Selasa, 08 Februari 2022

Tamu Teman Kecilku, Jitong

 


pixabay.com


Oleh Agus Yuwantoro

(Pelukis dan Parfum ke-7)

 

 Sebelum sampai rumah aku melihat mobil Gran Mex Diatsu berwarna hitam. Berhenti persis depan rumah kontrakanku. Di kaca belakang ada tulisan Jitong. Dengan bentuk mirip huruf Jepang. Aku jadi ingat teman kampungku si Jitong putranya bapak Kadus kampungku. Waktu kecil sering mengajari cara mencuri buah-buahan di kampung. Lubang hidung Jitong tajam sekali sehingga paham betul dengan buah yang sudah matang di atas pohon. Bahkan mencuri ikan di kolam milik bapak Carik. Kemudian dibakar depan pos ronda.

  Aku semakin cepat melangkah kaki menuju rumah kontrakkan. Penasaran sekali dengan mobil berwarna hitam yang berhenti depan ada tulisan di kaca belakang Jitong. Benar juga dugaanku. Ternyata benar Jitong sudah menunggu duduk depan teras rumah kontrakanku. Badannya tambah gemuk. Perutnya blendos. Bahkan tulang lehernya nyaris tidak kelihatan. Menyatu dengan pundaknya. Ketika aku mau mendekati, Jitong malah berlari menghampiriku kemudian memelukku.

  “Hai Dimas Prihatin.

  “O walah si Jitong ya.

 “Ya ya Jitong blendhos.

 “We ladalah Jitong ya ini.

 “Ya.

 “Loo kok tahu aku di sini?

 “Ya tahu lah.

 “Dari siapa?”

 “Ya Biungmu.

 “Kapan ke rumah Biung.

 “Bulan kemarin.

 “Biung sehat si Tong?

 “Sehat wal afiat Mas.

 “Terima kasih ya Tong.

 “Sama- sama.

“Walah-walah dapat ikan tuna cocok ni Mas biar Jitong yang masak.

“Oke.

“Bakar saja ya Mas.

“Cucok tu Tong.

“Beres.

       Aku dan Jitong masuk dapur mencuci dua ikan tuna. Jitong membersihkan semua isi perut ikan tuna. Aku menyiapkan bumbu ikan bakar. Dengan cekatan dan lincah Jitong membersihkan sisik ikan tuna. Kemudian dicuci beberapa kali biar bersih. Jitong menyiapkan arang dan tempat bakar ikan. Serasa sempurna. Api menyala merah, aku meletakkan dua ekor ikan tuna di tempat membakar ikan. Jitong tampak serius berdiri sambil mengipas- ngipas dan membolakbalikkan dua ikan tuna di atas api pembakar.

   Butuh waktu satu jam untuk membakar dua ikan tuna. Jitong dari kecil memang ahli bakar membakar segala macam ikan. Aku jadi teringat ketika masa kecilku bersama Jitong. Turun ke sungai Bogowonto. Mencari udang di balik batu dan semak. Cukup dengan kedua tangan. Tangan sebelah kiri membuka batu. Kemudian tangan sebelah kanan Jitong mengambil udang.

   Bukan hanya di bawah batu tapi di bawah sisa daun kelapa yang terbawa air sungai. Ketika daun kelapa berhenti di bibir sungai. Jitong dengan lincahnya mengambil daun kelapa. Diangkat pelan-pelan ketika diangkat tampak puluhan udang menempel di setiap selah daun kelapa. Di saat seperti ini Jitong akan menari. Persis seperti kunyuk mendapatkan pisang. Menari berputar putar sampai celananya mlorot ke bawah kelihatan. Perutnya blendos bergerak kempas kempis. Sampai air ludahnya ngences ke leher dan dada.

Setelah dikumpulkan udang itu. Jitong mencari daun pisang kering atau klaras untuk membakar udang. Kalau tidak menemukan daun kering pisang. Udangnya cukup ditaruh di atas batu sungai. Ketika matahari bercahaya panas. Cukup lima belas menit udang sudah terbakar berwarna merah. Kemudian aku dan Jitong, di atas batu makan udang yang sudah matang. Rasanya gurih. Dasar Jitong pakar mencuri buah. Setelah makan udang Jitong berlari menuju semak- semak. Kemudian kembali  lagi sambil menenteng pisang sudah matang.

 Jitong tahu betul deretan pohon pisang yang tumbuh subur di setiap bibir pinggiran sungai Bogowonto. Bahkan hapal betul pisang sudah tua. Pohon pisang itu tumbuh sendiri di setiap bibir sungai. Biasanya pada musim hujan sering datang banjir. Bibit -bibit pohon pisang itu terbawa air banjir. Kemudian tersangkut di semak atau pinggiran bibir sungai. Lama kelamaan tumbuh besar sendiri. Kemudian berbuah. Menjadi lahan rezekinya para penjaring ikan, tukang ngarit, pemancing ikan, penggembala kambing, juga pemecah batu di pinggiran bibir sungai.

  Tapi sekarang searah perkembangan zaman. Juga pergantian peradaban zaman manusia. Sungai yang dahulu tempat komunikasi antara manusia dan alam. Begitu saling membutuhkan antara manusia dan isi sungai. Timbul keserakahan akal manusia. Semua isi sungai dibabat habis habisan.

 Meracuni ikan di sungai dengan potas. Bahkan meledakkan dengan alat peledak di setiap bendungan. Bukan hanya semua ikan diembat. Tapi batu pasir dikeruk habis demi perkembangan pembangunan Nasional. Setiap hari mengeruk sumber kekayaan alam yang ada. Bahkan di sebelah sungai Bogowonto. Ada dua gunung yang tadinya tanahnya subur penuh ditumbuhi pohon-pohon rindang. Setiap hari digali dengan alat berat. Nyaris dua gunung rata dengan tanah. Sehingga menyisakan lubang-lubang dalam sedalam dua puluh lima meter.

  Tokoh aktivis peduli lingkungan pada kelabakan. Tidak mampu menghentikan mesin-mesin berat yang setiap hari membongkar pasir dan batu. Karena para preman sudah bekerja sama dengan aparat setempat. Takut menghentikan. Sebab diancam para preman dan mandor galian batu dan pasir yang sering arogan dan anarkis.

 Sekarang banyak sungai-sungai mati sumber mata airnya. Nyaris tidak ada mata airnya. Ketika musim hujan tiba sering terjadi banjir bandang. Harta benda hanyut hilang seketika. Bahkan meninggal dunia sebab bencana alam. Menambah data korban tewas bencana alam pada dinding Basarnas tingkat Kabupaten dan Kecamatan. Tetap saja belum sadar arti pentingnya keseimbangan alam dan manusia.

  Bahkan akhir-akhir ini tidak hanya batu pasir. Tapi semua isi hutan dibabat secara masal. Semua pohon ditebang dari pagi hari sampai tengah malam. Demi perut kenyang tanpa memikirkan imbasnya. Bahkan pantai diubah menjadi daratan. Atas nama reklamasi. Sebuah proyek mahadahsyat mengubah pinggiran laut menjadi daratan. Kemudian dibangun gedung-gedung mewah. Perumahan kawasan elit. Hotel. Diskotek. Puluhan cave. Mol. Pasar swalayan. Bahkan puluhan tempat layanan syahwat.

Hamparan langit luas pun sudah dikapling untuk manaruh puluhan satelit demi kepentingan jaringan internet. Tanpa memerdulikan efek radiasi satelit yang dipasang. Akhirnya bisa mengubah cuaca alam menjadi sangat ekstrim. Ketika musim panas tambah panas. Ketika musim dingin tambah dingin udaranya.

     Belum lagi hutan-hutan di luar jawa dibabat habis rata dengan tanah. Bahkan ramai-ramai dibakar secara masal. Untuk membuka lahan baru.  Sampai asap dari pembakaran hutan menutup jalur jalan pesawat terbang. Bahkan menembus sampai ke negara tetangga. Lebih fatalnya asap itu menimbulkan beberapa penyakit baru pada anak-anak kecil. Penyakit mata dan kulit meraja lela. Sebab ulah tingkah manusia itu sendiri.

 Reklamasi meluluhlantakkan kehidupan para nelayan di kota Metropolitan. Kehilangan mata pencarian hidupnya. Akhirnya ramai-ramai turun kota menjadi pengemis dan gelandangan di tengah perkotaan. Demi mempertahankan kehidupannya. Menambah jumlah angka penyakit di kota pada zaman milenial.

***

 Dua ikan tuna sudah matang baunya harum bersama bumbu rempah- rempah. Jitong menaruh kecap di setiap selah- selah daging ikan tuna. Ikan tuna sudah berwarna merah kecokelatan. Aku siapkan dua piring nasi juga sambel kecap bercampur brambang bawang dan cabe merah. Jitong mengangkat dua ikan tuna ditaruh di atas selembar daun pisang kepok. Siap sarapan pagi dengan ikan bakar tuna.

  Sesudah sarapan pagi Jitong duduk slonjor di bawah tikar pandan. Badannya disenderkan pada dinding. Kelihatan perutnya bundar blendos bergerak kempas kempis. Bahkan di bawah bibirnya masih ada tersisa tiga butir nasi melekat. Keringatnya keluar membasahi jidat turun kedua pipinya. Aku membersihkan piring, botol kecap dan sisa ikan bakar. Sesudah itu ikut duduk slonjor berhadapan dengan Jitong.

   Aku melihat wajah Jitong penuh dengan air keringat. Mungkin pengaruh sambel kecapnya pedas. Akhirnya bajunya dilepas kemudian duduk slonjor lagi bersandar pada dinding kamar tamu.

 “Gimana Mas tetep setia menjadi pelukis?

 “Iya Tong.

“Kenapa?“

“Aku merasa nyaman dengan duniaku.

“Apa ikut aku aja?

“Kemana?

“Usaha berdagang menjual batu akik, Mas.

“Batu akik, Tong “

“Iya mumpung sedang buming, keuntungannya bisa dua ratus persen.

“Masa Tong?

“Iya lah makanya aku ingin menawarkan batu akik di sini selama dua hari.

“Di sini.

     “Iya di sini, kan banyak turis siapa tahu ada yang suka dengan batu akik.

     “Betul tong selama dua hari tidur di sini aja ya Tong.

    “Iya ya Mas.

    “Tapi makan seadanya yang penting kenyang juga berkah barokah.

    “Ya Mas, eeMas masih ingat dengan si Supraptiwi putrinya Bapak Wagino?

   “Masih, kenapa?“

   “Kemarin aku dapat info terbaru.

  “Info apaan Tong?

  “Supraptiwi tidak jadi menikah dengan babah Shiong pemilik toko emas.

 “Loo katanya sudah menikah?

  “Belum, Mas.

  “Kok bisa Tong, laa sekarang posisi di mana?

 “Di Singapura.

 Singapura?

 “Iya ya Mas.

“Kerja di Singapura ya Tong?

“Tidak, tapi merawat orang tua.

“Orang tuanya siapa?

“Ya orang tuanya babah Shiong, bahkan saking jujurnya Supraptiwi dipasrahi memegang beberapa toko emas yang ada di beberapa kota termasuk toko emas di sini.

“Loo kamu kok serba tahu ya Tong?

“Ya iyalah Mas.

   “Kok Bisa?

  “Bisalah gara-gara menjual batu akik juga menjadi pemasuk di beberapa toko emas.

  “Hebat kamu Tong.

  “Jitong dilawan “

 “Serius Supraptiwi tinggal di Singapura?

 “Bener, bulan kemarin pesen batu akik Kalimaya dua puluh lima untuk hiasan liontin.

“Sudah pernah ketemu?

“Belum, cuma ketemu dengan penjaga toko emasnya.

“Di Singapura ya Tong?

“Ya di Singapura kadang dua bulan ke Bali, mengirim dagangan emas model terbaru.

“Bener itu Tong?

“Bener Mas, loo kok jadi bernapsu si?

“Akhh enggak biasa bisa-biasa saja.

“Bener, apa masih suka ya dengan Supraptiwi?

“Bisa saja kamu Tong.

“Di Bali ada empat toko emas miliknya bapaknya babah Shiong, bahkan ada juga di Malang, Surabaya, Solo dan Yogyakarta bahkan sudah menguasi di Jawa Tengah.

“Waduh hebat ya Tong.

“Makanya usaha menjual batu akik aku lebarkan pemasarannya bukan hanya di tempat wisata, ziaroh makom wali, tapi semua toko emas  aku masuki semua, sampai kehabisan stok batu akiknya.

“Hebat kamu Tong bisa melihat peluang pasar.

     “Iya ya Mas jurusnya mudah.

    “Gimana?

   “Ya seperti masa kecil kita dulu pasang kedua telinga, pasang kedua bola mata kita lalu serang dan libas itu aja Mas.

  “Kaya jurus mencuri buah ya Tong?

 “Iya betul- betul itu Mas, makanya aku ke sini di samping mau menawarkan batu akik pada turis, ngajak sampean mengubah nasib menjadi penjual batu akik, siapa tahu ke depan bisa ketemu pacarmu si Supraptiwi he heee iya si Mas.

“Akhh gak bisa tong, aku tetep jadi pelukis sekalipun pelukis jalalan.

“Ngak nyesel nanti, ikutan menjual batu akik.

“Nggak lah.

“Bisa plesiran dari kota satu kekota lainnya lo Mas.

“Enggak lah Mas.

“Bener?

“Tetep pada pendirianku tetep jadi pelukis.

“Ya sudah itu pilihanmu Mas.

“Ya terima kasih.

“Nanti aku jam sepuluh siang mau mencoba menawarkan batu akik di sini ya Mas?

“Iya silahkan tapi Tong, aku tidak bisa menemani sebab harus fokus melukis ada pesanan si.

“Gak apa- apa Mas.

Tepat jam sepeluh lebih lima menit Jitong teman kecilku sudah siap keliling menawarkan cincin baku akik. Dengan memakai kaos lengan panjang berwarna biru laut. Stelan celana begi berwarna hitam Sendal kulit berwarna cokelat. Sambil senyum-senyum sendiri masuk dalam mobil. Sebentar kemudian mobil meluncur pelan menuju gang wisma tempat menginap para tamu lokal dan luar negeri.

Jadwal hari ini aku meneruskan lagi lukisan tokoh gerakan peradaban wanita Jawa. Ibu Kita Kartini. Aku siapkan pensil, beberapa ukuran kwas, kapas, penggaris dan bebera warna cat minyak dalam kotak khusus. Ketika aku mau membuat garis wajahnya. Hatiku bergejolak tersentak.

 “Apakah benar Supraptiwi belum menikah, akhh apa iya,ucapku lirih sambil meneruskan membuat garis wajah pendobrak peradaban pejuang gerakan wanita Jawa dari Rembang. 


 


AGUS YUWANTORO, Lahir di Prambanan 5 Agustus 1965, Pendidikan  Terakhir S2 di Unsiq Prop Jateng. Prodi Magister Pendidikan Agama Islam 2009, anggakatan ke 2. Tahun 2010 mendapatkan penghargaan Bapak Gubernur Jawa Tengah, juara pertama menulis sajak dan puisi dalam rangka peringatan 100 Tahun Meninggalnya Presiden RI Pertama Bung Karno juga mendapatkan Piagam kehormatan dari Panitia Pusat Jakarta an. Prof.DR.H. Soedijarto, MA, Aktif nulis fiksi sudah 25 Buku Antologi baik puisi dan cerpen sudah terbit. 3 buku solonya,Antalogi Puisi dengan judul “Tembang Sepi Orang Orang Pinggiran”. Antalogi Cerpen “ Kembang Kertas  Nulis Novel berjudul Gadis Bermata Biru setebal: 250 halaman. Alamat Penulis  Gedangan RT.08 / RW.05. Ds. Pecekelan.Kec.Sapuran.Wonosobo,Jateng.WA : 081325427232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar