhan udang menempel di setiap selah daun
kelapa. Di saat seperti ini Jitong akan menari. Persis seperti kunyuk
mendapatkan pisang. Menari berputar putar sampai celananya mlorot ke bawah kelihatan. Perutnya
blendos bergerak kempas kempis. Sampai air ludahnya ngences ke leher dan dada.
Setelah dikumpulkan udang itu. Jitong mencari daun pisang
kering atau klaras untuk membakar udang. Kalau tidak menemukan daun kering
pisang. Udangnya cukup ditaruh di atas batu sungai. Ketika matahari bercahaya panas.
Cukup lima belas menit udang sudah terbakar berwarna merah. Kemudian aku dan Jitong, di atas batu
makan udang yang sudah matang. Rasanya gurih. Dasar Jitong pakar mencuri buah.
Setelah makan udang Jitong berlari menuju semak- semak. Kemudian kembali lagi sambil menenteng pisang sudah matang.
Jitong tahu betul
deretan pohon pisang yang tumbuh subur di setiap bibir pinggiran sungai
Bogowonto. Bahkan hapal betul pisang sudah tua. Pohon pisang itu tumbuh sendiri
di setiap bibir sungai. Biasanya pada musim hujan sering datang banjir. Bibit
-bibit pohon pisang itu terbawa air banjir. Kemudian tersangkut di semak atau
pinggiran bibir sungai. Lama kelamaan tumbuh besar sendiri. Kemudian berbuah.
Menjadi lahan rezekinya para penjaring ikan, tukang ngarit, pemancing ikan, penggembala kambing, juga
pemecah batu di pinggiran bibir sungai.
Tapi sekarang
searah perkembangan zaman. Juga pergantian peradaban zaman manusia. Sungai yang
dahulu tempat komunikasi antara manusia dan alam. Begitu saling membutuhkan
antara manusia dan isi sungai. Timbul keserakahan akal manusia. Semua isi
sungai dibabat habis habisan.
Meracuni ikan di
sungai dengan potas. Bahkan meledakkan dengan alat peledak di setiap bendungan.
Bukan hanya semua ikan diembat. Tapi batu pasir dikeruk habis demi perkembangan
pembangunan Nasional. Setiap hari mengeruk sumber kekayaan alam yang ada.
Bahkan di sebelah sungai Bogowonto. Ada dua gunung yang tadinya tanahnya subur
penuh ditumbuhi pohon-pohon rindang. Setiap hari digali dengan alat berat.
Nyaris dua gunung rata dengan tanah. Sehingga menyisakan lubang-lubang dalam
sedalam dua puluh lima meter.
Tokoh aktivis peduli
lingkungan pada kelabakan. Tidak mampu menghentikan mesin-mesin berat yang
setiap hari membongkar pasir dan batu. Karena para preman sudah bekerja sama
dengan aparat setempat. Takut menghentikan. Sebab diancam para preman dan
mandor galian batu dan pasir yang sering arogan dan anarkis.
Sekarang banyak
sungai-sungai mati sumber mata airnya. Nyaris tidak ada mata airnya. Ketika
musim hujan tiba sering terjadi banjir bandang. Harta benda hanyut hilang
seketika. Bahkan meninggal dunia sebab bencana alam. Menambah data korban tewas
bencana alam pada dinding Basarnas tingkat Kabupaten dan Kecamatan. Tetap saja belum
sadar arti pentingnya keseimbangan alam dan manusia.
Bahkan akhir-akhir
ini tidak hanya batu pasir. Tapi semua isi hutan dibabat secara masal. Semua
pohon ditebang dari pagi hari sampai tengah malam. Demi perut kenyang tanpa
memikirkan imbasnya. Bahkan pantai diubah menjadi daratan. Atas nama reklamasi.
Sebuah proyek mahadahsyat mengubah pinggiran laut menjadi daratan. Kemudian
dibangun gedung-gedung mewah. Perumahan kawasan elit. Hotel. Diskotek. Puluhan
cave. Mol. Pasar swalayan. Bahkan puluhan tempat layanan syahwat.
Hamparan langit luas pun sudah dikapling untuk manaruh
puluhan satelit demi kepentingan jaringan internet. Tanpa memerdulikan efek
radiasi satelit yang dipasang. Akhirnya bisa mengubah cuaca alam menjadi
sangat ekstrim. Ketika musim panas tambah panas. Ketika musim dingin tambah
dingin udaranya.
Belum lagi
hutan-hutan di luar jawa dibabat habis rata dengan tanah. Bahkan ramai-ramai dibakar
secara masal. Untuk membuka lahan baru.
Sampai asap dari pembakaran hutan menutup jalur jalan pesawat terbang.
Bahkan menembus sampai ke negara tetangga. Lebih fatalnya asap itu menimbulkan
beberapa penyakit baru pada anak-anak kecil. Penyakit mata dan kulit meraja
lela. Sebab ulah tingkah manusia itu sendiri.
Reklamasi meluluhlantakkan kehidupan
para nelayan di kota Metropolitan. Kehilangan mata pencarian hidupnya. Akhirnya
ramai-ramai turun kota menjadi pengemis dan gelandangan di tengah perkotaan. Demi
mempertahankan kehidupannya. Menambah jumlah angka penyakit di kota pada zaman
milenial.
***
Dua ikan tuna sudah
matang baunya harum bersama bumbu rempah- rempah. Jitong menaruh kecap di
setiap selah- selah daging ikan tuna. Ikan tuna sudah berwarna merah kecokelatan. Aku
siapkan dua piring nasi juga sambel kecap bercampur brambang bawang dan cabe
merah. Jitong mengangkat dua ikan tuna ditaruh di atas selembar daun pisang
kepok. Siap sarapan pagi dengan ikan bakar tuna.
Sesudah sarapan
pagi Jitong duduk slonjor di bawah tikar pandan. Badannya disenderkan pada
dinding. Kelihatan perutnya bundar blendos bergerak kempas kempis. Bahkan di
bawah bibirnya masih ada tersisa tiga butir nasi melekat. Keringatnya keluar
membasahi jidat turun kedua pipinya. Aku membersihkan piring, botol kecap dan
sisa ikan bakar. Sesudah itu ikut duduk slonjor berhadapan dengan Jitong.
Aku melihat wajah
Jitong penuh dengan air keringat. Mungkin pengaruh sambel kecapnya pedas.
Akhirnya bajunya dilepas kemudian duduk slonjor lagi bersandar pada dinding
kamar tamu.
“Gimana Mas tetep setia
menjadi pelukis?“
“Iya Tong.“
“Kenapa?“
“Aku merasa nyaman dengan duniaku.“
“Apa ikut aku aja?“
“Kemana?“
“Usaha berdagang menjual batu akik, Mas.“
“Batu akik, Tong “
“Iya mumpung sedang buming, keuntungannya bisa dua ratus
persen.“
“Masa Tong?“
“Iya lah makanya aku ingin menawarkan batu akik di sini selama dua
hari.“
“Di sini.“
“Iya di sini, kan banyak
turis siapa tahu ada yang suka dengan batu akik.“
“Betul tong
selama dua hari tidur di sini aja ya Tong.“
“Iya ya Mas.“
“Tapi makan seadanya yang
penting kenyang juga berkah barokah.“
“Ya Mas, eeMas masih ingat
dengan si Supraptiwi putrinya Bapak Wagino?“
“Masih, kenapa?“
“Kemarin aku dapat
info terbaru.“
“Info apaan Tong?“
“Supraptiwi tidak
jadi menikah dengan babah Shiong pemilik toko emas.“
“Loo katanya sudah
menikah?“
“Belum, Mas.“
“Kok bisa Tong, laa
sekarang posisi di mana?“
“Di Singapura.“
“Singapura?“
“Iya ya Mas.“
“Kerja di Singapura ya Tong?“
“Tidak, tapi merawat orang tua.“
“Orang tuanya siapa?“
“Ya orang tuanya babah Shiong, bahkan saking jujurnya
Supraptiwi dipasrahi memegang beberapa toko emas yang ada di beberapa kota termasuk toko emas di sini.”
“Loo kamu kok serba tahu ya Tong?“
“Ya iyalah Mas.“
“Kok Bisa?“
“Bisalah gara-gara
menjual batu akik juga menjadi pemasuk di beberapa toko emas.”
“Hebat kamu Tong.“
“Jitong dilawan “
“Serius Supraptiwi
tinggal di Singapura?“
“Bener, bulan
kemarin pesen batu akik Kalimaya dua puluh lima untuk hiasan liontin.“
“Sudah pernah ketemu?“
“Belum, cuma ketemu dengan penjaga toko emasnya.“
“Di Singapura ya Tong?“
“Ya di Singapura kadang dua bulan ke Bali, mengirim
dagangan emas model terbaru.”
“Bener itu Tong?“
“Bener Mas, loo kok jadi bernapsu si?”
“Akhh enggak biasa bisa-biasa saja.“
“Bener, apa masih suka ya dengan Supraptiwi?”
“Bisa saja kamu Tong.“
“Di Bali ada empat toko emas miliknya bapaknya
babah Shiong, bahkan ada juga di Malang, Surabaya, Solo dan Yogyakarta bahkan
sudah menguasi di Jawa Tengah.”
“Waduh hebat ya Tong.“
“Makanya usaha menjual batu akik aku lebarkan pemasarannya
bukan hanya di tempat wisata, ziaroh makom wali, tapi semua toko emas aku masuki semua, sampai kehabisan stok batu
akiknya.“
“Hebat kamu Tong bisa melihat peluang pasar.“
“Iya ya Mas jurusnya
mudah.”
“Gimana?“
“Ya seperti masa
kecil kita dulu pasang kedua telinga, pasang kedua bola mata kita lalu serang
dan libas itu aja Mas. “
“Kaya jurus mencuri
buah ya Tong?“
“Iya betul- betul
itu Mas, makanya aku ke
sini di
samping mau menawarkan batu akik pada turis, ngajak
sampean mengubah nasib menjadi penjual batu akik, siapa tahu ke depan bisa ketemu pacarmu
si Supraptiwi he heee iya si Mas.“
“Akhh gak bisa tong, aku tetep jadi pelukis sekalipun
pelukis jalalan.“
“Ngak nyesel nanti, ikutan menjual batu akik.“
“Nggak lah.“
“Bisa plesiran dari kota satu kekota lainnya lo Mas.“
“Enggak lah Mas.“
“Bener?“
“Tetep pada pendirianku tetep jadi pelukis.“
“Ya sudah itu pilihanmu Mas.“
“Ya terima kasih.“
“Nanti aku jam sepuluh siang mau mencoba menawarkan batu
akik di sini ya Mas?“
“Iya silahkan tapi Tong, aku tidak bisa menemani sebab
harus fokus melukis ada pesanan si.“
“Gak apa- apa Mas.“
Tepat jam sepeluh lebih lima menit Jitong teman kecilku
sudah siap keliling menawarkan cincin baku akik. Dengan memakai kaos lengan panjang
berwarna biru laut. Stelan celana begi berwarna hitam Sendal kulit berwarna cokelat. Sambil
senyum-senyum sendiri masuk dalam mobil. Sebentar kemudian mobil meluncur pelan
menuju gang wisma tempat menginap para tamu lokal dan luar negeri.
Jadwal hari ini aku meneruskan lagi lukisan tokoh gerakan peradaban
wanita Jawa. Ibu Kita Kartini. Aku siapkan pensil, beberapa ukuran kwas, kapas,
penggaris dan bebera warna cat minyak dalam kotak khusus. Ketika aku mau
membuat garis wajahnya. Hatiku bergejolak tersentak.
“Apakah benar
Supraptiwi belum menikah, akhh apa iya,“ ucapku lirih sambil meneruskan membuat garis wajah
pendobrak peradaban pejuang gerakan wanita Jawa dari Rembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar